Friday, February 23, 2007

Laku Pepe Warnai Peringatan Hari Bahasa Ibu: Desak Perda Bahasa Jawa

SEMARANG-Peringatan Ke-6 Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) tingkat Jateng di Gedung Gradhika Bhakti Praja Jl Pahlawan, Selasa (21/2), diwarnai aksi "laku pepe" oleh sejumlah mahasiswa yang menamakan diri Forum Mahasiswa Peduli SK Gubernur Nomor 895.5/01/2005.

Mereka menuntut adanya peraturan daerah (perda) pelestarian bahasa Jawa yang mengatur penggunaan bahasa itu, seperti halnya di Jawa Barat yang menetapkan penggunaan bahasa Sunda pada hari tertentu.

Aksi tanpa orasi dengan duduk di sekitar lokasi peringatan Ke-6 HBII itu dilakukan tak lebih dari sepuluh mahasiswa. Tak ada orasi atau teriakan "yel-yel" yang mengundang perhatian. Mereka hanya duduk sambil membentangkan poster dan membagikan pamflet yang isinya, antara lain, "Basa Jawi Betah Perda Amrih Lestari", "Perda Bahasa Sunda Wonten Perda, Basa Jawi?", "Guru Bahasa Jawi Karbitan? Mboten Mawon", dan "Dewan Bahasa Kados Pundi Kabaripun?".

Mereka juga meminta lembar kerja siswa (LKS) bahasa Jawa di SD, SMP, dan SMA yang tidak bermutu untuk ditarik dari peredaran, karena merusak pelestarian dan penggunaan bahasa Jawa.

Selain itu, para mahasiswa juga mendesak para bupati/wali kota se-Jateng melaksanakan SK Gubernur Jateng No 895.5/01/2005 tentang Kurikulum Bahasa Jawa dari SD, SMP, dan SMA, dengan menyediakan guru dan buku bahasa Jawa di jenjang SMA yang berkualitas.

LAKU PEPE:Sejumlah mahasiswa melakukan laku pepe di halaman Kantor Gubernur Jateng, Selasa (21/2). Mereka menuntut perda pelestarian bahasa Jawa dalam Peringatan ke-6 HBII Jateng. (SM/Widodo Prasetyo)

Seusai acara, Gubernur Mardiyanto menyatakan belum perlu membuat perda pelestarian bahasa Jawa seperti halnya di Jabar. "Buat apa membangun suatu peraturan tertulis, kalau mungkin saja pelaksanaannya juga tidak maksimal? Nanti yang disalahkan perdanya," tutur dia.

Mardiyanto mengungkapkan, bahasa Jawa yang merupakan salah satu bahasa daerah yang diakui internasional memiliki nilai yang tinggi. Sudah sepantasnya sebagai orang Jawa membiasakan penggunaan bahasa ini dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Pelestarian budaya dan bahasa Jawa, lanjutnya, bukan hanya tanggung jawab Pemerintah semata, melainkan juga seluruh elemen masyarakat.

Generasi Muda

Gubernur mengungkapkan, HBII ditetapkan Unesco pada 21 Februari 2000 sebagai upaya pelestarian bahasa daerah/etnis di seluruh dunia. Sebab, saat ini diperkirakan ada 6-10 tahun bahasa daerah yang musnah.

Ketika disinggung kemungkinan ada regulasi yang mengatur penggunaan bahasa Jawa di instansi pemerintah pada hari tertentu, Mardiyanto lebih setuju upaya pelestarian bahasa Jawa difokuskan pada generasi muda melalui pendidikan. Yakni dengan pemberlakuan SK Gubernur tentang kurikulum muatan lokal pelajaran bahasa Jawa dari jenjang SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK, dan sederajat mulai tahun lalu.

Peringatan Ke-6 HBII tingkat Jateng dengan tema "Nguri-uri Basa Jawa ing Padinan Kanggo Mbangun Pribadi lan Pakerti Luhur, Migunakake Basa Jawa ing Pandinan Kanggo Mbangun Watak Rukun, Santun lan Nduweni Tepa Slira" dan tiga tema yang lain itu berlangsung meriah.

Di sela-sela acara, Gubernur melantik Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana Kongres Bahasa Jawa (KBJ) 2006. Penampilan SMAN 1 Karangnyar yang merupakan juara I lomba sandiwara berbahasa Jawa, Tri Listianing Guru TK Pertiwi Arcawinangun sebagai juara satu lomba dongeng bahasa Jawa tingkat Jateng, dan "Guyon Maton", membuat peserta yang hadir terhibur. (H7-29t)

Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 22 Februari 2006

Thursday, February 22, 2007

Bahasa Daerah Terancam Punah

JAKARTA (Media): Sedikitnya 300 bahasa ibu (daerah) dari 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia terancam punah. Untuk itu upaya pelestarian bahasa ibu perlu ditingkatkan baik secara individu, organisasi maupun pemerintah.

Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura menyampaikan hal itu pada peringatan Hari Bahasa Ibu Sedunia di Jakarta, kemarin.

Ia mengungkapkan pentingnya pelestarian bahasa ibu tersebut juga harus dilakukan di Indonesia. Sebab dari 6.000 bahasa ibu tersebut, 700 di antaranya berada di Indonesia dan tersebar di pelosok daerah.

Selain itu, kata Koichiro, pelestarian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara juga diperlukan. Alasannya, dari 210 juta penduduk Indonesia, hanya 10% masyarakat Indonesia yang dapat berbahasa Indonesia.

Keprihatinan Koichiro tecermin dari generasi muda saat ini yang kurang peduli terhadap bahasa ibu. Bahkan ada anggapan berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan.

