Sunday, December 30, 2012

Ibu Adalah Puisi

-- Alex R. Nainggolan

IBU adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang.  Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka, berbahagialah kaum hawa—yang notabene kelak menjadi Ibu bagi anak-anak mereka. Dengan segala kegetiran dan kesenangan terhadap kehidupan, pula setelah mengandung anak mereka selama kurang lebih sembilan bulan. Mereka (kaum Ibu) paham bila mereka tengah menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita—yang mungkin akan dialaminya bagi anaknya.

Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum Ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah “pintu” yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilanpun, para Ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya. Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba. Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu.

Ketika itu, kaum Ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan “kata pertama”. Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi. Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya.

Simak saja, bagaimana upaya penyair Oka Rusmini “memotret” rahim—yang kelak dihuni janin—dalam  sajaknya: dari darah aku terbentuk/ari-ari yang membungkus tubuh/menguliti rasa takut/dinding-dinding itu/menyembunyikan setiap daging manusiaku//dua bentuk makhluk/menyekutukan kekuatan/menembus waktu/melubangi rasa/laut pecah dalam kebersamaan// (sajak “Rumah Rahim”; Warna Kita; Grasindo, 2007; hal. 30).

Betapa rahim dengan segenap misteri yang meliputinya, menjelma jadi “rumah pertama” bagi umat manusia—melalui napas sang Ibu. Jalinan itu menjelma kelindan yang panjang, menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri. Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian yang akrab antara Ibu dan si-jabang bayi. Dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan—si bayi dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi.

Ia, dengan segala keterbatasan sebagai manusia, tentunya merupakan titik nol dari kehidupan itu sendiri. Sebuah perjalanan dari umur manusia. Mula segala amsal dengan ratusan sejarah yang melingkupinya kelak. Di titik  permulaan ini, sosok Ibu menjadi guru pertama—yang mengajarkan makna kata. 

Sosok Ibu—yang notabene kaum Hawa, mengingatkan pula kita pada perkataan masyhur dari Napoleon Bonaparte,”Di belakang lelaki kuat, pasti terdapat sosok perempuan hebat; ialah Ibu.”

Kasih Ibu Sepanjang Jalan

Ada sebuah pepatah berujar,”Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Meninggalkan pengertian yang cukup dalam, jika kasih Ibu, memang tak pernah mudah pudar. Ia akan terus bergetar dan berdenyar, sepanjang hidup si-anak. Meninggalkan guratan panjang, jika kasih Ibu senantiasa ada dan terasa. Di sepanjang napas hidup anaknya.

Dengan kasihnya pula, sang Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk berkata. Ia mengenalkan kata pertama—saat bayi mulai belajar mengucap. Kata-kata yang dieja layaknya sebuah puisi. Maka, kata-kata dari seorang Ibu merupakan pengenalan pertama terhadap makna. Ia dengan segala penjelasannya, menciptakan sebuah tatanan baru bagi si-anak. Yang menghidupkan sebuah cakrawala baru, khazanah ataupun pengetahuan.

Kasih Ibu ini akan terus memanjang, bahkan ketika si-anak yang dilahirkannya telah dewasa sekalipun. Seperti tak putus. Tak heran pula, jika Wiji Thukul “mengadu” kepada Ibunya dalam sajak yang ditulisnya: ibu pernah mengusirku minggat dari rumah/tetapi menangis ketika aku susah/ibu tak bisa memejamkan mata/bila adikku tak bisa tidurkarena lapar/ibu akan marah besar/bila kami merebut jatah makan/yang bukan hak kami/ibuku memberi pelajaran keadilan/dengan kasih sayang/ketabahan ibuku/mengubah rasa sayur murah/jadi sedap// Sajak ini ditutup dengan kalimat: dengan kebajikan/ibu mengenalkan aku kepada tuhan// (Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesiatera, 2004; hal. 14)

Atau bagaimana penyair Joko Pinurbo bertutur tentang Ibu:
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku
Sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Akupun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat yang belum kukenali.
Ketika bangun kurasakan basah di celana.
Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya, beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Akupun terbang bersayapkan buku
ke antah berantah yang bagiku sendiri masih entah.


Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
Ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku.
(Sajak “Ibuku”)

Betapa Ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat. Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Ia, menjelma sebuah proses yang tak lengkang dari ingatan. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh. Senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah sang anak.

***

Tentunya, kita mesti melupakan pula sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang di-aborsi. Ataupun ada seorang Ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus,  atau ke dalam kantong kresek hitam. Juga Ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia. Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang Ibu yang tega meninggalkan anaknya dari bayi. Dan berusaha melupakannya. Sekaligus melupakan jati dirinya sebagai Ibu.  

Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan Ibu tak akan pernah pudar. Bahkan dalam Islam sendiri, betapa sosok Ibu hadir begitu luhur: bila sorga berada di telapak kakinya. Ia, dengan belaian lembut perempuan senantiasa menjaga “kata-kata” di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa. Dan si-anak membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Kata-kata dari Ibunya sendiri.

Semacam yang ditulis Iwan Fals dalam lagunya—yang bagi saya adalah puisi juga:
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ Ibuku sayang masih terus berjalan/walau tapak kaki, penuh darah/ penuh nanah/seperti udara/kasih yang kauberi/tak mampu ku membalas/ Ibu...

Alex R. Nainggolan, Penikmat puisi, menetap di Poris Plawad

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012


Sentuhan Nilai Budaya pada Anak Lewat Cerita Rakyat

-- Alam Terkembang


MELAYU memiliki budaya yang tinggi. Sebuah bangsa memiliki peradaban yang tinggi dengan hadirnya beragam budaya, tamadun dan karya-karya peradaban yang diakui masyarakat dunia. Budaya sebagai hasil budi manusia mencerminkan masyarakat pendukungnya. Karena itu, budaya juga dapat menjadi ciri suatu masyarakat. Salah satu wujud budaya itu adalah sastra atau sering disebut sastra daerah. Sastra daerah umumnya bersifat lisan, yaitu sastra yang berkembang dari mulut ke mulut. Seperti legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan masih banyak lagi.

Cerita rakyat yang sering menyajikan cerita yang luar biasa, dengan tokoh yang luar biasa pula. Cerita rakyat punya kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam. Selain itu, dalam cerita rakyat terkandung nilai-nilai budaya. Ini berarti, di dalamnya terkandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk,rasa penyesalan terhadap dosa, perasaan belas kasihan, pandangan kemanusiaan yang tinggi dan sebagainya.

Selain itu, cerita rakyat merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah di Indonesia yang perlu dapat perhatian, pemeliharaan dan pengembangan, baik dari masyarakat pemiliknya maupun dari pemerintah. Karena sastra lisan atau cerita rakyat juga merupakan salah satu bentuk aset kebudayaan nasional. Pernyataan tersebut didasari bahwa sastra lisan sebagai sastra tradisional yang menyebar di daerah-daerah merupakan bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah dan berkembang secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama (Fachruddin, 1981: 1). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diterima jika ada anggapan bahwa sastra lisan memiliki kandungan nilai-nilai sosial-kultura-religi yang tinggi serta dimiliki oleh masyarakat penuturnya.

Rusyana (1978:1) mengatakan, sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi berabad-abad. Sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Hal ini berarti, karya sastra, khususnya sastra lisan, akan mudah dipahami dan dihayati, sebab ada unsur yang lebih mudah dikenal di masyarakat.

Cerita rakyat juga merupakan sarana penyampaian nilai dan sikap hidup bermasyarakat; mengisahkan riwayat suatu masyarakat; memberikan penghiburan, di kala senggang; memberikan nasihat atau ajaran moral kepada anggota masyarakat; mempropagandakan sesuatu seperti memberi kritikan kepada raja atau orang yang berkuasa (Hamid, 1987: 4).

Seiring kemajuan zaman, para generasi muda kita saat ini sedikit jumlahnya yang mengenal betul budayanya sendiri, termasuk mengetahui dongeng, cerita rakyat dan legenda yang bukan tidak mungkin turun memperkuat budayanya. Maka pilihan yang paling mungkin dilakukan untuk mengenalkan budaya Melayu lewat sentuhan sastra lisan kepada anak-anak. Sebab, anak-anak adalah sosok yang polos dan mudah meniru dari apa yang diketahuinya, dilihat, termasuk juga yang didengarnya.

Perubahan Sosial
Dalam masyarakat apapun perubahan sosial dan budaya akan selalu mewarnai perjalanannya menuju suatu titik perkembangan yang tak berujung. Dalam masyarakat Melayu Riau, kesadaran berbagai pihak untuk membudayakan nilai-nilai melayu ini begitu konsisten dalam tindakannya. Namun berdasar pengamatan di lapangan, geliat memelihara tradisi yang berkembang cenderung hanya dinikmati generasi tua. Di kalangan generasi muda (baca: anak-anak) dengan banyaknya alternatif budaya pop dan instan menyebabkan minimnya pemahaman mereka terhadap budaya Melayu khususnya.

Nilai-nilai budaya sendiri terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Yakni, suatu sistem nilai biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dengan demikian, budaya adalah tata kelakuan menusia yang paling kongkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, mengacu terhadap sistem nilai itu.

Berdasar pemikiran Koetjaraningrat (1984: 8-25) tentang nilai budaya, nilai budaya pada dasarnya dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu : (1) nilai budaya dalam hubunga manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain/orang lain, (4) hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan (5) hubungan manusia dengan alam.

Untuk itu, perlu upaya memberikan pemahaman agar generasi belia tidak mengalami kealpaan terhadap kebudayaanya. Salah satu bentuk upaya memelihara tradisi itu dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali sastra lisan melalui kelas mendongeng. Mengingat melalui mendongeng yang disampaikan dengan cara-cara unik dan kreatif akan memberikan pengetahuan kepada calon generasi penerus budaya.

Kelas Mendongeng FLP Kids
Mendongeng adalah sebuah seni pengisahan cerita dengan tujuan hiburan pada live audience (pemirsa langsung) tentang kejadian-kejadian nyata maupun imajinatif yang dapat diambil dari naskah puitis atau prosa maupun sumber-sumber lainnya (lisan, tertulis atau rekaman) dan melibatkan gestur tubuh, vokalisasi, musik, atau gambar untuk memberikan kehidupan pada cerita.

Larkin (1997) mengungkapkan, mendongeng adalah pertunjukan seni yang interaktif, yaitu kegiatan dua arah antara pendongeng dan audiens, didasarkan pada interaksi dan kerja sama untuk membangun sebuah cerita yang utuh. Seorang pendongeng tidak hanya mampu membangun empati dan rapport yang baik dengan pendengarnya tapi juga mendorong pendengarnya untuk mengimajinasikan cerita secara visual (Parkin, 2004).

FLP (Forum Lingkar Pena) Pekanbaru sebagai komunitas menulis telah memberikan perhatian khusus kepada generasi belia untuk dekat dengan buku dan pena, melalui program FLP Kids. Dengan tujuan untuk mempersiapkan lahirnya generasi penulis/pengarang sejak kecil. Kegiatan tersebut dimulai dari kelas-kelas mendongeng yang tidak saja mengangkat fabel, cerita Nabi dan Rasul, tapi juga cerita-cerita rakyat Riau. Seperti; legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan cerita rakyat lainnya.

Tentu saja bila ini dilakukan secara kontinu -kemudian menyampaikan cerita-cerita tersebut dengan empati dan berkarakter- maka secara tak langsung nilai budaya sudah menyentuh dan mewarnai karakter anak-anak. Sebab apresiasi anak-anak terhadap kelas ini dari yang sudah dilakukan cukup besar, dan layak untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang pernah saya temukan di lapangan cukup menggembirakan. Dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada 50 orang responden, yakni: apakah cerita rakyat Riau bisa mengenalkan nilai-nilai budaya kepada Anda? Hampir 80 persen responden menyatakan ‘’iya’’. Hasil penelitian tersebut termaktub dalam karya penelitian budaya yang berjudul ‘’Mengisah Ulang Cerita Rakyat Riau pada Anak Lewat Kelas Mendongeng, Upaya Kreatif Melindungi Generasi dari Kealpaan Nilai Budaya’’ dan merupakan nominator Karya Penelitian Budaya Sagang tahun 2012.

Maka terjawab sudah, bahwa upaya yang bisa kita lakukan untuk menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi muda yakni salah satunya dengan mengadakan kelas-kelas mendongeng yang memuat kisah atau cerita-cerita rakyat Riau. Tentu saja dari cerita-cerita rakyat tersebut mengajak anak-anak untuk mengambil pesan-pesan moral, dan nilai-nilai budaya yang ditampilkan.*** 


Alam Terkembang, Bergiat di www.kutulislagi.blogspot.com. Nominator Anugerang Sagang 2012 dan aktivis di FLP Pekanbaru.


Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012

[Buku] Melacak Humanisme

Data buku

Humanisme dan Sesudahnya

Fransisco Budi Hardiman

Kepustakaan Populer Gramedia, 2012

xi + 90 halaman

HUMANISME masih pantas jadi tema besar di abad XXI. Fransico Budi Hardiman menghidangkan buku mungil ini untuk ingatan tentang perdebatan sengit dan panjang merujuk ke humanisme. Kutipan Blaise Pascal mengenai manusia perlu ditempatkan di halaman awal. Pascal menjelaskan manusia: “Suatu ketiadaan di hadapan ketakterbatasan, suatu keseluruhan di hadapan ketiadaan, suatu pertengahan di antara keseluruhan dan ketiadaan.” Kalimat abstrak tapi mengantarkan kita ke dalil-dalil humanisme di Eropa.

Humanisme sejak mulai adalah tema licin. Kesejarahan humanisme tak sekadar beredar dan meresap di Eropa. Indonesia pun pernah memiliki sejarah pergumulan tafsir dan realisasi humanisme melalui Pancasila. Humanisme diajukan demi mewadahi pluralisme. Kita mengenang di sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Perdebatan humanisme telah menular ke Indonesia sebagai paham besar di ranah politik, ekonomi, sosial, kultural. Humanisme turut mengisahkan Indonesia saat mendamba demokrasi berpijak pada kebhinekaan.

Lacak humanisme menghendaki kita berpikiran lentur dan menjauhi fanatisme. Humanisme bertumbuh di Eropa sejak abad XIV sampai abad XVIII untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaan. Manusia di masa itu terdefinisikan dan mengalami represo rasionalitas oleh monopoli tafsiran para pemegang otoritas agama dan negara. Manusia ada tapi kehilangan diri. 

Jejak sejarah humanisme di Eropa juga mengisahkan alienasi akut. Manusia menanggung alienasi tanpa janji keselamatan. Semaian humanisme bermaksud menarik manusia dari jerat alienasi dan mengembalikan manusia ke realitas. Manusia mulai bergerak menempuhi jalan-jalan pikiran emansipatif tak dogmatis. Manusia menjelmakan hak-hak dalam iman, identitas, ilmu, politik. Humanisme mirip hajatan fantastis di ruan gelap dan waktu melambat.

Risiko puja humanisme di abad XVIII: sekularisasi dan desakralisasi. Humanisme mengantarkan manusia ke perjalanan girang untuk menjauhi spiritual. Hegemoni simbolik agama dan negara mulai mendapati gugatan. Agenda menjelmakan kodrat-kodrat manusia mengubah Eropa. Humanisme menggelinding di peta pengharapan atas martabat manusia dan kemanusiaan. Humanisme pun mengisahkan pengetahuan, teknologi, birokrasi, profesi, konsumsi. Kita di abad XXI ini masih mendapati warisan-warisan dari humanisme menggelinding sejak abad XVIII.

Tokoh kritis dalam menderaskan humanisme adalah Immanuel Kant. Filsuf moral ini menjelaskan bahwa kehadiran manusia-saleh di Abad Pertengahan membuktikan ketidakberanian berpikir sendiri di luar tuntutan dogmatisme agama dan para pemegang otoritas tafsir. Zaman kepatuhan membuat manusia adalah hamba-berdosa dan abdi-berpasrah. Gairah mengajukan pertanyaan atas situasi dogmatis membuka jalan ke pengalaman kemanusiaan. Humanisme bergerak dengan antologi pertanyaan ke pusat rujukan agama dan negara.

Humanisme terus menjalar ke abad XIX dan XX. Humanisme menabur kisah-kisah tentang gugatan terhadap Tuhan dan institusi agama. Auguste Comte, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre tampil dengan ajaran-ajaran radikal. Sangkalan atas dogma agama dan Tuhan merebak sebagai godaan memuliakan manusia. Kaum filosof membentuk humanisme sebagai ganjaran untuk menemukan-mencipta manusia agung. Dunia memerlukan manusia agung bergelimang otoritas.

Humanisme perlahan juga bergerak ke misi kolonialisme. Praktik kolonialisme Eropa ke Asia dan Afrika menimbulkan diskriminasi, alienasi, marginalisasi, hegemoni. Pikiran-pikiran Eropa menguasai negeri-negeri terjajah. Humanisme justru mengajukan pertanyaan pelik tentang manusia. Kolonialisme mengaburkan pamrih kemanusiaan. Universalitas dalil-dalil humanisme tampak tak meresap ke negeri-negeri terjajah.

Fransisco Budi Hardiman menjelaskan bahwa pelampauan fase-fase dilema humanisme menumbuhkan agenda “membela kembali kemanusiaan”. Penanda besar dalam agenda memikirkan ulang humanisme di abad XXI adalah terorisme: 11 September 2001. Adegan penghancuran dan kematian terjadi di Amerika Serikat sebagai pikat dunia. Humanisme mulai bergerak ke penghampiran spiritualitas. Puja humanisme sekuler telah menodai dan merusak. Ingatan atas rujukan spiritualitas demi mengatasi fanatisme dan konflik. Humanisme mesti mengantar manusia ke pengalaman-pengalaman pluralistik. Humanisme tak bisa memusat ke narasi-narasi besar. Agenda menilik ulang humanisme adalah konsekuensi atas kontradiksi-kontradiksi kapitalisme-globalisasi dan terorisme. Begitu. 
   
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012

[Jejak] Saloma

Abang Ramlee, Piano dan Biolamu Tetap Seperti Dulu

PUAN Sri Salmah binti Ismail atau lebih dikenal Saloma adalah aktris film Malaysia dan seorang penyanyi ternama di masanya. Dia adalah istri ketiga dari aktor film, sutradara, penyanyi, dan penulis lirik Tan Sri P Ramlee. Lahir 22 Januari 1935 di Pasir Panjang-Singapura dan meninggal 25 April 1983 di Assunta Hospital, Petaling Jaya, Selangor-Malaysia.

Saloma

Lagu-lagu yang dinyanyikan biduanita molek ini antara lain ‘’Mengapa Dirindu’’, ‘’Kain Songket’’, ‘’Bunga Tanjung’’, ‘’Hilang Terang Timbul Gelap’’, ‘’Perwira’’, ‘’Tiru Macam Saya’’, ‘’Inang Baru’’, ‘’Bila Larut Malam’’, ‘’Keroncong Singapura’’, ‘’Tiga Abdul’’, ‘’Aci Aci Buka Pintu’’, ‘’Lagu Anak Rantau’’, ‘’Bila Hati Telah Retak’’, ‘’Tari Silat Melayu’’, ‘’Bossanova’’, ‘’Selamat Hari Raya’’, ‘’Kuala Lumpur’’ dan ‘’Kelohan’’. Sedang lagu duet bersama suaminya antara lain ‘’Gelora’’, ‘’Malam Ku Bermimpi’’, ‘’Burung Pungguk’’, ‘’Di Mana Suara Burung Kenari’’, ‘’Hancur Badan di Kandung Badan’’, ‘’Joget Malaysia’’, ‘’Rukun Islam’’, ‘’Sri Bulan’’, ‘’Jikalau’’, ‘’Ku tahu’’, ‘’Bahagia’’, ‘’Saat yang Bahagia’’, ‘’Dalam Air Terbayang Wajah’’ dan ‘’Sedangkan Lidah Lagi Tergigit’’. Sementara itu, film yang dibintanginya yakni Ahmad Albab, Seniman Bujang Lapok, Ragam P Ramlee, Sabaruddin Tukang Kasut, Bila Hati Telah Retak dan Si Tanggang.

Saloma sendiri mulai menyanyi pada usia tujuh tahun dan menjadi penyanyi profesional pada usia belasan tahun. Asalnya, dia menyanyi secara kebetulan dan banyak belajar menyanyi gaya nyanyian Ella Fitzgerald. Saloma lebih cenderung sebagai penyanyi berbanding sebagai sebagai aktris film. Mulanya, Saloma mengasah bakat bersama Orkes Fajar Murni pimpinan Yusof Osman. Lagu Pandang Kasih ciptaan Rahmat Ali membawa tuah kejayaan awalnya sebagai penyanyi. Beliau pernah menyertai Panca Sitara pada 1960-an.

Pada 28 September 1959, beliau kembali ke Singapura dari Vivacious, AS setelah tamat menyanyi di sebuah klub malam di Australia. Di Australia, dia menyanyi di beberapa klub malam seperti Oriental Hotel, Melbourne dan disiarkan di televi di sana. Seterusnya dia menandatangani kontrak menyanyi di klub malam Tanglin - Golden Venus. Saloma berhasrat menyanyi di AS dan Eropa. Dia juga pernah menyanyi di Ocean Park Hotel dan Percy Proctors band.

Sepanjang hidupnya, Saloma menikah sebanyak tiga kali dan suami-suaminya antara lain Allahyarham AR Tompel, Kaswan Yusak dan P Ramlee. Hasil pernikahan Saloma dengan Tan Sri P Ramlee tak dikurniakan anak dan sebaliknya Saloma dikurniai seorang putera, Armali hasil perkawinan pertamanya dengan Allahyarhan AR Tompel. Sepanjang bergelar anak seni Puan Sri Saloma telah menyanyikan hampir ratusan buah lagu di samping dianugerahi pelbagai gelar antaranya Ahli Mangku Negara (AMN) oleh Yang Dipertuan Agong ke- 5, Tuanku Abdul Halim Muadzam Shah. Puan Sri Saloma menghembuskan napas terakhir akibat mengidap demam kuning.

Untuk menghargai sumbangannya dalam bidang seni, Puan Sri Saloma dianugerahi gelar Biduanita Negara oleh Kerajaan Malaysia.

Berikut sajak Saloma yang dibacakannya setelah kepergian P Ramlee menghadap Sang Khaliq.

Keluhan Hati Saloma - 1975

Abang Ramlee
Sejuk Tanah Ampang di redup petang
Rimbun daun tembusu memayungi pusara mu
Germersik bisikannya menyambutku
Seakan terdengar suara abag
Dalam syahdu di sayap angin lalu

Abang..
Ku simpan sendu di lapis hati...
Ku keringkan air mata Kuala Lumpur yang sepi
Piano dan biaolamu tetap seperti dulu
Rumah kita dan alam seni lah duniaku
Tiap pagi Jumaat mengusapi rindu
Membacakan Fatehah di nisan pusara mu

Kenanganku..
Adalah juga kenangan masyarakat
Seniman seniwati dan para sahabat
Yang merasa terhutang budi kerana pimpinan Abang Ramlee..

Melalui sejuk tanah Ampang
Melalui rimbun senyum tembusu
Melalui wangi kuntum kemboja
Hmmm.. berkat keramat selendang putihku
Yang Abang belikan dulu...
Semoga abang mendengar bisikan kenangan
Dari sebuah lagu kesayangan ciptaan Abang Ramlee ku
Dalam rindu kasih suara isterimu..

Damai kekasihku di pusaramu
Sejuk tanah Ampang di redup petang
Angin lalu bisikan lah oh rinduku
Dalam lagu kesayangan oh abangku...(berbagai sumber/fed)


Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012

[Ranggi] Kaleidoskop Budaya di Riau: Mengasah Mata Pisau

-- Fedli Aziz

MERANGKAI keinginan dan menciptakan suasana berkesenian yang sehat telah dilakukan berbagai pihak sepanjang Januari hingga Desember 2012. Helat seni yang digelar itu menjadi penanda bahwa seni sebagai mata pisau kebudayaan perlu dilestarikan, dipelihara, bahkan dikembangkan hingga akhir zaman.

Drama anak-anak berjudul Batang Tuaka dari Sanggar Keletah Budak pada helat budaya Pertemuan Penyair Serumpun di Anjung Seni Idrus Tintin, November lalu. (Foto: fedli azis/riau pos)

Selain pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota se-Riau, pelaku institusi budaya dan komunitas-komunitas independen tak kalah dalam menghasilkan produk-produk budaya dan seni. Sebut saja Yayasan Sagang, Dewan Kesenian Riau (DKR), Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP), Sanggar Teater Selembayung, Sanggar Matan, Latah Tuah, Sanggar Rumah Sunting, RiauBeraksi, Mara Teater, Meta Teater dan Sanggar Seri Melayu PLT Laksemana, Bandar Serai Orkestra (BSO), Blacan Aromatic, Bujanggi, Riau Rhythm Chambers Indonesia dan masih banyak lagi yang menggelar helat seni, sesuai bidang masing-masing.

Tak hanya institusi dan komunitas, bahkan pelaku budaya secara individu juga memberi kontribusi pada perjalanan seni. Seperti budayawan Riau Yusmar Yusuf yang telah berkali-kali keluar-masuk kampung dalam helat baca sajak dengan para sastrawan Riau. Upaya ini tentulah tak bisa dipandang sebelah mata sebab baik institusi budaya secara independen maupun orang perorang yang berbuat itu, berjuang dengan kekuatan tenaga, pikiran dan uang masing-masing, tanpa bantuan memadai dari pemerintah daerah.

Helat itu digelar di berbagai tempat, dari gedung teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin, Taman Budaya Riau, hotel-hotel, kafe-kafe, bengkel-bengkel hingga kampung-kampung yang jauh dari karut-marut kota, baik di Riau maupun Riau Kepulauan (Kepri).

