-- Abdullah Alamudi
Habibie tentu bisa menggunakan haknya menuntut pidana dan menggugat ganti rugi.
PERS dan media sosial Indonesia beberapa hari terakhir penuh dengan berbagai reaksi masyarakat terhadap tulisan mantan Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin yang menyebut Presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai “pengkhianat negara” dan penyebab perpecahan rakyat Indonesia.
Tuduhan itu muncul pada 10 Desember. Dalam tulisan Maidin di Utusan Malaysia, harian terbesar berbahasa Melayu di Malaysia, sebagai reaksi atas ceramah mantan presiden itu dalam acara yang diselenggarakan oleh Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat pimpinan Anwar Ibrahim di Universiti Selangor, 6 Desember.
Tulisan ini meninjau penerbitan tuduhan itu dari segi kemungkinan terjadinya pelanggaran etika jurnalistik oleh Utusan Malaysia, dilihat dari sudut Canons of Journalism Malaysia dan Journalism Code of Ethics mereka.
Seperti halnya di Indonesia, perilaku wartawan Malaysia juga diatur dan dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistik. Persatuan Wartawan Nasional Malaysia memiliki Malaysian National Union of Journalists Code of Ethics. Malahan, Code of Ethics wartawan Malaysia dibimbing oleh Canons of Journalism (Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme) Malaysia.
Kehadiran Kode Etik dan Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme Malaysia itu seharusnya memungkinkan masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton TV berharap bahwa berita dan features yang diterbitkan/disiarkan media di Malaysia akan taat etika, tidak menghina, melontarkan tuduhan palsu/tidak berdasar, dan mencemarkan nama baik seseorang.
Pasal 6 Canon of Journalism Malaysia berbunyi, “He shall uphold standards of morality in the performance of his duties and shall avoid plagiarism, calumny or slander, libel, sedition, unfounded accusations or acceptance of bribe in any form.”
Tapi tampaknya, inilah prinsip pertama yang dilanggar oleh Utusan Malaysia ketika ia menerbitkan tulisan Maidin, mantan pemimpin redaksinya, yang melontarkan slander, penghinaan terhadap Habibie bahwa mantan presiden itu adalah “pengkhianat negara.”
Maidin, yang pernah bekerja sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun, bisa saja berkilah bahwa itu adalah pendapatnya. Di Indonesia kita menghormati hak seseorang menyatakan pendapat sebagai hak asasi yang dilindungi oleh Pasal 28 F, UUD 1945.
Itu diulangi dalam preambule Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia. Tapi hak menyatakan pendapat bukanlah hak untuk melakukan calumny tuduhan jahat/fitnah, slander, penghinaan, unfounded accusation, tuduhan tak berdasar.
Apakah rakyat dan pers Malaysia bebas menyatakan pendapat dan mengkritik pemerintah Malaysia, itu tentu bisa dipertanyakan. Apakah Maidin berani mengkritik pemerintahnya secara terbuka, patut diragukan.
Ini karena di Malaysia masih berlaku Internal Security Act peninggalan kolonial Inggris, yang sampai sekarang dipertahankan pemerintah Malaysia untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Di samping itu, surat kabar Malaysia masih wajib memperbaharui izin terbitnya setiap tahun.
Akurasi
Bagi pers Indonesia, Habibie adalah tokoh yang mendatangkan kemerdekaan pers. Di zaman kepresidenannyalah dia memerintahkan Menteri Penerangan Letjen Muhammad Yunus Yosfiah menyusun draf RUU Pers yang membawa kemerdekaan pers–kemerdekaan yang pertama kali selama 255 tahun—sejak koran pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles terbit pada 1744.
Bagaimana Maidin bisa menuduh Habibie sebagai pengkhianat bangsa, sedangkan Habibielah yang membebaskan semua tahanan politik yang mendekam di bawah Presiden Soeharto, orang yang dipuji-puji Maidin dalam tulisannya itu.
Maidin menuduh Habibie pemecah belah rakyat Indonesia sehingga timbul 48 partai politik. Ini pun sebuah false accusation, sebab timbulnya sekian banyak partai politik di Indonesia adalah salah satu hasil tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Habibie yang membuka pintu demokrasi itu.
Pasal 2 Journalism Code of Ethics Malaysia menegaskan, “In pursuance of this duty he will defend the twin principles: freedom in the honest collection and publication of news; and the right of fair comment and criticism.” Pertanyannya lantas, manakah the right of fair comment and criticism itu di dalam tulisan mantan pemimpin redaksi Utusan Malaysia tersebut?
Kalau Habibie mengkhianati bangsa Indonesia, seperti dituduhkan Maidin, pastilah sudah lama dia berkalang tanah. Tapi rakyat Indonesia sangat menghormati Habibie karena dialah yang “membebaskan” Indonesia dari Timor Timur.