Tayangan televisi maupun acara di radio lebih menonjolkan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, ditambah dengan bahasa gaul metropolitan yang banyak digunakan anak muda.

''Perlu sebuah langkah agar bahasa ibu yang tersebar di seluruh dunia bisa terus dipelihara, digunakan, dan bisa diturunkan dari generasi ke generasi. Semua pihak dari jajaran pemerintah hingga individu harus terlibat dalam melestarikan bahasa ibu,'' imbaunya.

Di sisi lain, Koichiro menegaskan agar konstitusi dan peraturan pemerintah yang menunjang pemakaian bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai media pembelajaran sekolah dasar pada tingkat awal dapat benar-benar direalisasikan.

''Pasalnya, dalam praktiknya, bahasa daerah jarang dipakai pada sekolah negeri formal. Bahasa daerah hanya diajarkan sebagai mata pelajaran di beberapa daerah. Bahasa daerah hanya dipakai pada sekolah nonformal, terutama pada program pemberantasan buta aksara untuk orang dewasa,'' ucap Koichiro.

Peran daerah

Hal senada disampaikan Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono dan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman di sela-sela Hari Bahasa Ibu Sedunia itu.

Dendy mengungkapkan, upaya promosi dan pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah di Indonesia perlu digalakkan pada level pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota.

''Dalam pelestarian bahasa, kewenangan berada pada pemerintah daerah untuk mengembangkannya hingga pada masyarakat setempat,'' ujarnya.

Menurut Dendy, langkah yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi bahasa daerah dengan budaya yang ada pada daerah setempat.

''Sebagai contoh pemerintah daerah di Jawa dapat membudayakan lagi budaya macapatan. Demikian juga di Sumatra, masyarakat dan pemerintah setempat membudayakan tradisi berpantun,'' jelasnya.

Selain itu, lanjut Dendy, pengembangan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di Indonesia, juga dapat dilakukan dengan mengenalkan bahasa daerah kepada anak-anak sejak dini.

''Dalam hal ini, keluarga dan lingkungan masyarakat daerah setempat memiliki peran agar bahasa daerah setempat tidak punah,'' kata Dendy.

Arief Rachman menambahkan, untuk pelestarian bahasa ibu perlu upaya lain dengan cara mengajarkan lebih dari dua bahasa, di luar bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Dengan kata lain, anak-anak sekolah bisa mendapatkan pelajaran bahasa ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing.

''Di luar bahasa daerah dan bahasa Indonesia, ada pelajaran bahasa daerah lain dan bahasa asing. Tujuannya agar anak-anak dapat mudah berdialog antarbudaya dan antarbangsa. Baik dengan teman-teman di Indonesia maupun dengan bangsa lain.'' (SP/H-4)

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 22 Februari 2007

Kebahasaan: Jika Tidak Dilestarikan, Bahasa Akan Punah

Jakarta, Kompas - Bahasa akan punah jika tidak dilestarikan atau tidak dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun sebagai sarana komunikasi.

"Menurut prediksi para peneliti, 100 tahun ke depan bahasa- bahasa di dunia akan tinggal 50 persen. Adapun sisanya akan punah, mengingat kuatnya pengaruh bahasa-bahasa utama dalam kehidupan global," kata Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono pada perayaan Hari Bahasa Ibu Sedunia di Jakarta, Rabu (21/2).

Di Indonesia, kata Dendy, ada sejumlah bahasa daerah yang telah punah. Di Papua, misalnya, sedikitnya ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah, yakni bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat). Nasib serupa juga menimpa beberapa bahasa di Maluku Utara.

Selain itu, juga cukup banyak bahasa yang akan punah karena jumlah penuturnya di bawah 1.000 orang. Bagaimanapun, menurut Dendy, kondisi itu mengkhawatirkan kelangsungan hidup bahasa-bahasa daerah.

"Untuk itu, perlu kita pikirkan strategi yang paling tepat buat mempertahankan bahasa daerah yang memang memiliki peran penting dalam komunitas pendukungnya. Adapun bahasa daerah yang tidak mungkin dipertahankan harus didokumentasikan agar kekayaan itu tidak hilang ditelan bumi," kata Dendy.

Menurut Arief Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, saat ini terdapat 6.000 bahasa di dunia dan 50 persen dari jumlah ini akan punah. Menyadari kenyataan tersebut, sejak tahun 1991, UNESCO (lembaga PBB untuk bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan) menetapkan setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Sedunia.

Lewat peringatan Hari Bahasa Ibu Sedunia ini, kata Arief Rachman, diharapkan semua pihak peduli untuk ikut melestarikan bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Termasuk di dalamnya upaya untuk melestarikan bahasa ibu, yang di Indonesia diperkirakan berjumlah 700 bahasa.

"Untuk meningkatkan pelestarian bahasa ibu diharapkan setiap anak dapat belajar lebih dari satu bahasa. Selain itu, dalam sistem pendidikan dapat diajarkan bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa asing," katanya.

Kichiro Matsuura, Direktur Jenderal UNESCO, di Jakarta, menyatakan bahwa dari 6.000 bahasa di dunia itu, 61 persen dipakai di kawasan Asia Pasifik. Dari jumlah itu, 300 bahasa dalam kondisi hampir punah. (LOK)

Sumber: Kompas, Kamis, 22 Februari 2007

Roda Kehidupan: Novel Fantasi, Buah Coretan Pengusir Bosan

Ahmad Ataka Awwalur Rizky yang akrab disapa Ataka berpose di antara tumpukan novel fiksi fantasi terbarunya "Misteri Pedang Skinheald II" terbitan Copernican, Yogyakarta [Pembaruan/Unggul Wirawan]


MENULIS sebenarnya bukan kebiasaan Ataka. Untuk mengusir bosan, bocah 15 tahun itu mencorat-coret gulungan kertas. Kini "sampah kertas" itu telah menjelma menjadi novel-novel fiksi.