Dalam tahun ini saja misalnya, DKR menggelar helat budaya dan bahkan menjadi tonggak pertama bagi dunia perpuisian Indonesia. DKR bersama Yayasan Sagang melaksanakan acara ‘’Temu Penyair Nasional dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia’’ pada 22 November lalu di Anjung Seni Idrus Tintin. Helat yang digagas Rida K Liamsi dan kawan-kawan itu dihadiri hampir seluruh utusan provinsi di Indonesia itu bahkan telah bersepakat dan menetapkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Nantinya, setiap tanggal lahir bapak puisi Indonesia itu dianjurkan pelaksanaan peringatan hari puisi di seluruh Indonesia. ‘’Ini tentu saja menjadi catatan sejarah penting pada dunia perpuisian Indonesia ke depan,’’ tegas Ketua Umum DKR Kazzaini Ks di sela-sela helat itu.

Begitu pula Yayasan Sagang dalam helat Anugerah Sagang ke-17 yang dilaksanakan November lalu di Pekanbaru. Selain memberi anugerah pada seniman/budayawan Melayu, yayasan ini juga setiap tahunnya mencetak buku sastra yang dibagi-bagikan secara gratis pada tetamu yang hadir di malam puncak penganugerahan tersebut. Paling tidak, Anugerah Sagang yang telah berusia 17 tahun masih tetap eksis dari awal hingga hari ini.

Sementara itu, budayawan Riau Yusmar Yusuf bersama belasan penyair dengan menggunakan istilah ‘uang jantan’ telah pula menggelar helat baca sajak di kampung-kampung Daik-Lingga (Kepualauan Riau), Rokan Hilir dan Pelalawan, juga Kota Pekanbaru (Riau). Inilah sebuah gambaran dari kepedulian dan keinginan besar untuk terus menanamkan kesadaran pada manusia masa kini yang mulai meninggalkan budayanya sendiri.

Dalam helat baca puisi, pentas seni musik dan drama di kampung-kampung itu melukiskan berbagai kisah tak terlupakan. Bahkan banyak warga kampung yang ‘nyeletuk’ dengan mengatakan, ‘’ooo baca puisi itu bebas ya. Bukan seperti kami dulu waktu sekolah,’’ ungkap orang-orang tua yang baru kali itu menyaksikan baca puisi langsung oleh penyair. Helat itu, juga melahirkan rasa rindu mereka pada masa lalu dan salut pada anak-anak muda kota yang masih mau mengembangkan budaya Melayu lewat karya-karya mereka.

Selain itu, komunitas-komunitas seni seperti sanggar teater, tari dan musik ikut pula mengekalkan seni lewat berbagai persembahan seni pertunjukan mereka. Persembahan demi persembahan itu mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, terutama para pelajar yang memang berbondong-bondong ikut ambil bagian menyaksikannya di gedung pertunjukan.

Bahkan sejak beberapa tahun belakangan ini, penikmat seni pertunjukan tak lagi menyaksika persembahan itu secara gratis. Mereka sudah mulai terbiasa menghargai karya seniman dengan membeli tiket. ‘’Sesuatu yang kami inginkan sudah mulai berjalan dan masyarakat sudah terbiasa menghargai karya seni dengan membeli tiket,’’ ungkap Rino Dezapaty Mby dan Hang Kafrawi saat ditanyai soal itu.

Koreografer Riau Sunardi juga mengakui hal itu. Pasalnya, persembahan tari yang digelar Sanggar Seri Melayu asuhannya dua pekan lalu juga dipadati penonton. Tiket terjual habis, bahkan penonton yang tak mendapat tiket harus rela menonton tanpa mendapat tempat duduk di Idrus Tintin.

Dalam tahun ini pula, belasan komunitas teater Pekanbaru sekitarnya menetapkan 10 November, sebagai Hari Teater Riau. Tanggal lahir sesepuh teater Riau Idrus Tintin itu juga menjadi sejarah bagi perjalanan teater di Riau pada umumnya. Apalagi, teater Riau, khususnya Pekanbaru terus bergeliat dan menggelar karya-karya mereka, ada maupun tidaknya bantuan dari pemerintah. Mereka sudah mandiri dan bisa mementaskan karya, mesti hanya hasil penjualan tiket saja.

Tak hanya itu, Rumah Siku Keluang dan Sindikat Kartunis Riau (SiKari) yang menggelar berbagai acara seni dan budaya di berbagai tempat. Bahkan Siku Keluang juga merambah ke kampung-kampung untuk memberi pemahaman pada masyarakat tempatan tentang seni dan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Menarik pula jika menyaksikan ‘kegilaan’ teaterawan Suharyoto Sastro Suwitnyo yang mementaskan karyanya di berbagai tempat yang bukan panggung umumnya, seperti kafe-kafe, bengkel-bengkel dan jalanan.

Baru-baru ini, pengukuhan pengurus baru DKKP juga memberi kesan tersendiri bagi dunia seni di Pekanbaru. Pengukuhan pengurus tersebut tidak biasa dan digelar dengan konsep seni pertunjukan sehingga menarik dan disukai banyak pelajar yang hadir. Paling tidak, pengurus baru yang dikomandoi Taufik Hidayat alias Atan Lasak dituntut untuk lebih aktif dan kreatif agar organisasi tersebut tidak vakum seperti sebelumnya.

Selain semua institusi budaya independen itu, pemerintah provinsi melalui dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau dan juga Taman Budaya Riau juga melakukan hal serupa. Budpar misalnya, menggelar beberapa helat besar seperti Temu Penyair Serumpun, Temu Zapin ASEAN dan Anugerah Pemangku Seni Tradisional yang diberikan kepada 11 orang seniman/budayawan Riau.

Anugerah pemuncak diberikan kepada perupa Riau Amrun Salmon atas pengabdiannya dalam mengembangkan batik Riau. Begitu pula Taman Budaya Riau yang juga melaksanakan berbagai acara seni, selain menghadiri acara-acara besar di berbagai daerah dan negara tetangga.

Paling tidak, helat-helat seni dan budaya yang berlangsung sepanjang tahun 2012 merupakan sinergi antara berbagai pihak yang peduli dan secara sadar ingin mengembangkan kebudayaan Melayu. Begitu pula Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dengan agenda-agenda kebudayaan yang digelarnya sepanjang tahun ini.

Sebagai kabar duka, 30 Maret sastrawan besar Riau Hasan Junus menghembuskan nafas terakhirnya yang meninggalkan duka mendalam bagi sanak keluarga serta sahabat terdekat. Kepergiannya juga merupakan kehilangan bagi Riau.

Di tahun ini pula, seniman/budayawan Riau juga mendapat kehormatan untuk mempersembahkan pertunjukan seni di pembukaan dan penutupan Pekan Olahraga Nasional (PON) September lalu. Karya yang diberi judul “Dalam Kasih Sayang Air” itu mendapat apresiasi positif dari masyarakat Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012

[Artikulasi] Jangan Biarkan Bahasa Daerah Kita Punah

-- Utami Diah Kusumawati

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia perlu didokumentasi dan direvitalisasi agar tidak punah.
"Piye, Mas, wis rampung durung?" tanya seorang Ibu pada anak lelakinya.

"Durung," jawab sang anak lelaki itu sambil menyatukan potongan puzzle dengan santai.

Sang Ibu lantas kaget, anaknya bisa memahami bahasa lokal yang iseng-iseng dia utarakan. Memang dia dan sang suami biasa menggunakan bahasa Jawa Tengah secara aktif di rumah, tetapi dia tak sadar bahwa sang anak lelaki yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar tersebut memerhatikan percakapan mereka.

Sayangnya, upaya untuk memperkenalkan bahasa daerah dalam keluarga masih sedikit dilakukan. Sehari-harinya, orang tua biasa melakukan percakapan dalam bahasa Indonesia, tanpa sadar bahwa puluhan tahun ke depan, bahasa daerah perlahan akan punah karena tidak dibiasakan diturunkan kepada anak.

Bagi banyak pemerhati budaya, bahasa etnik lokal merupakan salah satu bagian penting dari proses menjadi Indonesia, yang di dalamnya terdapat identitas dan karakter suku bangsa yang memperkaya budaya Indonesia. Di Indonesia terdapat 726 bahasa dan 719 di antaranya merupakan bahasa yang masih dipergunakan oleh penutur asli. Sayangnya, nyaris setengah dari total bahasa tersebut dinilai terancam punah oleh ahli bahasa, karena jumlah penutur yang semakin berkurang setiap tahunnya.

Menurut David Crystal, peneliti bahasa, dalam tulisan berjudul "Language Death" atau "Kematian Bahasa", bahasa daerah sangat penting dilestarikan karena bahasa merupakan jendela ilmu. Dengan memahami bahasa suatu daerah, manusia akan memperluas cakrawala pemikiran mereka. Pasalnya, dalam bahasa daerah terdapat pula norma, etika, dan cara pandang hidup komunitas yang membantu manusia lain untuk lebih baik memahami kehidupan. Semakin sedikit bahasa yang dikuasai seseorang, maka semakin sempit pula pemikirannya.

"Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, setengah dari 6.000 bahasa dunia akan punah pada akhir Abad 21 termasuk di antaranya adalah Indonesia, yang tercatat memiliki jumlah bahasa daerah paling banyak - bersama dengan Papua Nugini. Kondisi di Indonesia, umumnya, komunitas tidak sadar mereka telah kehilangan bahasa daerah mereka karena minim pemakaian," kata Multamia RMT Lauder, pengajar Jurusan Bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar bertajuk "Kebahasaan dan Kebudayaan Etnik Minoritas: Strategi Pemertahanan dan Dokumentasi" yang diadakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pertengahan Desember 2012.

Menengarai ancaman tersebut, Multamia mengatakan, perlu segera diadakan revitalisasi bahasa daerah yang ada di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pendekatan Ortografi atau membuat ejaan dari bahasa daerah yang masih dipakai oleh penutur asli. Pembuatan ejaan bisa dilakukan oleh masyarakat umum dengan menuliskan adat istiadat, cerita, tari, musik, masakan atapun adat perkawinan untuk membantu melakukan proses preservasi atau pelestarian bahasa. Cara ini, menurutnya, efektif dilakukan, terutama untuk melakukan proses pelestarian bahasa. Tak hanya dari segi linguistik semata, tetapi juga berdasarkan pertimbangan lain seperti sejarah, agama, kebudayaan, identitas, dan faktor praktis.

Minder Berbahasa Daerah

Salah satu ahli bahasa yang pernah melakukan preservasi bahasa berdasarkan kebudayaan, tepatnya melalui tari adalah I Wayan Arka. I Wayan Arka meneliti mengenai kebudayaan pada masyarakat daerah Rongga dengan menghidupkan kembali kisah tarian klasik Vera. Dalam Tari Vera tersebut banyak terdapat bahasa daerah Rongga yang perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Etnis Rongga sendiri merupakan sebuah etnis minoritas di bagian timur Kabupaten Manggarai, Flores. Secara administratif, Rongga memiliki tiga desa yakni Tanarata, Komba, dan Bamo.

"Awalnya, Arka membantu para guru membuat buku pelajaran anak-anak Rongga. Namun, para guru menolak, karena Rongga tidak terpilih menjadi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Kemudian dia memikirkan cara lain, yakni dengan menghidupkan kembali Tari Vera dan membuat masyarakat sadar perlunya melestarikan budaya bangsa," kata Multamia.

Selain bahasa Rongga, bahasa Gamkonora dan bahasa Pagu merupakan dua dari banyak bahasa daerah di Indonesia yang juga terancam punah. Gamkonora merupakan bahasa dan etnik lokal yang berkembang di tengah masyarakat plural dan multilingual (Waioli, Tobaro, Sahu dan Tiana) di wilayah Halmahera Utara. Menurut salah satu peneliti, Ninuk Kleden Probonegoro, persoalan utama yang berkembang di sana adalah, karena berada di tengah lingkungan multilingual, bahasa Gamnokora berpotensi untuk turun statusnya dan menghilang dikalahkan dengan dominasi bahasa lain.

Sementara itu, M Hisyam, salah satu peneliti LIPI untuk bahasa Pagu, mengatakan, jumlah penutur bahasa Pagu semakin mengalami penurunan yang disebabkan oleh baik perubahan sosial ataupun status prestise bahasa (diglosia).

"Di sekolah, anak-anak Pagu juga diajarkan bahasa Indonesia dan tak banyak guru yang memahami bahasa ini. Akibatnya, muncul rasa minder di kalangan anak-anak Pagu untuk bercakap dengan bahasa Ibu karena merasa bahasa Pagu lebih rendah dari bahasa Indonesia," katanya.

Melihat situasi tersebut, dia mengatakan, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk merevitalisasi bahasa Pagu. Pertama, memberikan kesadaran kepada masyarakat Pagu bahwa bahasa Pagu merupakan bagian dari masyarakat Pagu yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menggunakan kembali bahasa Pagu.