Beban alokasi APBN untuk pembangunan Timor Timur waktu itu, yang penduduknya cuma sekitar 800.000, hampir dua kali lebih besar daripada anggaran pembangunan DKI Jakarta yang berpenduduk sembilan kali lipat.
Fakta-fakta inilah yang antara lain tampaknya tidak dilihat oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia itu sehingga bolehlah masyarakat pembaca mempertanyakan soal akurasi tulisan seorang yang berpengalaman lebih dari 40 tahun sebagai wartawan itu.
Pertanyaan serupa bisa ditujukan kepada redaktur Utusan Malaysia, bagaimana mereka melakukan editing function mereka sehingga berita yang tidak akurat (inaccurate), melanggar Pasal 6 Canon of Journalism Malaysia, dan melanggar Pasal 7 Journalism Code of Ethics-nya bisa diterbitkan.
Pasal 7 itu berbunyi, “He will regard as grave professional offences the following: Plagiarism; Calumny, slander, libel and unfounded accusations; The acceptance of a bribe in any form in consideration of either publication or suppression”.
Utusan Malaysia sudah menerbitkan artikel yang bersifat libel, pencemaran nama baik Habibie. Maka, kalau para redaktur Utusan Malaysia taat pada Kode Etik dan Canons of Journalism mereka, rasanya mereka akan mengakui secara jujur bahwa mereka telah melanggar Pasal 7 dan semua pasal yang penulis sebut di atas.
Tinggallah sekarang pertanyaan, apakah Utusan Malaysia mau melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 Canons of Journalism-nya, yang menegaskan, “It shall be his duty to rectify and publish information found to be incorrect”. Pasal 5 Journalism Code of Ethics-nya menegaskan, “Any published information which is found to be harmfully inaccurate he will do his utmost to rectify.”
Apakah Utusan Malaysia mau dan bersedia meralat atau menarik kembali (menyatakan tidak pernah ada atau minta maaf) atas tulisan Maidin, mantan pemimpin redaksinya? Wallahu ‘alam bissawab. Yang jelas, Utusan Malaysia sudah menghapus tulisan Maidin itu dari website-nya.
Kebencian UMNO
Apa yang memicu kemarahan Maidin terhadap Habibie? Jawabannya mungkin bisa ditemukan pada kebencian partai berkuasa, UMNO, yang didukung Maidin, terhadap Ketua Umum Parti Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim, dan ketakutan pemerintah pada prinsip-prinsip demokrasi yang diceramahkan Habibie. Adalah Ibrahim yang mengundang Habibie menjadi pembicara utama dalam pertemuan dengan mahasiswa dan para pemuka masyarakat di Universiti Selangor.
Dalam ceramahnya, Habibie mendorong pluralisme, yang digambarkannya sebagai “paham yang sudah lama ada di kalangan masyarakat Malaysia dan perlu diterapkan untuk mendapatkan keseimbangan.” Katanya, “Manusia yang hidup dalam sistem demokrasi, dia benar-benar bisa berkembang dan tidak usah takut-takut.”
Terhadap penistaan dan pencemaran nama baiknya, Habibie tentu bisa menggunakan haknya menuntut pidana dan menggugat ganti rugi terhadap Zainuddin Maidin di pengadilan Malaysia, tapi itu bukan sifat Habibie. Apalagi, dia sangat mendukung dan membela kemerdekaan pers. Pilihan lain adalah mengadu ke Dewan Pers Malaysia, tapi ke mana? Di Malaysia tidak ada Dewan Pers.
Sejumlah tokoh senior wartawan Malaysia sudah berulang kali datang ke Jakarta, bertukar pikiran dengan sejumlah anggota Dewan Pers, termasuk penulis. Mereka telah mempelajari UU Pers Indonesia.
Mereka ingin memiliki UU Pers kurang lebih seperti UU Pers kita, tapi masyarakat pers Malaysia masih tarik ulur dengan pemerintah, khususnya menteri dalam negeri, yang tidak ingin kehilangan kontrolnya terhadap pers.
Sampai Dewan Pers terbentuk, dengan kewenangan melindungi kemerdekaan pers, wartawan dari seluruh 11 surat kabar dan media elektronik di Malaysia tidak akan pernah dapat menulis sesuai dengan hati nuraninya.
Mereka akan tetap harus tunduk pada kemauan penguasa, termasuk mantan pemimpin redaksinya, seperti yang terjadi di Utusan Malaysia. Canons of Journalism Malaysia serta Code of Ethics-nya hanya menjadi dokumen suci yang akan terus dilanggar. n
Abdullah Alamudi, pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo; Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers (2007-2010).
