-- Dantje S Moeis
MEMBACA tulisan ‘’Dari Pementasan Makyong Mahal dan Eksklusif’’ (Fedli Azis, Riau Pos Ahad, 9 Desember 2012), mengingatkan saya pada peristiwa yang benar-benar saya alami tahun 1997 lalu.
Kalau diikutkan kata hati, memang apa yang didengar pada saat itu bisa sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, pada Pameran Topeng Nusantara, bersempena pekan Temu Budaya 1997 di Taman Budaya Yogyakarta. Saya dipercaya oleh Tengku Muslim (Alm) yang menjabat sebagai kepala Taman Budaya Provinsi Riau saat itu, menyiapkan dan membawa materi pameran dari Riau (sebelum pemekaran Propinsi), berupa seperangkat topeng tradisional Makyong yang merupakan salah satu perangkat berunsur senirupa, penunjang seni-pertunjukan yang pernah ada dan masih bertahan sampai kini di Kepri (Kepulauan Riau).
Di sela pameran, di mana saya selalu berada di dekat karya topeng-topeng yang perlu saya jelaskan kepada pengunjung apa dan bagaimana topeng Makyong tersebut, ada tiga orang pengunjung yang kesemuanya perempuan, nyeletuk.
‘’Ah Riau, bertopeng orang, bertopeng pula awak. Di sana mana pula ada topeng tradisional. Mengapa tidak topeng kura-kura ninja saja yang mereka pamerkan? Tak sekali dua saya mengunjungi pameran seperti ini, baru kali inilah tiba tiba saja muncul topeng dari Riau,’’ yang dilanjutkan gelak tawa tekial-kial dari mereka.
Walau hati panas, Alhamdulillah saya masih bisa menahan diri dan berlaku laiknya sebagai juru penerang.
Dengan perasaan dongkol yang tertahan, saya jelaskan kepada mereka bahwa topeng Makyong Riau itu ada, tidak mengada-ada dan keberadaannya masih bisa di lihat sampai saat ini, terutama di daerah Kepulauan Riau tepatnya di daerah Pulau Mantang Arang Kecamatan Bintan Timur dan di daerah Pulau Buluh Kecamatan Batam.
Melongo, yang saya tangkap sebagai pertanda antusiasme mereka mendengar penjelasan saya yang berbuih-buih karena panas hati. Dan inilah kesempatan, pikir hati saya untuk mengatakan; ‘’Tak Melayu Hilang di Bumi’’.
Mengutip penjelasan paper Almarhum BM Syamsudin dan Amin Hasan pada Festival Desember 1975, juga penjelasan dari paper Mukshin Khalidi pada Festival yang sama yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tentang Makyong, saya menjelaskan kepada mereka bertiga bawa topeng-topeng yang saya pamerkan ini adalah topeng-topeng penunjang pertunjukan tradisional dari daerah tersebut di atas, baik itu pertunjukan teater menurut BM Syamsudin dan Amin Hasan yang diperkuat oleh bacaan saya dari penjelasan Walter William Skeat dalam bukunya (Walter William Skeat, Malay Magic Dover 1967, Theatrical Exhibitions; 518), atau pertunjukan tari menurut Mukshin Khalidi. Tapi bagi saya itu tidaklah terlalu penting, karena setelah berkali-kali menyaksikan pertunjukan tersebut pendapat dua kelompok ini menurut saya sama-sama benar, karena pertunjukan kesenian tradisional ini dominan menonjolkan kedua unsur percabangan seni tersebut, teater dan tari yang kemudian disusul oleh beberapa unsur percabangan seni lainnya, seperti senirupa, musik dan kemudian dikemas menjadi satu kesatuan ‘’Seni Pertunjukan’’ yang sangat menarik.
Seperti juga penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian tradisional di mana saja dan pada ensiklopedi umum yang menjelaskan bahwa penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian masa lalu yang menyajikan cerita-cerita purba dan kisah kisah perlambang yang telah dikenal pada permulaan abad ke tujuh belas di Inggris.
Di Indonesia diartikan sebagai satu pergelaran tari atau teater tradisional di mana para pemainnya memakai topeng sebagai penutup muka. Kemudian topeng yang dihasilkan dari senirupa (ukir dan pewarnaan), lazimnya terbuat dari kayu berwujud tokoh-tokoh, umumnya berbentuk karikaturistik (pendistorsian bentuk) untuk memperoleh citra/karakter yang mengesankan.
Pada pertunjukan Makyong di Riau, topeng sangat berfungsi sebagai perkuatan karakter tokoh yang diperankan. Ada beberapa peran dalam pertunjukan Makyong yang mustahak tak boleh tidak harus menggunakan topeng. Seperti peran Awang, peran Betara Guru, peran Pembatak, peran Inang, peran Harimau, peran Hantu rimba, peran Gajah, peran Kijang dan lain sebagainya.
Dari percakapan kami ini ada yang membesarkan hati, di mana mereka jujur menyimak hal-hal yang dianggap perlu dari penjelasan saya dan ada hal yang positif menurut saya, di mana mereka mefungsikan pameran ini betul betul sebagai penambah wawasan dan tidak dengan begitu saja percaya dengan apa-apa yang disuguhkan menyangkut hal yang betul-betul asing bagi mereka.
Begitu antusiasnya sampai-sampai mereka mengajak saya untuk pindah duduk ke warung tenda ayam goreng ala Amerika, di depan gedung pameran.
Sambil menggogok juice mangga dan mengunyah ayam goreng dan potato chips yang juga digoreng, saya melanjutkan penjelasan tentang topeng Makyong kepada mereka.
Menjelaskan tentang topeng Makyong tentu tidak bisa dilepaskan dari seni pertunjukan yang menggunakan topeng itu sendiri, dalam hal ini seni pertunjukan Makyong serta asal muasal keberadaannya. Pada awalnya saya sependapat dengan BM Syamsudin, Amin Hasan atau Mukhsin Khalidi yang menjelaskan bahwa tidak ada sumber yang pasti tentang asal usul pertunjukan Makyong ini, tetapi kemudian berdasarkan studi kepustakaan, pendapat saya berobah, karena secara gamblang Walter William Skeat memuat penelitiannya dalam bidang anthropology memastikan bahwa Makyong berasal dari Siam. Perobahan pendapat saya ini, bukan berarti saya setuju seratus persen dengan apa yang dikatakan Skeat. Karena orientasi penelitiannya tidak mencakup daerah-daerah di kawasan kepulauan Riau pada saat itu, nah mungkin-mungkin saja Makyong yang di Siam sana berasal dari Pulau Buluh atau Mantang Arang (kalau ini dapat dibuktikan tentu dengan sombong kita dapat berteriak lantang kepada dunia, inilah local genius budak Melayu Riau masa lalu) dan ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari penelitian Walter William Skeat ini, banyak kesamaan yang dapat dilihat antara Makyong Riau dengan yang ada di Siam sana. Baik dari segi cerita yang dipakai dalam pertunjukan ini, juga properti dan bentuk topeng yang melakonkan tokoh.
Bahkan sampai saat ini berdasarkan gambar photo yang tertera dalam buku hasil penelitian Walter William Skeat, bentuk topeng dengan karakter yang sama sekali jauh dari perbedaan, seperti yang kita lihat pada pergelaran teater/tari Makyong di Riau saat ini.
Namun terlepas dari segala hal remeh-temeh (yang terkadang perlu), keberadaan topeng Makyong yang benar-benar ada dan agar diketahui secara luas tentang keberadaannya tentu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita bersama, dalam hal ini baik pihak para praktisi kesenian itu sendiri dan tentu yang lebih berkompeten lagi adalah institusi penyangga budaya yang punya cukup dana dan tenaga, agar tidak lagi hanya sekedar melamun atau tersenyum puas menikmati hasil jerih payah orang lain, kemudian menjadi terbata-bata dan ‘’kampungan’’ dalam forum yang semestinya dia yang jadi ‘penguasanya’.
