-- Hardi Hamzah
SECARA sosiologis, kebudayaan massa yang bisa saja berujung pada disorientasi bangsa merupakan fenomena normal dari masyarakat yang sedang menikmati kemerdekaan (baca: euforia reformasi).
Secara sosiologis, kebudayaan massa yang bisa saja berujung pada disoreientasi bangsa, merupakan fenomena normal dari masyarakat yang sedang menikmati kemerdekaan (baca: euforia reformasi).
Mengapa penulis menyebutnya euforia reformasi? Karena pada kenyataannya masyarakat kita tampaknya terus-menerus mengalami euforia itu, meskipun penulis tetap mempercayai hal ini sebagai suatu proses. Namun, biasanya, kalau kita menggunakan analisis sosiolog August Comte, bahwa masyarakat menemukan jati dirinya pada sepuluh tahun pertama pascapembebasan.
Nah, setelah kita terbebaskan lebih dari satu dasawarsa dari rezim otoriter Soeharto, anehnya belum ada identifikasi atau lebih tepatnya indikasi, bahwa kita telah mulai memasuki proses penemuan jati diri. Bahkan, ironinya, justru semakin lama semakin kita kehilangan jati diri, katakanlah semangat kebangsaan semakin tereduksi, kebersamaan, bahkan kita nyaris kehilangan kultur-kultur spesifik kita. Di Jawa Barat misalnya, ada lima ratus tradisi dan kebudayaan, kini justru tinggal kurang dari lima puluh.
Budaya lokal yang spektrumnya kita arahkan untuk merujuk pada dinamika filterisasi kebudayaan global, justru terjebak pada akulturasi kultural melalui teknologi, yang kemudian kita digilas oleh kebudayan global. Kita masih harus menggawangi kebudayaan di satu sisi. Di sisi lain jejaring sosial telah ?mengobok-obok? dan memelintir kebudayaan kita sendiri.
Maka, wajar apabila kegelisahan kita untuk kembali merekonstruksi kebudayaan di negeri semakin menguat. Kita misalnya, dituntut mengais ulang bentuk-bentuk kebudayan massa. Kebudayan massa yang semakin centang-peranang mengaktualisasikan dan atau lebih tepatnya memetamorfosis ke dalam aktivitas rekreatif yang sangat deviatif (menyimpang), setidaknya telah menjadi lakon keseharian kita.
Tonggak-tonggak kebudayan massa menelusuri naluri kaum remaja, kaum tua, dan seluruh penetrasinya kemudian muncul sebagai bagian dari gaya hidup yang menyimpang. Pitirim Sorokin, beberapa abad lampau memberi pelajaran yang menarik bagi kita, bahwa apabila masyarakat dalam proses perubahan, sepatutnya masyarakat tersebut mampu secara cepat mengidentifikasikan dirinya ke dalam suatu ?ideologi?; apakah itu beleave, singkritisme, tradisi yang kerap menyimpang dari semangat agama, atau apa pun juga haruslah dirujuk kepada semangat ideologi.
Di Indonesia agama ?sebagai ideologi?, seharusnya tidak menafikkan hal-hal yang disinggung oleh Pitirim Sorokin karena apabila agama jauh dari pakem-pakem beleave tradisi dan sejenisnya yang nota bene sudah lahir sebelum agama itu sendiri lahir, akan terjadi perbenturan nilai-nilai. Inilah yang disebut Umah Khayam, sebagai menafikkan tradisi demi penonjolan agama. Sementara, lanjut Umar Khayam, Indonesia sebagai bangsa yang pluralis dan telah mempunyai tradisi sebelum agama (Islam) terbesar lahir, justru merapatkan pilar-pilar tradisi. Dengan kata lain, Umar Khayam ingin mengatakan bahwa jangan dibenturkan antara tradisi dan agama agar tidak terjadi disorientasi di kalangan masyarakat, sehingga tidak terjadi kebudayaan massa yang tampil dalam bentuk hedonis.
Mochtar Lubis tampaknya membenarkan apa yang dikemukakan Khayam, ia mengklaim secara serius bahwa akibat perbenturan nilai itu terjadi kebudayaan massa yang juga tidak meng-Indonesia. Bahkan, dengan gamblang Mochtar Lubis mengatakan bangsa ini pemalas, bodoh, tidak mandiri, dan berbagai persoalan yang kini muncul di permukaan sebagai kebudayaan massa yang ekuivalen dengan keberantakan sosial.
Memang sulit membicarakan kebudayaan masa di Indonesia, terkadang kita harus memulainya dari mana? Kita sekarang berhadap-hadapan dengan akulturasi budaya yang tidak tertata. Berkali-kali penulis kerap mengatakan bahwa bangsa ini ?sudah bisa membawa mobil, tetapi belum bisa membuat mur.? Padahal, ketika Alvonso menemukan obat malaria, Indonesia menjadi bintang utama yang menyerap ide-ide keilmuan itu. Sementara dalam sisi lain, pesantren, katakanlah Gontor dan Tebu Ireng, telah membentuk kebudayaan massa dalam perubahan sosial sesuai dengan pakem agama dan tradisi. Artinya, bangsa ini sesunguhnya tidak boleh ditekuk-tekuk oleh kebudayaan massa yang hedonis karena beberapa ilmuan kita di Eropa dan kecepatan kita memperlakukan kekuatan untuk mengintegrasikan bangsa, setidaknya melalui Sukarno, Shahrir, dkk. jelas menunjukkan bahwa bangsa ini mampu.
