HASYIM KS lahir di Lhok Paoh, Tapaktuan, Aceh, Indonesia, 21 Juli 1940 dan anak sulung dari keluarga besar yang hidup sederhana. Pendidikan formal SMP, selanjutnya secara non formal menekuni sastra, sejarah dan teater.
Seyogianya dia telah menjadi pakar peternakan, namun Sekolah Peternakan Pemenintah (1957) dia tinggalkan karena tidak berbakat, bahkan dia diusir dari asrama dan sekolah karena sering-sering melanggar aturan. Di usia 15 tahun dia mulai mencoba menulis di majalah anak-anak Teruna/Kunang-kunang pimpinan Haksan Wirasutisna, diterbitkan Balai Pustaka Jakarta. Setelah dewasa terseret jadi wartawan membantu Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo.
Bersama beberapa seniman sastra Aceh, dia membentuk LEMPA (Lembaga Penulis Aceh). Ikut rombongan ke Pertemuan Sastrawan Nusantara ‘’Dialog Utara’’ di Alor Setar. Kedah, Malaysia (1991). Semasa hidupnya pernah aktif di Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (DKA 1995-2000), Anggota Seksi Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banda Aceh dan sejak 1990 bekerja di surat kabar Serambi Indonesia Banda Aceh sebagai Redaktur Budaya.
Akhir 1995 bersama penyair Taufik Ismail dan LK Ara menyiapkan antologi Sastrawan Aceh dan Nusantara yang diberi nama ‘’Seulawah’’. Puisinya terdapat pula dalam antologi yakni napas Tanah Rencong, Banda Aceh, sosok, lagu kelu dan lain-lain. Sosoknya dalam rekaman teman-teman dapat ditemukan dalam buku Serdadu Tua Nguyen Polan (Aliansi Sastrawan Aceh-Dewan Kesenian Aceh, 2006).
Hasyim KS yang oleh koleganya digelari ‘’Serdadu Tua’’ memiliki dua putra, Surya Kanta (Boy) dan Fitrah Mirja (Bob) dari istrinya, Cut Ansariah. Hasyim KS adalah salah seorang seniman modern penting di Aceh, selain menekuni sastra, puisi, dan prosa ia menulis naskah drama dan juga sesekali menjadi Aktor. Kemahirannya menguasai cerita rakyat Aceh, dia buktikan melalui kolom ‘’Apit Awe’’ yang ditulisnya secara tetap setiap hari di salah satu sudut halaman depan surat kabar ini sejak awal penerbitannya hingga dirinya pensiun. Ketika masih di Serambi, meja kerjanya juga berada di salah satu sudut redaksi.
Hasyim KS memang tidak pernah berhenti menulis sastra. Itulah kegiatan yang ditekuninya secara otodidak. Termasuk karirnya di bidang jurnalistik ditapakinya dengan belajar secara alamiah pula. Hasyim pernah menjadi koresponden harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis di Banda Aceh, membantu majalah Tempo serta berbagai suratkabar lokal Aceh. Karirnya sebagai wartawan dilanjutkan sebagai wartawan Analisa Medan, kemudian beralih ke Serambi dan menjadi salah seorang yang terlibat langsung sejak awal penerbitannya.
Sebagai sastrawan, dia telah begitu banyak cerita pendek dan puisi. Karya-karyanya banyak diterbitkan dalam antologi dan diterbitkan berbagai jurnal kebudayaan bersama penyair Taufik Ismail dan LK Ara, menjadi editor antologi sastra Aceh Seulawah.
Satu hal yang sangat sulit dilupakan dari sosok Hasyim KS adalah sifat mengayom dan mengarahkan bakat-bakat para penulis muda. Seringkali Hasyim melampirkan catatan koreksinya terhadap puisi atau prosa yang tidak dimuat di kolom budaya Serambi ketika masih diasuhnya. Hasyim merasa perlu menyampaikan koreksi-koreksi itu sebagai perbandingan terhadap karya yang dikirimkan.
Serdadu Tua itu kini telah pergi. Ia meninggalkan banyak jasa bagi sastra modern Aceh. Sayangnya, rencana menerbitkan buku ‘’Kumpulan Cerita Pendek’’ Hasyim KS, belum berhasil diwujudkan. Padahal usaha itu sudah sejak lama dirintis. Barangkali Dewan Kesenian Aceh akan mengambil alih tugas itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa- jasanya.
Berita duka kepergian Hasyim KS menghadap Sang Khalik secara berantai disebarkan oleh seniman dan kalangan jurnalis di Aceh ke mana-mana, sehingga dalam waktu singkat saja kawan-kawan seniman di Aceh, Jakarta dan luar negeri menyampaikan rasa belangsungkawa yang dalam atas kepergian penyair besar Aceh untuk selama-lamanya.
