Sunday, December 30, 2012

Eksperimentasi Estetik Seno Gumira Ajidarma

-- Utami Diah Kusumawati

Seno Gumira Ajidarma mengarang dengan gaya tutur santai tetapi serius, dan tentu saja imajinatif.
APA yang terbersit saat pertama kali Anda membaca karya sastra Seno Gumira Ajidarma? Sebut saja; Jazz, Parfum dan Insiden, Negeri Senja ataupun Nagabumi? Imajinatif? Itu jelas. Kaya akan referensi dan riset? Memang. Seno ahli dalam hal yang satu ini (maklum profesi Seno sebelumnya adalah wartawan dan fotografer). Main-main? Hm... untuk seorang pengarang sekaliber Seno, masak sih tulisannya main-main?

Tetapi, ternyata itulah semua yang menjadi kekuatan pengarang yang lahir pada tahun 1958 silam di Boston, Amerika Serikat, ini. Gaya bertuturnya yang ‘mbeling' atau cenderung tidak taat pada aturan, nakal, dan memberontak sering terasa santai dan penuh dengan kenikmatan bermain-main. Alhasil, dalam karyanya kita tidak merasakan adanya pretensi dalam diri sang pengarang untuk menjadi seorang sastrawan.

"Proses menulis yang saya alami tidak ada yang dipaksakan. Format estetik atau hasil kreatif dilahirkan oleh pergulatan hidup yang kita semua alami. Saya bisa menulis seperti ini tidak dilakukan dengan kesadaran penuh. Dalam perjalanan hidup saya banyak situasi di mana akhirnya saya mesti berimprovisasi secepat-cepatnya untuk menghasilkan sebuah karya," kata Seno Gumira Ajidarma menjelaskan saat acara Bincang Tokoh DKJ #8 yang diadakan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu.

Seno mengatakan, perkara keterampilan dan teknis menulis tidak secara sadar dipelajarinya. Dia banyak belajar dari keadaan sehari-hari yang dialami. Terkadang hasil cerita pendeknya penuh refleksi, tapi di lain waktu ceritanya bisa juga santai dan modern. Oleh karena itulah, tak heran jika Melani Budianta, salah satu kritikus sastra dan juga dosen Kritik Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia mengatakan model bercerita Seno adalah lintas bentuk.

"Kita bisa melihat ada banyak bentuk dalam gaya bercerita Seno Gumira. Narasi-narasinya terdiri atas dua dunia yang dikolase jadi satu. Misalnya, satu kental dengan gaya urban, perkotaan, kapitalisme, penuh kewangian seperti parfum. Tetapi, di sisi lain, kita juga bisa menemukan gaya jurnalistik yang kuat dengan topik seperti terorisme dan pembunuhan," kata Melanie Budianta.

Melanie melihat latar belakang Seno yang kental akan sinematografi, filsafat, dan jurnalistik yang menyebabkan karya-karya sastranya menjadi lintas bentuk. Hal itu merupakan sebuah petualangan seni yang dilakukan oleh Seno melalui eksperimentasi estetik berbagai media dan genre. Misalnya dalam novel Nagabumi 1, gaya lintas bentuk ini, kata Melanie, dikembangkan oleh Seno dengan cara menggabungkan cerita silat dan tokoh-tokoh fiktif dengan eksplorasi sejarah yang didasari penelitian teks dan arkeologis. Hasilnya adalah nuansa cerita silat yang superlatif, penuh adegan fantastis dan diselingi dengan kutipan-kutipan naskah klasik, catatan sejarah dan arkeologi yang rinci untuk menghidupkan penggambaran visual.

"Seno belajar banyak dari sinema, yang menghasilkan visualisasi karya yang sangat kuat. Hasilnya, kita merasa bisa membayangkan suatu film yang utuh dalam karya-karya sastra Seno. Ini merupakan sebuah kekayaan yang dimiliki oleh Seno di mana dia tidak hanya memiliki satu genre penulisan tertentu," katanya.

Sementara itu, Damhuri Muhammad, pengarang dan juga esais, mengatakan, karya-karya sastra Seno Gumira Ajidarma kental dengan nuansa sejarah. Salah satunya adalah Nagabumi (2009), salah satu novel silat terkini Seno. Menurut Damhuri, tidak banyak pengarang yang terampil membumbui koleksi ceritanya dengan gagasan-gagasan besar. Namun, Seno berhasil menampilkannya dalam novel Nagabumi. Sekilas, menurutnya, novel tersebut mungkin hanya tampak sebagai kelebat pertarungan dengan jurus jitu dunia persilatan. Tetapi, di dalamnya ternyata terdapat riwayat kependekaran dengan latar sejarah Jawa pada abad ke delapan dan sembilan dengan mengambil persiteruan pada masa kekuasaan Samaratungga sebagai kisah cerita.

"Inilah yang dapat memartabatkan Nagabumi menjadi bukan sekadar novel silat biasa," ujarnya.

Seno memulai karier kepenulisannya yang pertama kali saat sajak-sajaknya dimuat dalam rubrik puisi mbeling di majalah Aktuil asuhan Remy Sylado. Kemudian ia menjadi rajin mengirimkan puisinya ke majalah sastra Horison, yang kemudian dimuat. Seno mengatakan, momen itu dia merasa dirinya sebagai seorang penyair. Seno kemudian menikah pada usia 19 tahun dan memilih menjadi seorang wartawan untuk menghidupi keluarganya. Pada tahun yang sama, dia juga menjadi mahasiswa Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Awalnya saya tidak berniat jadi sastrawan, tetapi mau jadi seniman. Saya suka Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, dan punya rambut gondrong," katanya seperti dikutip dari buku Bincang Tokoh Seno Gumira Ajidarma.

Meski terkesan nyentrik, Seno sangat konsisten, serius, dan tekun dalam menghasilkan karya yang berangkat dari realitas sosial dan kemudian memenangkan berbagai penghargaan, di antaranya SEA Write Award, Khatulistiwa Literary Award, dan Dinny O' Hearn Prize for Literary. Itulah sebabnya mengapa karya-karyanya mendapatkan hati di tempat pembaca dan juga masyarakat.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Desember 2012

No comments: