Agam, Kompas - Rumah- rumah adat Minangkabau yang menjadi tempat asal atau dibesarkannya sejumlah tokoh nasional mendesak untuk dilestarikan. Berdasarkan hasil pantauan Kompas di Kanagarian Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada Minggu (28/2) dan Senin (1/3), kondisi rumah adat mulai mengalami kerusakan akibat pelapukan.
Selain itu, sebagian rumah adat yang disebut sebagai rumah gadang itu cenderung mengalami pelemahan struktur setelah dihantam gempa bumi. Hal itu setidaknya terlihat di rumah yang sempat ditinggali Sutan Syahrir yang merupakan mantan Perdana Menteri RI pertama.
Rumah yang kini didiami Supriadi (36) bersama dengan istrinya, Yusmita (29), dan anaknya, Aldi perdana (2,5), itu mulai rusak di bagian lantai ruang makan. Lantai ruangan yang berada di bagian belakang rumah dan berbatasan dengan dapur itu tampak bolong.
Selain itu, kata Supriadi, konstruksi rumah tersebut juga lebih miring ke sebelah selatan setelah dihajar gempa bumi. Supriadi beserta istri dan anaknya mulai menempati rumah tersebut sejak sekitar tujuh bulan lalu setelah sebelumnya diberi izin oleh keluarga Sutan Syahrir.
Baik Supriadi maupun Yusmita tidak memahami bahwa rumah yang mereka diami itu adalah rumah Sutan Syahrir. Bahkan, mereka tidak pula mengenali foto Sutan Syahrir muda yang terpampang di dalam rumah tersebut.
Pengetahuan yang sedikit soal rumah adat peninggalan tokoh nasional juga terjadi kepada Indra, penghuni rumah yang dulu sempat didiami pahlawan nasional Haji Agus Salim. Indra yang terhitung bukan kerabat Haji Agus Salim relatif hanya sebatas mengetahui rumah tersebut dulu didiami Haji Agus Salim.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang Hajjah Heratina Mahzar mengatakan, pelestarian rumah-rumah adat atau rumah gadang tersebut selama ini juga menjadi tujuannya. Ia mengatakan, khusus untuk rumah gadang yang sempat didiami Sutan Syahrir telah diperbaiki bagian utamanya setelah dilanda gempa bumi di Kabupaten Tanah Datar dan Bukittinggi tahun 2007.
Heratina mengatakan, perbaikan itu dilakukan sekadar memenuhi standar kelayakan agar bisa dihuni. Ia mengatakan, untuk sejumlah bagian rumah lainnya yang perlu diperbaiki, itu akan dilakukan kemudian.
Perbaikan awal itu, imbuh Heratina, menghabiskan biaya Rp 15.000.000, yang Rp 5.000.000 di antaranya diambilkan dari dana sumbangan keluarga. Menurut Heratina, selama ini biaya perawatan atau perbaikan rumah diambilkan dari hasil garapan lahan sawah yang menjadi harta pusaka keluarga serta dana sumbangan dari para penduduk Koto Gadang yang jadi perantau dan mengirimkan uang.
”Kami tidak mau terbeli dengan dana pemerintah,” kata Heratina mengomentari soal kemungkinan anggaran biaya perawatan dari pemerintah.
Heratina menambahkan, selain rumah adat, pihaknya juga berharap sejumlah tinggalan budaya lain, seperti kain songket, baju kurung, dan bahasa di Koto Gadang, dilestarikan. (INK)
Sumber: Kompas, Jumat, 5 Maret 2010
No comments:
Post a Comment