-- Mulyo Sunyoto
KOMPETISI atau pertandingan untuk meraih kejayaan alias kemenangan berlangsung di semua sektor kehidupan. Pada tataran individual, manusia berkompetisi--taruhlah--untuk mendapatkan seorang pujaan hati. Di ranah bisnis, kompetisi kian hari kian sengit.
Dalam bahasa pun ada kompetisi: kompetisi antara sejumlah kata yang bermakna sepadan berlangsung dari waktu ke waktu.
"Mangkus" dan "sangkil" dalam pertarungan melawan "efisien" dan "efektif" tampaknya tak seperkasa "memenangi" melawan "memenangkan". Kini dalam banyak laga penggunaan keduanya, "memenangi" menggeser pelahan-pelan dominasi "memenangkan" dalam dua dasawarsa belakangan.
Seperti dalam semua sektor kehidupan, sang pemenang dalam kompetisi tak mesti lebih benar, dalam arti lebih pengikuti aturan atau prinsip yang disepakati bersama. Simaklah perkara yang menimpa "memenangkan" yang mulai terkalahkan oleh "memenangi" dalam kompetisi menjadi kata paling banyak dipakai penggunanya.
Pakar Linguistik Bambang Kaswanti Purwo yang membela "memenangkan" dalam pemakaian kalimat "Ia memenangkan pertandingan" alih-alih "Ia memenangi pertandingan" berargumen bahwa sufiks "kan" tak mesti bermakna kausatif. Akhiran "kan" bisa membawakan makna preposisi "akan" atau "pada". Dengan demikian, "memenangkan pertandingan" bisa berarti "menang pada pertandingan". Contoh-contoh yang mendukung argumen itu antara lain pada pemakaian kata "merindukan" dalam kalimat "Si pungguk merindukan bulan". Jika akhiran "kan" dalam "merindukan" diberi makna kausatif, yang rindu adalah "bulan", bukan "si pungguk".
Jika semua akhiran "kan" harus diberi makna kausatif, maka kalimat yang mengunakan "memprihatinkan", "membanggakan", "melupakan", "mengingatkan" harus diganti dengan yang berakhiran "i" sehingga menjadi "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan mengingati".
Meskipun argumen Bambang cukup meyakinkan, surutkan kaum pengguna "memenangi" dalam menggeser kedudukan "memenangkan"? Rupanya tidak. Dari hari ke hari, koran-koran, media sosial, dan bahasa lisan semakin gencar menggunakan "memenangi". Pengguna, masyarakat kebanyakan, tidak mau ambil pusing dengan argumentasi linguistik.
Bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa kata yang dijadikan senjata argumen Bambang untuk mengandaskan "memenangi" malah menjadi ilham bagi para pengguna bahasa, terutama kalangan wartawan dan redaktur, untuk memilih "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan "mengingati" sebagai pengganti kata-kata tersebut yang berakhiran "kan".
Kecenderungan untuk bermain-main dengan kata-kata yang berwajah baru sangat digemari kalangan wartawan atau redaktur. Salah satu bukti adanya kecenderungan itu bisa dibaca pada keterangan gambar pada Harian Kompas sebagai berikut: "Pelatih Chelsea Rafael Benitez menenangi salah satu pemainnya, Ramires (7), usai kekalahan 0-1 dari klub Brasil, Corinthians, di Yokohama, Jepang, Minggu (16/12)."
Dalam gambar itu, Benitez menepuk pungguk salah satu pemain Chelsea Ramires yang terduduk sambil mengencangkan tali sepatunya. Kata "menenangi" adalah modifikasi dari "menenangkan". Apakah betul perubahan itu?
Tampaknya sang redaktur tidak memahami bahwa "menenangkan", yang mengandung makna kausatif pada akhirannya, justru yang digubakan oleh para pendukung "memenangi". Artinya: radaktur itu sudah tidak lagi menggunakan dasar-dasar linguistik untuk mengganti "kan" menjadi "i". Dia berlaku asal-asalan: yang penting "kan" harus diganti "i".
Tindakan asal-asalan tanpa landasan prinsip kebahasaan juga pernah terjadi pada seorang novelis yang mengganti semua imbuhan "memper" menjadi "memer": "memperbaiki" jdi "memerbaiki"; "memperindah" jadi "memerindah"; "mempertaruhkan" jadi "memertaruhkan". Sang novelis yang baru menulis novel itu tidak menyadari bahwa "p" dalam "memper" bukanlah elemen huruf awal dari kata dasar yang terkena hukum "k", "p", "t", "s" yang luluh ketika mendapat imbuhan.
Apakah dalam kompetisi linguistik sang pemenang adalah pemenang yang sesungguhkan atau yang sejati? Seperti dalam proses kompetisi pada bidang lain, selama perjalanan waktu belum berakhir, tak ada yang disebut pemenang sejati. Sejarah kata memperlihatkan bahwa pengguna kata generasi hari ini bisa dikoreksi oleh generasi yang akan datang. Itu sebabnya seorang penulis masalah kebahasaan pernah bilang bahwa dalam pemakaian bahasa, yang berlaku adalah soal mode, artinya: ganti zaman bisa ganti mode. Dengan demikian, "memenangkan" yang diubah jadi "memenangi" oleh generasi kini bisa saja akan direvisi oleh angkatan beberapa dasawarsa mendatang.
Ada kasus yang bisa menjelaskan fenomena ini. Sepuluh tahun lalu, awak pers bergairah menggunakan kata keterangan "utamanya" alih-alih "terutama". Bentukan baru itu agaknya mengambil dasar analogis pada "khususnya". Kini pengguna "utamanya" tak segencar satu dasawarsa lalu. Jadi begitulah watak sebuah mode. Saat orang sudah bosan dengan mode lama, muncullah mode baru, yang pada akhirnya ditinggalkan untuk diganti dengan yang baru atau kembali pada yang lama.
Sumber: Antara, Kamis, 27 Desember 2012
KOMPETISI atau pertandingan untuk meraih kejayaan alias kemenangan berlangsung di semua sektor kehidupan. Pada tataran individual, manusia berkompetisi--taruhlah--untuk mendapatkan seorang pujaan hati. Di ranah bisnis, kompetisi kian hari kian sengit.
Dalam bahasa pun ada kompetisi: kompetisi antara sejumlah kata yang bermakna sepadan berlangsung dari waktu ke waktu.
"Mangkus" dan "sangkil" dalam pertarungan melawan "efisien" dan "efektif" tampaknya tak seperkasa "memenangi" melawan "memenangkan". Kini dalam banyak laga penggunaan keduanya, "memenangi" menggeser pelahan-pelan dominasi "memenangkan" dalam dua dasawarsa belakangan.
Seperti dalam semua sektor kehidupan, sang pemenang dalam kompetisi tak mesti lebih benar, dalam arti lebih pengikuti aturan atau prinsip yang disepakati bersama. Simaklah perkara yang menimpa "memenangkan" yang mulai terkalahkan oleh "memenangi" dalam kompetisi menjadi kata paling banyak dipakai penggunanya.
Pakar Linguistik Bambang Kaswanti Purwo yang membela "memenangkan" dalam pemakaian kalimat "Ia memenangkan pertandingan" alih-alih "Ia memenangi pertandingan" berargumen bahwa sufiks "kan" tak mesti bermakna kausatif. Akhiran "kan" bisa membawakan makna preposisi "akan" atau "pada". Dengan demikian, "memenangkan pertandingan" bisa berarti "menang pada pertandingan". Contoh-contoh yang mendukung argumen itu antara lain pada pemakaian kata "merindukan" dalam kalimat "Si pungguk merindukan bulan". Jika akhiran "kan" dalam "merindukan" diberi makna kausatif, yang rindu adalah "bulan", bukan "si pungguk".