Mengapa kemudian kebudayaan massa, kini semakin tidak terlihat wujudnya, bangsa ini berada pada ?ruas sembilu? yang segera menghujam generasi muda untuk mematahkan moralitas agama mereka. Ini akibat dari teknologi asing yang merampas kaum remaja tanpa reserve. Semuanya menjadi instan. Nation character building semakin bergeser ke arah yang tidak terarah. Ya, bangsa ini sedang kehilangan jati dirinya.
Kebudayaan massa sesungguhnya harus memadukan lima unsur penting dalam konteks Indonesia sehingga ia tidak terseret dalam kubangan modernisme semu. Kebudayaan massa yang patut lahir di Indonesia adalah reaktualisasi semangat kebangsaan di kalangan remaja, mereka sebagai generasi penerus telah tercabik-cabik oleh ?salah kaprah?-nya perilaku pemimpin bangsa ini. Bangsa ini, kemudian menjadi milik orang lain. Kebudayaan massa yang kita lihat dewasa ini merupakan akulturasi centang pranangnya jati diri ke-Indonesiaan versus gurita liberalisme, kapitalisme, bahkan mungkin juga fasisme. Lalu, bagaimanakah sebenarnya kebudayaan massa yang akan ditegakkan bangsa ini agar tidak terus-menerus ?celaka? dalam kubangan globalisasi.
Penulis melihat aktualisasi kebudayaan bangsa dalam konteks regenerasi, setidaknya dituntut untuk menghadirkan lima term-term penting. Pertama, sosialisasi budi pekerti dan perwatakan moralitas agama. Kedua, kepemimpinan yang membangun integritas internal. Ketiga, akulturasi budaya tidak dilihat sebagai glamoritas seksinya westernisasi. Keempat, harus disadari benar bahwa globalisasi dan reformasi identik dengan mengembalikan militer ke barak. Kelima, concerned kita terhadap ideologi Pancasila seyogianya dikaji ulang secara lebih serius.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012
SECARA sosiologis, kebudayaan massa yang bisa saja berujung pada disorientasi bangsa merupakan fenomena normal dari masyarakat yang sedang menikmati kemerdekaan (baca: euforia reformasi).
Secara sosiologis, kebudayaan massa yang bisa saja berujung pada disoreientasi bangsa, merupakan fenomena normal dari masyarakat yang sedang menikmati kemerdekaan (baca: euforia reformasi).
Mengapa penulis menyebutnya euforia reformasi? Karena pada kenyataannya masyarakat kita tampaknya terus-menerus mengalami euforia itu, meskipun penulis tetap mempercayai hal ini sebagai suatu proses. Namun, biasanya, kalau kita menggunakan analisis sosiolog August Comte, bahwa masyarakat menemukan jati dirinya pada sepuluh tahun pertama pascapembebasan.
Nah, setelah kita terbebaskan lebih dari satu dasawarsa dari rezim otoriter Soeharto, anehnya belum ada identifikasi atau lebih tepatnya indikasi, bahwa kita telah mulai memasuki proses penemuan jati diri. Bahkan, ironinya, justru semakin lama semakin kita kehilangan jati diri, katakanlah semangat kebangsaan semakin tereduksi, kebersamaan, bahkan kita nyaris kehilangan kultur-kultur spesifik kita. Di Jawa Barat misalnya, ada lima ratus tradisi dan kebudayaan, kini justru tinggal kurang dari lima puluh.
Budaya lokal yang spektrumnya kita arahkan untuk merujuk pada dinamika filterisasi kebudayaan global, justru terjebak pada akulturasi kultural melalui teknologi, yang kemudian kita digilas oleh kebudayan global. Kita masih harus menggawangi kebudayaan di satu sisi. Di sisi lain jejaring sosial telah ?mengobok-obok? dan memelintir kebudayaan kita sendiri.
Maka, wajar apabila kegelisahan kita untuk kembali merekonstruksi kebudayaan di negeri semakin menguat. Kita misalnya, dituntut mengais ulang bentuk-bentuk kebudayan massa. Kebudayan massa yang semakin centang-peranang mengaktualisasikan dan atau lebih tepatnya memetamorfosis ke dalam aktivitas rekreatif yang sangat deviatif (menyimpang), setidaknya telah menjadi lakon keseharian kita.
