Data buku
Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard
Medhy Aginta Hidayat
Jalasutra, 2012
xii + 176 hlm.
MODERNISME sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia.
Lebih jauh lagi, modernisme dipandang sebagai penyebab munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau patologi modernitas. Sebagai antitesis modernisme muncul kerangka berpikir baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme.
Postmodernisme menghadirkan kegairahan utuk memperluas cakrawala estetika, tanda, dan kode seni modern. Wacana kebudayaan ini menyertai kejayaan kapitalisme, kemajuan teknologi informasi yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular oleh nilai tanda dan nilai simbol.
Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M. Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serbamampu memecahkan persoalan-persoalan manusia. Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik.
Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme. Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum) sekarang ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala sesuatu tidak hanya yang berwujud riil, tapi juga objek tanda. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya, tapi berdasar prestise dan makna simbolisnya.
Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di saat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di dalam negeri. Setiap hari bermunculan gerai-gerai waralaba, minimarket maupun mal-mal. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap hanya mengacu pada lifestyle, gengsi, dan persaingan. Gonta-ganti aneka aksesori, gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar ?wah? dari pihak lain atau semata untuk prestise pribadi.
Soal kegunaan barang atau besaran harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat yang tergila-gila akan simbol pribadi ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum kapitalis menambahkan satu atau beberapa fitur baru pada satu merek barang.
Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen pada ?produk baru? yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya.
Dalam era kapitalis sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru, yakni nilai tanda dan nilai simbol (hlm. 60 ). Inilah gejala mayarakat yang sakit di era modern sekarang.
Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang ?sakit? karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi nafsu konsumtif masyarakat ?sakit? tersebut oleh kapitalis lokal maupun global. Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak selamanya modernisme membawa kebaikan.
Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, alumnus UGM
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Desember 2012
Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard
Medhy Aginta Hidayat
Jalasutra, 2012
xii + 176 hlm.
MODERNISME sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia.
Lebih jauh lagi, modernisme dipandang sebagai penyebab munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau patologi modernitas. Sebagai antitesis modernisme muncul kerangka berpikir baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme.
Postmodernisme menghadirkan kegairahan utuk memperluas cakrawala estetika, tanda, dan kode seni modern. Wacana kebudayaan ini menyertai kejayaan kapitalisme, kemajuan teknologi informasi yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular oleh nilai tanda dan nilai simbol.
Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M. Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serbamampu memecahkan persoalan-persoalan manusia. Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik.
Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme. Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum) sekarang ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala sesuatu tidak hanya yang berwujud riil, tapi juga objek tanda. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya, tapi berdasar prestise dan makna simbolisnya.
Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di saat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di dalam negeri. Setiap hari bermunculan gerai-gerai waralaba, minimarket maupun mal-mal. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap hanya mengacu pada lifestyle, gengsi, dan persaingan. Gonta-ganti aneka aksesori, gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar ?wah? dari pihak lain atau semata untuk prestise pribadi.
Soal kegunaan barang atau besaran harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat yang tergila-gila akan simbol pribadi ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum kapitalis menambahkan satu atau beberapa fitur baru pada satu merek barang.
Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen pada ?produk baru? yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya.
Dalam era kapitalis sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru, yakni nilai tanda dan nilai simbol (hlm. 60 ). Inilah gejala mayarakat yang sakit di era modern sekarang.
Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang ?sakit? karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi nafsu konsumtif masyarakat ?sakit? tersebut oleh kapitalis lokal maupun global. Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak selamanya modernisme membawa kebaikan.
Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, alumnus UGM
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Desember 2012
No comments:
Post a Comment