Novel fiksi Ataka memang dihasilkan tanpa sengaja. Motivasinya menulis muncul begitu saja, setelah dilanda kebosanan. Bocah pemilik nama asli Ahmad Ataka Awwalur Rizky itu menulis secara otodidak. Dia mengaku menulis justru karena banyak membaca novel fiksi fantasi.

"Fiksi ini semula hanya coretan-coretan. Awalnya, saya menulis kerangka-kerangka kejadian saja. Lalu saya gambarkan dalam kalimat, menjadi bab, sampai akhirnya menjadi buku. Kemudian ide saya berkembang hingga menjadi tiga buku sekuel," ujar Ataka ketika peluncuran novel Misteri Pedang Skinheald II di Jakarta, Sabtu (17/2)

Ataka mengaku penamaan Skinheald muncul begitu saja di kepalanya. Nama itu dirasakan cocok karena berbau misterius. Ide penamaan tokoh didapat dari mana saja, seperti teman atau buku-buku. Di salah satu buku, Ataka menemukan nama tokoh antagonis Baron yang berarti angkuh dan sombong. Seluruh tokoh-tokoh itu hidup dalam satu benua tersendiri yang terisolasi.

Saat ini, Ataka telah menerbitkan tiga karya yakni Misteri Pedang Skinheald I (MPS) : Sang Pembuka Segel (Alenia 2005), Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (Liliput 2005) dan Misteri Pedang Skinheald -Awal Petualangan Besar (Copernican, 2007). Novel MPS I bahkan dapat diselesaikannya dalam enam bulan.

"Sebenarnya saya lebih percaya pada sebab akibat dan logika. Tetapi mungkin ini adalah satu pengecualian, meskipun masih harus dibuktikan lagi. Anak 15 tahun membuat buku fantasi setebal 660 halaman. Untuk tulis-menulis butuh latihan, mengenal tata krama, tata bahasa dan lain-lain. Kekuatan Ataka luar biasa. Kemampuan berceritanya lancar. Satu peristiwa biasa muncul sebagai narasi seperti teman ngobrol. Ini bagus sekali kalau memang kemampuan oral ini kuat," puji penulis Arswendo Atmowiloto yang mengomentari novel karya Ataka.

Menurut Arswendo, kemampuan Ataka menulis dan memilih kata-kata belum tentu dimiliki pengarang tua sekalipun. Dalam mendeskripsikan peristiwa, pengarang cilik itu dapat memilih kalimat-kalimat yang bertenaga. Kalau saja kekuatan itu disadari bakat Ataka patut disokong. Namun ketidakcermatannya di beberapa bagian menimbulkan pertanyaan.

"Apakah ini kekuatan murni dari Ataka atau yang lain, saya tidak tahu. Tapi bukan tempat kita di sini untuk mencurigai. Pemilihan kata-kata itu mesti dilandasi pemikiran yang kuat. Sayang kekuatan itu tidak muncul di bagian lain," tuturnya.

Arswendo mengkritik pilihan kata "segepok emas" pada salah satu bab di novel Misteri Pedang Skinheald II : Awal Petualangan Besar. Menurutnya, emas tidak lazim dinyatakan dalam satuan gepok. Demikian juga kalimat "seperti sesosok orang tergeletak di bawah selimut". Padahal yang dimaksud adalah guling sehingga kalimat itu seolah mengecoh pembaca.

Malu Dibaca Ibu

Kini Ataka masih duduk di kelas III SMPN 5 Yogyakarta. Prestasinya tergolong lumayan. Tak heran, September 2006 lalu, dia sempat mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Olimpiade Sains Nasional. Ataka berhasil meraih medali perak di bidang ilmu fisika. Namun menulis fiksi mulai menjadi hobi yang ditekuninya.

Untuk bocah belasan tahun, fantasi Ataka cukup mengagumkan. Buku Misteri Pedang Skinheald, misalnya, mampu membawa pembaca pada dunia imajinasi fantastis. Ataka menciptakan tokoh-tokoh khayalan yang seolah hidup di negeri antah-berantah. Tetapi bagaimanapun, karya Ataka juga cukup dipengaruhi oleh buku-buku yang pernah dibacanya.

"Sebagian besar spontanitas, inspirasinya saya dapatkan dari buku-buku yang pernah dibaca. Kebanyakan memang buku-buku fiksi. Tetapi saya tidak ingat lagi kapan membaca pertama kali, yang jelas waktu kecil saya suka komik. Lama kelamaan saya juga suka novel dari luar negeri seperti Harry Potter dan The Lord of the Rings. Setelah membaca novel-novel fiksi itu, saya mulai sering nulis. Saya suka membuat karangan yang ada petualangan seru," tuturnya.

Dulu, setiap kali perasaan bosan mendera, Ataka menggoreskan penanya. Lama-kelamaan, lembaran demi lembaran kertas tulisannya makin banyak. Seluruhnya digulung dan diikat dalam kardus besar. Belakangan onggokan kertas itu semakin banyak dan tampak tak terawat. Hingga suatu hari, sang ibu mengiranya sampah yang mesti dibuang.

"Suatu kali, ibu memergoki tulisan saya yang sudah sobek-sobek. Ibu beres-beres, dikiranya sampah dan mau dibuang. Saya cari kok hilang. Setelah ketemu, ibu tidak boleh baca, masih malu soalnya. Waktu kecil, saya dibesarkan kakek dan nenek. Sementara orangtua saya tinggal di Yogyakarta. Waktu itu, saya memang sudah menulis, tapi tidak bilang orangtua," ujarnya polos.

