-- Desi Sommalia Gustina
DALAM dunia pendidikan, salah satu hal yang kerap menjadi sorotan adalah sisi ketidakberuntungan siswa dalam mengenyam pendidikan. Pada karya sastra misalnya, seorang atau beberapa orang siswa tak jarang digambarkan sebagai sosok yang tertekan karena beragam hal yang mengepungnya; pelecehan seksual, intimidasi dari teman atau guru, dan sebagainya. Kondisi tersebut misalnya seperti yang dipaparkan oleh Yulita Fitriana dalam tulisannya ‘’Potret Buram Pendidikan’’ dalam Cerpen ‘’Surat Terakhir’’ Karya Cicilia Anggraini Oday, (Riau Pos, 2 Desember 2012).
Tak jauh berbeda dari judul, isi tulisan Yulita tak lain dan tak bukan berbicara mengenai potret buram dalam dunia pendidikan, khususnya yang terdapat dalam cerpen ‘’Surat Terakhir’’ yang ditulis Cicilia Anggraini Oday dan dimuat di majalah Horison, edisi Maret 2011. Potret buram yang dimaksud seperti terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap siswa, hukuman fisik hingga tekanan psikis yang dialami siswa.
Lalu, bagaimana jika kondisinya kemudian terbalik? Gurulah yang justru mengalami tekanan batin yang diakibatkan oleh kenakalan siswa yang seolah tak bisa dibendung karena guru tak lagi dibenarkan memberikan ganjaran berupa hukuman fisik. Karena, jika guru memberikan hukuman fisik terhadap siswa maka akan dikatakan melanggar HAM. Sebagaimana keresahan yang dialami tokoh utama dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ karya Riki Utomi yang terdapat dalam penggalan paragraf berikut: ‘’Lalu, dia katakan bahwa kita selalu disekat oleh HAM. Tak ada lagi tindak langsung dalam mendidik. Jauh-jauh dia lontarkan kisah-kisah masa lalu, tentang datuk moyangnya yang masih muda seperti yang ada di dalam foto hitam putih itu. Tak ada lagi sekarang mendidik yang sesungguhnya, yaitu dengan sebatan rotan, atau layangan yang menurutnya itulah sebuah proses didikan yang mujarab. Kini semua telah disekat oleh sosok HAM. Sebab itu, ia selalu tampak menggigil menahan geram dari rasa amarah yang teramat sangat kepada siswa yang-menurutnya- tak dapat dinasehati dan dididik’’ (halaman 239).
Pertanyaannya kemudian, apakah memberi hukuman fisik kepada siswa yang melakukan kesalahan adalah mutlak perbuatan tercela sehingga masuk dalam kategori melanggar HAM? Jawabnya bisa jadi benar, namun bisa pula tidak. Hukuman fisik yang tak diperbolehkan dilakukan oleh guru kepada murid hemat saya adalah hukuman yang membahayakan keselamatan siswa. Sedangkan dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ yang merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku ‘’Dari Seberang Perbatasan’’ -buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2012- (Yayasan Sagang, Pekanbaru, November 2012) ini, tampaknya tokoh utama yang berprofesi sebagai guru hanya ingin memberikan hukuman fisik -berupa sebatan dengan rotan, kepada siswa yang melanggar aturan. Di samping itu, hukuman yang ingin diterapkan tersebut semata-mata bertujuan sebagai proses pembelajaran kepada siswa. Sanksi menyebat dengan rotan yang dimaksud oleh tokoh utama dalam cerpen ini yang mengalami tekanan batin, tentu bukanlah pukulan yang mematikan atau membahayakan terhadap keselamatan siswa.
Memberikan hukuman fisik untuk tujuan pembelajaran terkadang diperlukan. Sebagaimana kita ketahui, dalam ajaran Islam misalnya, orangtua diperbolehkan untuk memukul anaknya jika pada usia tujuh tahun tidak melaksanakan salat. Perintah memukul anak jika pada usia tujuh tahun tidak melaksanakan salat tersebut tentu bukanlah sebuah pukulan yang membahayakan terhadap keselamatan si anak, melainkan pukulan yang bertujuan menjadikannya sebagai cambuk agar anak taat menjalankan ibadah salat lima waktu yang menjadi tiang agama. Hemat saya, begitupun dengan menyebat dengan rotan yang dimaksud tokoh utama dalam cerpen ini, tindakan menyebat dengan rotan yang ia maksudkan adalah sebuah cambuk agar siswa memiliki kesadaran mentaati aturan dan memiliki akhlak yang baik. Sebuah nilai yang memang semestinya ditanamkan ketika seorang anak masih duduk di bangku sekolah.
Siapapun tahu sekolah merupakan tempat menempa pendidikan, yang tentu saja tidak sekadar tempat proses mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Sekolah sudah seharusnya menjadi pusat pendidikan beragam hal; pendidikan akhlak, mental, di samping juga tempat pembentukan karakter. Sebagai tenaga pendidik, tidaklah berlebih jika dikatakan guru memiliki andil besar dalam pembentukan sebuah generasi. Namun apa jadinya jika seorang guru dalam menjalankan tugasnya diselimuti oleh tekanan batin yang berkepanjangan, yang kemudian berbuntut pada sikap di dalam kelas. Umpamanya menjalankan kewajiban mengajar dengan keterpaksaan, sebatas menggugurkan tugas yang telah tersandang di pundaknya, atau sekadar menyampaikan materi pelajaran di kelas. Tak lebih. Seperti yang terlihat dalam cerpen ‘’Sekolah Babi’’ ini. Dan ironisnya, seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik justru mempersamakan anak didiknya dengan binatang. Tentu saja sikap yang demikian akan berpengaruh pada anak. Baik karakter, mental, perangai dan lain-lain.
Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa seorang guru berlaku demikian? Jika ditilik cerpen ini, guru tersebut mengalami tekanan batin akibat peraturan-peraturan yang mengekangnya. Yang membuatnya tidak leluasa dalam menjalankan profesi sebagai pendidik. Peraturan yang menyandera tokoh utama dalam cerpen ini adalah batasan pelanggaran HAM yang membuatnya merasa dikekang. Sehingga tokoh utama dalam cerpen ini mengalami stress dan tak bisa mengelak untuk tidak mempersamakan anak didiknya dengan binatang. Hal ini tentu merupakan hal yang sangat ironis, karena bisa dikata guru adalah salah seorang arsitek peradaban. Sehingga, apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan akan berdampak pada masa depan sebuah generasi. Sebab pengalaman masa lalu adalah pelajaran berharga bagi anak. Karena kata Goleman, jika anak terbiasa hidup dengan kecaman dan cemoohan, maka kelak ia akan pandai menyalahkan.
Cerpen ‘’Sekolah Babi’’ ini memiliki pesan bahwa perbaikan bidang pendidikan memang harus dilakukan sungguh-sungguh. Terutama dalam hal perbaikan kualitas guru. Misalnya dengan meninjau ulang peraturan yang mengekang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Hal ini bertujuan agar guru mampu menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Bisa menjadi teman, punya kehangatan, memiliki wibawa, tegas, namun tetap punya otoritas. n
Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau. Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Desember 2012
No comments:
Post a Comment