-- Aristofani Fahmi
DUA malam berturut-turut Tom Ibnur (60) menyajikan karya tari yang berjudul ‘’Zapin Al Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’. Kedua karya ini disusun berdasar hasil penelitian terhadap ragam zapin Melayu yang bertebaran di Provinsi Jambi yang dikombinasikan dengan ragam gerak zapin Arab.
Menurut Tom Ibnur, zapin Arab memiliki gerak, gaya dan karakter yang bisa dikatakan mirip di hampir semua kawasan Arab. Sedang zapin Melayu memiliki ragam dan karakter yang berbeda di tiap daerah di Jambi. Keduanya kemudian diinterpretasi secara kreatif menjadi gerak yang disusun berdasar prinsip-prinsip koreografi. Musik yang disusun apik oleh Anggara Satria (27) juga memberi sentuhan yang berbeda dan segar. Dalam menyusun musik, komposer muda Pekanbaru ini seperti menawarkan dunia baru musik zapin Melayu. Melodi khas zapin Melayu dibalut dalam progresi akor yang lazim terdapat pada musik rock. Kedua karya tari itu ditampilkan pada perhelatan Temu Zapin ASEAN 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru pada 30 November dan 1 Desember 2012.
Tulisan ini bukan ulasan karya tersebut, hanya sekadar catatan kecil proses kekaryaan. Atau, dengan kata lain, peristiwa apa yang terjadi di balik karya tersebut. Hal ini menarik, sebab menurut saya, pertemuan koreografer Tom Ibnur dan komposer Anggara Satria merupakan fenomena ideal dalam proses kekaryaan tari-musik. Ideal, sebab memilih jalan sunyi kreatifitas di tengah hiruk pikuk karya tari-musik pesanan instan, yang menjangkit di hampir seluruh sanggar seni di Indonesia, tak terkecuali di kota Pekanbaru. Perbedaannya terletak pada kedalaman makna.
***
Nama Tom Ibnur dan zapin Melayu seperti tak bisa dipisahkan. Posisi sebagai penari, pengajar dan juga peneliti tari zapin, menjadikannya sebagai penjaga terakhir keberlangsungan hidup tari zapin. Interaksi Tom dengan zapin Melayu Jambi sudah terbangun selama puluhan tahun. Hasilnya, ratusan dokumentasi ragam gerak zapin di seluruh pelosok Nusantara, tertata rapi di ruang kerjanya di sanggar tari Langkan Budaya Taratak besutannya. Pada obrolan ringan, Tom mengutarakan model revitalisasi yang diterapkannya adalah merawat hubungan dengan pelaku zapin tradisi. Cara ini berhasil mengurai batas personalitas antara dirinya dengan para penari tradisi yang sejatinya adalah mata budaya zapin melayu. Pengembaraannya dengan zapin Melayu menjadikannya sebagai pengajar tamu di beberapa perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Festival Zapin Nusantara dua tahunan di Johor Bahru yang sudah dilaksanakan tiga kali pada tahun 2011 silam, adalah hasil kerja keras Tom Ibnur dalam upaya memberi ruang terhadap keberlangsungan hidup tari zapin dan perkembangannya.
Revitalisasi seni tradisi memang tak harus diukur dengan besaran uang yang diberikan- sebagaimana banyak diterapkan pada program revitalisasi seni ala pemerintah. Terutama jika aroma proyek lebih terasa dari pada substansi revitalisasi itu sendiri. Tom Ibnur juga sesekali memberi bantuan finansial ke beberapa sanggar atau penari tradisi, yang sepenuhnya untuk keperluan sanggarnya; misalnya untuk kostum, alat musik peralatan rias atau keperluan lain. Namun, menurutnya, yang paling penting adalah komunikasi kekerabatan dengan pelaku seni tradisi yang mampu melestarikan kehidupan kesenian tradisi. Sebab dari komunikasi itulah peta persoalan seni tradisi terlihat jelas.
