-- Bayu Agustari Adha
NAMA Edgar Allan Poe tentu tak asing lagi dalam peta kesusastraan dunia. Ia dikenal sebagai Master Horror Gothic yang membuat pembacanya masuk pada ruang gelap yang menyajikan ketegangan dan misteri. Di saat sastrawan seangkatannya sibuk menelurkan karya-karya berpesan moral seperti Charles Dickens dan Mark Twain, ia malah menghadirkan warna baru dengan teror-teror psikologis dalam cerpen-cerpennya. Dalam genre misteri sendiri ia juga membuat suatu hal otentik dengan menekankan pada kegilaan karakternya, beda dengan Agatha Christie yang lebih fokus pada usaha pemecahan misteri.
Tabiat karakternya yang selalu menyimpan suatu kelainan psikologis membuat para pembaca takut dan sekaligus penasaran. Sehingga ketakutan itu sendirilah yang membuat kita ingin terus membalikkan setiap halaman ceritanya. Karya-karyanya yang terkenal seperti Tell-Tale Heart dan Black Cat adalah beberapa contoh yang menyajikan teror-teror paranoia. Teror yang selalu menghantui tokohnya sehingga membuatnya paranoid dan melakukan hal-hal di luar kewajaran. Meskipun terlihat terlalu sadis, namun ini merupakan suatu siklus psikologis yang bisa merasuk siapa saja. Cerpen di atas dan cerpen lainnya bisa dibaca pada Kisah-Kisah Tengah Malam terjemahan Maggie Tiojakin yang memuat 13 cerpen pilihan karya Edgar Allan Poe.
Dalam cerpen Tell-Tale Heart (Terjemahan: Gema Jantung yang Tersiksa) memuat cerita seseorang yang sangat membenci tatapan mata seorang lelaki tua, padahal lelaki tua itu baik padanya dan begitu juga sebaliknya. Namun karena mata yang seperti mata burung bangkai itu sangat menjijkkan baginya, dia berencana untuk membunuh laki-laki tua itu. Tujuh malam berturut-turut ia mengintai mata lelaki tua itu, namun tak bisa melihatnya karena sedang tidur. Di malam kedelapan saat dia mengintai dengan sangat hati-hati, lelaki tua itu terbangun dan satu jam tak beranjak dari posisi duduknya di atas ranjang. Hingga akhirnya si aku berteriak dan menghantamnya ke lantai dan membalikkan ranjang hingga menimpa lelaki tua itu sampai mati. Ia lalu mencincang mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu. Keesokan harinya, polisi datang untuk bertanya-tanya. Sementara waktu ia bisa menyembunyikan perbuatannya, namun lama kelamaan ia mendengar suara jantung lelaki tua itu dari bawah lantai. Keras dan semakin keras sehingga ia tak tahan lagi untuk mengakui pembunuhan dengan menunjukkan sendiri letak mayat yang membuatnya jijik itu.
Dari sekuel di atas bisa dilihat bahwa konflik dimulai dari ketaksukaannya terhadap mata lelaki tua itu. Kebencian itu terus dipelihara sampai menimbulkan rencana pembunuhan. Dari aspek psikologi dapat ditarik bahwa elemen id naluriahnya terus memaksanya untuk terus memuaskan hasrat kebenciannya. Ia tidak berusaha memfilter apa yang diinginkan oleh idnya tersebut. Tidak adanya mekanisme menghambat laju napsu naluri kebinatangannya membuatnya semakin liar. Saat eksekusi pembunuhan akan dilakukan, ada jeda waktu satu jam untuk mengelola tindakan yang akan dilakukan. Namun tetap saja saat pengambilan keputusan dia menuruti perintah id untuk melancarkan rencana. Konflik tindakan ini akhirnya benar-benar dimenangkan oleh sang id. Bisikan untuk membunuh ini tentu datangnya dari ketidakinginan untuk kembali melihat sesosok mata yang menjijikkan itu. Setelah itu sepertinya dia menyerahkan segalanya kepada perintah id untuk memutilasi mayat lelaki tua itu.
