-- Tulus Sudarto*
SAAT ini ketika terjadi peristiwa, informasi menyebar dengan sangat cepat dan luas. Bukan hanya melalui televisi, tetapi juga melalui perangkat telepon seluler dengan fasilitas layanan pesan singkat atau SMS.
Seperti terjadi saat bencana gempa Tasikmalaya, tahun lalu. Berita itu kali ini agak nyeleneh karena berbunyi: ”BREAKING NEWS! Baru saja Malaysia mengklaim bahwa gempa tadi adalah milik mereka!”
Tentu ini guyonan, yang saat itu berkait dengan isu klaim Malaysia pada produk atau hal apa pun yang berasal dari negeri ini. Manusia Indonesia memang tangguh, tak pernah kehilangan kepekaan humornya, bahkan di kala musibah menimpa.
Kepekaan humor, bukan saja muncul dari hati yang lunak, cair, pikiran rileks, melainkan juga kecerdasan yang kreatif. Fasilitas SMS tampaknya cukup ampuh menjadi medium ekspresional kecerdasan semacam ini.
Teknologi komunikasi seluler belakangan berkembang pesat. Kian murah kian cepat. Kultur niraksara masyarakat Indonesia menjadi ladang paling subur untuk berkembangnya budaya oral yang lebih diakomodasi oleh telepon seluler dan televisi.
Begitu pesatnya pemasyarakatan telepon seluler membuat perangkat itu tak memiliki klaim atas gaya hidup tertentu. Seperti dituturkan Bourdieu (1988), ia tidak lagi eksklusif milik kelas sosial tertentu. Bahkan, tukang becak di depan gereja Lampersari, Semarang, pun memasang handsfree-nya saat menggenjot becak. Pada saat bersamaan, handsfree dipasang penumpangnya yang mentereng.
Bisa jadi, karena kelumrahan akses dan kepemilikan peranti ini, masyarakat jadi lebih rileks dalam berkomunikasi canggih. Kemampuan lebih cepat diraih generasi lebih muda. Begitu rileksnya, mereka memandang hidup hingga tragedi dapat berubah jadi komedi dalam sekejap. Tanpa perlu katarsis atau kontemplasi tingkat tinggi.
Posisi abu-abu
Kondisi kultural apa yang mampu menciptakan rileksasi sikap dan apresiasi hidup macam di atas, mungkin perlu dijelaskan lewat riset yang kuat.
Yang pasti, pendekatan normatif tidak relevan digunakan di sana. Kultur Jawa memberikan pengaruh signifikan dalam menyuplai suatu pendekatan metodis terhadap cara kita memandang kegetiran hidup. Ungkapan sing sabar lan sareh menjadi semacam filosofi dasar yang menciptakan resistensi masyarakat terhadap kekerasan. Tak ada yang mutlak, bahkan dalam musibah. Pemosisian abu-abu semacam ini boleh jadi efektif untuk mengeliminasi stres. Memperkuat daya batin.
Mengikuti pandangan Paul Ricoeur, kita tahu bila setiap kata memiliki konteksnya masing-masing (la chose du texte). Tidak ada kata di luar konteks.
Demikianlah SMS tersebut tidak datang tanpa konteks. Bisa jadi karena kejengahan masyarakat terhadap kekerasan, layaknya alasan skenario bergaya Marcus de Sade dalam film The Final Destination (2009) yang mengekspos kekerasan sampai puncak-vulgarnya justru untuk membentuk kemuakan tertentu terhadap kekerasan. Banalitas kekerasan mengubu sebagai bentuk banyolan di sisi lain.
Kemungkinan lain, terbentuknya ruang longgar untuk mengapresiasi suatu peristiwa secara lebih merdeka. Memang ada bentukan sejarah dalam masyarakat Indonesia untuk tidak terlalu normatif dalam mengapresiasi segala sesuatu, khususnya peristiwa negatif.
Jika masyarakat Barat sudah dibuat stres oleh berbagai anomali, justru ketidaknormatifan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan dinikmati masyarakat Indonesia. Lihat saja acara sesakral Take Him Out di stasiun televisi tertentu tidak menunggu lama untuk diapresiasi secara kelakar oleh stasiun televisi lain dengan Tek Tek Out.
Kita memang nyaris selalu luput dari semua teori sosial. Apakah budaya kita terlalu unik ataukah memang DNA kultural kita berjalan tanpa konsep? Wallahualam....
* Tulus Sudarto, Rohaniwan, Tinggal di Seminari Tinggi St Paulus, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Maret 2010
No comments:
Post a Comment