Sumber: Sinar Harapan, Senin, 17 Desember 2012
Habibie tentu bisa menggunakan haknya menuntut pidana dan menggugat ganti rugi.
PERS dan media sosial Indonesia beberapa hari terakhir penuh dengan berbagai reaksi masyarakat terhadap tulisan mantan Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin yang menyebut Presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai “pengkhianat negara” dan penyebab perpecahan rakyat Indonesia.
Tuduhan itu muncul pada 10 Desember. Dalam tulisan Maidin di Utusan Malaysia, harian terbesar berbahasa Melayu di Malaysia, sebagai reaksi atas ceramah mantan presiden itu dalam acara yang diselenggarakan oleh Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat pimpinan Anwar Ibrahim di Universiti Selangor, 6 Desember.
Tulisan ini meninjau penerbitan tuduhan itu dari segi kemungkinan terjadinya pelanggaran etika jurnalistik oleh Utusan Malaysia, dilihat dari sudut Canons of Journalism Malaysia dan Journalism Code of Ethics mereka.
Seperti halnya di Indonesia, perilaku wartawan Malaysia juga diatur dan dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistik. Persatuan Wartawan Nasional Malaysia memiliki Malaysian National Union of Journalists Code of Ethics. Malahan, Code of Ethics wartawan Malaysia dibimbing oleh Canons of Journalism (Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme) Malaysia.
Kehadiran Kode Etik dan Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme Malaysia itu seharusnya memungkinkan masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton TV berharap bahwa berita dan features yang diterbitkan/disiarkan media di Malaysia akan taat etika, tidak menghina, melontarkan tuduhan palsu/tidak berdasar, dan mencemarkan nama baik seseorang.
Pasal 6 Canon of Journalism Malaysia berbunyi, “He shall uphold standards of morality in the performance of his duties and shall avoid plagiarism, calumny or slander, libel, sedition, unfounded accusations or acceptance of bribe in any form.”
Tapi tampaknya, inilah prinsip pertama yang dilanggar oleh Utusan Malaysia ketika ia menerbitkan tulisan Maidin, mantan pemimpin redaksinya, yang melontarkan slander, penghinaan terhadap Habibie bahwa mantan presiden itu adalah “pengkhianat negara.”
Maidin, yang pernah bekerja sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun, bisa saja berkilah bahwa itu adalah pendapatnya. Di Indonesia kita menghormati hak seseorang menyatakan pendapat sebagai hak asasi yang dilindungi oleh Pasal 28 F, UUD 1945.
Itu diulangi dalam preambule Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia. Tapi hak menyatakan pendapat bukanlah hak untuk melakukan calumny tuduhan jahat/fitnah, slander, penghinaan, unfounded accusation, tuduhan tak berdasar.
Apakah rakyat dan pers Malaysia bebas menyatakan pendapat dan mengkritik pemerintah Malaysia, itu tentu bisa dipertanyakan. Apakah Maidin berani mengkritik pemerintahnya secara terbuka, patut diragukan.
Ini karena di Malaysia masih berlaku Internal Security Act peninggalan kolonial Inggris, yang sampai sekarang dipertahankan pemerintah Malaysia untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Di samping itu, surat kabar Malaysia masih wajib memperbaharui izin terbitnya setiap tahun.
Akurasi
Bagi pers Indonesia, Habibie adalah tokoh yang mendatangkan kemerdekaan pers. Di zaman kepresidenannyalah dia memerintahkan Menteri Penerangan Letjen Muhammad Yunus Yosfiah menyusun draf RUU Pers yang membawa kemerdekaan pers–kemerdekaan yang pertama kali selama 255 tahun—sejak koran pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles terbit pada 1744.
Bagaimana Maidin bisa menuduh Habibie sebagai pengkhianat bangsa, sedangkan Habibielah yang membebaskan semua tahanan politik yang mendekam di bawah Presiden Soeharto, orang yang dipuji-puji Maidin dalam tulisannya itu.
Maidin menuduh Habibie pemecah belah rakyat Indonesia sehingga timbul 48 partai politik. Ini pun sebuah false accusation, sebab timbulnya sekian banyak partai politik di Indonesia adalah salah satu hasil tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Habibie yang membuka pintu demokrasi itu.
Pasal 2 Journalism Code of Ethics Malaysia menegaskan, “In pursuance of this duty he will defend the twin principles: freedom in the honest collection and publication of news; and the right of fair comment and criticism.” Pertanyannya lantas, manakah the right of fair comment and criticism itu di dalam tulisan mantan pemimpin redaksi Utusan Malaysia tersebut?
Kalau Habibie mengkhianati bangsa Indonesia, seperti dituduhkan Maidin, pastilah sudah lama dia berkalang tanah. Tapi rakyat Indonesia sangat menghormati Habibie karena dialah yang “membebaskan” Indonesia dari Timor Timur.