Gejolak pergolakan psikologis lainnya terjadi pada saat polisi datang keesokan harinya. Dalam menanggapi keberadaan polisi tersebut, si pembunuh berusaha untuk terus menyembunyikan. Di sini terlihat siklus psikologis yang masih dikuasai naluri alamaiah untuk menghindari sesuatu yang dianggap akan tidak menguntungkannya. Mekanisme pertahanan ini memang adalah sesuatu yang wajar mengingat elemen id dalam psikologi juga mendorong seseorang untuk tidak berada pada suatu keadaan yang akan merugikannya. Terlihat dia membuat alasan bahwa lelaki tua pergi liburan ke pedesaan. Alasan inilah yang menjadi senjata dalam upaya penghindaran tersebut. Si pembunuhpun mempersilahkan polisi untuk memasuki kamar lelaki tua itu.
Pada saat berada dalam kamar tersebut bersama tiga polisi, di situlah muncul teror-teror paranoia yang selalu menghantuinya. Polisi tak terlalu menginterogasinya dan hanya berbincang dengan santai. Namun apa yang dialami oleh si pembunuh tidak demikian, meskipun dia tetap berusaha untuk santai bersahaja. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara detak jantung dari balik lantai kayu yang makin lama makin keras. Di sinilah efek dari paranoia yang dijangkiti olehnya, karena di antara gejala paranoia adalah adanya halusinasi yang hanya dirasakan diri sendiri. Jelas sekali suara detak jantung itu sendiri merupakan suatu halusinasi darinya, dari efek rasa bersalahnya. Hingga akhirnya diapun mengakui, meskipun polisi tak berusaha sedikitpun untuk mencurigainya dan mengatakan, ‘’Dasar penjahat!’’ teriakku lantang, ‘’Tidak usah berpura-pura lagi! Aku mengakui perbuatanku! Bongkar lantai ini!-sini!-di sini!-aku bisa mendengar denyut jantungnya yang menjijikkan’’.
Sementara itu dalam cerpen lainnya yakni The Black Cat (Terjemahan: Kucing Hitam) juga menceritakan hal dengan fenomena psikologis yang cukup mirip dengan cerpen di atas. Tokoh aku sendiri adalah seorang yang sangat mencintai binatang karena dia merasakan kenyamanan dengan binatang dikarenakan pergaulan sesama manusia yang tidak memuaskannya. Setelah beristripun dia akrab dengan binatang, yang favorit baginya adalah kucing hitam bernama Pluto. Seiring berjalannya waktu kondisi mentalnya mulai tidak stabil karena sering mabuk-mabukan. Akibatnya dia sempat melampiaskan kemarahannya pada istri dan binatang-binatangnya. Plutopun juga jadi sasaran setelah sekian lama dia mencoba menahan amarahnya. Sampai akhirnya Pluto diangkat dan dicekik lehernya kemudian dicongkel matanya serta digantungnya di pohon.
Setelah membunuh kucing itu, rumahnya kebakaran namun ada satu dinding yang tidak terbakar dan menurutnya ada ukiran yang mirip Pluto. Setelah itu dia selalu dibayangi oleh sosok Pluto. Suatu saat di Bar dia melihat kucing mirip Pluto dan langsung mengambilnya. Diapun memperlakukan dengan penuh kasih sayang layaknya Pluto dulu. Namun lama kelamaan dia juga benci kucing itu sampai suatu saat dia ingin membunuh kucing itu dengan kapak. Malangnya istrinya menghalanginya sehingga diapun tak terkontrol sampai akhirnya Kapak tertancap di kepala istrinya. Diapun menyimpan mayat istrinya di dalam dinding yang kemudian dilapisinya lagi dengan bata sehingga tertutup dan berbentuk sama seperti dinding. Namun dia masih heran di mana Pluto berada. Polisipun datang untuk sekedar bertanya keberadaan istrinya, karena para tetangga juga telah melakukan pencarian. Dia bisa menyembunyikan pembunuhan ini sampai akhirnya dia mendengar tangisan dari lapisan dinding dan akhirnya mengakui perbuatannya. Kucing hitam mirip Pluto berada di atas mayat istrinya.