Akhirnya setelah kejadian itu, di hotel tempat menginap, sebelum tidur saya membuat kesimpulan, entah suatu kemunduran atau suatu kemajuan dari masa lalu, yang jelas tidak dikenalnya topeng Makyong secara luas pada masa kini, disebabkan jarangnya pertunjukan itu muncul di tengah masyarakat dan sangat mungkin disebabkan maraknya berbagai hiburan modern yang menjelajah dan menguasai lini hiburan sampai kepelosok pedesaan, yang berakibat mempercepat jatuhnya gengsi seni pertunjukan Makyong dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya.
Ada dua faktor menurut saya yang menyebabkan kekalahan seni seni tradisional melawan arus datangnya seni modern, dalam ajang pertandingan menarik minat. Pertama faktor yang datangnya dari dalam, yang menyangkut nilai nilai tradisi yang tidak mau atau sulit beradaptasi dengan perkembangan, sehingga semakin tertinggal dengan peradaban yang terus berubah. Kedua, faktor yang datangnya dari luar yang bersangkutan dengan tatanan kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dari kehidupan tradisional menuju ke dalam kehidupan modern, dalam tatanan baru yang menuntut segala sesuatunya serba praktis, ekonomis dan serba cepat, yang merupakan akibat dari modernisasi dan globalisasi yang harus terjadi.
Yang jelas agar tidak terjadi hal-hal yang seperti saya ceritakan di atas yang notabene merugikan kebudayaan secara moral, mulailah berfikir agar kita tidak dipandang sebelah mata dan berani membusungkan dada serta lantang berbicara bahwa kita punya andil dan menjadi bahagian dari pilar penyangga kebudayaan dunia. n
Dantje S Moeis, Lahir di Rengat Indragiri Hulu Riau, adalah seniman, redaktur majalah budaya Sagang, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Desember 2012
MEMBACA tulisan ‘’Dari Pementasan Makyong Mahal dan Eksklusif’’ (Fedli Azis, Riau Pos Ahad, 9 Desember 2012), mengingatkan saya pada peristiwa yang benar-benar saya alami tahun 1997 lalu.
Kalau diikutkan kata hati, memang apa yang didengar pada saat itu bisa sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, pada Pameran Topeng Nusantara, bersempena pekan Temu Budaya 1997 di Taman Budaya Yogyakarta. Saya dipercaya oleh Tengku Muslim (Alm) yang menjabat sebagai kepala Taman Budaya Provinsi Riau saat itu, menyiapkan dan membawa materi pameran dari Riau (sebelum pemekaran Propinsi), berupa seperangkat topeng tradisional Makyong yang merupakan salah satu perangkat berunsur senirupa, penunjang seni-pertunjukan yang pernah ada dan masih bertahan sampai kini di Kepri (Kepulauan Riau).
Di sela pameran, di mana saya selalu berada di dekat karya topeng-topeng yang perlu saya jelaskan kepada pengunjung apa dan bagaimana topeng Makyong tersebut, ada tiga orang pengunjung yang kesemuanya perempuan, nyeletuk.
‘’Ah Riau, bertopeng orang, bertopeng pula awak. Di sana mana pula ada topeng tradisional. Mengapa tidak topeng kura-kura ninja saja yang mereka pamerkan? Tak sekali dua saya mengunjungi pameran seperti ini, baru kali inilah tiba tiba saja muncul topeng dari Riau,’’ yang dilanjutkan gelak tawa tekial-kial dari mereka.
Walau hati panas, Alhamdulillah saya masih bisa menahan diri dan berlaku laiknya sebagai juru penerang.
Dengan perasaan dongkol yang tertahan, saya jelaskan kepada mereka bahwa topeng Makyong Riau itu ada, tidak mengada-ada dan keberadaannya masih bisa di lihat sampai saat ini, terutama di daerah Kepulauan Riau tepatnya di daerah Pulau Mantang Arang Kecamatan Bintan Timur dan di daerah Pulau Buluh Kecamatan Batam.
