Data buku
Minamoto no Yoritomo
Eiji Yoshikawa
Kansha Books, Jakarta
I, 2012
388 halaman
PERANG Heiji telah berakhir. Klan Taira memenangi perang. Salju turun melingkupi Kota Kyoto. Yoshitomo (pemimpin klan Genji) yang kalah perang, memilih melarikan diri. Namun, dia bersama seluruh keluarga akhirnya tertangkap. Hukuman mati pun dijatuhkan. Dia dipenggal. Bahkan Kiyomori (pemimpin klan Taira) berharap tidak satu pun dari keluarga Yoshitomo hidup. Sebab, dia tak ingin kelak kemudian hari, ada anak Yoshitomo yang menuntut balas.
Namun, niat Kiyomori itu ditentang Ike no Zenni (ibu tiri dari Kiyomori) dan Yorimori (anak Kiyomori). Sebab, hal itu dipandang bukan sikap pemimpin yang memiliki belas kasihan. Empat anak Yoshitomo tak jadi dibunuh tapi diasingkan. Yoritomo diasingkan ke Hirugakojima (Izi). Anak Yoshitomo yang lain diasingkan ke sebuah Kuil, di Kurawa.
Sayang, belas kasihan Kiyomori itu tak dibalas oleh anak-anak Yoshitomo. Yoritomo yang dari kecil ingin menjadi biksu rupanya berubah pikiran. Dia tak bisa menghapus dendam. Titisan darah yang diwarisi ayahnya menuntut dia membalas kekalahan di Perang Heiji. Dendam itu menggumpal, mengobarkan api pemberontakan. Yoritomo lantas membangun kekuatan?untuk membalas dendam sekaligus merebut kekuasaan.
Mungkin jalan sejarah akan lain jika dulu Kiyomori memenggal keempat anak Yoshitomo, tapi keputusan memberi ampunan itu justru menjadi bumerang bagi Kiyomori. Dengan memberi ampunan, dia pun membuka "pintu" bagi keluarga Yoshitomo?terlebih anak-anak Yoshitomo untuk membalas dendam. Apakah itu satu kesalahan Kiyomori yang patut dia sesali?
Tak ada niat dan tindakan baik yang harus disesali, tapi sejarah memang rangkai kejadian di masa lalu yang tidak bisa diubah. Dari kepingan-kepingan sejarah itulah, terselip setumpuk pelajaran, hikmah, dan bahkan jawaban hidup yang bisa dipetik bagi orang-orang yang hidup di kemudian hari.
Dari kejadian itu, siapa pun bisa merenung dan menimba pelajaran tentang hidup. Dan dalam novel Minamoto no Yoritomo ini, Eiji Yoshikawa tidak saja mengisahkan perseteruan antara klan Taira dan klan Genji (Yoshitomo dan anak-anaknya) yang sempat menorehkan catatan hitam dalam sejarah Jepang, tetapi juga meninggalkan pesan tentang perebutan kekuasaan yang dinodai dengan perang. Padahal, perang kerap meninggalkan kepiluan yang merenggut jutaan orang, trauma dan dendam.
Namun, itulah kisah hidup umat manusia yang menghuni dunia ini. Di daerah atau negara tertentu, harus ada orang yang menjadi pemimpin. Ironisnya, pemimpin satu daerah dengan daerah lain saling rebut wilayah. Dan, "perebutan kekuasaan" menjadi syarat mutlak menciptakan kedamaian dan masa depan yang lebih baik. Kiyomori beruntung mampu mengubah hidup?dari anak yang hidup sengsara, kemudian memegang tapuk kekuasaan. Tapi sayang, dia tak bisa bertindak bijak dan membuat rakyat sejahtera ketika dia ada di puncak kekuasaan.
Novel ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari novel The Heike Story?yang juga ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Hanya saja, kalau dalam novel The Heike Story, pengarang kenamaan Jepang ini mengisahkan perang besar Heiji dan kehidupan Kiyomori dari sudut pandang Kiyomori.