Belum banyak yang mendengar nama Anggara Satria sebagai seorang komposer di Pekanbaru. Namun dengan kemampuan musikalitas yang dimiliki membuatnya terpilih menjadi salah satu komposer pada penutupan Pekan Olah Raga Nasional dan pembukaan Pekan Paralimpik Nasional yang dihelat di Riau beberapa waktu lalu. Jalur musik yang dijalani Anggara terbilang unik. Kegemarannya mengeksplorasi melodi maupun pola kendang tradisi adalah salah satu khas dari karyanya.
Bekal musikalitas Anggara cukup beragam. Pendidikan musik formalnya ditempuh di Akademi Kesenian Melayu Riau (sekarang Sekolah Tinggi Seni Riau). Angga sadar bangku kuliah tak cukup untuk mengembangkan pola pikir dalam berkarya maupun berwacana musik. Adalah almarhum Ben Pasaribu yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap wawasan bermusiknya. Bagi Angga, Ben adalah motivator dan pembuka jalan bagi perkembangan dirinya. Ben Anggara dikenalkan dengan komposer asal Amerika Alex Dea yang karyanya cukup berpengaruh dengan genre 20 century, komponis asal Jerman Vincen Mc Dermott, musikus elektronik asal Jogjakarta almarhum Sapto Raharjo dan komposer musik elektro akustik Fahmi Alatas asal Jakarta.
***
Pertemuan Tom Ibnur dan Anggara Satriya adalah peristiwa oposisi identitas. Dalam teori perubahan sosial, Hegel menyebutnya sebagai proses dialektika. Koreografi Tom Ibnur sebagai sebuah tesis, sementara musikalitas Anggara Satria sebagai antitesis. Dialektika Hegel menyatakan, segala sesuatu memiliki oposisinya. Tanpa oposisi sesuatu tak dapat dimengerti dengan jelas. Pada karya ‘’Zapin Al-Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’, tari dan musik beroposisi dalam ruang lingkup estetika. Keduanya berproses, untuk mencapai sintesis atau identitas baru estetika tari-musik.
Oposisi yang terjadi pada karya ‘’Zapin Al-Zafn’’ dan ‘’Zapin Pecah Delapan’’, harusnya juga pada proses kekaryaan yang lain, terjadi saat proses latihan. Segala unsur pada tiap identitas (tari dan musik) bergerak menuju puncak kreatifitasnya masing-masing. Di sanalah terjadi kompromi, kesepakatan yang kadang dilalui dengan perdebatan yang panjang. Menurut Magnis-Suseno, ‘Dialektika Hegel’ selalu terkandung tiga hal, yakni menyangkal, menyimpan dan mengangkat. Konsep koreografi Tom Ibnur dihadapkan dengan konsep musik Anggara yang menegasikannya, kemudian negasi tersebut dinegasi lagi dan diangkat sehingga mencapai pada konsep estetika yang utuh. Dalam negasi ini hanya yang salahlah yang dibuang.
Tom mengatakan, proses negasi dalam kekaryaannya bukan hanya tentang bagaimana gerak dan bunyi disajikan. Keduanya perlu proses yang panjang untuk dapat menemukan kesepakatan sehingga daya pikir dan rasa dapat seimbang bagi seluruh pendukung karya. Sebagai contoh, pada proses karya ‘’Batas Budi Kaki Langit Biru’’ untuk pergelaran Indonesian Dance Festival Juni 2012 lalu, proses negasi antara Tom dan Anggara terjadi tak sekali dua kali kemudian jadi. Pada karya ini, Tom bermain di wilayah eksistensi manusia dan Tuhan. Gerak-gerak sederhana yang repetitif menjadi pilihan utama. Di sini, musik ditantang lebih kreatif untuk tak sekadar menghadirkan bunyi. Tom mengisahkan, pada bagian gerak tertentu karya tersebut Anggara membuat iringan yang menurut konsep koreografinya tidak cocok. Tentu saja kejadian ini adalah masalah penafsiran bebas komposer terhadap konsep. Namun proses latihan sempat terhenti untuk sementara. Setelah melalui diskusi panjang dan rinci, ternyata karakter bunyi instrumen yang dipilih dianggap tak cocok mengangkat suasana.