Melongo, yang saya tangkap sebagai pertanda antusiasme mereka mendengar penjelasan saya yang berbuih-buih karena panas hati. Dan inilah kesempatan, pikir hati saya untuk mengatakan; ‘’Tak Melayu Hilang di Bumi’’.
Mengutip penjelasan paper Almarhum BM Syamsudin dan Amin Hasan pada Festival Desember 1975, juga penjelasan dari paper Mukshin Khalidi pada Festival yang sama yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tentang Makyong, saya menjelaskan kepada mereka bertiga bawa topeng-topeng yang saya pamerkan ini adalah topeng-topeng penunjang pertunjukan tradisional dari daerah tersebut di atas, baik itu pertunjukan teater menurut BM Syamsudin dan Amin Hasan yang diperkuat oleh bacaan saya dari penjelasan Walter William Skeat dalam bukunya (Walter William Skeat, Malay Magic Dover 1967, Theatrical Exhibitions; 518), atau pertunjukan tari menurut Mukshin Khalidi. Tapi bagi saya itu tidaklah terlalu penting, karena setelah berkali-kali menyaksikan pertunjukan tersebut pendapat dua kelompok ini menurut saya sama-sama benar, karena pertunjukan kesenian tradisional ini dominan menonjolkan kedua unsur percabangan seni tersebut, teater dan tari yang kemudian disusul oleh beberapa unsur percabangan seni lainnya, seperti senirupa, musik dan kemudian dikemas menjadi satu kesatuan ‘’Seni Pertunjukan’’ yang sangat menarik.
Seperti juga penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian tradisional di mana saja dan pada ensiklopedi umum yang menjelaskan bahwa penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian masa lalu yang menyajikan cerita-cerita purba dan kisah kisah perlambang yang telah dikenal pada permulaan abad ke tujuh belas di Inggris.
Di Indonesia diartikan sebagai satu pergelaran tari atau teater tradisional di mana para pemainnya memakai topeng sebagai penutup muka. Kemudian topeng yang dihasilkan dari senirupa (ukir dan pewarnaan), lazimnya terbuat dari kayu berwujud tokoh-tokoh, umumnya berbentuk karikaturistik (pendistorsian bentuk) untuk memperoleh citra/karakter yang mengesankan.
Pada pertunjukan Makyong di Riau, topeng sangat berfungsi sebagai perkuatan karakter tokoh yang diperankan. Ada beberapa peran dalam pertunjukan Makyong yang mustahak tak boleh tidak harus menggunakan topeng. Seperti peran Awang, peran Betara Guru, peran Pembatak, peran Inang, peran Harimau, peran Hantu rimba, peran Gajah, peran Kijang dan lain sebagainya.
Dari percakapan kami ini ada yang membesarkan hati, di mana mereka jujur menyimak hal-hal yang dianggap perlu dari penjelasan saya dan ada hal yang positif menurut saya, di mana mereka mefungsikan pameran ini betul betul sebagai penambah wawasan dan tidak dengan begitu saja percaya dengan apa-apa yang disuguhkan menyangkut hal yang betul-betul asing bagi mereka.
Begitu antusiasnya sampai-sampai mereka mengajak saya untuk pindah duduk ke warung tenda ayam goreng ala Amerika, di depan gedung pameran.
Sambil menggogok juice mangga dan mengunyah ayam goreng dan potato chips yang juga digoreng, saya melanjutkan penjelasan tentang topeng Makyong kepada mereka.