Sekilas terlihat memang cerpen ini sama polanya dengan cerpen Tell-Tale Heart. Perbedaannya barangkali hanya dari latar belakang tokoh-tokohnya. Si narator dalam cerita ini sejak kecil memang telah mengalami kelainan psikologis. Dia kerap menjadi olok-olokkan temannya sehingga dia menemukan pelarian dengan bermain bersama binatang. Ini juga merupakan suatu gejala paranoia di mana kecendrungan untuk mengasingkan diri terjadi karena adanya anggapan dan kecurigaan takkan diterima oleh sosial. Rasa khawatir inilah yang terus menterornya sehingga menjadikan suatu pergaulan sosial dengan manusia untuk tidak menjadi pilihan. Kemudian berbeda dengan cerpen pertama yang memiliki sesuatu yang dibenci, dalam cerpen ini kebencian lahir dari adanya suatu kasih sayang. Si pembunuh yang telah lama mencintai binatang akhirnya menemukan antiklimaks di mana dia kemudian sangat membenci hal yang disayanginya. Pengaruh luar mungkin bisa dijadikan alasan di sini yakni pengaruh mental yang dirasuki alkohol. Jelas di sini dimendi Id telah menguasainya mengalahkan dimensi super ego yang memuat nilai-nilai mulia, di sini adalah kasih sayangnya pada binatang.
Seperti diketahui, binatang lainnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya, namun untuk sang kucing hitam Pluto dia masih menahannya hingga akhirnya meledak dengan kejadian dia mencongkel mata si Pluto. Pelampiasan kehendak Id yang bersifat destruktif terus menguasainya sampai akhirnya dia menggantungnya. Namun setelah rumahnya terbakar dan melihat ukiran Pluto di dinding yang tidak terbakar, teror rasa bersalah terus menghantuinya. Ukiran Pluto tersebut jelas merupakan suatu halusinasi dari dirinya. Ukiran ini akan terus membuatnya menjadi paranoid karena bayangan itu terus menghantuinya. Akibatnya, dia berusaha untuk mencari wadah penebus rasa bersalah. Kucing yang dikiranya mirip Pluto diambilnya dan diniatkan untuk merawatnya dengan kasih sayang.
Akan tetapi sepertinya keakrabanlah yang menimbulkan kebencian karena lama-lama dia membenci juga kucing ini. Apalagi ditambah dengan adanya halusinasi tanda putih lingkaran di dada kucing itu yang dianggapnya sebagai tali gantungan Pluto. Kebiasaannya yang selalu memanjakan kehendak ingin menghancurkan membuatnya menyerah juga untuk ingin membunuh kucing ini, walaupun akhirnya yang terbunuh adalah istrinya. Istrinya yang disimpannya di balik dinding yang dibuatnya sendiri mungkin terasa janggal dan tidak logis. Namun apabila dianalogikan dengan binatang-binatang yang disiksanya, istri dan binatang merupakan dua korban yang sama. Di mana kebencian dilahirkan dari suatu keakraban dan kasih sayang. Tidak adanya rasa takut untuk membunuh istrinya adalah suatu perasaan superior yang dimilikinya karena istrinya memang tidak pernah sekalipun berlawanan dengannya.
Teror-teror yang membuatnya menjadi paranoid jelas sekali saat polisi datang rumahnya. Meskipun dia mencoba santai, namun usaha-usaha menyembunyikan perbuatan itu tak begitu kebal. Perasaannya yang seakan-akan ada yang akan membahayakannya menjadi umpan balik yang membuatnya tidak stabil saat dia mengetuk dinding di mana istrinya di dalamnya dengan tongkat. Dia mengatakan ‘’Kalimatku dijawab seseorang dalam dinding-seperti tangisan, suara itu awalnya menyerupai isak tangis anak kecil, yang lama-lama membengkak menjadi teriakan binatang atau setan’’. Teror yang menghantuinya membuatnya khawatir dan ketakutan sehingga tanpa sadar dia telah memperlihatkan perbuatannya. Edgar Allan Poe sepertinya tak hanya menyumbang untuk sastra dan psikologi tapi sepertinya dia juga memberi metode interogasi untuk pelaku kejahatan. Faktanya kita lihat memang banyak pembunuhan yang terjadi akibat oleh orang terdekat. Walaupun hidup satu abad lebih di masa lalu, tapi tampaknya pemikirannya telah melampaui zamannya. n
Bayu Agustari Adha, penulis sastra yang rajin menulis esai dan karya-karyanya dimuat diberbagai media, salah satunya Riau Pos.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Desember 2012
NAMA Edgar Allan Poe tentu tak asing lagi dalam peta kesusastraan dunia. Ia dikenal sebagai Master Horror Gothic yang membuat pembacanya masuk pada ruang gelap yang menyajikan ketegangan dan misteri. Di saat sastrawan seangkatannya sibuk menelurkan karya-karya berpesan moral seperti Charles Dickens dan Mark Twain, ia malah menghadirkan warna baru dengan teror-teror psikologis dalam cerpen-cerpennya. Dalam genre misteri sendiri ia juga membuat suatu hal otentik dengan menekankan pada kegilaan karakternya, beda dengan Agatha Christie yang lebih fokus pada usaha pemecahan misteri.
