-- Alex R. Nainggolan
IBU adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang. Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka, berbahagialah kaum hawa—yang notabene kelak menjadi Ibu bagi anak-anak mereka. Dengan segala kegetiran dan kesenangan terhadap kehidupan, pula setelah mengandung anak mereka selama kurang lebih sembilan bulan. Mereka (kaum Ibu) paham bila mereka tengah menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita—yang mungkin akan dialaminya bagi anaknya.
Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum Ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah “pintu” yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilanpun, para Ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya. Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba. Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu.
Ketika itu, kaum Ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan “kata pertama”. Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi. Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya.
Simak saja, bagaimana upaya penyair Oka Rusmini “memotret” rahim—yang kelak dihuni janin—dalam sajaknya: dari darah aku terbentuk/ari-ari yang membungkus tubuh/menguliti rasa takut/dinding-dinding itu/menyembunyikan setiap daging manusiaku//dua bentuk makhluk/menyekutukan kekuatan/menembus waktu/melubangi rasa/laut pecah dalam kebersamaan// (sajak “Rumah Rahim”; Warna Kita; Grasindo, 2007; hal. 30).
Betapa rahim dengan segenap misteri yang meliputinya, menjelma jadi “rumah pertama” bagi umat manusia—melalui napas sang Ibu. Jalinan itu menjelma kelindan yang panjang, menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri. Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian yang akrab antara Ibu dan si-jabang bayi. Dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan—si bayi dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi.
Ia, dengan segala keterbatasan sebagai manusia, tentunya merupakan titik nol dari kehidupan itu sendiri. Sebuah perjalanan dari umur manusia. Mula segala amsal dengan ratusan sejarah yang melingkupinya kelak. Di titik permulaan ini, sosok Ibu menjadi guru pertama—yang mengajarkan makna kata.
Sosok Ibu—yang notabene kaum Hawa, mengingatkan pula kita pada perkataan masyhur dari Napoleon Bonaparte,”Di belakang lelaki kuat, pasti terdapat sosok perempuan hebat; ialah Ibu.”
Kasih Ibu Sepanjang Jalan
Ada sebuah pepatah berujar,”Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Meninggalkan pengertian yang cukup dalam, jika kasih Ibu, memang tak pernah mudah pudar. Ia akan terus bergetar dan berdenyar, sepanjang hidup si-anak. Meninggalkan guratan panjang, jika kasih Ibu senantiasa ada dan terasa. Di sepanjang napas hidup anaknya.
Dengan kasihnya pula, sang Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk berkata. Ia mengenalkan kata pertama—saat bayi mulai belajar mengucap. Kata-kata yang dieja layaknya sebuah puisi. Maka, kata-kata dari seorang Ibu merupakan pengenalan pertama terhadap makna. Ia dengan segala penjelasannya, menciptakan sebuah tatanan baru bagi si-anak. Yang menghidupkan sebuah cakrawala baru, khazanah ataupun pengetahuan.
Kasih Ibu ini akan terus memanjang, bahkan ketika si-anak yang dilahirkannya telah dewasa sekalipun. Seperti tak putus. Tak heran pula, jika Wiji Thukul “mengadu” kepada Ibunya dalam sajak yang ditulisnya: ibu pernah mengusirku minggat dari rumah/tetapi menangis ketika aku susah/ibu tak bisa memejamkan mata/bila adikku tak bisa tidurkarena lapar/ibu akan marah besar/bila kami merebut jatah makan/yang bukan hak kami/ibuku memberi pelajaran keadilan/dengan kasih sayang/ketabahan ibuku/mengubah rasa sayur murah/jadi sedap// Sajak ini ditutup dengan kalimat: dengan kebajikan/ibu mengenalkan aku kepada tuhan// (Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesiatera, 2004; hal. 14)
Atau bagaimana penyair Joko Pinurbo bertutur tentang Ibu:
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku
Sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Akupun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat yang belum kukenali.
Ketika bangun kurasakan basah di celana.
Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya, beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Akupun terbang bersayapkan buku
ke antah berantah yang bagiku sendiri masih entah.
Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
Ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku. (Sajak “Ibuku”)
Betapa Ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat. Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Ia, menjelma sebuah proses yang tak lengkang dari ingatan. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh. Senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah sang anak.
***
Tentunya, kita mesti melupakan pula sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang di-aborsi. Ataupun ada seorang Ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus, atau ke dalam kantong kresek hitam. Juga Ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia. Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang Ibu yang tega meninggalkan anaknya dari bayi. Dan berusaha melupakannya. Sekaligus melupakan jati dirinya sebagai Ibu.
Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan Ibu tak akan pernah pudar. Bahkan dalam Islam sendiri, betapa sosok Ibu hadir begitu luhur: bila sorga berada di telapak kakinya. Ia, dengan belaian lembut perempuan senantiasa menjaga “kata-kata” di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa. Dan si-anak membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Kata-kata dari Ibunya sendiri.
Semacam yang ditulis Iwan Fals dalam lagunya—yang bagi saya adalah puisi juga:
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ Ibuku sayang masih terus berjalan/walau tapak kaki, penuh darah/ penuh nanah/seperti udara/kasih yang kauberi/tak mampu ku membalas/ Ibu...