Di masa kecil, Ataka juga kerap terbiasa mendengar dongeng sebelum tidur. Sering kali, dia sengaja bergegas tidur sekadar ingin mendengar dongeng terbaru. Lambat laun, Ataka kian mulai sering melahap bacaan dan menulis cerita fantasi. Menyadari potensi Ataka, orangtuanya lalu membelikannya komputer. Dia menulis secara otodidak. Belakangan sang ayah mempertemukan Ataka dengan Faiz, seorang editor di penerbitan Copernican.

Dalam waktu dekat, Ataka akan menerbitkan trilogi terakhir akhir MPS yang berjudul Perang di Bumi Andurin. Selain fiksi fantasi, Ataka juga mempersiapkan novel berlatar tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 yang berjudul Kenangan di Bumi Rencong. Buku lain yang juga dipersiapkan adalah novel Bulan Sabit di Langit Parangtritis yang terinspirasi dari gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Mei 2006 lalu. [Pembaruan/Unggul Wirawan]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 22 Februari 2007

Wednesday, February 21, 2007

Langkan: UU Kebahasaan Cukup untuk Tataran Kenegaraan

Rancangan UU Kebahasaan yang tengah digagas pemerintah hendaknya tidak sampai mengekang kreativitas berbahasa di tataran publik, termasuk dalam konteks sastra dan pemasaran produk komersial. Undang-undang tersebut kelak cukup berlaku untuk tataran kenegaraan semisal bahasa resmi pemerintah. Demikian wacana yang mengemuka dalam diskusi tentang RUU Kebahasaan di Jakarta, Senin (19/2). Forum digelar majalah Tempo, menampilkan ahli linguistik Harimurti Kridalaksana dan wartawan senior Bambang Bujono. (NAR)

Sumber: Kompas, Rabu, 21 Februari 2007

Tuesday, February 20, 2007

Ritual Adat: Kerinduan Kaum Melayu Pesisir

-- Irma Tambunan

GERAK tari dinamis yang silih berganti ditampilkan para penari perempuan dan laki-laki di Bukit Benderang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, pertengahan Januari lalu. Tari Zapin Rantak Putri itu tak banyak berubah dari masa-masa silam. Para orang tua tampak bergembira dan seakan bernostalgia.

Sebagian besar laki-laki tua yang hadir dalam ritual adat cukuran pertama seorang bayi di daerah Melayu pesisir timur itu mengenakan teluk belanga, sedangkan kaum perempuan mengenakan baju kurung. Mereka duduk setengah mengelilingi para penari. Acara itu dilengkapi iring-iringan genderang pemain musik kumpangan.

Penutup

Tari Zapin Rantak Putri dipersembahkan sebagai hiburan penutup ritual cukuran pertama anak sesuai dengan adat Melayu pantai timur Jambi.

Acaranya sangat meriah dan terkesan sedikit mewah. Pengundangnya kala itu adalah bupati setempat, Abdullah Hich. Cucunya yang masih berusia dua tahun, si bujang, setelah dicukur rambutnya, kemudian mendapat nama menurut agama Islam: Muhammad Falino.

Tari Zapin itu sebenarnya merupakan gambaran akan dinamika kehidupan agama yang dipadu dengan kehidupan modern. Ini biasanya dipersembahkan pada ritual adat Melayu dan melekat dengan nilai-nilai keagamaan. Musik yang mengiringi pun kental dengan bahasa Melayu dan bernuansa islami.

Pada ritual cukuran, ibu dan nenek dari keluarga terdekat serta sejumlah tokoh perempuan yang dihormati berkesempatan membuai si kecil yang diletakkan dalam ayunan. Tiang ayunan itu disiapkan khusus. Tingginya lima meter, dibungkus dengan kain berwarna merah berselang seling hijau, dan dikelilingi rangkaian bunga.

Membuai sang anak dalam ayunan inilah yang menjadi lambang besarnya kasih ibunda. Pada saat perempuan dewasa yang ditunjuk mulai membuai ayunan dengan menggoyang-goyangkan kain panjang yang terikat pada ayunan, akan tampaklah ungkapan rasa sayang yang lebih besar lagi dari sosok ibu.

Ini juga tergambar dalam kehidupan sehari-hari, yakni tatkala buaian ayunan dirasakan anak-anak sebelum mereka memiliki kamar sendiri.

Di sisi lain tampak berbagai bahan makanan dan perlengkapan disiapkan pihak keluarga, seperti gunungan hasil bumi, nasi kuning, tepung tawar, kalung emas, kelapa muda, telur, dan emas. Semuanya punya makna masing-masing. Kelapa muda, misalnya, menjadi penangkal roh jahat. Air menjadi penyegar bagi kehidupan si anak. Emas merupakan doa bagi si anak supaya hidup sejahtera di kemudian hari.

Kerinduan


Cukuran adalah salah satu dari sejumlah rangkaian ritual adat Melayu. Ritual adat biasanya dilaksanakan untuk mengiringi perubahan fase hidup manusia, mulai saat dia lahir, kanak-kanak, dewasa, menikah, hingga meninggal. Selain cukuran, ada juga ritual cuci lantai yang berlangsung 40 hari setelah si bayi lahir, tasmiyah (perubahan nama secara Islam), naik ayunan, khitanan, dan pernikahan.

Ritual yang lengkap dengan hiburan ini sesungguhnya telah puluhan tahun dilupakan. Karena itu, ketika Abdullah Hich kembali menyelenggarakan upacara cukuran untuk cucunya itu, kerinduan masyarakat untuk kembali melaksanakan tradisi Melayu pesisir ini terasa bangkit.

