Sunday, December 30, 2012

[Ranggi] Kaleidoskop Budaya di Riau: Mengasah Mata Pisau

-- Fedli Aziz

MERANGKAI keinginan dan menciptakan suasana berkesenian yang sehat telah dilakukan berbagai pihak sepanjang Januari hingga Desember 2012. Helat seni yang digelar itu menjadi penanda bahwa seni sebagai mata pisau kebudayaan perlu dilestarikan, dipelihara, bahkan dikembangkan hingga akhir zaman.

Drama anak-anak berjudul Batang Tuaka dari Sanggar Keletah Budak pada helat budaya Pertemuan Penyair Serumpun di Anjung Seni Idrus Tintin, November lalu. (Foto: fedli azis/riau pos)

Selain pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota se-Riau, pelaku institusi budaya dan komunitas-komunitas independen tak kalah dalam menghasilkan produk-produk budaya dan seni. Sebut saja Yayasan Sagang, Dewan Kesenian Riau (DKR), Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP), Sanggar Teater Selembayung, Sanggar Matan, Latah Tuah, Sanggar Rumah Sunting, RiauBeraksi, Mara Teater, Meta Teater dan Sanggar Seri Melayu PLT Laksemana, Bandar Serai Orkestra (BSO), Blacan Aromatic, Bujanggi, Riau Rhythm Chambers Indonesia dan masih banyak lagi yang menggelar helat seni, sesuai bidang masing-masing.

Tak hanya institusi dan komunitas, bahkan pelaku budaya secara individu juga memberi kontribusi pada perjalanan seni. Seperti budayawan Riau Yusmar Yusuf yang telah berkali-kali keluar-masuk kampung dalam helat baca sajak dengan para sastrawan Riau. Upaya ini tentulah tak bisa dipandang sebelah mata sebab baik institusi budaya secara independen maupun orang perorang yang berbuat itu, berjuang dengan kekuatan tenaga, pikiran dan uang masing-masing, tanpa bantuan memadai dari pemerintah daerah.

Helat itu digelar di berbagai tempat, dari gedung teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin, Taman Budaya Riau, hotel-hotel, kafe-kafe, bengkel-bengkel hingga kampung-kampung yang jauh dari karut-marut kota, baik di Riau maupun Riau Kepulauan (Kepri).

Dalam tahun ini saja misalnya, DKR menggelar helat budaya dan bahkan menjadi tonggak pertama bagi dunia perpuisian Indonesia. DKR bersama Yayasan Sagang melaksanakan acara ‘’Temu Penyair Nasional dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia’’ pada 22 November lalu di Anjung Seni Idrus Tintin. Helat yang digagas Rida K Liamsi dan kawan-kawan itu dihadiri hampir seluruh utusan provinsi di Indonesia itu bahkan telah bersepakat dan menetapkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Nantinya, setiap tanggal lahir bapak puisi Indonesia itu dianjurkan pelaksanaan peringatan hari puisi di seluruh Indonesia. ‘’Ini tentu saja menjadi catatan sejarah penting pada dunia perpuisian Indonesia ke depan,’’ tegas Ketua Umum DKR Kazzaini Ks di sela-sela helat itu.

Begitu pula Yayasan Sagang dalam helat Anugerah Sagang ke-17 yang dilaksanakan November lalu di Pekanbaru. Selain memberi anugerah pada seniman/budayawan Melayu, yayasan ini juga setiap tahunnya mencetak buku sastra yang dibagi-bagikan secara gratis pada tetamu yang hadir di malam puncak penganugerahan tersebut. Paling tidak, Anugerah Sagang yang telah berusia 17 tahun masih tetap eksis dari awal hingga hari ini.

Sementara itu, budayawan Riau Yusmar Yusuf bersama belasan penyair dengan menggunakan istilah ‘uang jantan’ telah pula menggelar helat baca sajak di kampung-kampung Daik-Lingga (Kepualauan Riau), Rokan Hilir dan Pelalawan, juga Kota Pekanbaru (Riau). Inilah sebuah gambaran dari kepedulian dan keinginan besar untuk terus menanamkan kesadaran pada manusia masa kini yang mulai meninggalkan budayanya sendiri.

Dalam helat baca puisi, pentas seni musik dan drama di kampung-kampung itu melukiskan berbagai kisah tak terlupakan. Bahkan banyak warga kampung yang ‘nyeletuk’ dengan mengatakan, ‘’ooo baca puisi itu bebas ya. Bukan seperti kami dulu waktu sekolah,’’ ungkap orang-orang tua yang baru kali itu menyaksikan baca puisi langsung oleh penyair. Helat itu, juga melahirkan rasa rindu mereka pada masa lalu dan salut pada anak-anak muda kota yang masih mau mengembangkan budaya Melayu lewat karya-karya mereka.