Ketika kondisi fisiknya terus menurun, kawan-kawan seniman Banda Aceh yang sedang menggelar Kutaraja Art Festival (KAF) menggalang dana untuk membantu Hasyim. Selain pada tahun 2003, Hasyim KS juga mendapat penghargaan seni dari DKA yang diserahkan saat pelaksanaan KAF.(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 9 Desember 2012
Seyogianya dia telah menjadi pakar peternakan, namun Sekolah Peternakan Pemenintah (1957) dia tinggalkan karena tidak berbakat, bahkan dia diusir dari asrama dan sekolah karena sering-sering melanggar aturan. Di usia 15 tahun dia mulai mencoba menulis di majalah anak-anak Teruna/Kunang-kunang pimpinan Haksan Wirasutisna, diterbitkan Balai Pustaka Jakarta. Setelah dewasa terseret jadi wartawan membantu Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo.
Bersama beberapa seniman sastra Aceh, dia membentuk LEMPA (Lembaga Penulis Aceh). Ikut rombongan ke Pertemuan Sastrawan Nusantara ‘’Dialog Utara’’ di Alor Setar. Kedah, Malaysia (1991). Semasa hidupnya pernah aktif di Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (DKA 1995-2000), Anggota Seksi Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banda Aceh dan sejak 1990 bekerja di surat kabar Serambi Indonesia Banda Aceh sebagai Redaktur Budaya.
Akhir 1995 bersama penyair Taufik Ismail dan LK Ara menyiapkan antologi Sastrawan Aceh dan Nusantara yang diberi nama ‘’Seulawah’’. Puisinya terdapat pula dalam antologi yakni napas Tanah Rencong, Banda Aceh, sosok, lagu kelu dan lain-lain. Sosoknya dalam rekaman teman-teman dapat ditemukan dalam buku Serdadu Tua Nguyen Polan (Aliansi Sastrawan Aceh-Dewan Kesenian Aceh, 2006).
Hasyim KS yang oleh koleganya digelari ‘’Serdadu Tua’’ memiliki dua putra, Surya Kanta (Boy) dan Fitrah Mirja (Bob) dari istrinya, Cut Ansariah. Hasyim KS adalah salah seorang seniman modern penting di Aceh, selain menekuni sastra, puisi, dan prosa ia menulis naskah drama dan juga sesekali menjadi Aktor. Kemahirannya menguasai cerita rakyat Aceh, dia buktikan melalui kolom ‘’Apit Awe’’ yang ditulisnya secara tetap setiap hari di salah satu sudut halaman depan surat kabar ini sejak awal penerbitannya hingga dirinya pensiun. Ketika masih di Serambi, meja kerjanya juga berada di salah satu sudut redaksi.
Hasyim KS memang tidak pernah berhenti menulis sastra. Itulah kegiatan yang ditekuninya secara otodidak. Termasuk karirnya di bidang jurnalistik ditapakinya dengan belajar secara alamiah pula. Hasyim pernah menjadi koresponden harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis di Banda Aceh, membantu majalah Tempo serta berbagai suratkabar lokal Aceh. Karirnya sebagai wartawan dilanjutkan sebagai wartawan Analisa Medan, kemudian beralih ke Serambi dan menjadi salah seorang yang terlibat langsung sejak awal penerbitannya.
Sebagai sastrawan, dia telah begitu banyak cerita pendek dan puisi. Karya-karyanya banyak diterbitkan dalam antologi dan diterbitkan berbagai jurnal kebudayaan bersama penyair Taufik Ismail dan LK Ara, menjadi editor antologi sastra Aceh Seulawah.
Satu hal yang sangat sulit dilupakan dari sosok Hasyim KS adalah sifat mengayom dan mengarahkan bakat-bakat para penulis muda. Seringkali Hasyim melampirkan catatan koreksinya terhadap puisi atau prosa yang tidak dimuat di kolom budaya Serambi ketika masih diasuhnya. Hasyim merasa perlu menyampaikan koreksi-koreksi itu sebagai perbandingan terhadap karya yang dikirimkan.
Serdadu Tua itu kini telah pergi. Ia meninggalkan banyak jasa bagi sastra modern Aceh. Sayangnya, rencana menerbitkan buku ‘’Kumpulan Cerita Pendek’’ Hasyim KS, belum berhasil diwujudkan. Padahal usaha itu sudah sejak lama dirintis. Barangkali Dewan Kesenian Aceh akan mengambil alih tugas itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa- jasanya.
Berita duka kepergian Hasyim KS menghadap Sang Khalik secara berantai disebarkan oleh seniman dan kalangan jurnalis di Aceh ke mana-mana, sehingga dalam waktu singkat saja kawan-kawan seniman di Aceh, Jakarta dan luar negeri menyampaikan rasa belangsungkawa yang dalam atas kepergian penyair besar Aceh untuk selama-lamanya.
Ketika kondisi fisiknya terus menurun, kawan-kawan seniman Banda Aceh yang sedang menggelar Kutaraja Art Festival (KAF) menggalang dana untuk membantu Hasyim. Selain pada tahun 2003, Hasyim KS juga mendapat penghargaan seni dari DKA yang diserahkan saat pelaksanaan KAF.(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 9 Desember 2012
No comments:
Post a Comment