Alex R. Nainggolan, Penikmat puisi, menetap di Poris Plawad
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012
IBU adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang. Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka, berbahagialah kaum hawa—yang notabene kelak menjadi Ibu bagi anak-anak mereka. Dengan segala kegetiran dan kesenangan terhadap kehidupan, pula setelah mengandung anak mereka selama kurang lebih sembilan bulan. Mereka (kaum Ibu) paham bila mereka tengah menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita—yang mungkin akan dialaminya bagi anaknya.
Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum Ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah “pintu” yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilanpun, para Ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya. Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba. Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu.
Ketika itu, kaum Ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan “kata pertama”. Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi. Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya.
Simak saja, bagaimana upaya penyair Oka Rusmini “memotret” rahim—yang kelak dihuni janin—dalam sajaknya: dari darah aku terbentuk/ari-ari yang membungkus tubuh/menguliti rasa takut/dinding-dinding itu/menyembunyikan setiap daging manusiaku//dua bentuk makhluk/menyekutukan kekuatan/menembus waktu/melubangi rasa/laut pecah dalam kebersamaan// (sajak “Rumah Rahim”; Warna Kita; Grasindo, 2007; hal. 30).
Betapa rahim dengan segenap misteri yang meliputinya, menjelma jadi “rumah pertama” bagi umat manusia—melalui napas sang Ibu. Jalinan itu menjelma kelindan yang panjang, menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri. Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian yang akrab antara Ibu dan si-jabang bayi. Dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan—si bayi dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi.
Ia, dengan segala keterbatasan sebagai manusia, tentunya merupakan titik nol dari kehidupan itu sendiri. Sebuah perjalanan dari umur manusia. Mula segala amsal dengan ratusan sejarah yang melingkupinya kelak. Di titik permulaan ini, sosok Ibu menjadi guru pertama—yang mengajarkan makna kata.
Sosok Ibu—yang notabene kaum Hawa, mengingatkan pula kita pada perkataan masyhur dari Napoleon Bonaparte,”Di belakang lelaki kuat, pasti terdapat sosok perempuan hebat; ialah Ibu.”
Kasih Ibu Sepanjang Jalan
Ada sebuah pepatah berujar,”Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Meninggalkan pengertian yang cukup dalam, jika kasih Ibu, memang tak pernah mudah pudar. Ia akan terus bergetar dan berdenyar, sepanjang hidup si-anak. Meninggalkan guratan panjang, jika kasih Ibu senantiasa ada dan terasa. Di sepanjang napas hidup anaknya.
Dengan kasihnya pula, sang Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk berkata. Ia mengenalkan kata pertama—saat bayi mulai belajar mengucap. Kata-kata yang dieja layaknya sebuah puisi. Maka, kata-kata dari seorang Ibu merupakan pengenalan pertama terhadap makna. Ia dengan segala penjelasannya, menciptakan sebuah tatanan baru bagi si-anak. Yang menghidupkan sebuah cakrawala baru, khazanah ataupun pengetahuan.
Kasih Ibu ini akan terus memanjang, bahkan ketika si-anak yang dilahirkannya telah dewasa sekalipun. Seperti tak putus. Tak heran pula, jika Wiji Thukul “mengadu” kepada Ibunya dalam sajak yang ditulisnya: ibu pernah mengusirku minggat dari rumah/tetapi menangis ketika aku susah/ibu tak bisa memejamkan mata/bila adikku tak bisa tidurkarena lapar/ibu akan marah besar/bila kami merebut jatah makan/yang bukan hak kami/ibuku memberi pelajaran keadilan/dengan kasih sayang/ketabahan ibuku/mengubah rasa sayur murah/jadi sedap// Sajak ini ditutup dengan kalimat: dengan kebajikan/ibu mengenalkan aku kepada tuhan// (Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesiatera, 2004; hal. 14)
Atau bagaimana penyair Joko Pinurbo bertutur tentang Ibu:
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku
Sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Akupun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat yang belum kukenali.
Ketika bangun kurasakan basah di celana.
Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya, beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Akupun terbang bersayapkan buku
ke antah berantah yang bagiku sendiri masih entah.
Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
Ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku. (Sajak “Ibuku”)
Betapa Ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat. Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Ia, menjelma sebuah proses yang tak lengkang dari ingatan. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh. Senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah sang anak.
***
Tentunya, kita mesti melupakan pula sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang di-aborsi. Ataupun ada seorang Ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus, atau ke dalam kantong kresek hitam. Juga Ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia. Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang Ibu yang tega meninggalkan anaknya dari bayi. Dan berusaha melupakannya. Sekaligus melupakan jati dirinya sebagai Ibu.
Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan Ibu tak akan pernah pudar. Bahkan dalam Islam sendiri, betapa sosok Ibu hadir begitu luhur: bila sorga berada di telapak kakinya. Ia, dengan belaian lembut perempuan senantiasa menjaga “kata-kata” di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa. Dan si-anak membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Kata-kata dari Ibunya sendiri.
Semacam yang ditulis Iwan Fals dalam lagunya—yang bagi saya adalah puisi juga:
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ Ibuku sayang masih terus berjalan/walau tapak kaki, penuh darah/ penuh nanah/seperti udara/kasih yang kauberi/tak mampu ku membalas/ Ibu...
Alex R. Nainggolan, Penikmat puisi, menetap di Poris Plawad
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012
No comments:
Post a Comment