Dokumentasi dan Revitalisasi

"Saat ini ada sebuah gerakan kebangkitan Masyarakat Adat Pagu yang dipimpin oleh Sangaji Afrida Erna Ngato, yang menyadari kebangkitan masyarakat adat mesti dimulai dari sikap menjunjung tinggi budaya dan bahasanya. Jika mereka mengaku sebagai sebuah masyarakat, mereka harus membuktikan bahwa mereka punya budaya dan bahasa yang menunjukkan jati diri mereka," ujarnya.

Untuk membantu proses preservasi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia, John Bowden, peneliti bahasa di Max Planck Institute mengatakan, ada beberapa lembaga sponsor dunia yang bisa dimintai bantuan. Lembaga itu antara lain adalah Volkswagen Stiftung dan Hans Rausing Endangered Language Project atau disingkat sebagai HRELP. Kedua lembaga ini, menurut Bowden, dinilai paling konsisten dan memiliki dana paling besar untuk proses preservasi bahasa daerah.

"Dokumentasi bahasa daerah sebenarnya sudah banyak, tetapi di Indonesia sendiri masih sangat banyak bahasa daerah yang membutuhkan bantuan dokumentasi dan revitalisasi dari kita semua. Oleh karena itu, LIPI melakukan penelitian mengenai bahasa daerah terutama pada kelompok etnis minoritas di daerah timur Indopnesia. Hasil penelitian ini untuk menjawab perlu atau tidaknya melakukan revitalisasi dan dokumentasi bahasa," kata Endang Turmudi, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI.

Proses menjadi Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Edy Sedyawati, pengamat budaya, tidak bisa dilepaskan dari proses merajut potensi-potensi lokal yang ada di tiap daerah. Bahasa daerah merupakan salah satu jendela menuju proses menjadi Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan adanya revitalisasi bahasa melalui proses dokumentasi, salah satunya bisa melalui teknik ortografi.

Selain dokumentasi, partisipasi masyarakat juga menjadi penting di sini. Mengajarkan bahasa daerah dari orang tua kepada anak merupakan cara bijak, dengan demikian proses regenerasi dan preservasi kearifan lokal tetap berlangsung dalam lingkup skala terkecil.

Pasalnya, jika suatu bangsa kehilangan bahasanya, berarti dia kehilangan identitas bangsanya. Lantas, apalah makna menjadi bangsa jika tidak memiliki identitas di tengah konstelasi dunia yang semakin mengglobal.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Desember 2012

Eksperimentasi Estetik Seno Gumira Ajidarma

-- Utami Diah Kusumawati

Seno Gumira Ajidarma mengarang dengan gaya tutur santai tetapi serius, dan tentu saja imajinatif.
APA yang terbersit saat pertama kali Anda membaca karya sastra Seno Gumira Ajidarma? Sebut saja; Jazz, Parfum dan Insiden, Negeri Senja ataupun Nagabumi? Imajinatif? Itu jelas. Kaya akan referensi dan riset? Memang. Seno ahli dalam hal yang satu ini (maklum profesi Seno sebelumnya adalah wartawan dan fotografer). Main-main? Hm... untuk seorang pengarang sekaliber Seno, masak sih tulisannya main-main?

Tetapi, ternyata itulah semua yang menjadi kekuatan pengarang yang lahir pada tahun 1958 silam di Boston, Amerika Serikat, ini. Gaya bertuturnya yang ‘mbeling' atau cenderung tidak taat pada aturan, nakal, dan memberontak sering terasa santai dan penuh dengan kenikmatan bermain-main. Alhasil, dalam karyanya kita tidak merasakan adanya pretensi dalam diri sang pengarang untuk menjadi seorang sastrawan.

"Proses menulis yang saya alami tidak ada yang dipaksakan. Format estetik atau hasil kreatif dilahirkan oleh pergulatan hidup yang kita semua alami. Saya bisa menulis seperti ini tidak dilakukan dengan kesadaran penuh. Dalam perjalanan hidup saya banyak situasi di mana akhirnya saya mesti berimprovisasi secepat-cepatnya untuk menghasilkan sebuah karya," kata Seno Gumira Ajidarma menjelaskan saat acara Bincang Tokoh DKJ #8 yang diadakan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu.

Seno mengatakan, perkara keterampilan dan teknis menulis tidak secara sadar dipelajarinya. Dia banyak belajar dari keadaan sehari-hari yang dialami. Terkadang hasil cerita pendeknya penuh refleksi, tapi di lain waktu ceritanya bisa juga santai dan modern. Oleh karena itulah, tak heran jika Melani Budianta, salah satu kritikus sastra dan juga dosen Kritik Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia mengatakan model bercerita Seno adalah lintas bentuk.

"Kita bisa melihat ada banyak bentuk dalam gaya bercerita Seno Gumira. Narasi-narasinya terdiri atas dua dunia yang dikolase jadi satu. Misalnya, satu kental dengan gaya urban, perkotaan, kapitalisme, penuh kewangian seperti parfum. Tetapi, di sisi lain, kita juga bisa menemukan gaya jurnalistik yang kuat dengan topik seperti terorisme dan pembunuhan," kata Melanie Budianta.

Melanie melihat latar belakang Seno yang kental akan sinematografi, filsafat, dan jurnalistik yang menyebabkan karya-karya sastranya menjadi lintas bentuk. Hal itu merupakan sebuah petualangan seni yang dilakukan oleh Seno melalui eksperimentasi estetik berbagai media dan genre. Misalnya dalam novel Nagabumi 1, gaya lintas bentuk ini, kata Melanie, dikembangkan oleh Seno dengan cara menggabungkan cerita silat dan tokoh-tokoh fiktif dengan eksplorasi sejarah yang didasari penelitian teks dan arkeologis. Hasilnya adalah nuansa cerita silat yang superlatif, penuh adegan fantastis dan diselingi dengan kutipan-kutipan naskah klasik, catatan sejarah dan arkeologi yang rinci untuk menghidupkan penggambaran visual.

"Seno belajar banyak dari sinema, yang menghasilkan visualisasi karya yang sangat kuat. Hasilnya, kita merasa bisa membayangkan suatu film yang utuh dalam karya-karya sastra Seno. Ini merupakan sebuah kekayaan yang dimiliki oleh Seno di mana dia tidak hanya memiliki satu genre penulisan tertentu," katanya.

Sementara itu, Damhuri Muhammad, pengarang dan juga esais, mengatakan, karya-karya sastra Seno Gumira Ajidarma kental dengan nuansa sejarah. Salah satunya adalah Nagabumi (2009), salah satu novel silat terkini Seno. Menurut Damhuri, tidak banyak pengarang yang terampil membumbui koleksi ceritanya dengan gagasan-gagasan besar. Namun, Seno berhasil menampilkannya dalam novel Nagabumi. Sekilas, menurutnya, novel tersebut mungkin hanya tampak sebagai kelebat pertarungan dengan jurus jitu dunia persilatan. Tetapi, di dalamnya ternyata terdapat riwayat kependekaran dengan latar sejarah Jawa pada abad ke delapan dan sembilan dengan mengambil persiteruan pada masa kekuasaan Samaratungga sebagai kisah cerita.

"Inilah yang dapat memartabatkan Nagabumi menjadi bukan sekadar novel silat biasa," ujarnya.

Seno memulai karier kepenulisannya yang pertama kali saat sajak-sajaknya dimuat dalam rubrik puisi mbeling di majalah Aktuil asuhan Remy Sylado. Kemudian ia menjadi rajin mengirimkan puisinya ke majalah sastra Horison, yang kemudian dimuat. Seno mengatakan, momen itu dia merasa dirinya sebagai seorang penyair. Seno kemudian menikah pada usia 19 tahun dan memilih menjadi seorang wartawan untuk menghidupi keluarganya. Pada tahun yang sama, dia juga menjadi mahasiswa Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Awalnya saya tidak berniat jadi sastrawan, tetapi mau jadi seniman. Saya suka Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, dan punya rambut gondrong," katanya seperti dikutip dari buku Bincang Tokoh Seno Gumira Ajidarma.

Meski terkesan nyentrik, Seno sangat konsisten, serius, dan tekun dalam menghasilkan karya yang berangkat dari realitas sosial dan kemudian memenangkan berbagai penghargaan, di antaranya SEA Write Award, Khatulistiwa Literary Award, dan Dinny O' Hearn Prize for Literary. Itulah sebabnya mengapa karya-karyanya mendapatkan hati di tempat pembaca dan juga masyarakat.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Desember 2012

Saturday, December 29, 2012

Mengenal Warna Puisi Sitor Situmorang

-- Agus S Warman

BAGI saya, apa yang paling terkenang dari puisi Sitor Situmorang, terutama dari periode awal, khususnya kumpulan Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama, bukanlah isi filsafat - misalnya tentang keisengan atau keterasingan - melainkan bunyi dan rupa, bahkan tertib-rupa dan tertib-bunyi.

    Ciri demikian itu membebaskan dia dari lingkungan pengaruh Chairil Anwar, sosok pembaharu dari generasinya sendiri, dan mendekatkan dia kepada Amir Hamzah.

    Memahami puisi puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala.

    Bisa begitu, karena Sitor Situmorang dalam berkarya apapun tak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak.

    Namun, jangan buru-buru mengatakannya penyair kuno hanya karena Sitor Situmorang selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya, Sitor pun telah menulis banyak mengenai puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi kekinian.

    Jelaslah, tertib-pola demikian adalah sarana untuk menapis, juga menundukkan, derau dan gebalau pengalaman modern.

    Generasi Sitor, masuk dalam Angkatan '45, memang dikenal sebagai kelompok penyair yang begitu menggandrungi puisi bebas. Tetapi Sitor sendiri tidak demikian.

    Buktinya, puisi puisi Sitor tidak jarang didominasi dengan persoalan kekinian. Tak jarang pula puisi-puisi Sitor terjebak dalam permainan kata yang berlebihan, kemubaziran, yang hanya mengekor modernitas, bukan mempersoalkannya.

    Kita lihat, puisi bebas Sitor "hanyalah" bentuk yang lebih lentur-cair dari pantun dan sonetanya.

    Kesepian, juga keisengan, keterasingan, kebosanan, mungkin juga kemabukan. Kalimat-kalimat yang mengandung unsur filsafat semua ada dalam puisi Sitor: suatu pandangan dunia yang tak tertawarkan lagi?

    Seorang penyair modern yang sejati, mestinya adalah sang flaneur, sebagaimana halnya Baude-lairre: seorang pejalan iseng yang mengalami pemandangan, dunia, sebagai hal terpecah-pecah, de-kaden-ia pencari keburukan ketimbang keindahan.

    Namun Sitor adalah seorang flaneur yang tak sepenuh hati. Ia pemburu keindahan atau sisanya. Seperti Pablo Neruda, Sitor berkelana dengan membawa kampung halamannya dalam bungkusan. Neruda seperti hendak meluaskan tanah airnya ke seluruh bumi; sedang Sitor, ingin menjadi orang-dunia namun diganduli oleh warisan leluhurnya.

    Sitor meragukan, mungkin menyangkal, asal-usulnya justru dengan menggunakan puisi lama-soneta dan pantun. Keduanya sampai juga ke "jalan kiri" dengan alasan berbeda:

    Neruda lantaran kejenuhannya dengan puisi modern: Sitor, justru karena keberjarakannya.

    Sitor melakukan rekonsoliasi dengan kampungnya, kampung yang kini diluaskannya sebagai "bangsa": demikianlah keisengan (yang tak pernah menjadi filsafat itu) digantikan ide, bahkan ideologi. Maka impresionisme menjadi realisme; dan pantun dan sonet pun bertukar dengan puisi bebas.

    Sitor sang flaneur yang bimbang tak cukup radikal dalam melawan komunitasnya, sebagaimana sang komunitas juga begitu setengah hati untuk meninggalkan masa lampaunya.

    Mungkinkah "aku" menjadi "kami" atau "kita" dalam derap "revolusi"? Mungkin sekali tidak. Puisi Sitor selepas 1970-an adalah upaya mendedahkan "aku" kembali, sang pejalan: kini ia bukan pemburu keisengan melainkan pengumpul cendera mata dari pelosok Nusantara dan mancanegara. Di sini tiada lagi musik atau tertib-bunyi yang bisa melunakkan isi-sajak.

    Tapi jika kita sudah terlalu banyak mendengar khotbah dari segala penjuru, "filsafat" dalam puisi tak penting lagi.

    Itu sebabnya kita selalu kembali kepada puisi Sitor Situmorang dari 1950-an, di mana musik dan bunyi begitu utama, sehingga kita bisa merayakan keisengan murni-dalam arti menjadi makhluk bermain, homo ludens-setelah kita menjadi begitu jinak dan seragam dalam jejaring sistem.

    Menjadi "bunga di atas batu, dibakar sepi": liar, keras kepala, tak menyerah. Demikianlah puisi Sitor yang terbaik, justru membuat kita mampu mengsongsong "filsafat" yang dikandungnya dengan haram.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Desember 2012

Thursday, December 27, 2012

Kompetisi Linguistik

-- Mulyo Sunyoto

KOMPETISI atau pertandingan untuk meraih kejayaan alias kemenangan berlangsung di semua sektor kehidupan. Pada tataran individual, manusia berkompetisi--taruhlah--untuk mendapatkan seorang pujaan hati. Di ranah bisnis, kompetisi kian hari kian sengit.