Ketua Lembaga Adat Tanjung Jabung Timur, Bujang Mutu, menyatakan, mereka begitu antusias untuk kembali menyelenggarakan prosesi adat. Gotong royong dalam upacara tersebut pun muncul begitu saja. Beberapa hari sebelum ritual dilaksanakan, anggota-anggota lembaga adat berkumpul menyusun acara dan tertib adat.

Buku-buku lama yang terkait dan sebagai panduan untuk kegiatan prosesi itu dibaca kembali. Bujang Mutu kemudian menunjukkan satu buku pidato adat, Adat bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah yang dibuat almarhum Hasan Ali, yang pernah jadi pemuka agama setempat. Beberapa panduan yang dituturkan dalam buku itu sangat mirip dengan yang berlaku pada adat Minang. Namun, menurut Bujang Mutu, upacara ini lebih mengacu pada adat Melayu dari rumpun Malaysia.

Buaian ayunan dari sang ibu untuk anaknya, diiringi lagu-lagu yang sarat harapan, menyimbolkan bahwa si anak kelak akan tumbuh menjadi sosok dewasa yang berakal budi, patuh kepada orangtua, dan melaksanakan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan ajaran agama.

Syair-syairnya bagai sebuah pantun, seperti pada salah satu lagu berbunyi demikian:

"Kilau cahaye emas permate,
Di dalam peti ukir Jepare
Jadilah anak penghias mate
Pandai berbakti pada ayah bunde."

Masyarakat pantai timur Jambi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur memang masih lekat dengan budaya Melayu dari Semenanjung Malaka. Menurut Bujang Mutu, sebagian besar penduduk di sana adalah warga pelarian dari Malaka, yang diperkirakan terjadi pada tahun 1600-an. Saat itu pernah terjadi konflik di wilayah Malaka sehingga masyarakat di Malakka, Negeri Sembilan, dan Johor Bahru mencari perlindungan ke tempat yang aman dengan menyeberangi lautan. Sebagian dari mereka berhasil menjejaki pesisir timur Jambi, lalu menetap di sana dengan mata pencarian sebagai nelayan.

"Sekitar 50 persen warga Tanjung Tabung Timur adalah keturunan Melayu," katanya.

Adat yang hidup di negeri seberang itu pun kemudian mereka budayakan di wilayah yang baru mereka datangi. Namun, dalam perkembangannya, sejumlah prosesi adat mulai ditinggalkan.

Menurut Hasan Basri, warga masyarakat adat Tanjung Jabung Timur, hampir 30 tahun upacara cukuran dan buaian ayunan menghilang. Hal ini diperkirakan karena masyarakat mulai menganggap ritual tersebut membebani secara ekonomi.

"Memang kebanyakan yang dapat menyelenggarakan upacara cukuran dan ayunan adalah masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas. Namun, sesungguhnya masyarakat biasa pun dapat melaksanakannya, dengan cara yang lebih sederhana," ucapnya.

Ia melanjutkan, lembaga adat tengah berupaya mengangkat kembali ritual-ritual semacam ini, sebagai bagian dari upaya melestarikan budaya Melayu pesisir. Syair-syair mulai dikumpulkan lagi sehingga menjadi koleksi pilihan pada acara-acara adat di masa mendatang. Mereka berharap nilai-nilai luhur dalam budaya dapat tetap hidup dalam masyarakat keturunan Melayu pesisir.

Sumber: Kompas, Senin, 19 Februari 2007

Peluncuran Storygraph: Kionelle, Orang Indonesia di Lintas Konflik Irlandia

Kionelle McCalliston yang diperankan Christos Nikolau. [Foto: Istimewa]


Dunia buku di Indonesia mencatat peristiwa unik. Pemicunya adalah peluncuran novel berjudul Kionelle, The Avenue to Northern Ireland karya Rio Haminoto.

Novel itu menjadi unik bukan hanya karena jalinan kisahnya yang berkaitan dengan penderitaan warga Irlandia Utara. Bukan hanya karena menggambarkan perbenturan warga Irlandia Utara dengan Inggris.

Keunikan novel itu juga bukan karena penggunaan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Novel itu menjadi unik karena melibatkan dunia musik dan foto. Beberapa foto sengaja disertakan dalam novel itu. Para modelnya menggambarkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut.

Sebuah CD juga menjadi bagian tak terpisahkan dari novel. Isinya sembilan buah lagu yang diharapkan dapat memperkuat imajinasi pembaca saat mengikuti perjalanan hidup Kionelle. Kelompok Mangobuds malah sempat tampil membawakan lagu berjudul Saga yang terdapat dalam CD tersebut dalam peluncuran novel di Four Season Hotel Jakarta, Senin (19/2).

Rio Haminito dan "pasukannya" yang membantu penerbitan tersebut menyebut karyanya dengan istilah storygraph. "Saya mengartikan storygraph sebagai cerita bergambar. Atau mungkin gambar yang bercerita. Mas punya definisi lain setelah menikmati karya saya, silakan. Yang jelas saya ingin berkarya," katanya ringan.

Storygraph memang belum begitu dikenal di Indonesia. Rio pula yang pada 1998 mempopulerkan istilah storygraph lewat karya pertamanya yang berjudul Don Joviano. Seribu karyanya habis terjual dalam waktu singkat.

Konflik

Kionelle, The Avenue to Northern Ireland menggambarkan perjalanan hidup Kionelle McCalliston, pemuda berdarah Indonesia dan Irlandia yang lahir di Jakarta. Ibunya yang orang Indonesia meninggal saat melahirkannya.

Pemuda yang digambarkan ingin mencari jejak leluhurnya dari Irlandia kemudian meneruskan sekolah di The London School of Economic and Political Science di London. Di Londonlah ia bertemu dengan Ciara Basia, gadis pujaannya yang ternyata anggota Irish Republican Army (IRA), organisasi bersenjata warga Irlandia yang menentang Inggris.

Kisah cinta mereka membuat Kionelle bergabung dengan IRA. Rio Haminoto dengan detail menggambarkan alur hidup sang pemuda lengkap dengan penggambaran nama gedung, gereja dan tempat-tempat penting di Irlandia, Inggris dan beberapa tempat lain di Eropa.

Lalu mengapa Rio menulis soal yang berkaitan dengan kekerasan di negara lain? Bukankah di Indonesia juga begitu banyak bahan cerita yang berkaitan dengan kekerasan?

" Saya kebetulan dapat kesempatan sekolah di Amerika. Dalam banyak pertemuan saya merasakan betapa Indonesia sering digambarkan sebagai negara yang penuh praktik diskriminatif. Itu memang kenyataan. Tapi persoalannya ialah, di negara-negara maju pun sebenarnya banyak sekali kasus kekerasan dan praktik diskriminatif. Saya tertarik menulis kasus pertentangan di Irlandia maka saya tulis Kionelle," tambahnya.

Maka riset mengenai akar kekerasan di Irlandia Utara pun ia lalukan. Beberapa kali ia melakukan penelitian langsung ke sana.

Delapan tahun dibutuhkan sebelum Kionelle beredar. Tentu saja sebagian waktu itu dibutuhkan pula untuk mencari model bagi tokoh-tokoh yang ada dalam kisah itu. Christos Nikolau, warga negara Yunani terpilih untuk menjadi model pemeran Kionelle.

Ada pula nama Sierra Steinback dan Ayu Azhari. Konsentrasi pembaca yang tengah mengikuti aksi-aksi pengeboman Kionelle diharapkan semakin meningkat saat melihat foto Christos di dalam strorygraph itu.

Pongky Prasetyo, seorang musisi muda terpilih sebagai music director untuk proyek unik ini. Hasilnya, alunan lagu Perfect Love yang dibawakan Ary Padi hingga lagu No Love yang dibawakan Yoze Lembong. Begitulah, Kionelle memang bukan sekedar kisah yang melibatkan mata dan perasaan pembacanya. Telinga pun akan ikut bekerja saat membaca kekerasan yang terjadi di negara maju, di saat mengikuti perjalanan orang Indonesia di lintasan konflik Irlandia. [Pembaruan/Aa Sudirman]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 20 Februari 2007

Apresiasi: Pelajar SMP Luncurkan Novel Setebal 660 Halaman

MENULIS adalah perang. Membaca adalah senjatanya. Begitulah moto yang terpatri dalam proses kreatif Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, 14, saat membuat novel setebal 660 halaman dengan judul Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar, yang diluncurkan di Bataviase Nouvellese Cafe Galeri, Jakarta, Sabtu (17/2).

Sebagai penulis muda, Ataka mampu menciptakan fantasi-fantasi luar biasa. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa yang dimunculkan dalam kisah petualangannya itu.

''Semula saya bercita-cita menjadi dokter. Namun karena banyak malapraktik, akhirnya saya malas menjadi dokter. Saya ingin menjadi penulis saja,'' kata siswa kelas IX SMP Negeri 5 Yogyakarta itu.

Novel Misteri Pedang Skinheald II dengan tebal 660 itu dalam banyak hal memang menunjukkan bakat kepengarangannya yang prestisius. Apalagi jika dibandingkan dengan penulis-penulis cilik atau penulis muda yang kecanduan menulis novel pop. Tingkat kerumitan cerita yang terangkum dalam novel Misteri Pedang Skinheald II telah mencerminkan fantasi pengarang yang bebas dan kreatif.

''Saya suka membaca karya-karya JK Rowling dan Pramoedya Ananta Toer,'' kata Ataka sambil menyebut judul-judul novel tentang Harry Potter, serta novel-novel sejarah seperti Arus Balik, Bumi Manusia, dan Calon Arang karya Pramoedya.

Dengan berbekal tekad menulis yang membulat, Ataka kini telah menerbitkan sejumlah bukunya, antara lain Misteri Pedang Skinheald I: Sang Pembuka Segel (Alinea, 2005), Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (Liliput, 2005), dan Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar (Copernican, 2007). Novelnya yang segera diterbitkan lagi ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Palangtritis.

Kegiatan menulis telah ditekuni Ataka sejak kelas 4 SD. Kata demi kata ia torehkan tanpa ia tahu harus menjadi apa. Sebab hasil tulisannya selalu ia gulung, seperti Patih Gajah Mada menggulung titahnya kepada para prajuritnya.

Gulungan tulisan berupa cerita-cerita ringan itu tidak selalu tersimpan baik oleh Ataka. Akibatnya orang tuanya kerap menganggap tulisan-tulisan Ataka sebagai sampah. Namun untunglah, lambat laun kedua orang tua Ataka menyadari hobi sekaligus potensi anaknya sebagai seorang yang berbakat menulis.

Di luar kegiatan mengarang, Ataka tetap belajar dan mengejar ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah. Terbukti, September 2006, ia berhasil meraih medali perunggu saat mengikuti Olimpiade Sains Nasional Bidang Fisika. (Chavchay Syaifullah/H-4)

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 20 Februari 2007

Monday, February 19, 2007

Warisan Pramoedya: Keberpihakan Perjuangan Perempuan dalam Karyanya

Pramoedya Ananta Toer


Jakarta, Kompas - Kesenimanan bukan sekadar tugas menyatakan keyakinan dan pikiran pribadi penulis dalam beragam bentuk karyanya.

Di dalamnya juga ada tugas sosial yang berupaya untuk membela manusia sesuai dengan realitas sosial yang ada. Hal ini yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya yang diminati banyak kalangan.

Pramoedya dengan konsisten menggambarkan perjuangan untuk melawan kekuasaan kolonialisme dan feodalisme yang menjadi penyebab ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan kemanusiaan.

Realitas sosial bertema kekuasaan feodalisme dan kolonialisme yang dalam bentuk lain juga masih relevan sampai saat ini bukan saja dinyatakan secara gamblang lewat karakter tokoh- tokohnya, tetapi juga mencoba mencari solusi.

Penelaahan terhadap karya- karya Pram diungkap dalam diskusi "Perempuan dalam Roman Karya Pramoedya Ananta Toer" di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, Jumat (16/2). Kegiatan ini merupakan rangkaian acara yang dilakukan The Nyai Ontosoroh Project yang akan mempergelarkan lakon Nyai Ontosoroh, tokoh roman Bumi Manusia, Pramoedya, tanggal 21-23 April di TIM Jakarta. Pergelaran nanti merupakan hasil kolaborasi sejumlah organisasi perempuan di Tanah Air dan pernah pentas di beberapa daerah sejak tahun lalu.

Eka Kurniawan, penulis yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, dalam karya-karyanya, Pram memperlihatkan hubungan karakter antartokoh dengan menempatkan pada realitas dengan dua tema besar, yakni feodalisme dan kolonialisme.

Jika ada tokoh perempuan dalam karyanya, Pram akan menempatkan tokoh tersebut dalam realitas feodalisme atau kolonialisme.

"Kalau dia membicarakan keberpihakan tentang perempuan di zaman feodalisme, ya beda dengan kolonialisme," katanya.

Sedangkan Rieke Dyah Pitaloka, artis/penulis puisi, mengatakan, karya sastra adalah mimesi, meniru realitas masyarakat. Pram juga memperlihatkan problematika dalam realitas sosial feodalisme dan kolonialisme tanpa menggurui dan mencari solusi. "Tema itu bisa dikatakan masih relevan hingga kini dalam bentuk yang lain," kata Rieke.

Mengaitkan keberpihakan Pram dengan perempuan dalam karya-karyanya, kata Rieke, sering terlihat hubungan antara jender dan kekuasaan. Dalam sosok Nyai Ontosoroh terlihat bahwa perempuan dilemahkan oleh konstruksi sosial yang ada.

Sedangkan Dita Indah Sari, perempuan aktivis politik, mengatakan, membaca karya-karya Pram akan terlihat kritik dan kemarahan Pram terhadap kolonialisme dan feodalisme yang menjadi biang keladi ketertindasan ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemanusiaan.

Perjuangan melawan ketertindasan melalui tokoh-tokohnya itu memang jarang menang.

"Tetapi, Pram seakan ingin mengatakan bagaimana proses melawan itu yang penting meskipun tidak menang," ujar Dita.

Ia juga melihat gambaran sosok perempuan yang ditampilkan Pramoedya tidak sekadar menjadi penghias supaya banyak karakter dalam ceritanya.

Pramoedya juga menempatkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki pendapat sendiri dan mengapresiasi pikiran-pikiran perempuan. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 19 Februari 2007

Saturday, February 17, 2007

Matinya Bahasa Sunda

-- Acep Iwan Saidi*


Ketika esai ini ditulis, di tangan saya ada 25 eksemplar Majalah Sunda Cupumanik (edisi 18/2005-edisi 43/2007). Majalah ini, sejak edisi 16/2005, menyediakan sebuah rubrik ”Kandaga Basa” yang isinya berupa babasan jeung paribasa. Ruang yang disediakan untuk rubrik ini dua halaman, setiap edisi diisi rata-rata 15-20 paribasa dan selalu diberi nomor dalam kurung setelah judul rubriknya. Karena yang ada pada saya mulai edisi 18, rubrik ”Kandaga Basa”-nya bernomor edisi (3).


Membaca dan menyimak rubrik ini segera akan terkesan pada kita bahwa betapa cergas dan kreatifnya orang Sunda masa lalu dalam berbahasa. Cergas sebab mereka tangkas dan terampil menangkap pengalaman hidup dan memformulasikannya lewat bahasa. Kreatif sebab bahasa yang diformulasikannya bukan bahasa biasa, melainkan penuh dengan metafora, efektif, dan selalu mempertimbangkan hukum bunyi sehingga rangkaian ungkapannya tidak hanya bernas secara substansial, tetapi juga estetik dalam segi bentuk.

Perhatikan babasan dan paribasa berikut, "kajeun kendor dapon ngagembol, cara anjing tutung buntut, ngindung ka waktu ngabapa ka mangsa, ambek nyedek tanaga midek, nulak cangkeng dina kelek, inggis batan maut hinis rempan batan mesat gobang, dan ti ngongkoak nepi ka ngungkueuk.” Lupakanlah makna ungkapan-ungkapan itu, perhatikan diksinya yang ketat, dan dengarkan bunyinya yang merdu. Tanpa tahu maknanya, segera akan muncul kesan betapa bahasa ungkap itu tertata dengan rapi. Musikalisasi bunyinya juga terdengar harmonis.

Pada tataran filosofis, ungkapan-ungkapan itu jelas menunjukkan sebuah formulasi atas pengalaman prareflektif. Di situ bahasa tidak sekadar sarana pendeskripsi realitas, tetapi juga abstraksi dari pengalaman, bahasa yang telah memergoki pengalaman dan dengan tangkas menangkapnya. Mari periksa peribahasa berikut, "Piit ngendeuk-ngendeuk pasir, cecendet mande kiara.” Ini jelas sebuah abstraksi atas perilaku manusia yang tidak pernah mengukur kemampuan dan kualitas dirinya. Ia menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diraihnya. Tampak terang kepada kita, di situ bahasa telah memiliki rohnya sendiri. Ia masuk ke ruang transenden, wilayah yang kita anggap tak terbahasakan sebab kita selalu menganggap bahasa sebatas sarana untuk mendeskripsikan realitas belaka. Silakan juga periksa beberapa babasan dan paribasa lain seperti, "Milih-milih rabi, mindah-mindah basa, cul dogdog tinggal igel, caina herang laukna beunang, dan adat ka kurung ku iga.