Tabiat karakternya yang selalu menyimpan suatu kelainan psikologis membuat para pembaca takut dan sekaligus penasaran. Sehingga ketakutan itu sendirilah yang membuat kita ingin terus membalikkan setiap halaman ceritanya. Karya-karyanya yang terkenal seperti Tell-Tale Heart dan Black Cat adalah beberapa contoh yang menyajikan teror-teror paranoia. Teror yang selalu menghantui tokohnya sehingga membuatnya paranoid dan melakukan hal-hal di luar kewajaran. Meskipun terlihat terlalu sadis, namun ini merupakan suatu siklus psikologis yang bisa merasuk siapa saja. Cerpen di atas dan cerpen lainnya bisa dibaca pada Kisah-Kisah Tengah Malam terjemahan Maggie Tiojakin yang memuat 13 cerpen pilihan karya Edgar Allan Poe.
Dalam cerpen Tell-Tale Heart (Terjemahan: Gema Jantung yang Tersiksa) memuat cerita seseorang yang sangat membenci tatapan mata seorang lelaki tua, padahal lelaki tua itu baik padanya dan begitu juga sebaliknya. Namun karena mata yang seperti mata burung bangkai itu sangat menjijkkan baginya, dia berencana untuk membunuh laki-laki tua itu. Tujuh malam berturut-turut ia mengintai mata lelaki tua itu, namun tak bisa melihatnya karena sedang tidur. Di malam kedelapan saat dia mengintai dengan sangat hati-hati, lelaki tua itu terbangun dan satu jam tak beranjak dari posisi duduknya di atas ranjang. Hingga akhirnya si aku berteriak dan menghantamnya ke lantai dan membalikkan ranjang hingga menimpa lelaki tua itu sampai mati. Ia lalu mencincang mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu. Keesokan harinya, polisi datang untuk bertanya-tanya. Sementara waktu ia bisa menyembunyikan perbuatannya, namun lama kelamaan ia mendengar suara jantung lelaki tua itu dari bawah lantai. Keras dan semakin keras sehingga ia tak tahan lagi untuk mengakui pembunuhan dengan menunjukkan sendiri letak mayat yang membuatnya jijik itu.
Dari sekuel di atas bisa dilihat bahwa konflik dimulai dari ketaksukaannya terhadap mata lelaki tua itu. Kebencian itu terus dipelihara sampai menimbulkan rencana pembunuhan. Dari aspek psikologi dapat ditarik bahwa elemen id naluriahnya terus memaksanya untuk terus memuaskan hasrat kebenciannya. Ia tidak berusaha memfilter apa yang diinginkan oleh idnya tersebut. Tidak adanya mekanisme menghambat laju napsu naluri kebinatangannya membuatnya semakin liar. Saat eksekusi pembunuhan akan dilakukan, ada jeda waktu satu jam untuk mengelola tindakan yang akan dilakukan. Namun tetap saja saat pengambilan keputusan dia menuruti perintah id untuk melancarkan rencana. Konflik tindakan ini akhirnya benar-benar dimenangkan oleh sang id. Bisikan untuk membunuh ini tentu datangnya dari ketidakinginan untuk kembali melihat sesosok mata yang menjijikkan itu. Setelah itu sepertinya dia menyerahkan segalanya kepada perintah id untuk memutilasi mayat lelaki tua itu.