Selain itu, komunitas-komunitas seni seperti sanggar teater, tari dan musik ikut pula mengekalkan seni lewat berbagai persembahan seni pertunjukan mereka. Persembahan demi persembahan itu mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, terutama para pelajar yang memang berbondong-bondong ikut ambil bagian menyaksikannya di gedung pertunjukan.

Bahkan sejak beberapa tahun belakangan ini, penikmat seni pertunjukan tak lagi menyaksika persembahan itu secara gratis. Mereka sudah mulai terbiasa menghargai karya seniman dengan membeli tiket. ‘’Sesuatu yang kami inginkan sudah mulai berjalan dan masyarakat sudah terbiasa menghargai karya seni dengan membeli tiket,’’ ungkap Rino Dezapaty Mby dan Hang Kafrawi saat ditanyai soal itu.

Koreografer Riau Sunardi juga mengakui hal itu. Pasalnya, persembahan tari yang digelar Sanggar Seri Melayu asuhannya dua pekan lalu juga dipadati penonton. Tiket terjual habis, bahkan penonton yang tak mendapat tiket harus rela menonton tanpa mendapat tempat duduk di Idrus Tintin.

Dalam tahun ini pula, belasan komunitas teater Pekanbaru sekitarnya menetapkan 10 November, sebagai Hari Teater Riau. Tanggal lahir sesepuh teater Riau Idrus Tintin itu juga menjadi sejarah bagi perjalanan teater di Riau pada umumnya. Apalagi, teater Riau, khususnya Pekanbaru terus bergeliat dan menggelar karya-karya mereka, ada maupun tidaknya bantuan dari pemerintah. Mereka sudah mandiri dan bisa mementaskan karya, mesti hanya hasil penjualan tiket saja.

Tak hanya itu, Rumah Siku Keluang dan Sindikat Kartunis Riau (SiKari) yang menggelar berbagai acara seni dan budaya di berbagai tempat. Bahkan Siku Keluang juga merambah ke kampung-kampung untuk memberi pemahaman pada masyarakat tempatan tentang seni dan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Menarik pula jika menyaksikan ‘kegilaan’ teaterawan Suharyoto Sastro Suwitnyo yang mementaskan karyanya di berbagai tempat yang bukan panggung umumnya, seperti kafe-kafe, bengkel-bengkel dan jalanan.

Baru-baru ini, pengukuhan pengurus baru DKKP juga memberi kesan tersendiri bagi dunia seni di Pekanbaru. Pengukuhan pengurus tersebut tidak biasa dan digelar dengan konsep seni pertunjukan sehingga menarik dan disukai banyak pelajar yang hadir. Paling tidak, pengurus baru yang dikomandoi Taufik Hidayat alias Atan Lasak dituntut untuk lebih aktif dan kreatif agar organisasi tersebut tidak vakum seperti sebelumnya.

Selain semua institusi budaya independen itu, pemerintah provinsi melalui dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau dan juga Taman Budaya Riau juga melakukan hal serupa. Budpar misalnya, menggelar beberapa helat besar seperti Temu Penyair Serumpun, Temu Zapin ASEAN dan Anugerah Pemangku Seni Tradisional yang diberikan kepada 11 orang seniman/budayawan Riau.

Anugerah pemuncak diberikan kepada perupa Riau Amrun Salmon atas pengabdiannya dalam mengembangkan batik Riau. Begitu pula Taman Budaya Riau yang juga melaksanakan berbagai acara seni, selain menghadiri acara-acara besar di berbagai daerah dan negara tetangga.

Paling tidak, helat-helat seni dan budaya yang berlangsung sepanjang tahun 2012 merupakan sinergi antara berbagai pihak yang peduli dan secara sadar ingin mengembangkan kebudayaan Melayu. Begitu pula Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dengan agenda-agenda kebudayaan yang digelarnya sepanjang tahun ini.

Sebagai kabar duka, 30 Maret sastrawan besar Riau Hasan Junus menghembuskan nafas terakhirnya yang meninggalkan duka mendalam bagi sanak keluarga serta sahabat terdekat. Kepergiannya juga merupakan kehilangan bagi Riau.

Di tahun ini pula, seniman/budayawan Riau juga mendapat kehormatan untuk mempersembahkan pertunjukan seni di pembukaan dan penutupan Pekan Olahraga Nasional (PON) September lalu. Karya yang diberi judul “Dalam Kasih Sayang Air” itu mendapat apresiasi positif dari masyarakat Indonesia.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Desember 2012

No comments: