Monday, December 24, 2012

Warisan Pemikiran Inspiratif Berbangsa

-- Sukardi Rinakit

KETIKA para mantan kolega Pak Moerdiono di Sekretariat Negara, seperti Lambok Hutabarat dan Syafrudin Bahar, mengatakan bahwa Pak Moerdiono itu orang baik, Dewi Motik langsung memberi penegasan mengenai hal itu. Seluruh hadirin yang mengikuti peluncuran buku kumpulan pemikiran Moerdiono, Bagimu Negeri, juga mengamini.

Bagi saya, Pak Moerdiono, yang biasa dipanggil Pak Moer, bukan saja sebagai orang baik, melainkan juga figur panutan. Loyalitas, ketelitian, dan baktinya pada Tanah Air begitu menginspirasi. Ajaran baku yang selalu penulis terima setelah kami berdiskusi banyak hal, sambil berjalan beriring dan menggandeng tangan saya di setiap akhir pertemuan, dia selalu berpesan, ”Jadi orang baik, loyal, dan tegakkan Pancasila. Itu yang terpenting dalam bernegara.” Saya mengangguk dalam diam.

Secara keseluruhan, seri Bagimu Negeri yang terdiri dari tiga jilid ini membahas rangkaian pemikiran Pak Moer yang terhampar luas selama satu dekade (1988-1998). Buku pertama berisi pemikiran mengenai ideologi dan kehidupan berbangsa-bernegara. Buku kedua membahas praktik birokrasi dan aparatur negara. Buku ketiga menyoroti tantangan dan peluang globalisasi bagi Indonesia.

Siapa pun yang tumbuh di era Orde Baru secara umum pasti merasakan sosialisasi ideologi Pancasila yang menjemukan. Selain tafsir tunggalnya, figur-figur yang menjadi ujung tombak sosialisasi, jika tidak boleh disebut indoktrinasi, juga cenderung berpikiran tertutup. Dalam atmosfer kejumudan seperti itu, Pak Moer justru bersikap sebaliknya. Ia menjadi salah satu pionir yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Padahal ketika itu, dia berada di lingkaran dalam kekuasaan.

Sikap politik yang mencerahkan itu dimaksudkan sebagai upaya penegasan kembali jalan pikiran para bapak bangsa—bahwa sejak semula Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka. Pancasila adalah panduan berbangsa dan bernegara sekaligus lentur mengikuti dinamika masyarakat yang tuntutannya berkembang seiring dengan capaian pembangunan nasional.

Dalam konstruksi pemikiran seperti itu, selain sebagai nilai dasar yang merupakan kesepakatan bersama para bapak bangsa, Pancasila juga mempunyai nilai instrumental dan praksis. Nilai instrumental merujuk pada model dan kinerja sistem politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sensitif terhadap perkembangan masyarakat. Adapun implementasi nilai praksis menyangkut orientasi politik dan perilaku warga negara sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut, ketika orientasi politik rakyat mengarah ke tuntutan demokratis dan perdebatan mengenai demokrasi semakin mengemuka, Pak Moer dengan cara halus mengingatkan bahwa rakyat pada akhirnya akan berpihak pada kepemimpinan demokratis dan meninggalkan yang fasistis.

Ilustrasi yang dipergunakan untuk menunjukkan fenomena tersebut adalah mudahnya para pendiri republik bersepakat mengenai gerakan anti-imperialisme, persatuan dan kesatuan, dan perwujudan masyarakat adil makmur. Namun, mereka berdebat berkepanjangan jika masalahnya mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Sehubungan dengan hal tersebut, sejarah mencatat, pada tahap awal, kekuatan fasis memang memenangi kontestasi politik. Namun pada ronde kedua, rakyat yang sadar akan harga dirinya akhirnya mengalihkan dukungan kepada kepemimpinan demokratis, yang secara mendasar memanggul jati diri, aspirasi, dan kepentingan rakyat.

Meski demikian, realitas tersebut tidak serta-merta membuat demokrasi terkonsolidasi. Kualitas demokrasi yang berlaku tetap tergantung pada kematangan masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat tidak mengenal kompromi, miskin toleransi, dan menyukai jalan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat, demokrasi dipastikan defektif. Oleh sebab itu, strategi membangun demokrasi berdasarkan tradisi politik yang demokratis menjadi sangat penting.

Pemikiran demokratis yang ada di dalam diri Pak Moer tersebut, menurut saya, berakar dari kesadarannya yang dalam sebagai aparatur negara. Sebagai seorang yang seluruh karier hidupnya bersentuhan dengan administrasi negara, dia menyadari sepenuhnya bahwa negara dan pemerintah dibentuk untuk melayani masyarakat. Dalam konteks ini, negara dan pemerintah akan hadir dan ikut campur kalau ada golongan masyarakat yang dirugikan atau tidak dapat mewujudkan aspirasinya dengan kekuatan sendiri.

Agar kehadiran pemerintah tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat, birokrasi sebagai sarana dan wahana pemerintah dalam melayani masyarakat harus bersih dan tertib. Hanya pengendalian dan pengawasan yang keras, berdisiplin, serta berlanjut akan mampu menjaga mekanisme birokrasi tersebut tetap kredibel.

Kondisi seperti itu, bersama-sama dengan pembangunan hukum nasional dan peranan pers yang bebas serta bertanggung jawab, menjadi bagian integral dari kemampuan Indonesia menghadapi globalisasi, yang di dalam geraknya mengandung tantangan dan peluang sekaligus. Secara ideologis, titik toleransi bisa diterima sejauh globalisasi mewujud dalam liberalisme yang sudah disempurnakan. Maknanya, menjunjung hak asasi manusia, jaminan sosial, lingkungan hidup, serta keberpihakan pada usaha kecil dan menengah.

Ringkasnya, kita tidak akan mengompromikan nilai-nilai dasar kebangsaan seperti kebersamaan, persatuan, dan kesatuan hanya demi memperoleh manfaat dari sistem perdagangan bebas dunia.

Mencermati seluruh pemikiran tersebut, siapa pun akan berkesimpulan bahwa Pak Moer bukan hanya aparatur negara yang loyal, melainkan juga pemikir. Oleh sebab itu, bagi siapa pun yang ingin menegakkan prinsip bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi, buku seri Bagimu Negeri ini akan menginspirasi.

Di luar itu semua, yang paling penting adalah fakta bahwa Pak Moer itu orang baik.

Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber: Kompas, Senin, 24 Desember 2012

No comments: