-- Alam Terkembang
MELAYU memiliki budaya yang tinggi. Sebuah bangsa memiliki peradaban yang tinggi dengan hadirnya beragam budaya, tamadun dan karya-karya peradaban yang diakui masyarakat dunia. Budaya sebagai hasil budi manusia mencerminkan masyarakat pendukungnya. Karena itu, budaya juga dapat menjadi ciri suatu masyarakat. Salah satu wujud budaya itu adalah sastra atau sering disebut sastra daerah. Sastra daerah umumnya bersifat lisan, yaitu sastra yang berkembang dari mulut ke mulut. Seperti legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan masih banyak lagi.
Cerita rakyat yang sering menyajikan cerita yang luar biasa, dengan tokoh yang luar biasa pula. Cerita rakyat punya kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam. Selain itu, dalam cerita rakyat terkandung nilai-nilai budaya. Ini berarti, di dalamnya terkandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk,rasa penyesalan terhadap dosa, perasaan belas kasihan, pandangan kemanusiaan yang tinggi dan sebagainya.
Selain itu, cerita rakyat merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah di Indonesia yang perlu dapat perhatian, pemeliharaan dan pengembangan, baik dari masyarakat pemiliknya maupun dari pemerintah. Karena sastra lisan atau cerita rakyat juga merupakan salah satu bentuk aset kebudayaan nasional. Pernyataan tersebut didasari bahwa sastra lisan sebagai sastra tradisional yang menyebar di daerah-daerah merupakan bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah dan berkembang secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama (Fachruddin, 1981: 1). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diterima jika ada anggapan bahwa sastra lisan memiliki kandungan nilai-nilai sosial-kultura-religi yang tinggi serta dimiliki oleh masyarakat penuturnya.
Rusyana (1978:1) mengatakan, sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi berabad-abad. Sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Hal ini berarti, karya sastra, khususnya sastra lisan, akan mudah dipahami dan dihayati, sebab ada unsur yang lebih mudah dikenal di masyarakat.
Cerita rakyat juga merupakan sarana penyampaian nilai dan sikap hidup bermasyarakat; mengisahkan riwayat suatu masyarakat; memberikan penghiburan, di kala senggang; memberikan nasihat atau ajaran moral kepada anggota masyarakat; mempropagandakan sesuatu seperti memberi kritikan kepada raja atau orang yang berkuasa (Hamid, 1987: 4).
Seiring kemajuan zaman, para generasi muda kita saat ini sedikit jumlahnya yang mengenal betul budayanya sendiri, termasuk mengetahui dongeng, cerita rakyat dan legenda yang bukan tidak mungkin turun memperkuat budayanya. Maka pilihan yang paling mungkin dilakukan untuk mengenalkan budaya Melayu lewat sentuhan sastra lisan kepada anak-anak. Sebab, anak-anak adalah sosok yang polos dan mudah meniru dari apa yang diketahuinya, dilihat, termasuk juga yang didengarnya.
Perubahan Sosial
Dalam masyarakat apapun perubahan sosial dan budaya akan selalu mewarnai perjalanannya menuju suatu titik perkembangan yang tak berujung. Dalam masyarakat Melayu Riau, kesadaran berbagai pihak untuk membudayakan nilai-nilai melayu ini begitu konsisten dalam tindakannya. Namun berdasar pengamatan di lapangan, geliat memelihara tradisi yang berkembang cenderung hanya dinikmati generasi tua. Di kalangan generasi muda (baca: anak-anak) dengan banyaknya alternatif budaya pop dan instan menyebabkan minimnya pemahaman mereka terhadap budaya Melayu khususnya.
Nilai-nilai budaya sendiri terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Yakni, suatu sistem nilai biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dengan demikian, budaya adalah tata kelakuan menusia yang paling kongkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, mengacu terhadap sistem nilai itu.
Berdasar pemikiran Koetjaraningrat (1984: 8-25) tentang nilai budaya, nilai budaya pada dasarnya dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu : (1) nilai budaya dalam hubunga manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain/orang lain, (4) hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan (5) hubungan manusia dengan alam.
Untuk itu, perlu upaya memberikan pemahaman agar generasi belia tidak mengalami kealpaan terhadap kebudayaanya. Salah satu bentuk upaya memelihara tradisi itu dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali sastra lisan melalui kelas mendongeng. Mengingat melalui mendongeng yang disampaikan dengan cara-cara unik dan kreatif akan memberikan pengetahuan kepada calon generasi penerus budaya.
Kelas Mendongeng FLP Kids
Mendongeng adalah sebuah seni pengisahan cerita dengan tujuan hiburan pada live audience (pemirsa langsung) tentang kejadian-kejadian nyata maupun imajinatif yang dapat diambil dari naskah puitis atau prosa maupun sumber-sumber lainnya (lisan, tertulis atau rekaman) dan melibatkan gestur tubuh, vokalisasi, musik, atau gambar untuk memberikan kehidupan pada cerita.
Larkin (1997) mengungkapkan, mendongeng adalah pertunjukan seni yang interaktif, yaitu kegiatan dua arah antara pendongeng dan audiens, didasarkan pada interaksi dan kerja sama untuk membangun sebuah cerita yang utuh. Seorang pendongeng tidak hanya mampu membangun empati dan rapport yang baik dengan pendengarnya tapi juga mendorong pendengarnya untuk mengimajinasikan cerita secara visual (Parkin, 2004).
FLP (Forum Lingkar Pena) Pekanbaru sebagai komunitas menulis telah memberikan perhatian khusus kepada generasi belia untuk dekat dengan buku dan pena, melalui program FLP Kids. Dengan tujuan untuk mempersiapkan lahirnya generasi penulis/pengarang sejak kecil. Kegiatan tersebut dimulai dari kelas-kelas mendongeng yang tidak saja mengangkat fabel, cerita Nabi dan Rasul, tapi juga cerita-cerita rakyat Riau. Seperti; legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan cerita rakyat lainnya.
Tentu saja bila ini dilakukan secara kontinu -kemudian menyampaikan cerita-cerita tersebut dengan empati dan berkarakter- maka secara tak langsung nilai budaya sudah menyentuh dan mewarnai karakter anak-anak. Sebab apresiasi anak-anak terhadap kelas ini dari yang sudah dilakukan cukup besar, dan layak untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang pernah saya temukan di lapangan cukup menggembirakan. Dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada 50 orang responden, yakni: apakah cerita rakyat Riau bisa mengenalkan nilai-nilai budaya kepada Anda? Hampir 80 persen responden menyatakan ‘’iya’’. Hasil penelitian tersebut termaktub dalam karya penelitian budaya yang berjudul ‘’Mengisah Ulang Cerita Rakyat Riau pada Anak Lewat Kelas Mendongeng, Upaya Kreatif Melindungi Generasi dari Kealpaan Nilai Budaya’’ dan merupakan nominator Karya Penelitian Budaya Sagang tahun 2012.
Maka terjawab sudah, bahwa upaya yang bisa kita lakukan untuk menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi muda yakni salah satunya dengan mengadakan kelas-kelas mendongeng yang memuat kisah atau cerita-cerita rakyat Riau. Tentu saja dari cerita-cerita rakyat tersebut mengajak anak-anak untuk mengambil pesan-pesan moral, dan nilai-nilai budaya yang ditampilkan.***
Alam Terkembang, Bergiat di www.kutulislagi.blogspot.com. Nominator Anugerang Sagang 2012 dan aktivis di FLP Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012
MELAYU memiliki budaya yang tinggi. Sebuah bangsa memiliki peradaban yang tinggi dengan hadirnya beragam budaya, tamadun dan karya-karya peradaban yang diakui masyarakat dunia. Budaya sebagai hasil budi manusia mencerminkan masyarakat pendukungnya. Karena itu, budaya juga dapat menjadi ciri suatu masyarakat. Salah satu wujud budaya itu adalah sastra atau sering disebut sastra daerah. Sastra daerah umumnya bersifat lisan, yaitu sastra yang berkembang dari mulut ke mulut. Seperti legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan masih banyak lagi.
Cerita rakyat yang sering menyajikan cerita yang luar biasa, dengan tokoh yang luar biasa pula. Cerita rakyat punya kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam. Selain itu, dalam cerita rakyat terkandung nilai-nilai budaya. Ini berarti, di dalamnya terkandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk,rasa penyesalan terhadap dosa, perasaan belas kasihan, pandangan kemanusiaan yang tinggi dan sebagainya.
Selain itu, cerita rakyat merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah di Indonesia yang perlu dapat perhatian, pemeliharaan dan pengembangan, baik dari masyarakat pemiliknya maupun dari pemerintah. Karena sastra lisan atau cerita rakyat juga merupakan salah satu bentuk aset kebudayaan nasional. Pernyataan tersebut didasari bahwa sastra lisan sebagai sastra tradisional yang menyebar di daerah-daerah merupakan bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah dan berkembang secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama (Fachruddin, 1981: 1). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diterima jika ada anggapan bahwa sastra lisan memiliki kandungan nilai-nilai sosial-kultura-religi yang tinggi serta dimiliki oleh masyarakat penuturnya.
Rusyana (1978:1) mengatakan, sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi berabad-abad. Sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Hal ini berarti, karya sastra, khususnya sastra lisan, akan mudah dipahami dan dihayati, sebab ada unsur yang lebih mudah dikenal di masyarakat.
Cerita rakyat juga merupakan sarana penyampaian nilai dan sikap hidup bermasyarakat; mengisahkan riwayat suatu masyarakat; memberikan penghiburan, di kala senggang; memberikan nasihat atau ajaran moral kepada anggota masyarakat; mempropagandakan sesuatu seperti memberi kritikan kepada raja atau orang yang berkuasa (Hamid, 1987: 4).
Seiring kemajuan zaman, para generasi muda kita saat ini sedikit jumlahnya yang mengenal betul budayanya sendiri, termasuk mengetahui dongeng, cerita rakyat dan legenda yang bukan tidak mungkin turun memperkuat budayanya. Maka pilihan yang paling mungkin dilakukan untuk mengenalkan budaya Melayu lewat sentuhan sastra lisan kepada anak-anak. Sebab, anak-anak adalah sosok yang polos dan mudah meniru dari apa yang diketahuinya, dilihat, termasuk juga yang didengarnya.
Perubahan Sosial
Dalam masyarakat apapun perubahan sosial dan budaya akan selalu mewarnai perjalanannya menuju suatu titik perkembangan yang tak berujung. Dalam masyarakat Melayu Riau, kesadaran berbagai pihak untuk membudayakan nilai-nilai melayu ini begitu konsisten dalam tindakannya. Namun berdasar pengamatan di lapangan, geliat memelihara tradisi yang berkembang cenderung hanya dinikmati generasi tua. Di kalangan generasi muda (baca: anak-anak) dengan banyaknya alternatif budaya pop dan instan menyebabkan minimnya pemahaman mereka terhadap budaya Melayu khususnya.
Nilai-nilai budaya sendiri terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Yakni, suatu sistem nilai biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dengan demikian, budaya adalah tata kelakuan menusia yang paling kongkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, mengacu terhadap sistem nilai itu.
Berdasar pemikiran Koetjaraningrat (1984: 8-25) tentang nilai budaya, nilai budaya pada dasarnya dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu : (1) nilai budaya dalam hubunga manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain/orang lain, (4) hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan (5) hubungan manusia dengan alam.
Untuk itu, perlu upaya memberikan pemahaman agar generasi belia tidak mengalami kealpaan terhadap kebudayaanya. Salah satu bentuk upaya memelihara tradisi itu dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali sastra lisan melalui kelas mendongeng. Mengingat melalui mendongeng yang disampaikan dengan cara-cara unik dan kreatif akan memberikan pengetahuan kepada calon generasi penerus budaya.
Kelas Mendongeng FLP Kids
Mendongeng adalah sebuah seni pengisahan cerita dengan tujuan hiburan pada live audience (pemirsa langsung) tentang kejadian-kejadian nyata maupun imajinatif yang dapat diambil dari naskah puitis atau prosa maupun sumber-sumber lainnya (lisan, tertulis atau rekaman) dan melibatkan gestur tubuh, vokalisasi, musik, atau gambar untuk memberikan kehidupan pada cerita.
Larkin (1997) mengungkapkan, mendongeng adalah pertunjukan seni yang interaktif, yaitu kegiatan dua arah antara pendongeng dan audiens, didasarkan pada interaksi dan kerja sama untuk membangun sebuah cerita yang utuh. Seorang pendongeng tidak hanya mampu membangun empati dan rapport yang baik dengan pendengarnya tapi juga mendorong pendengarnya untuk mengimajinasikan cerita secara visual (Parkin, 2004).
FLP (Forum Lingkar Pena) Pekanbaru sebagai komunitas menulis telah memberikan perhatian khusus kepada generasi belia untuk dekat dengan buku dan pena, melalui program FLP Kids. Dengan tujuan untuk mempersiapkan lahirnya generasi penulis/pengarang sejak kecil. Kegiatan tersebut dimulai dari kelas-kelas mendongeng yang tidak saja mengangkat fabel, cerita Nabi dan Rasul, tapi juga cerita-cerita rakyat Riau. Seperti; legenda Laksamana Hang Tuah, Ketobong Sakti, Putri Kaca Mayang, Putri Tujuh dan cerita rakyat lainnya.
Tentu saja bila ini dilakukan secara kontinu -kemudian menyampaikan cerita-cerita tersebut dengan empati dan berkarakter- maka secara tak langsung nilai budaya sudah menyentuh dan mewarnai karakter anak-anak. Sebab apresiasi anak-anak terhadap kelas ini dari yang sudah dilakukan cukup besar, dan layak untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang pernah saya temukan di lapangan cukup menggembirakan. Dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada 50 orang responden, yakni: apakah cerita rakyat Riau bisa mengenalkan nilai-nilai budaya kepada Anda? Hampir 80 persen responden menyatakan ‘’iya’’. Hasil penelitian tersebut termaktub dalam karya penelitian budaya yang berjudul ‘’Mengisah Ulang Cerita Rakyat Riau pada Anak Lewat Kelas Mendongeng, Upaya Kreatif Melindungi Generasi dari Kealpaan Nilai Budaya’’ dan merupakan nominator Karya Penelitian Budaya Sagang tahun 2012.
Maka terjawab sudah, bahwa upaya yang bisa kita lakukan untuk menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi muda yakni salah satunya dengan mengadakan kelas-kelas mendongeng yang memuat kisah atau cerita-cerita rakyat Riau. Tentu saja dari cerita-cerita rakyat tersebut mengajak anak-anak untuk mengambil pesan-pesan moral, dan nilai-nilai budaya yang ditampilkan.***
Alam Terkembang, Bergiat di www.kutulislagi.blogspot.com. Nominator Anugerang Sagang 2012 dan aktivis di FLP Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012
No comments:
Post a Comment