Gejolak pergolakan psikologis lainnya terjadi pada saat polisi datang keesokan harinya. Dalam menanggapi keberadaan polisi tersebut, si pembunuh berusaha untuk terus menyembunyikan. Di sini terlihat siklus psikologis yang masih dikuasai naluri alamaiah untuk menghindari sesuatu yang dianggap akan tidak menguntungkannya. Mekanisme pertahanan ini memang adalah sesuatu yang wajar mengingat elemen id dalam psikologi juga mendorong seseorang untuk tidak berada pada suatu keadaan yang akan merugikannya. Terlihat dia membuat alasan bahwa lelaki tua pergi liburan ke pedesaan. Alasan inilah yang menjadi senjata dalam upaya penghindaran tersebut. Si pembunuhpun mempersilahkan polisi untuk memasuki kamar lelaki tua itu.
Pada saat berada dalam kamar tersebut bersama tiga polisi, di situlah muncul teror-teror paranoia yang selalu menghantuinya. Polisi tak terlalu menginterogasinya dan hanya berbincang dengan santai. Namun apa yang dialami oleh si pembunuh tidak demikian, meskipun dia tetap berusaha untuk santai bersahaja. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara detak jantung dari balik lantai kayu yang makin lama makin keras. Di sinilah efek dari paranoia yang dijangkiti olehnya, karena di antara gejala paranoia adalah adanya halusinasi yang hanya dirasakan diri sendiri. Jelas sekali suara detak jantung itu sendiri merupakan suatu halusinasi darinya, dari efek rasa bersalahnya. Hingga akhirnya diapun mengakui, meskipun polisi tak berusaha sedikitpun untuk mencurigainya dan mengatakan, ‘’Dasar penjahat!’’ teriakku lantang, ‘’Tidak usah berpura-pura lagi! Aku mengakui perbuatanku! Bongkar lantai ini!-sini!-di sini!-aku bisa mendengar denyut jantungnya yang menjijikkan’’.
Sementara itu dalam cerpen lainnya yakni The Black Cat (Terjemahan: Kucing Hitam) juga menceritakan hal dengan fenomena psikologis yang cukup mirip dengan cerpen di atas. Tokoh aku sendiri adalah seorang yang sangat mencintai binatang karena dia merasakan kenyamanan dengan binatang dikarenakan pergaulan sesama manusia yang tidak memuaskannya. Setelah beristripun dia akrab dengan binatang, yang favorit baginya adalah kucing hitam bernama Pluto. Seiring berjalannya waktu kondisi mentalnya mulai tidak stabil karena sering mabuk-mabukan. Akibatnya dia sempat melampiaskan kemarahannya pada istri dan binatang-binatangnya. Plutopun juga jadi sasaran setelah sekian lama dia mencoba menahan amarahnya. Sampai akhirnya Pluto diangkat dan dicekik lehernya kemudian dicongkel matanya serta digantungnya di pohon.
Setelah membunuh kucing itu, rumahnya kebakaran namun ada satu dinding yang tidak terbakar dan menurutnya ada ukiran yang mirip Pluto. Setelah itu dia selalu dibayangi oleh sosok Pluto. Suatu saat di Bar dia melihat kucing mirip Pluto dan langsung mengambilnya. Diapun memperlakukan dengan penuh kasih sayang layaknya Pluto dulu. Namun lama kelamaan dia juga benci kucing itu sampai suatu saat dia ingin membunuh kucing itu dengan kapak. Malangnya istrinya menghalanginya sehingga diapun tak terkontrol sampai akhirnya Kapak tertancap di kepala istrinya. Diapun menyimpan mayat istrinya di dalam dinding yang kemudian dilapisinya lagi dengan bata sehingga tertutup dan berbentuk sama seperti dinding. Namun dia masih heran di mana Pluto berada. Polisipun datang untuk sekedar bertanya keberadaan istrinya, karena para tetangga juga telah melakukan pencarian. Dia bisa menyembunyikan pembunuhan ini sampai akhirnya dia mendengar tangisan dari lapisan dinding dan akhirnya mengakui perbuatannya. Kucing hitam mirip Pluto berada di atas mayat istrinya.