Beban alokasi APBN untuk pembangunan Timor Timur waktu itu, yang penduduknya cuma sekitar 800.000, hampir dua kali lebih besar daripada anggaran pembangunan DKI Jakarta yang berpenduduk sembilan kali lipat.
Fakta-fakta inilah yang antara lain tampaknya tidak dilihat oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia itu sehingga bolehlah masyarakat pembaca mempertanyakan soal akurasi tulisan seorang yang berpengalaman lebih dari 40 tahun sebagai wartawan itu.
Pertanyaan serupa bisa ditujukan kepada redaktur Utusan Malaysia, bagaimana mereka melakukan editing function mereka sehingga berita yang tidak akurat (inaccurate), melanggar Pasal 6 Canon of Journalism Malaysia, dan melanggar Pasal 7 Journalism Code of Ethics-nya bisa diterbitkan.
Pasal 7 itu berbunyi, “He will regard as grave professional offences the following: Plagiarism; Calumny, slander, libel and unfounded accusations; The acceptance of a bribe in any form in consideration of either publication or suppression”.
Utusan Malaysia sudah menerbitkan artikel yang bersifat libel, pencemaran nama baik Habibie. Maka, kalau para redaktur Utusan Malaysia taat pada Kode Etik dan Canons of Journalism mereka, rasanya mereka akan mengakui secara jujur bahwa mereka telah melanggar Pasal 7 dan semua pasal yang penulis sebut di atas.
Tinggallah sekarang pertanyaan, apakah Utusan Malaysia mau melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 Canons of Journalism-nya, yang menegaskan, “It shall be his duty to rectify and publish information found to be incorrect”. Pasal 5 Journalism Code of Ethics-nya menegaskan, “Any published information which is found to be harmfully inaccurate he will do his utmost to rectify.”
Apakah Utusan Malaysia mau dan bersedia meralat atau menarik kembali (menyatakan tidak pernah ada atau minta maaf) atas tulisan Maidin, mantan pemimpin redaksinya? Wallahu ‘alam bissawab. Yang jelas, Utusan Malaysia sudah menghapus tulisan Maidin itu dari website-nya.
Kebencian UMNO
Apa yang memicu kemarahan Maidin terhadap Habibie? Jawabannya mungkin bisa ditemukan pada kebencian partai berkuasa, UMNO, yang didukung Maidin, terhadap Ketua Umum Parti Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim, dan ketakutan pemerintah pada prinsip-prinsip demokrasi yang diceramahkan Habibie. Adalah Ibrahim yang mengundang Habibie menjadi pembicara utama dalam pertemuan dengan mahasiswa dan para pemuka masyarakat di Universiti Selangor.
Dalam ceramahnya, Habibie mendorong pluralisme, yang digambarkannya sebagai “paham yang sudah lama ada di kalangan masyarakat Malaysia dan perlu diterapkan untuk mendapatkan keseimbangan.” Katanya, “Manusia yang hidup dalam sistem demokrasi, dia benar-benar bisa berkembang dan tidak usah takut-takut.”
Terhadap penistaan dan pencemaran nama baiknya, Habibie tentu bisa menggunakan haknya menuntut pidana dan menggugat ganti rugi terhadap Zainuddin Maidin di pengadilan Malaysia, tapi itu bukan sifat Habibie. Apalagi, dia sangat mendukung dan membela kemerdekaan pers. Pilihan lain adalah mengadu ke Dewan Pers Malaysia, tapi ke mana? Di Malaysia tidak ada Dewan Pers.
Sejumlah tokoh senior wartawan Malaysia sudah berulang kali datang ke Jakarta, bertukar pikiran dengan sejumlah anggota Dewan Pers, termasuk penulis. Mereka telah mempelajari UU Pers Indonesia.
Mereka ingin memiliki UU Pers kurang lebih seperti UU Pers kita, tapi masyarakat pers Malaysia masih tarik ulur dengan pemerintah, khususnya menteri dalam negeri, yang tidak ingin kehilangan kontrolnya terhadap pers.
Sampai Dewan Pers terbentuk, dengan kewenangan melindungi kemerdekaan pers, wartawan dari seluruh 11 surat kabar dan media elektronik di Malaysia tidak akan pernah dapat menulis sesuai dengan hati nuraninya.
Mereka akan tetap harus tunduk pada kemauan penguasa, termasuk mantan pemimpin redaksinya, seperti yang terjadi di Utusan Malaysia. Canons of Journalism Malaysia serta Code of Ethics-nya hanya menjadi dokumen suci yang akan terus dilanggar. n
Abdullah Alamudi, pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo; Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers (2007-2010).
Sumber: Sinar Harapan, Senin, 17 Desember 2012
No comments:
Post a Comment