Data Buku
Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia
Jacques Bertrand
Ombak, Yogyakarta, 2012
xi + 384 hlm.
KONFLIK antaretnis seakan menjadi hal lumrah di negeri ini. Belum selesai mengurai akar konflik di Bima, Nusa Tenggara Barat, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan konflik etnis di Lampung Selatan. Setidaknya 14 orang meninggal dalam peristiwa berdarah ini.
Mengapa konflik senantiasa menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia? Jaques Bertrand dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam model kebangsaan Indonesia.
Baginya, model kebangsaan Indonesia telah melahirkan kategori kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Meskipun model tadi didasarkan pada suatu konsep sipil, yakni bahwa kewarganegaraan harus diberikan kepada semua orang yang tinggal di bekas Hindia-Belanda, pengungkapannya dalam perundang-undangan telah menyingkirkan atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Suatu proses pembedaan telah memisahkan mereka dari konstruksi negara mengenai ?keindonesiaan?.
Pada titik simpang kritis ketiga yang menyertai akhir rezim orde baru, sebagian kelompok tersebut adalah para peserta dalam atau korban dari kekerasan etnis. Suku Dayak yang terpinggirkan berperang melawan para pendatang suku Madura di Pulau Kalimantan pada 1996, 1999, dan 2001. Orang-orang Indonesia keturunan China menjadi sasaran selama gelombang kerusuhan berskala kecil antara 1996 dan 1998. Mereka juga menjadi korban dalam kerusuhan berdarah Mei 1998, yang secara resmi mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Soeharto.
Peminggiran dan penyingkiran telah membedakan suku Dayak dan para keturunan China dari orang-orang Indonesia lainnya. Mereka memperlihatkan basis diskriminasi yang antara lain menjelaskan keterlibatan mereka dalam kekerasan etnis selama periode transisi kelembagaan pada akhir 1990-an.
Ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnis terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.
Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meskipun kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.
Buku ini menjelaskan bagaimana berbagai bentuk dari apa yang Jacques Bertrand sebagai ?model kebangsaan? dilembagakan, terutama di bawah orde baru tapi juga dalam kurun sejarah sebelumnya pada abad ke-20. Rezim Orde Baru memakai konsep sempit tentang bangsa Indonesia dan melembagakannya melalui cara-cara yang menyokong peminggiran dan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu, sehingga telah mengakibatkan gagalnya pengembangan sarana inklusi yang memadai bagi kelompok-kelompok yang melihat diri mereka sendiri sebagai suku-bangsa yang berbeda (seperti orang Timor Timur, Aceh, dan Papua), serta memperdalam ketegangan di antara kelompok-kelompok agama.
Buku karya guru besar madya dalam bidang ilmu-ilmu politik, Universitas Toronto, Kanada, ini semakin tajam ketika menggunakan teori institusionalis historis yang mampu menguak konflik-konflik pada akhir 1990-an sebagai titik simpang kritis baru dalam evolusi model kebangsaan Indonesia. Konflik tersebut muncul dari cara-cara terdahulu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok termasuk atau tidak ke dalam model kebangsaan ini dalam berbagai titik simpang sejarah modern Indonesia.
Dari kajian ini, kita mendapat pengertian bahwa bentuk-bentuk pengeroposan politik dapat mempunyai kekuatan kumulatif yang sangat besar untuk membatasi jangkauan negara. Tindakan represif tidaklah melenyapkan ketidakpuasan, tetapi membuat ketidakpuasan itu harus diungkapkan melalui saluran yang berbeda-beda atau dibungkam. Yang lebih penting lagi, kekesalan lama tumbuh di bawah stuktur lembaga orde baru dan mendefinisikan ulang konflik menurut berbagai cara.
Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012
Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia
Jacques Bertrand
Ombak, Yogyakarta, 2012
xi + 384 hlm.
KONFLIK antaretnis seakan menjadi hal lumrah di negeri ini. Belum selesai mengurai akar konflik di Bima, Nusa Tenggara Barat, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan konflik etnis di Lampung Selatan. Setidaknya 14 orang meninggal dalam peristiwa berdarah ini.
Mengapa konflik senantiasa menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia? Jaques Bertrand dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam model kebangsaan Indonesia.
Baginya, model kebangsaan Indonesia telah melahirkan kategori kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Meskipun model tadi didasarkan pada suatu konsep sipil, yakni bahwa kewarganegaraan harus diberikan kepada semua orang yang tinggal di bekas Hindia-Belanda, pengungkapannya dalam perundang-undangan telah menyingkirkan atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Suatu proses pembedaan telah memisahkan mereka dari konstruksi negara mengenai ?keindonesiaan?.
Pada titik simpang kritis ketiga yang menyertai akhir rezim orde baru, sebagian kelompok tersebut adalah para peserta dalam atau korban dari kekerasan etnis. Suku Dayak yang terpinggirkan berperang melawan para pendatang suku Madura di Pulau Kalimantan pada 1996, 1999, dan 2001. Orang-orang Indonesia keturunan China menjadi sasaran selama gelombang kerusuhan berskala kecil antara 1996 dan 1998. Mereka juga menjadi korban dalam kerusuhan berdarah Mei 1998, yang secara resmi mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Soeharto.
Peminggiran dan penyingkiran telah membedakan suku Dayak dan para keturunan China dari orang-orang Indonesia lainnya. Mereka memperlihatkan basis diskriminasi yang antara lain menjelaskan keterlibatan mereka dalam kekerasan etnis selama periode transisi kelembagaan pada akhir 1990-an.
Ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnis terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.
Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meskipun kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.
Buku ini menjelaskan bagaimana berbagai bentuk dari apa yang Jacques Bertrand sebagai ?model kebangsaan? dilembagakan, terutama di bawah orde baru tapi juga dalam kurun sejarah sebelumnya pada abad ke-20. Rezim Orde Baru memakai konsep sempit tentang bangsa Indonesia dan melembagakannya melalui cara-cara yang menyokong peminggiran dan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu, sehingga telah mengakibatkan gagalnya pengembangan sarana inklusi yang memadai bagi kelompok-kelompok yang melihat diri mereka sendiri sebagai suku-bangsa yang berbeda (seperti orang Timor Timur, Aceh, dan Papua), serta memperdalam ketegangan di antara kelompok-kelompok agama.
Buku karya guru besar madya dalam bidang ilmu-ilmu politik, Universitas Toronto, Kanada, ini semakin tajam ketika menggunakan teori institusionalis historis yang mampu menguak konflik-konflik pada akhir 1990-an sebagai titik simpang kritis baru dalam evolusi model kebangsaan Indonesia. Konflik tersebut muncul dari cara-cara terdahulu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok termasuk atau tidak ke dalam model kebangsaan ini dalam berbagai titik simpang sejarah modern Indonesia.
Dari kajian ini, kita mendapat pengertian bahwa bentuk-bentuk pengeroposan politik dapat mempunyai kekuatan kumulatif yang sangat besar untuk membatasi jangkauan negara. Tindakan represif tidaklah melenyapkan ketidakpuasan, tetapi membuat ketidakpuasan itu harus diungkapkan melalui saluran yang berbeda-beda atau dibungkam. Yang lebih penting lagi, kekesalan lama tumbuh di bawah stuktur lembaga orde baru dan mendefinisikan ulang konflik menurut berbagai cara.
Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012
No comments:
Post a Comment