Sementara, dalam novel ini Yoshikawa mengambil "sudut pandang" yang berbeda?menuturkan kisah pasca-Perang Heiji dari sudut pandang keluarga Yoshitomo; kehidupan Yoritomo (yakni pangeran Suke) dan Ushiwaka pasca-Perang Heiji yang mengakibatkan anak-anak Yoritomo terlunta-lunta, hingga akhirnya bangkit untuk membalas dendam. Sayang dalam novel ini, kehidupan kedua anak Yoshitomo yang lain, yakni Iwamaka dan Otokawa, tidak banyak dikisahkan, kecuali hanya di awal-awal kisah ketika keduanya masih kecil.
Setiap karya Eiji Yoshikawa memang memiliki spirit dan roh yang kuat dalam mengeksplorasi sejarah?tidak terkecuali novel ini.
Bahkan, di tangan Yoshikawa, sejarah pasca-Perang Heiji dan kisah kehidupan Yoritomo mampu dihidupkan kembali oleh Eiji Yoshikawa dengan mengagumkan. Dia berhasil menggali serpihan sejarah Jepang abad 12, kemudian menjadi sebuah cerita yang bisa dikenang dan diingat sepanjang masa. Selain itu, dalam novel ini, Yoshikawa berhasil menelusupkan pesan dengan kuat pada alur cerita.
Tak berlebihan jika membaca novel ini pembaca diajak pengarang untuk belajar sekilas sejarah Jepang. Bahkan diajak mengenal kondisi sosial, adat istiadat, dan tradisi Jepang. Sebab, Eiji Yoshikawa tak saja mengolah data sejarah yang terjadi di masa lalu, tapi juga menggambarkan keadaan sosial (dari sisi sosiologis, antropologis, dan bahkan historis) Negeri Jepang.
Maka, dalam novel ini terungkap pula pandangan hidup (filsafat), tradisi, adat-istiadat, dan mitologi yang berkembang di tengah masyarakat Jepang masa itu. Sebuah novel yang layak dibaca bagi siapa pun yang ingin mengenal Negeri Jepang! N
N. Mursidi, Cerpenis dan Blogger buku, Jakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012
Minamoto no Yoritomo
Eiji Yoshikawa
Kansha Books, Jakarta
I, 2012
388 halaman
PERANG Heiji telah berakhir. Klan Taira memenangi perang. Salju turun melingkupi Kota Kyoto. Yoshitomo (pemimpin klan Genji) yang kalah perang, memilih melarikan diri. Namun, dia bersama seluruh keluarga akhirnya tertangkap. Hukuman mati pun dijatuhkan. Dia dipenggal. Bahkan Kiyomori (pemimpin klan Taira) berharap tidak satu pun dari keluarga Yoshitomo hidup. Sebab, dia tak ingin kelak kemudian hari, ada anak Yoshitomo yang menuntut balas.
Namun, niat Kiyomori itu ditentang Ike no Zenni (ibu tiri dari Kiyomori) dan Yorimori (anak Kiyomori). Sebab, hal itu dipandang bukan sikap pemimpin yang memiliki belas kasihan. Empat anak Yoshitomo tak jadi dibunuh tapi diasingkan. Yoritomo diasingkan ke Hirugakojima (Izi). Anak Yoshitomo yang lain diasingkan ke sebuah Kuil, di Kurawa.
Sayang, belas kasihan Kiyomori itu tak dibalas oleh anak-anak Yoshitomo. Yoritomo yang dari kecil ingin menjadi biksu rupanya berubah pikiran. Dia tak bisa menghapus dendam. Titisan darah yang diwarisi ayahnya menuntut dia membalas kekalahan di Perang Heiji. Dendam itu menggumpal, mengobarkan api pemberontakan. Yoritomo lantas membangun kekuatan?untuk membalas dendam sekaligus merebut kekuasaan.
Mungkin jalan sejarah akan lain jika dulu Kiyomori memenggal keempat anak Yoshitomo, tapi keputusan memberi ampunan itu justru menjadi bumerang bagi Kiyomori. Dengan memberi ampunan, dia pun membuka "pintu" bagi keluarga Yoshitomo?terlebih anak-anak Yoshitomo untuk membalas dendam. Apakah itu satu kesalahan Kiyomori yang patut dia sesali?