Dalam bahasa pun ada kompetisi: kompetisi antara sejumlah kata yang bermakna sepadan berlangsung dari waktu ke waktu.

"Mangkus" dan "sangkil" dalam pertarungan melawan "efisien" dan "efektif" tampaknya tak seperkasa "memenangi" melawan "memenangkan". Kini dalam banyak laga penggunaan keduanya, "memenangi" menggeser pelahan-pelan dominasi "memenangkan" dalam dua dasawarsa belakangan. 
        
Seperti dalam semua sektor kehidupan, sang pemenang dalam kompetisi tak mesti lebih benar, dalam arti lebih pengikuti aturan atau prinsip yang disepakati bersama. Simaklah perkara yang menimpa "memenangkan" yang mulai terkalahkan oleh "memenangi" dalam kompetisi menjadi kata paling banyak dipakai penggunanya.

Pakar Linguistik Bambang Kaswanti Purwo yang membela "memenangkan" dalam pemakaian kalimat "Ia memenangkan pertandingan" alih-alih "Ia memenangi pertandingan" berargumen bahwa  sufiks "kan" tak mesti bermakna kausatif. Akhiran "kan" bisa membawakan makna preposisi "akan" atau "pada". Dengan demikian, "memenangkan pertandingan" bisa berarti "menang pada pertandingan". Contoh-contoh yang mendukung argumen itu antara lain pada pemakaian kata "merindukan" dalam kalimat "Si pungguk merindukan bulan". Jika akhiran "kan" dalam "merindukan" diberi makna kausatif, yang rindu adalah "bulan", bukan "si pungguk".

Jika semua akhiran "kan" harus diberi makna kausatif, maka kalimat yang mengunakan "memprihatinkan", "membanggakan", "melupakan", "mengingatkan" harus diganti dengan yang berakhiran "i" sehingga menjadi "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan mengingati".

Meskipun argumen Bambang cukup meyakinkan, surutkan kaum pengguna "memenangi" dalam menggeser kedudukan "memenangkan"? Rupanya tidak. Dari hari ke hari, koran-koran, media sosial, dan bahasa lisan semakin gencar menggunakan "memenangi". Pengguna, masyarakat kebanyakan, tidak mau ambil pusing dengan argumentasi linguistik.

Bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa kata yang dijadikan senjata argumen Bambang untuk mengandaskan "memenangi" malah menjadi ilham bagi para pengguna bahasa, terutama kalangan wartawan dan redaktur, untuk memilih "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan "mengingati" sebagai pengganti kata-kata tersebut yang berakhiran "kan".

Kecenderungan untuk bermain-main dengan kata-kata yang berwajah baru sangat digemari kalangan wartawan atau redaktur. Salah satu bukti adanya kecenderungan itu bisa dibaca pada keterangan gambar pada Harian Kompas sebagai berikut: "Pelatih Chelsea Rafael Benitez menenangi salah satu pemainnya, Ramires (7), usai kekalahan 0-1 dari klub Brasil, Corinthians, di Yokohama, Jepang, Minggu (16/12)."
      
Dalam gambar itu, Benitez menepuk pungguk salah satu pemain Chelsea Ramires yang terduduk sambil mengencangkan tali sepatunya. Kata "menenangi" adalah modifikasi dari "menenangkan". Apakah betul perubahan itu?
        
Tampaknya sang redaktur tidak memahami bahwa "menenangkan", yang mengandung makna kausatif pada akhirannya, justru yang digubakan oleh para pendukung "memenangi". Artinya: radaktur itu sudah tidak lagi menggunakan dasar-dasar linguistik untuk mengganti "kan" menjadi "i". Dia berlaku asal-asalan: yang penting "kan" harus diganti "i".

Tindakan asal-asalan tanpa landasan prinsip kebahasaan juga pernah terjadi pada seorang novelis yang mengganti semua imbuhan  "memper" menjadi "memer": "memperbaiki" jdi "memerbaiki"; "memperindah" jadi "memerindah"; "mempertaruhkan" jadi "memertaruhkan". Sang novelis yang baru menulis novel itu tidak menyadari bahwa "p" dalam "memper" bukanlah elemen huruf awal dari kata dasar yang terkena hukum "k", "p", "t", "s" yang luluh ketika mendapat imbuhan.

Apakah dalam kompetisi linguistik sang pemenang adalah pemenang yang sesungguhkan atau yang sejati? Seperti dalam proses kompetisi pada bidang lain, selama perjalanan waktu belum berakhir, tak ada yang disebut pemenang sejati. Sejarah kata memperlihatkan bahwa pengguna kata generasi hari ini bisa dikoreksi oleh generasi yang akan datang. Itu sebabnya seorang penulis masalah kebahasaan pernah bilang bahwa dalam pemakaian bahasa, yang berlaku adalah soal mode, artinya: ganti zaman bisa ganti mode. Dengan demikian, "memenangkan" yang diubah jadi "memenangi" oleh generasi kini bisa saja akan direvisi oleh angkatan  beberapa dasawarsa mendatang.

Ada kasus yang bisa menjelaskan fenomena ini. Sepuluh tahun lalu, awak pers bergairah menggunakan kata keterangan "utamanya" alih-alih "terutama". Bentukan baru itu agaknya mengambil dasar analogis pada "khususnya". Kini pengguna "utamanya" tak segencar satu dasawarsa lalu. Jadi begitulah watak sebuah mode. Saat orang sudah bosan dengan mode lama, muncullah mode baru, yang pada akhirnya ditinggalkan untuk diganti dengan yang baru atau kembali pada yang lama.

Sumber: Antara, Kamis, 27 Desember 2012

Wednesday, December 26, 2012

Penyair Korea Baca Puisi di PPN Jambi

JAMBI, KOMPAS.com--Panitia Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI Jambi mengungkapkan penyair Korea Selatan yang telah memastikan diri hadir pada helatan penyair se-Asia Tenggara tersebut dan akan tampil membaca puisi di panggung ekspresi.

"Penyair Korea Selatan, Eom Gangsim akan turut tampil mengisi panggung malam ekspresi pembacaan puisi oleh penyair pada 30 Desember mendatang bersama para penyair Asia Tenggara dan Indonesia lainnya secara bergiliran," kata sekretaris PPN VI, Jumardi Putra di Jambi, Rabu.

Karenanya, tambah dia, publik tanah air jangan hanya kenal budaya Korea sebatas tarian Gangnam Style, K-Pop, boyband, atau fesyen dan sinetronnya semata, karena Korea pun punya penyair dan sastra yang kuat yang patut juga di apresiasi oleh publik dunia.

Selain penyair Korea Selatan, kata Jumardi, salah seorang perwakilan penyair dari Malaysia dan Thailand juga akan tampil di panggung membacakan puisinya.

Dari Tanah air sedikitnya akan tampil 15 penyair seperti deklamator handal Asrizal Noor dari Jakarta, Tan Lio Ie dari Bali, penyair legendaris Sutardji Colzoum Bachri, penyair Irmansyah dari Sumbar, D Kemalawati dari Aceh.

Sementara dari Jambi empat orang penyair seperti Dimas Arika Mihardja, Ary Mhs Ce’gu dan penyair bertopeng Yupnical Saketi. Kesemua mereka memang dikenal juga sebagai deklamator (pembaca puisi) yang handal selain sebagai penulis puisi,” ujar Jumardi.

Menurut dia, panggung ekspresi yang disiapkan panitia adalah salah satu wahana yang terbuka untuk umum, sehingganya publik Jambi dapat memanfaatkan kesempatan tersebut secara terbuka untuk dapat menonton dan menyaksikan gaya pembacaan puisi penyair secara langsung dan gratis.

Panggung ekspresi untuk malam pertunjukan tersebut, tambah dia, sengaja di siapkan panitia dengan desain unik yakni di tengah kolam renang Tepian Ratu hotel Sang Ratu.

”Tidak hanya di panggung remis tersebut, pertunjukan pembacaan puisi juga akan digelar di komplek percandian Muarojambi bahkan juga akan ada pertunjukan baca puisi di atas ketek atau perahu wisata menyusuri sungai batanghari dari Tanggo Rajo kota Jambi sampai ke komplek percandian,” ungkapnya.

Di sisi lain diakuinya, tidak semua penyair yang hadir peserta PPN yang jumlahnya diperkirakan akan mencapai 300 orang tersebut akan tampil membaca puisi di panggung ekspresi, karena memang pada dasarnya tidak semua penyair adalah deklamator, banyak yang penyair hanya mahir sebagai penulis puisi tpi tak mahir membacakan, hanya sebagian saja yang juga deklamator atau performer dan aktor teater.

Selain pertunjukan baca puisi yang diberi tajuk ’Internasional Poets Gathering’ sebagai materi utama adalah Seminar Kesastraan Nusantara yang akan menampilkan para pemakalah dari negara-negara peserta dimana seminar akan berlangsung selama tiga hari dari 28 hingga 31 Desember. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 26 Desember 2012

Bahasa Jambi Temasuk Induk Bahasa Nusantara

JAMBI, KOMPAS.com--Ketua Dewan Kesenian Jambi (DKJ) Aswan Ashari mengungkapkan dari beberapa literatur yang ditulis peneliti tentang Jambi termaktub dugaan tentang bahasa Melayu Jambi termasuk induk dari bahasa Melayu di nusantara dan bahasa Indonesia.

"Ini adalah khasanah yang patut dibanggakan orang Jambi, karena dari literatur atau buku-buku penelitian para ahli bahasa dan budaya bahkan banyak yang memaparkan dugaan seperti itu, salah satunya Uli Kozok, salah seorang peneliti dari Hawai University," kata Aswan di Jambi, Selasa.

Aswan mengungkapkan hal tersebut saat kegiatan pelatihan penulisan kritik sastra dan penulisan kreatif karya puisi yang diselenggarakan Kantor Bahasa Jambi dengan menghadirkan sastrawan Agus R Sarjono pada 19-20 Desember, sebagai satu rangkaian dari agenda Pertemuan Penyair Nusatara (PPN) VI di Jambi pada 28-31 Desember mendatang.

Ia mengutip hasil penelitian Uli Kozok yang meneliti tentang bahasa dan naskah Melayu tertua di dunia peninggalan zaman Adiyawarman, Raja Pagaruyung di Sumbar yakni Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dari Kerinci pada 2006.

Menurut para ahli dan Uli Kozok, salah satu indikasi untuk mengukur atau memperkirakan tua tidaknya bahasa satu daerah itu adalah dari melihat banyaknya dialek bahasa tersebut, dan bahasa Jambi menurut mereka memiliki lebih dari 500 hingga 1.000 dialek.

Khususnya Uli Kozok yang meneliti bahasa Kerinci tentu saja mengambil sampel tersebut dari bahasa Kerinci yang masyarakat penggunanya diyakini juga sebagai salah satu suku proto-Melayu yang masih ada saat ini, di mana dialek bahasa Kerinci memang paling banyak di antara bahasa daerah lainnya.

Di Kerinci, tambah dia, dialek bahasa yang digunakan masyarakatnya sudah berbeda di setiap desa, bahkan ada yang sudah berbeda dialek pada dua desa bertetangga yang hanya dipisahkan oleh parit kecil.

Namun, tentu saja dugaan-dugaan sebagian para ahli dan peneliti itu tidak bisa dijadikan kesimpulan, karena harus ada penelitian lain untuk menguji dan menggalinya lagi.

"Hanya saja, sebagian rakyat Jambi semestinya harus menyikapi dan mengapresiasi kondisi tersebut dengan menumbuh kembangkan sikap apresiatif positif yang diwujudkan dengan tumbuhnya kesadaran untuk bangga dan selanjutnya berkeinginan menggali khasanah tersebut guna dijadikan identitas berbudaya," tegasnya. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 26 Desember 2012

Monday, December 24, 2012

Penyair Se-Asia Tenggara Baca Puisi di Muarojambi

JAMBI, KOMPAS.com--Panitia Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi sebagai penyelenggara pertemuan penyair se-Asia Tenggara akan menggelar acara baca puisi oleh para peserta di kawasan Candi Muarojambi.

"Salah satu agenda penting kita adalah Internasional Poets Gathering, yang tidak saja diikuti para penyair Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Singapura, Kamboja, dan Brunei Darussalam sebagai peserta PPN VI, tetapi juga penyair perwakilan dari Korea Selatan dan Perancis, di Candi Muarojambi," kata Direktur PPN VI Jambi Ramayani di Jambi, Senin.

Ia mengatakan Candi Muarojambi adalah salah satu khasanah budaya klasik teramat penting di Jambi merupakan peninggalan kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-11, khasanah tersebut telah ditetapkan presiden SBY sebagai kawasan wisata terpadu pada 2010 dan telah diusulkan ke Unesco untuk masuk daftar warisan dunia.

Di salah satu candi terpenting dan terbesar panitia PPN VI akan membangun panggung khusus tempat pembacaan puisi oleh para penyair dunia dan nusantara yang menyatu dengan pelataran candi.