Sekilas terlihat memang cerpen ini sama polanya dengan cerpen Tell-Tale Heart. Perbedaannya barangkali hanya dari latar belakang tokoh-tokohnya. Si narator dalam cerita ini sejak kecil memang telah mengalami kelainan psikologis. Dia kerap menjadi olok-olokkan temannya sehingga dia menemukan pelarian dengan bermain bersama binatang. Ini juga merupakan suatu gejala paranoia di mana kecendrungan untuk mengasingkan diri terjadi karena adanya anggapan dan kecurigaan takkan diterima oleh sosial. Rasa khawatir inilah yang terus menterornya sehingga menjadikan suatu pergaulan sosial dengan manusia untuk tidak menjadi pilihan. Kemudian berbeda dengan cerpen pertama yang memiliki sesuatu yang dibenci, dalam cerpen ini kebencian lahir dari adanya suatu kasih sayang. Si pembunuh yang telah lama mencintai binatang akhirnya menemukan antiklimaks di mana dia kemudian sangat membenci hal yang disayanginya. Pengaruh luar mungkin bisa dijadikan alasan di sini yakni pengaruh mental yang dirasuki alkohol. Jelas di sini dimendi Id telah menguasainya mengalahkan dimensi super ego yang memuat nilai-nilai mulia, di sini adalah kasih sayangnya pada binatang.
Seperti diketahui, binatang lainnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya, namun untuk sang kucing hitam Pluto dia masih menahannya hingga akhirnya meledak dengan kejadian dia mencongkel mata si Pluto. Pelampiasan kehendak Id yang bersifat destruktif terus menguasainya sampai akhirnya dia menggantungnya. Namun setelah rumahnya terbakar dan melihat ukiran Pluto di dinding yang tidak terbakar, teror rasa bersalah terus menghantuinya. Ukiran Pluto tersebut jelas merupakan suatu halusinasi dari dirinya. Ukiran ini akan terus membuatnya menjadi paranoid karena bayangan itu terus menghantuinya. Akibatnya, dia berusaha untuk mencari wadah penebus rasa bersalah. Kucing yang dikiranya mirip Pluto diambilnya dan diniatkan untuk merawatnya dengan kasih sayang.
Akan tetapi sepertinya keakrabanlah yang menimbulkan kebencian karena lama-lama dia membenci juga kucing ini. Apalagi ditambah dengan adanya halusinasi tanda putih lingkaran di dada kucing itu yang dianggapnya sebagai tali gantungan Pluto. Kebiasaannya yang selalu memanjakan kehendak ingin menghancurkan membuatnya menyerah juga untuk ingin membunuh kucing ini, walaupun akhirnya yang terbunuh adalah istrinya. Istrinya yang disimpannya di balik dinding yang dibuatnya sendiri mungkin terasa janggal dan tidak logis. Namun apabila dianalogikan dengan binatang-binatang yang disiksanya, istri dan binatang merupakan dua korban yang sama. Di mana kebencian dilahirkan dari suatu keakraban dan kasih sayang. Tidak adanya rasa takut untuk membunuh istrinya adalah suatu perasaan superior yang dimilikinya karena istrinya memang tidak pernah sekalipun berlawanan dengannya.
Teror-teror yang membuatnya menjadi paranoid jelas sekali saat polisi datang rumahnya. Meskipun dia mencoba santai, namun usaha-usaha menyembunyikan perbuatan itu tak begitu kebal. Perasaannya yang seakan-akan ada yang akan membahayakannya menjadi umpan balik yang membuatnya tidak stabil saat dia mengetuk dinding di mana istrinya di dalamnya dengan tongkat. Dia mengatakan ‘’Kalimatku dijawab seseorang dalam dinding-seperti tangisan, suara itu awalnya menyerupai isak tangis anak kecil, yang lama-lama membengkak menjadi teriakan binatang atau setan’’. Teror yang menghantuinya membuatnya khawatir dan ketakutan sehingga tanpa sadar dia telah memperlihatkan perbuatannya. Edgar Allan Poe sepertinya tak hanya menyumbang untuk sastra dan psikologi tapi sepertinya dia juga memberi metode interogasi untuk pelaku kejahatan. Faktanya kita lihat memang banyak pembunuhan yang terjadi akibat oleh orang terdekat. Walaupun hidup satu abad lebih di masa lalu, tapi tampaknya pemikirannya telah melampaui zamannya. n
Bayu Agustari Adha, penulis sastra yang rajin menulis esai dan karya-karyanya dimuat diberbagai media, salah satunya Riau Pos.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Desember 2012
No comments:
Post a Comment