Proses negasi lain dalam karya Tom ini terjadi saat musik telah selesai dibuat untuk setiap bagian koreografi. Musik yang disusun Anggara terlalu kuat menonjolkan diri sebagai sebuah komposisi musik sehingga cenderung mengalahkan tarian. Musik dibuat sangat indah dan menggetarkan. Tom sadar bahwa musik tersebut memiliki kekuatan yang berakibat pada beralihnya perhatian apresiator kepada kekuatan musik, alih-alih pemusatan perhatian kepada karya tari. ‘’Untuk itu saya minta Anggara menyederhanakannya,’’ kata Tom usai pentasnya di Gedung Idrus Tintin malam itu. Fenomena penyederhanaan musik itu merupakan sintesis dari konsep awal tari yang ditafsir Anggara. Sintesis itu kemudian menjelma menjadi tesis baru.
***
Perlu digarisbawahi adalah, Tom sadar akan kekuatan musik yang berdampak pada karyanya. Inilah yang perlu dimiliki tiap koreografer. Diperlukan sensitifitas terhadap perubahan yang terjadi disekitarnya pada saat berproses. Sensitifitas itu dapat dicapai dengan evaluasi secara kontinyu. Selain itu, penting juga berdialog dengan orang lain, pada diri sendiri, bahkan berdialog pada karya itu sendiri. Akhirnya Hegel mengatakan, ‘’Dialektika ini akan mengarah pada penemuan keutuhan dalam roh yang sadar diri,’’ dalam hal ini karya itu sendiri.
Tom Ibnur dalam menentukan musik sebagai oposisi karyanya tak hanya menitikberatkan pada perihal estetika. Menurut Tom, ada empat syarat utama dalam bekerja kreatif bersama komposernya. Pertama, memiliki kemampuan musikalitas yang baik. Kedua, rendah hati, penuh kompromi dan jujur. Selain hal-hal itu, sosok Anggara yang tak terikat pada satu institusi (sanggar seni) tertentulah yang menjadi hal menarik bagi Tom. Artinya, ada kebebasan pribadi yang melekat dalam dirinya. Tom Ibnur sadar betul, proses kekaryaannya sangat ditentukan oleh interpretasi konsep dan bagaimana konsep dapat dikomunikasikan kepada komposer. Karena itu, unsur kepribadian komposer menjadi pertimbangan nomor wahid. ‘’Seluruhnya ada dalam diri Anggara,’’ tutur Tom.
Anggara sendiri mengaku, berproses kreatif bersama Tom Ibnur sama halnya belajar tentang kehidupan. Karya koreografi Tom mengajak untuk lebih mengenal tentang ‘diri’. Dialog yang terbuka dan intens mengenai estetika karya dan konsep koreografi dan kehidupan, justru menjadi stimulus dalam penyusunan musiknya. “Dialog dalam proses inilah yang tidak saya dapatkan pada proses karya tari dengan koreografer lain”, jelas Anggara. Diaakui keduanya, proses karya ‘’Batas Budi Kaki Langit Biru’’ berhasil mewujudkan estetika karya ke taraf tertinggi: sublim.
Proses seperti ini penting bagi siapapun yang berkecimpung di dunia kreativitas seni. Proses yang dipenuhi dengan dialog intens, evaluasi secara terus menerus memungkinkan lahirnya ide-ide baru untuk mencapai tingkat estetika yang diharapkan. Dunia seni yang sifatnya dinamis selalu menuntut intensitas dalam eksplorasi serta konsistensi dalam rangka pengembangan diri dan kekaryaan. Proses Tom Ibnur adalah proses kehidupannya. Penguasaan terhadap cakrawala seni tradisi memberi kabar kepada publik bahwa dia telah mendedikasikan hidupnya kepada dunia kesenian. Kesenian Tom tak lagi mendebatkan uang sebagai hal utama. Profesionalisme diukur dari seberapa besar dedikasi terhadap dunia seni sebagai pilihan. n
Aristofani Fahmi, Musisi dan penikmat kesenian. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Desember 2012
No comments:
Post a Comment