"Penyair peserta akan diboyong berwisata ke aset wisata andalan Jambi tersebut dan di tempat yang dituju telah disiapkan panggung pembacaan puisi selain sebagai agenda acara juga secara langsung menjadi salah satu wahana komunikasi, edukasi dan hiburan langsung bagi para wisatawan dan masyarakat di tempat tersebut," ujarnya.

Selain itu, tambah Ramayani, selama berada di objek wisata sejarah yang amat penting bagi peradaban nusantara tersebut para penyair juga diharapkan untuk melakukan satu proses trnasformasi ide menjadi karya puisi atau tulisan lainnya.

Selanjutnya nanti akan diterbitkan pula dalam bentuk buku oleh panitia guna ditransformasikan kepada pulbik luas yang ingin mengenal candi Muarojambi lebih mendalam dengan cara unik  dari sudut pandang penyair.

"Sebenarnya panggung baca puisi di candi yang akan digelar pada 30 Desember tersebut bukanlah satu-satu panggung ekspresi bagi penyair dan tontonan bagi publik, namun juga telah dibangun dan disediakan panggung pertunjukan lainnya di arena acara Seminar PPN yakni di Hotel Shang Ratu," ujar dia.

Panitia, kata dia, juga telah membangun panggung atau pentas di atas air di tengah-tengah kolam renang Tepiang Ratu di hotel Shang Ratu tempat penyelenggaraan seminar internasional sastra nusantara selama tiga hari dari 29 hingga 31 Desember nya.

Selain itu, selama perjalanan wisata menyusuri sungai Batanghari menuju komplek candi panitia juga telah mengagendakan pembacaan puisi di atas ketek wisata yang disiapkan panitia.

"Jadi selama perjalanan menyusuri sungai Batanghari pun para penyair peserta PPN VI pun sudah langsung dapat berekspresi membaca puisi di atas ketek wisata tersebut karena panitia sudah menyiapkan pula pentas sederhana di atas perahu itu, ini pastinya akan menjadi pengalaman dan performance art yang sangat menarik serta unikbagi penyair peserta," katanya.

Helatan PPN VI akan berlangsung dari 29 hingga 31 Desember di Hotel Shang Ratu, dengan materi utama seminar nasional, nusantara dan internasional mengenai perpuisian nunsantara, namunpara peserta diperkirakan sudah mulai hadir di Jambi semenjak 27 dan 28 Desember.

"Kita hanya ingin menjadikan helatan PPN VI yang kebetulan berteatan dengan momentum pergantian tahun ini bisa berkesan dan menjadi kado tahun baru yang indah bagi para pekerja sastra khususnya penyair nusantara dan dunia yang hadir di Jambi saat itu, bahwa Jambi juga memiliki tradisi sastra dan tentang sejarah kesastraan yangg patut diperbicangkan di semua level kehidupan baik nasional, regional juga internasional," kata Ramayani. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 24 Desember 2012

Warisan Pemikiran Inspiratif Berbangsa

-- Sukardi Rinakit

KETIKA para mantan kolega Pak Moerdiono di Sekretariat Negara, seperti Lambok Hutabarat dan Syafrudin Bahar, mengatakan bahwa Pak Moerdiono itu orang baik, Dewi Motik langsung memberi penegasan mengenai hal itu. Seluruh hadirin yang mengikuti peluncuran buku kumpulan pemikiran Moerdiono, Bagimu Negeri, juga mengamini.

Bagi saya, Pak Moerdiono, yang biasa dipanggil Pak Moer, bukan saja sebagai orang baik, melainkan juga figur panutan. Loyalitas, ketelitian, dan baktinya pada Tanah Air begitu menginspirasi. Ajaran baku yang selalu penulis terima setelah kami berdiskusi banyak hal, sambil berjalan beriring dan menggandeng tangan saya di setiap akhir pertemuan, dia selalu berpesan, ”Jadi orang baik, loyal, dan tegakkan Pancasila. Itu yang terpenting dalam bernegara.” Saya mengangguk dalam diam.

Secara keseluruhan, seri Bagimu Negeri yang terdiri dari tiga jilid ini membahas rangkaian pemikiran Pak Moer yang terhampar luas selama satu dekade (1988-1998). Buku pertama berisi pemikiran mengenai ideologi dan kehidupan berbangsa-bernegara. Buku kedua membahas praktik birokrasi dan aparatur negara. Buku ketiga menyoroti tantangan dan peluang globalisasi bagi Indonesia.

Siapa pun yang tumbuh di era Orde Baru secara umum pasti merasakan sosialisasi ideologi Pancasila yang menjemukan. Selain tafsir tunggalnya, figur-figur yang menjadi ujung tombak sosialisasi, jika tidak boleh disebut indoktrinasi, juga cenderung berpikiran tertutup. Dalam atmosfer kejumudan seperti itu, Pak Moer justru bersikap sebaliknya. Ia menjadi salah satu pionir yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Padahal ketika itu, dia berada di lingkaran dalam kekuasaan.

Sikap politik yang mencerahkan itu dimaksudkan sebagai upaya penegasan kembali jalan pikiran para bapak bangsa—bahwa sejak semula Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka. Pancasila adalah panduan berbangsa dan bernegara sekaligus lentur mengikuti dinamika masyarakat yang tuntutannya berkembang seiring dengan capaian pembangunan nasional.

Dalam konstruksi pemikiran seperti itu, selain sebagai nilai dasar yang merupakan kesepakatan bersama para bapak bangsa, Pancasila juga mempunyai nilai instrumental dan praksis. Nilai instrumental merujuk pada model dan kinerja sistem politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sensitif terhadap perkembangan masyarakat. Adapun implementasi nilai praksis menyangkut orientasi politik dan perilaku warga negara sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut, ketika orientasi politik rakyat mengarah ke tuntutan demokratis dan perdebatan mengenai demokrasi semakin mengemuka, Pak Moer dengan cara halus mengingatkan bahwa rakyat pada akhirnya akan berpihak pada kepemimpinan demokratis dan meninggalkan yang fasistis.

Ilustrasi yang dipergunakan untuk menunjukkan fenomena tersebut adalah mudahnya para pendiri republik bersepakat mengenai gerakan anti-imperialisme, persatuan dan kesatuan, dan perwujudan masyarakat adil makmur. Namun, mereka berdebat berkepanjangan jika masalahnya mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Sehubungan dengan hal tersebut, sejarah mencatat, pada tahap awal, kekuatan fasis memang memenangi kontestasi politik. Namun pada ronde kedua, rakyat yang sadar akan harga dirinya akhirnya mengalihkan dukungan kepada kepemimpinan demokratis, yang secara mendasar memanggul jati diri, aspirasi, dan kepentingan rakyat.

Meski demikian, realitas tersebut tidak serta-merta membuat demokrasi terkonsolidasi. Kualitas demokrasi yang berlaku tetap tergantung pada kematangan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat tidak mengenal kompromi, miskin toleransi, dan menyukai jalan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat, demokrasi dipastikan defektif. Oleh sebab itu, strategi membangun demokrasi berdasarkan tradisi politik yang demokratis menjadi sangat penting.

Pemikiran demokratis yang ada di dalam diri Pak Moer tersebut, menurut saya, berakar dari kesadarannya yang dalam sebagai aparatur negara. Sebagai seorang yang seluruh karier hidupnya bersentuhan dengan administrasi negara, dia menyadari sepenuhnya bahwa negara dan pemerintah dibentuk untuk melayani masyarakat. Dalam konteks ini, negara dan pemerintah akan hadir dan ikut campur kalau ada golongan masyarakat yang dirugikan atau tidak dapat mewujudkan aspirasinya dengan kekuatan sendiri.

Agar kehadiran pemerintah tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat, birokrasi sebagai sarana dan wahana pemerintah dalam melayani masyarakat harus bersih dan tertib. Hanya pengendalian dan pengawasan yang keras, berdisiplin, serta berlanjut akan mampu menjaga mekanisme birokrasi tersebut tetap kredibel.

Kondisi seperti itu, bersama-sama dengan pembangunan hukum nasional dan peranan pers yang bebas serta bertanggung jawab, menjadi bagian integral dari kemampuan Indonesia menghadapi globalisasi, yang di dalam geraknya mengandung tantangan dan peluang sekaligus. Secara ideologis, titik toleransi bisa diterima sejauh globalisasi mewujud dalam liberalisme yang sudah disempurnakan. Maknanya, menjunjung hak asasi manusia, jaminan sosial, lingkungan hidup, serta keberpihakan pada usaha kecil dan menengah.

Ringkasnya, kita tidak akan mengompromikan nilai-nilai dasar kebangsaan seperti kebersamaan, persatuan, dan kesatuan hanya demi memperoleh manfaat dari sistem perdagangan bebas dunia.

Mencermati seluruh pemikiran tersebut, siapa pun akan berkesimpulan bahwa Pak Moer bukan hanya aparatur negara yang loyal, melainkan juga pemikir. Oleh sebab itu, bagi siapa pun yang ingin menegakkan prinsip bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi, buku seri Bagimu Negeri ini akan menginspirasi.

Di luar itu semua, yang paling penting adalah fakta bahwa Pak Moer itu orang baik.

Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber: Kompas, Senin, 24 Desember 2012

Sunday, December 23, 2012

Seni dan Hubungan Harmoni

 -- Isbedy Stiawan Z.S.

UNTUK melihat suatu daerah dapat dikatakan harmoni, lihat kehidupan kesenian di sana tidak mati, kata Taufik Rahzen.

Kesenian, setelah agama dan filsafat, sudah barang tentu memiliki peran bagi keseimbangan (harmoni) kehidupan manusia. Kesenian dipandang mampu menyelaraskan hubungan antarmanusia. Kalau seni sebagai bentuk ekspresi seorang seniman dalam melihat fenomena dan hubungan manusia yang ada, tentu masyarakat penikmat akan merasakan getarnya.

Getar itu akan menyublim dalam jiwa dan hati manusia. Setelah itu menjadi sinyal dalam kehidupan nyata ini. Seni yang baik selalu akan mengantar getaran-getaran kepada penikmatnya. Atau dengan kata lain, membawa sentuhan halus ke dalam hati penikmatnya.

***

TEMA Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa 3 di Pangkor, Perak, tahun 2012 ini, yaitu Meningkatkan harmoni menerusi seni amat sejalan dengan harapan tiap manusia.

Manusia pada hakikatnya ingin hidup harmoni (seimbang) di mana pun ia tinggal. Oleh karena itu, tema ini relevan sekali dengan kehendak tiap-tiap manusia maupun bangsa.

Tatkala politik, ekonomi, serta sosial yang akhir-akhir ini di hampir semua negara/bangsa semakin karut-marut, maka kesenian dapat berperan di dalamnya untuk menjadi penyeimbang kehidupan manusia. Apatah lagi kita tahu, bahwa seni sifatnya universal. Tidak bisa tidak atau mau atau menolak, seni bisa diterima oleh bangsa mana pun.

Kalau saja kesenian hanya berada (ada) dalam sekat-sekat (kotak) kenegeraan/kebangsaan, tentu karya-karya seni pemenang Nobel semacam novel Doctor Zhivago Boris Pasternak hanya bisa dipahami oleh bangsa Rusia.

Begitu pun puisi-puisi Chairil Anwar yang dikenal menggelorakan semangat juang bangsa Indonesia, serta karya-karya Pramudya Ananta Toer (Indonesia) tak bisa dipahami oleh pembaca di Malaysia, sekiranya apa yang ada dalam karya-karyanya tak universal.

Hal sama manakala saya, yang dari Indonesia, dengan riang dan bisa memahami karya-karya seni?dalam hal ini puisi?dari teman-teman sastrawan di Malaysia, Brunei, serta Singapura.

Karya seni tidak akan lahir jauh dari pijakan buminya, atau mengasingkan diri dari kehidupan manusia yang membuat ia lahir. Adakah, kalau memang ada tunjukkan, karya seni yang lahir melulu permainan khayalan (imaji) tanpa adanya sebelum itu sentuhan dari kehidupan manusia di mana karya seni itu lahir?

Ada banyak seniman, dari literatur ihwal proses kreatif mereka, hampir dipastikan terlebih dahulu bersentuhan dengan manusia. Dalam hal ini, bisa saja hanya mengamati atau berdialog langsung.

***

BAGAIMANA peran seni dalam meningkatkan (hubungan yang) harmoni bagi manusia? Memang tidak seluruhnya peran ini mesti dibebankan ke tubuh seni. Tetapi, sekali lagi, kita tak dapat sepenuh berharap dari ekonomi, politik, ataupun sosial mampu menyelaraskan (menyeimbangkan) hubungan manusia.

Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh ihwal hubungan harmoni atau tak harmoni antarbangsa. Cukup tengok bagaimana belakangan ini hubungan bilateral?di dalamnya tentu ada muatan politik?antara Malaysia dengan Indonesia.

Dari soal pulau sampai ke masalah klaim produk kebudayaan, seperti reog dan sebagainya. Ketidakharmonian kedua bangsa ini bukan didasari oleh semata produk budaya (seni), melainkan lebih kepada masuknya sekaligus rancunya politik di masing-masing negara.