Menjelaskan tentang topeng Makyong tentu tidak bisa dilepaskan dari seni pertunjukan yang menggunakan topeng itu sendiri, dalam hal ini seni pertunjukan Makyong serta asal muasal keberadaannya. Pada awalnya saya sependapat dengan BM Syamsudin, Amin Hasan atau Mukhsin Khalidi yang menjelaskan bahwa tidak ada sumber yang pasti tentang asal usul pertunjukan Makyong ini, tetapi kemudian berdasarkan studi kepustakaan, pendapat saya berobah, karena secara gamblang Walter William Skeat memuat penelitiannya dalam bidang anthropology memastikan bahwa Makyong berasal dari Siam. Perobahan pendapat saya ini, bukan berarti saya setuju seratus persen dengan apa yang dikatakan Skeat. Karena orientasi penelitiannya tidak mencakup daerah-daerah di kawasan kepulauan Riau pada saat itu, nah mungkin-mungkin saja Makyong yang di Siam sana berasal dari Pulau Buluh atau Mantang Arang (kalau ini dapat dibuktikan tentu dengan sombong kita dapat berteriak lantang kepada dunia, inilah local genius budak Melayu Riau masa lalu) dan ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari penelitian Walter William Skeat ini, banyak kesamaan yang dapat dilihat antara Makyong Riau dengan yang ada di Siam sana. Baik dari segi cerita yang dipakai dalam pertunjukan ini, juga properti dan bentuk topeng yang melakonkan tokoh.
Bahkan sampai saat ini berdasarkan gambar photo yang tertera dalam buku hasil penelitian Walter William Skeat, bentuk topeng dengan karakter yang sama sekali jauh dari perbedaan, seperti yang kita lihat pada pergelaran teater/tari Makyong di Riau saat ini.
Namun terlepas dari segala hal remeh-temeh (yang terkadang perlu), keberadaan topeng Makyong yang benar-benar ada dan agar diketahui secara luas tentang keberadaannya tentu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita bersama, dalam hal ini baik pihak para praktisi kesenian itu sendiri dan tentu yang lebih berkompeten lagi adalah institusi penyangga budaya yang punya cukup dana dan tenaga, agar tidak lagi hanya sekedar melamun atau tersenyum puas menikmati hasil jerih payah orang lain, kemudian menjadi terbata-bata dan ‘’kampungan’’ dalam forum yang semestinya dia yang jadi ‘penguasanya’.
Akhirnya setelah kejadian itu, di hotel tempat menginap, sebelum tidur saya membuat kesimpulan, entah suatu kemunduran atau suatu kemajuan dari masa lalu, yang jelas tidak dikenalnya topeng Makyong secara luas pada masa kini, disebabkan jarangnya pertunjukan itu muncul di tengah masyarakat dan sangat mungkin disebabkan maraknya berbagai hiburan modern yang menjelajah dan menguasai lini hiburan sampai kepelosok pedesaan, yang berakibat mempercepat jatuhnya gengsi seni pertunjukan Makyong dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya.
Ada dua faktor menurut saya yang menyebabkan kekalahan seni seni tradisional melawan arus datangnya seni modern, dalam ajang pertandingan menarik minat. Pertama faktor yang datangnya dari dalam, yang menyangkut nilai nilai tradisi yang tidak mau atau sulit beradaptasi dengan perkembangan, sehingga semakin tertinggal dengan peradaban yang terus berubah. Kedua, faktor yang datangnya dari luar yang bersangkutan dengan tatanan kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dari kehidupan tradisional menuju ke dalam kehidupan modern, dalam tatanan baru yang menuntut segala sesuatunya serba praktis, ekonomis dan serba cepat, yang merupakan akibat dari modernisasi dan globalisasi yang harus terjadi.
Yang jelas agar tidak terjadi hal-hal yang seperti saya ceritakan di atas yang notabene merugikan kebudayaan secara moral, mulailah berfikir agar kita tidak dipandang sebelah mata dan berani membusungkan dada serta lantang berbicara bahwa kita punya andil dan menjadi bahagian dari pilar penyangga kebudayaan dunia. n
Dantje S Moeis, Lahir di Rengat Indragiri Hulu Riau, adalah seniman, redaktur majalah budaya Sagang, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Desember 2012
No comments:
Post a Comment