Jika semua akhiran "kan" harus diberi makna kausatif, maka kalimat yang mengunakan "memprihatinkan", "membanggakan", "melupakan", "mengingatkan" harus diganti dengan yang berakhiran "i" sehingga menjadi "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan mengingati".
Meskipun argumen Bambang cukup meyakinkan, surutkan kaum pengguna "memenangi" dalam menggeser kedudukan "memenangkan"? Rupanya tidak. Dari hari ke hari, koran-koran, media sosial, dan bahasa lisan semakin gencar menggunakan "memenangi". Pengguna, masyarakat kebanyakan, tidak mau ambil pusing dengan argumentasi linguistik.
Bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa kata yang dijadikan senjata argumen Bambang untuk mengandaskan "memenangi" malah menjadi ilham bagi para pengguna bahasa, terutama kalangan wartawan dan redaktur, untuk memilih "memprihatini", "membanggai", "melupai" dan "mengingati" sebagai pengganti kata-kata tersebut yang berakhiran "kan".
Kecenderungan untuk bermain-main dengan kata-kata yang berwajah baru sangat digemari kalangan wartawan atau redaktur. Salah satu bukti adanya kecenderungan itu bisa dibaca pada keterangan gambar pada Harian Kompas sebagai berikut: "Pelatih Chelsea Rafael Benitez menenangi salah satu pemainnya, Ramires (7), usai kekalahan 0-1 dari klub Brasil, Corinthians, di Yokohama, Jepang, Minggu (16/12)."
Dalam gambar itu, Benitez menepuk pungguk salah satu pemain Chelsea Ramires yang terduduk sambil mengencangkan tali sepatunya. Kata "menenangi" adalah modifikasi dari "menenangkan". Apakah betul perubahan itu?
Tampaknya sang redaktur tidak memahami bahwa "menenangkan", yang mengandung makna kausatif pada akhirannya, justru yang digubakan oleh para pendukung "memenangi". Artinya: radaktur itu sudah tidak lagi menggunakan dasar-dasar linguistik untuk mengganti "kan" menjadi "i". Dia berlaku asal-asalan: yang penting "kan" harus diganti "i".
Tindakan asal-asalan tanpa landasan prinsip kebahasaan juga pernah terjadi pada seorang novelis yang mengganti semua imbuhan "memper" menjadi "memer": "memperbaiki" jdi "memerbaiki"; "memperindah" jadi "memerindah"; "mempertaruhkan" jadi "memertaruhkan". Sang novelis yang baru menulis novel itu tidak menyadari bahwa "p" dalam "memper" bukanlah elemen huruf awal dari kata dasar yang terkena hukum "k", "p", "t", "s" yang luluh ketika mendapat imbuhan.
Apakah dalam kompetisi linguistik sang pemenang adalah pemenang yang sesungguhkan atau yang sejati? Seperti dalam proses kompetisi pada bidang lain, selama perjalanan waktu belum berakhir, tak ada yang disebut pemenang sejati. Sejarah kata memperlihatkan bahwa pengguna kata generasi hari ini bisa dikoreksi oleh generasi yang akan datang. Itu sebabnya seorang penulis masalah kebahasaan pernah bilang bahwa dalam pemakaian bahasa, yang berlaku adalah soal mode, artinya: ganti zaman bisa ganti mode. Dengan demikian, "memenangkan" yang diubah jadi "memenangi" oleh generasi kini bisa saja akan direvisi oleh angkatan beberapa dasawarsa mendatang.
Ada kasus yang bisa menjelaskan fenomena ini. Sepuluh tahun lalu, awak pers bergairah menggunakan kata keterangan "utamanya" alih-alih "terutama". Bentukan baru itu agaknya mengambil dasar analogis pada "khususnya". Kini pengguna "utamanya" tak segencar satu dasawarsa lalu. Jadi begitulah watak sebuah mode. Saat orang sudah bosan dengan mode lama, muncullah mode baru, yang pada akhirnya ditinggalkan untuk diganti dengan yang baru atau kembali pada yang lama.
Sumber: Antara, Kamis, 27 Desember 2012
No comments:
Post a Comment