Sunday, December 02, 2012

Potret Buram Pendidikan dalam Cerpen ”Surat Terakhir” Karya Cicilia Anggraini Oday

-- Yulita Fitriana


1. Pengantar

BANYAK citra positif yang diemban sosok guru. Guru dianggap sebagai orang tua kedua. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Guru juga dianggap orang yang patut digugu dan ditiru. Digugu artinya patut dipercayai dan diakui, sedangkan ditiru artinya perlu dicontoh, diikuti dan diteladani. Masihkah guru mempunyai citra yang demikian? Bagaimana kondisi dunia pendidikan sekarang ini yang terlihat pada sebuah karya sastra?

Cerpen “Surat Terakhir” ditulis oleh Cicilia Anggraini Oday dan dimuat di Majalah Sastra Horison, edisi Maret 2011. Cerpen ini bercerita mengenai seorang anak, Ewis Saskia, yang baru berusia delapan tahun. Dia seorang anak dari keluarga miskin yang dapat bersekolah dengan bersusah payah karena uang SPP-nya sering terlambat dibayarkan. Ewis bertutur mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami dan diamatinya di sekolah melalui pandangan polos seorang anak. Cerpen berakhir dengan berita bahwa Ewis meninggal karena bunuh diri.

Sebagian besar, berbagai peristiwa di dalam cerpen ini diungkapkan dengan gaya bertutur melalui surat yang dituliskan Ewis kepada kakaknya, Teh Nining. Hanya pada bagian akhir, cerita mengenai kematian Ewis tidak lagi ada di dalam surat. Melalui telepon, Ibu Ewis mengabarkan pada Teh Nining bahwa adiknya meninggal dengan cara gantung diri.

2. Penjungkirbalikan Citra Guru

Di dalam cerpen “Surat Terakhir” terdapat lima orang sosok guru, yaitu Bu Hana, Pak Katon, Bu Wahyuni, Pak Opik dan Bu Siska. Melalui kelima tokoh guru inilah dilihat sosok guru yang terungkap di dalam cerpen tersebut.

a. Moralitas Guru
Dari kelima sosok guru tersebut, Bu Hana merupakan guru yang disukai oleh Ewis, sang tokoh utama. Guru bahasa Indonesia inilah yang menurut Ewis telah berjasa membuatnya pandai menulis surat dengan baik. Bu Guru ini pula yang telah menyelamatkan Ewis ketika hendak dilecehkan secara seksual oleh Pak Katon, walau Ewis yang masih polos tidak mengetahui mengenai niat Pak Gurunya itu. Namun ternyata, Bu Hana ini pun bukan guru yang tanpa cela. Sebelumnya, tujuh tahun yang lalu, dia pernah melakukan aborsi. Hal itulah yang kemudian membuatnya diberhentikan dan digantikan dengan Bu Siska yang tidak lagi mengajarkan cara menulis surat kepada anak didiknya.

Sosok kedua adalah Pak Katon, seorang guru olahraga. Ia dianggap baik oleh beberapa murid perempuan karena suka memberi permen. Hal itu dibantah oleh murid laki-laki yang merasa tidak pernah diberi permen oleh Pak Katon. Lalu mengapa pak guru itu hanya memberi permen pada pelajar perempuan? Alasan itulah yang tidak dimengerti oleh para pelajar yang masih berusia belia tersebut. Ternyata, Pak Katon melakukan hal tersebut karena dia ingin membujuk para murid putri tersebut untuk digauli. Dua anak, Ratna dan Indri sudah menjadi korban nafsu pak guru yang pedofilia ini.

b. Pendidikan dengan Kekerasan Fisik dan Mental
Seorang guru tidak hanya dituntut untuk pandai mengajar, memberikan ilmu kepada para siswanya. Guru juga harus bisa menjadi pendidik bagi murid-muridnya. Dalam rangka mendidik  inilah, seorang guru dituntut untuk bijaksana ketika menghukum anak didiknya. Hukuman yang diberikan harusnya menjadi bagian dari upaya mendidik.

Lalu apakah tindakan Bu Wahyuni di dalam “Surat Terakhir” dapat dikategorikan mendidik? Bu Wahyuni memberikan hukuman kepada Ewis dengan menyuruhnya berdiri di depan kelas ketika Ewis terlambat. Tidak itu saja, hukuman terhadap Ewis masih ditambah dengan jeweran tiga puluh lima orang teman sekelasnya yang mengakibatkan telinga Ewis berdarah.

Ewis tidak hanya mendapat hukuman secara fisik. Dia juga mendapat hukuman psikis. Ketidakmampuan orangtuanya membayar SPP-nya membuat dia merasa dipermalukan di hadapan seluruh murid sekolah tersebut karena hal itu diumumkan secara terbuka.

Perhatikan pula ketika Ewis yang polos merasa akan mendapat keadilan, seperti yang terjadi pada kawannya, Ulfa.  Ulfa yang melakukan kesalahan lalu dihukum oleh Pak Opik. Akan tetapi, ketika Pak Lurah, ayah Ulfa, datang ke sekolah dan memprotes hukuman tersebut, Pak Opik minta maaf. Bahkan, setelah itu, Ulfa mendapat nilai 10 untuk matapelajaran kesenian padahal dia tidak mengikuti ujian. 

Proses pendidikan yang karut-marut inilah yang kemudian menghasilkan produk yang gagal. Hal itu, diperlihatkan melalui tokoh Ewis melakukan  perbuatan bunuh diri dengan menggantung diri di sebuah pohon jambu di belakang rumahnya. Tidak disebutkan penyebab Ewis gantung diri. Akan tetapi, ada kemungkinan karena ketidaknyamannya bersekolah di lingkungan yang tidak mendukungnya. Pengumuman mengenai ketidakmampuan orangtuanya membayar SPP telah memunculkan perasaan malu yang teramat sangat kepada Ewis.  Kemungkinan lain adalah, Pak Katon, guru yang selama ini berupaya  memperkosanya, berhasil melakukannya setelah Bu Hana, tidak lagi ada untuk melindunginya. Rasa malu dan putus asa membuat Ewis melakukan tindakan nekad, yaitu bunuh diri.

3. Liberalisasi Pendidikan

“Orang miskin dilarang sekolah”, perkataan bernada sinis ini untuk menggambarkan keprihatinan terhadap semakin mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan. Akibatnya, semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan menjadi barang mewah yang hanya dinikmati segelintir orang-orang berduit. Pendidikan sudah menjadi bagian dari bisnis yang harus mendapatkan keuntungan finansial.

Sulitnya memperoleh pendidikan, digambarkan juga di dalam cerpen “Surat Terakhir”. Ewis baru dapat masuk sekolah ketika berusia delapan tahun. Biasanya pada usia itu seorang anak sudah berada pada kelas dua Sekolah Dasar. Akan tetapi, Ewis tidak merasa bahwa pada usia tersebut, dia sudah “terlambat” masuk sekolah. 

Pada saat bersekolah pun, dia harus menanggung malu karena namanya selalu dipanggil karena termasuk murid yang belum membayar uang sekolah. Bahkan namanya masih terpanggil ketika semua orang sudah melunasi uang sekolahnya. Liberalisasi pendidikan tidak hanya menghambat pendidikan, bahkan dapat menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.  
   
4. Simpulan

Cerpen “Surat Terakhir” merupakan potret buram pendidikan kita. Guru yang kurang berkualitas, baik secara keilmuan, maupun moral telah menghasilkan produk-produk (baca: lulusan-lulusan) yang gagal dalam menghadapi sulitnya persaingan di dalam kehidupan. Liberalisasi pendidikan bahkan membuat masyarakat sulit mengakses pendidikan secara layak, yang juga berujung pada kegagalan mencerdaskan masyarakat.

Yulita Fitriana, Bekerja di Balai Bahasa Provinsi Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Desember 2012

No comments: