ANTUSIASME anak-anak muda mengikuti Festival Drama Basa Sunda (FDBS) dari tahun ke tahun, baik sebagai patandang maupun sebagai pendukung dan penonton, diam-diam menyediakan semacam jawaban atas pesimisme sejumlah kalangan. Pesimisme yang dibarengi keprihatinan itu menyebutkan rendahnya minat anak-anak muda terhadap budaya dan bahasa Sunda. Bahkan tak hanya di lingkungan sosial mereka, sejumlah penelitian menyebutkan, bahasa Sunda sebagai bahasa ibu kian memprihatinkan. Oleh karena itulah, banyak kalangan menengarai penutur bahasa Sunda dari tahun ke tahun makin menurun.
Dan FDBS paling tidak menawarkan celah di luar pesimisme dan keprihatinan itu. Demikian pula dengan FDBS XI 2010 ini. Peningkatan jumlah patandang dari 74 kelompok teater pada FDBS X 2008 menjadi 79 patandang, merupakan data konkret adanya celah di luar pesimisme yang kerap didengung-dengungkan itu.
Untuk meyakini bahwa antusiame itu lebih dari sekadar jumlah patandang, penonton, serta pendukung, Teater Sunda Kiwari (TSK) mencoba mencari data lebih jauh ihwal publik FDBS XI 2010 ini. Sebuah angket pun dibuat dan disebar setiap hari di antara penonton. Angket ini mencoba mencari tahu data dan identitas pengunjung FDBS, dari mulai tingkat usia, pekerjaan, motivasi mereka menyaksikan FDBS, hingga data ihwal bahasa ibu yang mereka gunakan.
Meski angket ini baru disebar beberapa hari setelah pembukaan (2/3), tetapi selama hampir sepuluh hari, sampai 19 Maret 2010, telah disebar angket pada 2.000 responden yang menyaksikan FDBS XI, dan lebih dari separuhnya telah diolah oleh panitia.
Hasil olah data hingga 19 Maret 2010 menunjukkan, mayoritas pengunjung FDBS XI berusia antara 15 dan 19 tahun (63 persen). Demikian pula dengan mereka yang berusia di antara 12 dan 15 tahun (23 persen). Dan mereka yang berusia di atas 30 tahun adalah pengunjung FDBS yang paling sedikit (3 persen).
Mayoritas pengunjung di bawah usia 20 tahun ini menjelaskan status mereka sebagai pelajar (77 persen) dan mahasiswa (19 persen). Peran guru dan sekolah dalam hal ini cukup mendukung, yang bisa dilihat dari alasan anak-anak muda itu menonton FDBS, yakni tugas sekolah (77 persen). Akan tetapi, di luar alasan yang instruksional itu, terdapat motivasi yang menggembirakan karena muncul dari karena keinginan sendiri (14 persen).
Asumsi bahwa penutur bahasa Sunda mengalami penurunan karena tidak lagi digunakan sebagai bahasa ibu dalam keluarga, yang bersuku-bangsa Sunda sekalipun, seolah mendapat jawaban yang berbeda. Dengan responden yang umumnya anak-anak muda, mayoritas sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa Sunda (60 persen), di samping bahasa Indonesia (35 persen). Dan seimbang dengan itu, 2.000 responden tersebut mayoritas bersuku-bangsa (etnis) Sunda (61 persen), campuran (31 persen), dan non-Sunda (8 persen).
Lepas dari soal validitasnya yang hanya dengan penyebaran angket, tetapi data yang diperoleh dari 2.000 responden tersebut cukup mengejutkan. Paling tidak, dari hasil olahan data tersebut ditemukan data-data berikutnya ihwal tingkat apresiasi remaja terhadap budaya dan bahasa Sunda. Bukan sekadar berupa angka-angka persentase, angket juga meminta saran dan pendapat responden terhadap FDBS XI.
Dan apa yang mereka tuliskan tampaknya tak hanya respons antusiasme mereka pada FDBS XI, melainkan juga membayangkan anak-anak muda itu terhadap budaya dan bahasa Sunda yang direpresentasikan lewat media teater. Ini makin menjelaskan fungsi seni pertunjukan (teater) sebagai media peningkatan apresiasi budaya dan bahasa Sunda.
Dari sejumlah pendapat dan saran responden terhadap FDBS XI, tak sedikit mereka yang menuliskan ketidakpuasan mereka karena durasi pertunjukan yang dianggap terlalu pendek. Artinya, ketidakpuasan ini membayangkan keinginan yang sebaliknya, yakni, menyaksikan pertunjukan dalam durasi yang lebih panjang.
Terlepas dari sejumlah pandangan dan saran mereka yang terasa naif, misalnya usul agar juri FDBS selanjutnya pakai artis, atau jam pertunjukan jangan bentrok dengan Persib, tak sedikit terdapat keluhan mereka pada fasilitas gedung. Dari mulai kursinya yang disebut kurang nyaman sampai usul agar GK Rumentang Siang pakai air conditioner (AC) seperti gedung bioskop. Tampaknya, antara minat pada budaya dan bahasa Sunda serta kenyataan fasilitas yang disediakan mulai juga dirasakan oleh mereka. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret April 2010
No comments:
Post a Comment