Tonggak-tonggak kebudayan massa menelusuri naluri kaum remaja, kaum tua, dan seluruh penetrasinya kemudian muncul sebagai bagian dari gaya hidup yang menyimpang. Pitirim Sorokin, beberapa abad lampau memberi pelajaran yang menarik bagi kita, bahwa apabila masyarakat dalam proses perubahan, sepatutnya masyarakat tersebut mampu secara cepat mengidentifikasikan dirinya ke dalam suatu ?ideologi?; apakah itu beleave, singkritisme, tradisi yang kerap menyimpang dari semangat agama, atau apa pun juga haruslah dirujuk kepada semangat ideologi.
Di Indonesia agama ?sebagai ideologi?, seharusnya tidak menafikkan hal-hal yang disinggung oleh Pitirim Sorokin karena apabila agama jauh dari pakem-pakem beleave tradisi dan sejenisnya yang nota bene sudah lahir sebelum agama itu sendiri lahir, akan terjadi perbenturan nilai-nilai. Inilah yang disebut Umah Khayam, sebagai menafikkan tradisi demi penonjolan agama. Sementara, lanjut Umar Khayam, Indonesia sebagai bangsa yang pluralis dan telah mempunyai tradisi sebelum agama (Islam) terbesar lahir, justru merapatkan pilar-pilar tradisi. Dengan kata lain, Umar Khayam ingin mengatakan bahwa jangan dibenturkan antara tradisi dan agama agar tidak terjadi disorientasi di kalangan masyarakat, sehingga tidak terjadi kebudayaan massa yang tampil dalam bentuk hedonis.
Mochtar Lubis tampaknya membenarkan apa yang dikemukakan Khayam, ia mengklaim secara serius bahwa akibat perbenturan nilai itu terjadi kebudayaan massa yang juga tidak meng-Indonesia. Bahkan, dengan gamblang Mochtar Lubis mengatakan bangsa ini pemalas, bodoh, tidak mandiri, dan berbagai persoalan yang kini muncul di permukaan sebagai kebudayaan massa yang ekuivalen dengan keberantakan sosial.
Memang sulit membicarakan kebudayaan masa di Indonesia, terkadang kita harus memulainya dari mana? Kita sekarang berhadap-hadapan dengan akulturasi budaya yang tidak tertata. Berkali-kali penulis kerap mengatakan bahwa bangsa ini ?sudah bisa membawa mobil, tetapi belum bisa membuat mur.? Padahal, ketika Alvonso menemukan obat malaria, Indonesia menjadi bintang utama yang menyerap ide-ide keilmuan itu. Sementara dalam sisi lain, pesantren, katakanlah Gontor dan Tebu Ireng, telah membentuk kebudayaan massa dalam perubahan sosial sesuai dengan pakem agama dan tradisi. Artinya, bangsa ini sesunguhnya tidak boleh ditekuk-tekuk oleh kebudayaan massa yang hedonis karena beberapa ilmuan kita di Eropa dan kecepatan kita memperlakukan kekuatan untuk mengintegrasikan bangsa, setidaknya melalui Sukarno, Shahrir, dkk. jelas menunjukkan bahwa bangsa ini mampu.
Mengapa kemudian kebudayaan massa, kini semakin tidak terlihat wujudnya, bangsa ini berada pada ?ruas sembilu? yang segera menghujam generasi muda untuk mematahkan moralitas agama mereka. Ini akibat dari teknologi asing yang merampas kaum remaja tanpa reserve. Semuanya menjadi instan. Nation character building semakin bergeser ke arah yang tidak terarah. Ya, bangsa ini sedang kehilangan jati dirinya.
Kebudayaan massa sesungguhnya harus memadukan lima unsur penting dalam konteks Indonesia sehingga ia tidak terseret dalam kubangan modernisme semu. Kebudayaan massa yang patut lahir di Indonesia adalah reaktualisasi semangat kebangsaan di kalangan remaja, mereka sebagai generasi penerus telah tercabik-cabik oleh ?salah kaprah?-nya perilaku pemimpin bangsa ini. Bangsa ini, kemudian menjadi milik orang lain. Kebudayaan massa yang kita lihat dewasa ini merupakan akulturasi centang pranangnya jati diri ke-Indonesiaan versus gurita liberalisme, kapitalisme, bahkan mungkin juga fasisme. Lalu, bagaimanakah sebenarnya kebudayaan massa yang akan ditegakkan bangsa ini agar tidak terus-menerus ?celaka? dalam kubangan globalisasi.
Penulis melihat aktualisasi kebudayaan bangsa dalam konteks regenerasi, setidaknya dituntut untuk menghadirkan lima term-term penting. Pertama, sosialisasi budi pekerti dan perwatakan moralitas agama. Kedua, kepemimpinan yang membangun integritas internal. Ketiga, akulturasi budaya tidak dilihat sebagai glamoritas seksinya westernisasi. Keempat, harus disadari benar bahwa globalisasi dan reformasi identik dengan mengembalikan militer ke barak. Kelima, concerned kita terhadap ideologi Pancasila seyogianya dikaji ulang secara lebih serius.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012
No comments:
Post a Comment