Padahal, seni sebagai karya yang cenderung mimesis (peniruan), individu-individu dari bangsa ini punya peran sebagai desain. Reog yang merupakan salah satu karya budaya orang Jawa Timur (Indonesia) bisa saja secara fasih dimainkan oleh orang Malaysia yang bersuku Jawa Timur.

Sementara hubungan pelaku seni (seniman) di kedua bangsa ini?Malaysia dan Indonesia?sejatinya tetap tetap berlangsung amat harmoni. Para seniman?khususnya sastrawan Malaysia?kerap diundang ke Indonesia, begitu pun sebaliknya.

Dalam hubungan yang harmoni di bidang sastra, beberapa negara ASEAN misalnya membentuk Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), kemudian Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) bagi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei; serta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) yang melibatkan Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, Thailand.

Artinya, kesenian sebagai karya yang universal dapat diterima tanpa perlu sekat-sekat bernama negara dan politik. Di sinilah, barangkali, pentingnya peran seni dalam meningkatkan hubungan yang harmoni?baik antarmanusia maupun antarbangsa.

Para seniman yang yang lebih mengedepankan hidup seimbang, selaras, proporsi, serasi, sesuai, teratur, konsistensi, tertib dalam karya-karyanya, sangat mungkin punya peran mengantar manusia dalam berhubungan secara harmoni.

Rasa-rasanya?sudah pasti!?tak satu pun karya seni menjad corong kesesatan?dan menyesatkan?manusia lain sebagai penikmat. Kalaulah ada, mesti dipertanyakan kekaryaseniannya itu.

Seniman dengan ?kebebasan? kreatifnya, akan selalu menyuarakan ?jalan lempang (lurus)? bagi manusia banyak. Dia berada di tengah-tengah kekarut-marutan politik, ekonomi, sosial dengan memberi solusi keselarasan.

Sayangnya, peran-peran seni dalam menciptakan hubungan yang harmoni baik secara individu ataupun antarmanusia, kurang mendapat perhatian negara. Minimnya cos bagi kesenian dibanding politik ataupun pariwisata (ekonomi) menunjukkan negara telah menomorsekiankan seni.

Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa di Pangkor yang tahun ini sudah ketiga kalinya digelar, bisa dijadikan pijakan guna membangun hubungan yang harmoni antarbangsa melalui seni.

Jika politik mencerai-beraikan (kita), seni yang (akan) menyatukan.

Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2012
           





[Buku] Di Ambang Negara Gagal

Data buku

Menghadang Negara Gagal

Dr. Adhyaksa Dault

Rene Book Jakarta

I, Agustus 2012

350 hlm.

KEBERADAAN sampul belakang buku ini langsung menyergap perhatian begitu tertulis bahwa menurut sebuah lembaga riset Amerika Fund for Peace, di tahun 2012 ini mengeluarkan catatan atas indeks negara gagal dan menempatkan Indonesia sebagai negara ?dalam bahaya?, dengan peringkat ke 63 dari 178 negara.

Tentu saja, indikatornya adalah meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan aspek lainnya yang itu meliputi soal pemerataan pembangunan, protes-protes kelompok masyarakat, dan lain sebagainya.

Sejenak merenung atas informasi singkat atas hasil riset sebagaimana tersebut di atas, tentu saja membuat kita miris hati. Memang, jika dirunut ke dalam keadaan dalam negeri kita, indikator riset itu bisa langsung dibilang ada benarnya. Misalnya saja dalam aspek protes kelompok masyarakat. Boleh dikata setiap hari, baik di media cetak maupun elektronik, kita selalu menjumpai berita mengenai demonstrasi. Ketidakpuasan atau tuntutan atas hal tertentu yang berkaitan dengan kebijakan negara selalu disuarakan oleh banyak kelompok masyarakat. Hal ini jelas menunjukkan masih banyaknya ketidakadilan yang merajalela di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Realitas semacam ini, semestinya memang tidak kemudian didiamkan begitu saja. Mesti ada upaya penanggulangan dan kemudian antisipasi agar keadilan dalam bidang apa pun bisa dirasakan oleh masyarakat luas.

Melalui buku Menghadang Negara Gagal ini, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mencoba mengajak merenung bahwa negara Indonesia semestinya bisa terbebas dari ancaman sebagai negara yang gagal.

Menurut Adhyaksa Dault, salah satu hal yang perlu diperhatikan agar negara tidak menjadi gagal adalah memperhatikan aspek kepemimpinan. Hal ini mulai dari presiden hingga pemimpin pemerintahan paling bawah sudah selayaknya memiliki birokrasi yang tidak terlalu gemuk, kuat, bersih dari korupsi, profesional, dan netral politik (hal. 85).

Tentu, untuk menerapkan hal tersebut di Indonesia, sepertinya tidak mudah. Lihatlah sejumlah kantor pemerintahan, bukankah lebih banyak kelebihan pegawai? Kemudian pada aspek profesionalitas pegawai pemerintah, hal ini juga masih sangat bisa dipertanyakan. Apakah benar rekrutmen pegawai juga bersih dari unsur kolusi dan nepotisme?

Rupanya, amanat reformasi yang selama ini dijalankan memang kurang radikal sehingga masih terasa kurang berefek pada dunia pemerintahan. Misalnya, sudah semestinya memberlakukan hukuman pecat bagi orang-orang birokrasi yang tidak tertib. Jika ?kesalahan kecil hukumannya berat?, niscaya shock therapy semacam itu akan membuat profesional. Hal ini bisa dilihat, di negara maju seperti Jepang jelas sudah diberlakukan. Sebuah kereta api mengalami kecelakaan, maka menteri perhubungannya bisa langsung mengundurkan diri. Nah, mungkinkah hal tersebut diterapkan di Indonesia? Logikanya, sebenarnya bisa, tetapi barangkali memang di antara pejabat yang ada tidak mau secara tegas menerapkan aturan semacam itu.

Jadi, peringatan bahwa Indonesia bisa terjerumus sebagai negara gagal sebagaimana yang dilansir Fund for Peace, dan itu terjadi pada hitungan sepuluh tahun lebih semenjak era reformasi dicanangkan di Indonesia, menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Sekaligus juga menjadi koreksi dan evaluasi apakah benar reformasi memang dijalankan dengan baik? Tentu, dengan menggunakan akal sehat secara ringan saja sudah bisa ditemukan jawabannya.

Oleh sebab itu, kiranya merespons upaya perenungan yang dilakukan Adhyaksa Dault melalui buku ini, bukankah sebenarnya solusi terbaik atas kenyataan ancaman sebagai negara gagal adalah menerapkan kebijakan birokrasi sebagaimana yang sudah diterapkan negara maju seperti Jepang?

Betapa kaum birokratnya tidak segan-segan untuk turun seandainya memang di dalam bekerja tidak menunjukkan profesionalisme. Tentu, kalau itu diterapkan di Indonesia, peringkat atas Indonesia yang terancam sebagai negara gagal akan bebas. Rasa-rasanya, setidaknya bagi saya sebagai warga negara biasa, untuk sementara solusi satu-satunya memang hanya begitu.

Satmoko Budi Santoso, pemerhati dunia perbukuan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2012
           





Menilik Tekanan Batin Seorang Guru dalam Cerpen "Sekolah Babi"

-- Desi Sommalia Gustina

DALAM dunia pendidikan, salah satu hal yang kerap menjadi sorotan adalah sisi ketidakberuntungan siswa dalam mengenyam pendidikan. Pada karya sastra misalnya, seorang atau beberapa orang siswa tak jarang digambarkan sebagai sosok yang tertekan karena beragam hal yang mengepungnya; pelecehan seksual, intimidasi dari teman atau guru, dan sebagainya. Kondisi tersebut misalnya seperti yang dipaparkan oleh Yulita Fitriana dalam tulisannya ‘’Potret Buram Pendidikan’’ dalam Cerpen ‘’Surat Terakhir’’ Karya Cicilia Anggraini Oday, (Riau Pos, 2 Desember 2012).

Tak jauh berbeda dari judul, isi tulisan Yulita tak lain dan tak bukan berbicara mengenai potret buram dalam dunia pendidikan, khususnya yang terdapat dalam cerpen ‘’Surat Terakhir’’ yang ditulis Cicilia Anggraini Oday dan dimuat di majalah Horison, edisi Maret 2011. Potret buram yang dimaksud seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap siswa, hukuman fisik hingga tekanan psikis yang dialami siswa.

Lalu, bagaimana jika kondisinya kemudian terbalik? Gurulah yang justru mengalami tekanan batin yang diakibatkan oleh kenakalan siswa yang seolah tak bisa dibendung karena guru tak lagi dibenarkan memberikan ganjaran berupa hukuman fisik. Karena, jika guru memberikan hukuman fisik terhadap siswa maka akan dikatakan melanggar HAM. Sebagaimana keresahan yang dialami tokoh utama dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ karya Riki Utomi yang terdapat dalam penggalan paragraf berikut: ‘’Lalu, dia katakan bahwa kita selalu disekat oleh HAM. Tak ada lagi tindak langsung dalam mendidik. Jauh-jauh dia lontarkan kisah-kisah masa lalu, tentang datuk moyangnya yang masih muda seperti yang ada di dalam foto hitam putih itu. Tak ada lagi sekarang mendidik yang sesungguhnya, yaitu dengan sebatan rotan, atau layangan yang menurutnya itulah sebuah proses didikan yang mujarab. Kini semua telah disekat oleh sosok HAM. Sebab itu, ia selalu tampak menggigil menahan geram dari rasa amarah yang teramat sangat kepada siswa yang-menurutnya- tak dapat dinasehati dan dididik’’ (halaman 239).

Pertanyaannya kemudian, apakah memberi hukuman fisik kepada siswa yang melakukan kesalahan adalah mutlak perbuatan tercela sehingga masuk dalam kategori melanggar HAM? Jawabnya bisa jadi benar, namun bisa pula tidak. Hukuman fisik yang tak diperbolehkan dilakukan oleh guru kepada murid hemat saya adalah hukuman yang membahayakan keselamatan siswa. Sedangkan dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ yang merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku ‘’Dari Seberang Perbatasan’’ -buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2012- (Yayasan Sagang, Pekanbaru, November 2012) ini, tampaknya tokoh utama yang berprofesi sebagai guru hanya ingin memberikan hukuman fisik -berupa sebatan dengan rotan, kepada siswa yang melanggar aturan. Di samping itu, hukuman yang ingin diterapkan tersebut semata-mata bertujuan sebagai proses pembelajaran kepada siswa. Sanksi menyebat dengan rotan yang dimaksud oleh tokoh utama dalam cerpen ini yang mengalami tekanan batin, tentu bukanlah pukulan yang mematikan atau membahayakan terhadap keselamatan siswa.

Memberikan hukuman fisik untuk tujuan pembelajaran terkadang diperlukan. Sebagaimana kita ketahui, dalam ajaran Islam misalnya, orangtua diperbolehkan untuk memukul anaknya jika pada usia tujuh tahun tidak melaksanakan salat. Perintah memukul anak jika pada usia tujuh tahun tidak melaksanakan salat tersebut tentu bukanlah sebuah pukulan yang membahayakan terhadap keselamatan si anak, melainkan pukulan yang bertujuan menjadikannya sebagai cambuk agar anak taat menjalankan ibadah salat lima waktu yang menjadi tiang agama. Hemat saya, begitupun dengan menyebat dengan rotan yang dimaksud tokoh utama dalam cerpen ini, tindakan menyebat dengan rotan yang ia maksudkan adalah sebuah cambuk agar siswa memiliki kesadaran mentaati aturan dan memiliki akhlak yang baik. Sebuah nilai yang memang semestinya ditanamkan ketika seorang anak masih duduk di bangku sekolah.

Siapapun tahu sekolah merupakan tempat menempa pendidikan, yang tentu saja tidak sekadar tempat proses mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Sekolah sudah seharusnya menjadi pusat pendidikan beragam hal; pendidikan akhlak, mental, di samping juga tempat pembentukan karakter. Sebagai tenaga pendidik, tidaklah berlebih jika dikatakan guru memiliki andil besar dalam pembentukan sebuah generasi. Namun apa jadinya jika seorang guru dalam menjalankan tugasnya diselimuti oleh tekanan batin yang berkepanjangan, yang kemudian berbuntut pada sikap di dalam kelas. Umpamanya menjalankan kewajiban mengajar dengan keterpaksaan, sebatas menggugurkan tugas yang telah tersandang di pundaknya, atau sekadar menyampaikan materi pelajaran di kelas. Tak lebih. Seperti yang terlihat dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ ini. Dan ironisnya, seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik justru mempersamakan anak didiknya dengan binatang. Tentu saja sikap yang demikian akan berpengaruh pada anak. Baik karakter, mental, perangai dan lain-lain.

Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa seorang guru berlaku demikian? Jika ditilik cerpen ini, guru tersebut mengalami tekanan batin akibat peraturan-peraturan yang mengekangnya. Yang membuatnya tidak leluasa dalam menjalankan profesi sebagai pendidik. Peraturan yang menyandera tokoh utama dalam cerpen ini adalah batasan pelanggaran HAM yang membuatnya merasa dikekang. Sehingga tokoh utama dalam cerpen ini mengalami stress dan tak bisa mengelak untuk tidak mempersamakan anak didiknya dengan binatang. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat ironis, karena bisa dikata guru adalah salah seorang arsitek peradaban. Sehingga, apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan akan berdampak pada masa depan sebuah generasi. Sebab pengalaman masa lalu adalah pelajaran berharga bagi anak. Karena kata Goleman, jika anak terbiasa hidup dengan kecaman dan cemoohan, maka kelak ia akan pandai menyalahkan.

Cerpen ‘’Sekolah Babi’’ ini memiliki pesan bahwa perbaikan bidang pendidikan memang harus dilakukan sungguh-sungguh. Terutama dalam hal perbaikan kualitas guru. Misalnya dengan meninjau ulang peraturan yang mengekang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Hal ini bertujuan agar guru mampu menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Bisa menjadi teman, punya kehangatan, memiliki wibawa, tegas, namun tetap punya otoritas. n

Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau. Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Desember 2012

Dialektika Tom Ibnur: Sebuah Catatan Proses Kreatif Karya Tari

-- Aristofani Fahmi

DUA malam berturut-turut Tom Ibnur (60) menyajikan karya tari yang berjudul ‘’Zapin Al Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’. Kedua karya ini disusun berdasar hasil penelitian terhadap ragam zapin Melayu yang bertebaran di Provinsi Jambi yang dikombinasikan dengan ragam gerak zapin Arab.

Menurut Tom Ibnur, zapin Arab memiliki gerak, gaya dan karakter yang bisa dikatakan mirip di hampir semua kawasan Arab. Sedang zapin Melayu memiliki ragam dan karakter yang berbeda di tiap daerah di Jambi. Keduanya kemudian diinterpretasi secara kreatif menjadi gerak yang disusun berdasar prinsip-prinsip koreografi. Musik yang disusun apik oleh Anggara Satria (27) juga memberi sentuhan yang berbeda dan segar. Dalam menyusun musik, komposer muda Pekanbaru ini seperti menawarkan dunia baru musik zapin Melayu. Melodi khas zapin Melayu dibalut dalam progresi akor yang lazim terdapat pada musik rock. Kedua karya tari itu ditampilkan pada perhelatan Temu Zapin ASEAN 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru pada 30 November dan 1 Desember 2012.

Tulisan ini bukan ulasan karya tersebut, hanya sekadar catatan kecil proses kekaryaan. Atau, dengan kata lain, peristiwa apa yang terjadi di balik karya tersebut. Hal ini menarik, sebab menurut saya, pertemuan koreografer Tom Ibnur dan komposer Anggara Satria merupakan fenomena ideal dalam proses kekaryaan tari-musik. Ideal, sebab memilih jalan sunyi kreatifitas di tengah hiruk pikuk karya tari-musik pesanan instan, yang menjangkit di hampir seluruh sanggar seni di Indonesia, tak terkecuali di kota Pekanbaru. Perbedaannya terletak pada kedalaman makna.
***

Nama Tom Ibnur dan zapin Melayu seperti tak bisa dipisahkan. Posisi sebagai penari, pengajar dan juga peneliti tari zapin, menjadikannya sebagai penjaga terakhir keberlangsungan hidup tari zapin. Interaksi Tom dengan zapin Melayu Jambi sudah terbangun selama puluhan tahun. Hasilnya, ratusan dokumentasi ragam gerak zapin di seluruh pelosok Nusantara, tertata rapi di ruang kerjanya di sanggar tari Langkan Budaya Taratak besutannya. Pada obrolan ringan, Tom mengutarakan model revitalisasi yang diterapkannya adalah merawat hubungan dengan pelaku zapin tradisi. Cara ini berhasil mengurai batas personalitas antara dirinya dengan para penari tradisi yang sejatinya adalah mata budaya zapin melayu. Pengembaraannya dengan zapin Melayu menjadikannya sebagai pengajar tamu di beberapa perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Festival Zapin Nusantara dua tahunan di Johor Bahru yang sudah dilaksanakan tiga kali pada tahun 2011 silam, adalah hasil kerja keras Tom Ibnur dalam upaya memberi ruang terhadap keberlangsungan hidup tari zapin  dan perkembangannya.

Revitalisasi seni tradisi memang tak harus diukur dengan besaran uang yang diberikan- sebagaimana banyak diterapkan pada program revitalisasi seni ala pemerintah. Terutama jika aroma proyek lebih terasa dari pada substansi revitalisasi itu sendiri. Tom Ibnur juga sesekali memberi bantuan finansial ke beberapa sanggar atau penari tradisi, yang sepenuhnya untuk keperluan sanggarnya; misalnya untuk kostum, alat musik peralatan rias atau keperluan lain. Namun, menurutnya,  yang paling penting adalah komunikasi kekerabatan dengan pelaku seni tradisi yang mampu melestarikan kehidupan kesenian tradisi. Sebab dari komunikasi itulah peta persoalan seni tradisi terlihat jelas.

Belum banyak yang mendengar nama Anggara Satria sebagai seorang komposer di Pekanbaru. Namun dengan kemampuan musikalitas yang dimiliki membuatnya terpilih menjadi salah satu komposer pada penutupan Pekan Olah Raga Nasional dan pembukaan Pekan Paralimpik Nasional yang dihelat di Riau beberapa waktu lalu. Jalur musik yang dijalani Anggara terbilang unik. Kegemarannya mengeksplorasi melodi maupun pola kendang tradisi adalah salah satu khas dari karyanya.

Bekal musikalitas Anggara cukup beragam. Pendidikan musik formalnya ditempuh di Akademi Kesenian Melayu Riau (sekarang Sekolah Tinggi Seni Riau). Angga sadar bangku kuliah tak cukup untuk mengembangkan pola pikir dalam berkarya maupun berwacana musik. Adalah almarhum Ben Pasaribu yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap wawasan bermusiknya. Bagi Angga, Ben adalah motivator dan pembuka jalan bagi perkembangan dirinya. Ben Anggara dikenalkan dengan komposer asal Amerika Alex Dea yang karyanya cukup berpengaruh dengan genre 20 century, komponis asal Jerman Vincen Mc Dermott, musikus elektronik asal Jogjakarta almarhum Sapto Raharjo dan komposer musik elektro akustik Fahmi Alatas asal Jakarta.
***

Pertemuan Tom Ibnur dan Anggara Satriya adalah peristiwa oposisi identitas. Dalam teori perubahan sosial, Hegel menyebutnya sebagai proses dialektika. Koreografi Tom Ibnur sebagai sebuah tesis, sementara musikalitas Anggara Satria sebagai antitesis. Dialektika Hegel menyatakan, segala sesuatu memiliki oposisinya. Tanpa oposisi sesuatu tak dapat dimengerti dengan jelas. Pada karya ‘’Zapin Al-Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’, tari dan musik beroposisi dalam ruang lingkup estetika. Keduanya berproses, untuk mencapai sintesis atau identitas baru estetika tari-musik.

Oposisi yang terjadi pada  karya ‘’Zapin Al-Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’, harusnya juga pada proses kekaryaan yang lain, terjadi saat proses latihan. Segala unsur pada tiap identitas (tari dan musik) bergerak menuju puncak kreatifitasnya masing-masing. Di sanalah terjadi kompromi, kesepakatan yang kadang dilalui dengan perdebatan yang panjang. Menurut Magnis-Suseno, ‘Dialektika Hegel’ selalu terkandung tiga hal, yakni menyangkal, menyimpan dan mengangkat. Konsep koreografi Tom Ibnur dihadapkan dengan konsep musik Anggara yang menegasikannya, kemudian negasi tersebut dinegasi lagi dan diangkat sehingga mencapai pada konsep estetika yang utuh. Dalam negasi ini hanya yang salahlah yang dibuang.

Tom mengatakan, proses negasi dalam kekaryaannya bukan hanya tentang bagaimana gerak dan bunyi disajikan. Keduanya perlu proses yang panjang untuk dapat menemukan kesepakatan sehingga daya pikir dan rasa dapat seimbang bagi seluruh pendukung karya. Sebagai contoh, pada proses karya ‘’Batas Budi Kaki Langit Biru’’ untuk pergelaran Indonesian Dance Festival Juni 2012 lalu, proses negasi antara Tom dan Anggara terjadi tak sekali dua kali kemudian jadi. Pada karya ini, Tom bermain di wilayah eksistensi manusia dan Tuhan. Gerak-gerak sederhana yang repetitif menjadi pilihan utama. Di sini, musik ditantang lebih kreatif untuk tak sekadar menghadirkan bunyi. Tom mengisahkan, pada bagian gerak tertentu karya tersebut Anggara membuat iringan yang menurut konsep koreografinya tidak cocok. Tentu saja kejadian ini adalah masalah penafsiran bebas komposer terhadap konsep. Namun proses latihan sempat terhenti untuk sementara. Setelah melalui diskusi panjang dan rinci, ternyata karakter bunyi instrumen yang dipilih dianggap tak cocok mengangkat suasana.

Proses negasi lain dalam karya Tom ini terjadi saat musik telah selesai dibuat untuk setiap bagian koreografi. Musik yang disusun Anggara terlalu kuat menonjolkan diri sebagai sebuah komposisi musik sehingga cenderung mengalahkan tarian. Musik dibuat sangat indah dan menggetarkan. Tom sadar bahwa musik tersebut memiliki kekuatan yang berakibat pada beralihnya perhatian apresiator kepada kekuatan musik, alih-alih pemusatan perhatian kepada karya tari. ‘’Untuk itu saya minta Anggara menyederhanakannya,’’ kata Tom usai pentasnya di Gedung Idrus Tintin malam itu. Fenomena penyederhanaan musik itu merupakan sintesis dari konsep awal tari yang ditafsir Anggara. Sintesis itu kemudian menjelma menjadi tesis baru.
***

Perlu digarisbawahi adalah, Tom sadar akan kekuatan musik yang berdampak pada karyanya. Inilah yang perlu dimiliki tiap koreografer. Diperlukan sensitifitas terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya pada saat berproses. Sensitifitas itu dapat dicapai dengan evaluasi secara kontinyu. Selain itu, penting juga berdialog dengan orang lain, pada diri sendiri, bahkan berdialog pada karya itu sendiri. Akhirnya Hegel mengatakan, ‘’Dialektika ini akan mengarah pada penemuan keutuhan dalam roh yang sadar diri,’’ dalam hal ini karya itu sendiri.

Tom Ibnur dalam menentukan musik sebagai oposisi karyanya tak hanya menitikberatkan pada perihal estetika. Menurut Tom, ada empat syarat utama dalam bekerja kreatif bersama komposernya. Pertama, memiliki kemampuan musikalitas yang baik. Kedua, rendah hati, penuh kompromi dan jujur. Selain hal-hal itu, sosok Anggara yang tak terikat pada satu institusi (sanggar seni) tertentulah yang menjadi hal menarik bagi Tom. Artinya, ada kebebasan pribadi yang melekat dalam dirinya. Tom Ibnur sadar betul, proses kekaryaannya sangat ditentukan oleh interpretasi konsep dan bagaimana konsep dapat dikomunikasikan kepada komposer. Karena itu, unsur kepribadian komposer menjadi pertimbangan nomor wahid. ‘’Seluruhnya ada dalam diri Anggara,’’ tutur Tom.

Anggara sendiri mengaku, berproses kreatif bersama Tom Ibnur sama halnya belajar tentang kehidupan. Karya koreografi Tom mengajak untuk lebih mengenal tentang ‘diri’. Dialog yang terbuka dan intens mengenai estetika karya dan konsep koreografi dan kehidupan, justru menjadi stimulus dalam penyusunan musiknya. “Dialog dalam proses inilah yang tidak saya dapatkan pada proses karya tari dengan koreografer lain”, jelas Anggara. Diaakui keduanya, proses karya ‘’Batas Budi Kaki Langit Biru’’ berhasil mewujudkan estetika karya ke taraf tertinggi: sublim.

Proses seperti ini penting bagi siapapun yang berkecimpung di dunia kreativitas seni. Proses yang dipenuhi dengan dialog intens, evaluasi secara terus menerus memungkinkan lahirnya ide-ide baru untuk mencapai tingkat estetika yang diharapkan. Dunia seni yang sifatnya dinamis selalu menuntut intensitas dalam eksplorasi serta konsistensi dalam rangka pengembangan diri dan kekaryaan. Proses Tom Ibnur adalah proses kehidupannya. Penguasaan terhadap cakrawala seni tradisi memberi kabar kepada publik bahwa dia telah mendedikasikan hidupnya kepada dunia kesenian. Kesenian Tom tak lagi mendebatkan uang sebagai hal utama. Profesionalisme diukur dari seberapa besar dedikasi terhadap dunia seni sebagai pilihan. n

Aristofani Fahmi, Musisi dan penikmat kesenian. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Desember 2012