Tak ada niat dan tindakan baik yang harus disesali, tapi sejarah memang rangkai kejadian di masa lalu yang tidak bisa diubah. Dari kepingan-kepingan sejarah itulah, terselip setumpuk pelajaran, hikmah, dan bahkan jawaban hidup yang bisa dipetik bagi orang-orang yang hidup di kemudian hari.
Dari kejadian itu, siapa pun bisa merenung dan menimba pelajaran tentang hidup. Dan dalam novel Minamoto no Yoritomo ini, Eiji Yoshikawa tidak saja mengisahkan perseteruan antara klan Taira dan klan Genji (Yoshitomo dan anak-anaknya) yang sempat menorehkan catatan hitam dalam sejarah Jepang, tetapi juga meninggalkan pesan tentang perebutan kekuasaan yang dinodai dengan perang. Padahal, perang kerap meninggalkan kepiluan yang merenggut jutaan orang, trauma dan dendam.
Namun, itulah kisah hidup umat manusia yang menghuni dunia ini. Di daerah atau negara tertentu, harus ada orang yang menjadi pemimpin. Ironisnya, pemimpin satu daerah dengan daerah lain saling rebut wilayah. Dan, "perebutan kekuasaan" menjadi syarat mutlak menciptakan kedamaian dan masa depan yang lebih baik. Kiyomori beruntung mampu mengubah hidup?dari anak yang hidup sengsara, kemudian memegang tapuk kekuasaan. Tapi sayang, dia tak bisa bertindak bijak dan membuat rakyat sejahtera ketika dia ada di puncak kekuasaan.
Novel ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari novel The Heike Story?yang juga ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Hanya saja, kalau dalam novel The Heike Story, pengarang kenamaan Jepang ini mengisahkan perang besar Heiji dan kehidupan Kiyomori dari sudut pandang Kiyomori.
Sementara, dalam novel ini Yoshikawa mengambil "sudut pandang" yang berbeda?menuturkan kisah pasca-Perang Heiji dari sudut pandang keluarga Yoshitomo; kehidupan Yoritomo (yakni pangeran Suke) dan Ushiwaka pasca-Perang Heiji yang mengakibatkan anak-anak Yoritomo terlunta-lunta, hingga akhirnya bangkit untuk membalas dendam. Sayang dalam novel ini, kehidupan kedua anak Yoshitomo yang lain, yakni Iwamaka dan Otokawa, tidak banyak dikisahkan, kecuali hanya di awal-awal kisah ketika keduanya masih kecil.
Setiap karya Eiji Yoshikawa memang memiliki spirit dan roh yang kuat dalam mengeksplorasi sejarah?tidak terkecuali novel ini.
Bahkan, di tangan Yoshikawa, sejarah pasca-Perang Heiji dan kisah kehidupan Yoritomo mampu dihidupkan kembali oleh Eiji Yoshikawa dengan mengagumkan. Dia berhasil menggali serpihan sejarah Jepang abad 12, kemudian menjadi sebuah cerita yang bisa dikenang dan diingat sepanjang masa. Selain itu, dalam novel ini, Yoshikawa berhasil menelusupkan pesan dengan kuat pada alur cerita.
Tak berlebihan jika membaca novel ini pembaca diajak pengarang untuk belajar sekilas sejarah Jepang. Bahkan diajak mengenal kondisi sosial, adat istiadat, dan tradisi Jepang. Sebab, Eiji Yoshikawa tak saja mengolah data sejarah yang terjadi di masa lalu, tapi juga menggambarkan keadaan sosial (dari sisi sosiologis, antropologis, dan bahkan historis) Negeri Jepang.
Maka, dalam novel ini terungkap pula pandangan hidup (filsafat), tradisi, adat-istiadat, dan mitologi yang berkembang di tengah masyarakat Jepang masa itu. Sebuah novel yang layak dibaca bagi siapa pun yang ingin mengenal Negeri Jepang! N
N. Mursidi, Cerpenis dan Blogger buku, Jakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012
No comments:
Post a Comment