Formulasi bahasa semacam itu tidak mungkin lahir tanpa sebuah studi yang intens -- apa dan bagaimanapun metodologinya. Kita tahu bahwa jejak penciptanya sulit ditelusuri. Ungkapan-ungkapan itu adalah produk masyarakat lisan. Ia diciptakan oleh penutur-penutur yang tidak perlu coretan nama diri di atas karangannya. Ia anonim. Namun, siapa pun penciptanya, ia pastilah seorang ahli bahasa yang menggauli bahasa sampai ke ruang-ruang paling gelap. Ia tidak menjadikan bahasa sebagai objek, ia tidak mengambil jarak dengan bahasa. Dirinya sendiri kiranya telah menjelma bahasa itu sendiri.

Tapi mengapa kini bahasa Sunda itu mati?

Persoalannya kemudian, apakah para penutur bahasa Sunda sekarang bisa melakukan hal yang sama? Apakah para sarjana sastra Sunda yang sering merasa sok modern mampu memformulasikan pengalaman dalam bahasa yang demikian? Ketimbang mendapat jawaban menggembirakan, sebuah berita menyedihkan justru diturunkan harian ini beberapa waktu lalu. "Penutur bahasa Sunda di Kota Bandung Hanya Tersisa 30%", demikian tajuk berita tersebut (“PR”, 15/2/2007). Penutur yang 30% itu, katanya, terbatas pada kalangan pelajar yang sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar bahasa Sunda di sekolah. Diperkirakan tahun 2010 tidak ada lagi urang Bandung yang menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Menyakitkan. Jika bahasanya hilang, bisa dipastikan budayanya pun lesap.

Kenapa nasib buruk demikian mesti menimpa bahasa Sunda? Gugun Gunadi, sarjana Sastra Sunda dan Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad, menyerang dengan jurus agak culas. Ia bilang bahwa tragedi itu terjadi akibat kesalahan ibu-ibu muda dan Dinas Pendidikan. Ibu-ibu muda tidak mau mengajari anaknya berbahasa Sunda. Dinas Pendidikan tidak mau memberlakukan bahasa Sunda sebagai bahasa pengajaran di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).

Wow, jika saya berada pada posisi dua pihak tersebut, saya akan segera bertanya, apa pula yang Anda lakukan sebagai sarjana sastra Sunda? Apa ikhtiar Unpad (c.q. Jurusan sastra Sunda!) dalam mengatasi masalah tersebut? Bukankah sejauh ini Anda dan kawan-kawan hanya bersembunyi di sebuah ruang eksklusif bernama kampus? Mana karya Anda yang menunjukkan jerih payah untuk memasyarakatkan bahasa Sunda yang bisa dicerna publik: Buku? Hasil penelitian? Karya ilmiah? Bukankah Anda orang akademis yang mestinya bisa bekerja secara metodologis? Anda, saya kira, tidak diajari untuk hanya bisa menyalahkan orang lain. Anda pasti diajari untuk bertanggung jawab pada keilmuan Anda.

Tak sekadar soal bahasa

Persoalan bahasa tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana lewat pelajaran yang diberikan seorang ibu kepada anaknya atau lewat kurikulum yang diwajibkan pemerintah sebagaimana disinyalir Gugun. Tidak ada jaminan bahasa Sunda akan lestari jika dua hal itu dilakukan. Ketika melihat gejala ibu-ibu muda tidak mau mengajarkan bahasa Sunda kepada anaknya dan Dinas Pendidikan tak mau memberlakukan kurikulum, Gugun mestinya bertanya mengapa hal itu terjadi, bukan lantas menunjuk hidung mereka. Jika pertanyaan tersebut tak segera mendapat jawab, sebagai akademisi, hal yang mesti dilakukan tentulah melakukan riset yang serius, penelitian dedikatif yang tidak hanya demi kepentingan projek. Menuduh adalah cermin berpikir pragmatis, yang, tentu saja, tidak sehat dimiliki seorang akademisi.

Saya sendiri berasumsi bahwa bahasa Sunda kian menghampiri kematiannya karena ada banyak faktor yang membuat orang Sunda berjarak dengannya. Bahasa, kata Bronislav Malinowsky, lahir karena pengalaman badaniah" (Halliday, 1985: 10). Pengalaman badaniah adalah interaksi keseharian yang melibatkan banyak hal di samping manusia sendiri sebagai pelibat utamanya. Dalam interaksi ada ruang, waktu, dan benda-benda yang bergerak di dalamnya. Sekelompok orang yang berinteraksi di sebuah ruang dan waktu yang penuh dengan benda teknologi, misalnya, memungkinkan lahirnya ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah yang berkaitan dengan teknologi tersebut. Dari situ akan lahir bahasa ragam teknologi. Tidak mungkin lahir bahasa ragam sastra, politik, dan lain-lain di luar ranah teknologi.

Beranalogi pada contoh ekstrem tersebut, tentu tidak mungkin lahir dan/atau lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari alam kesundaan itu sendiri. Akan sia-sia seorang ibu mengajarkan bahasa Sunda jika yang ada di dalam rumahnya bukan benda-benda yang mengingatkan mereka pada kesundaan, jika pola pikir mereka tidak nyunda. Omong kosong rasanya jika kita berkoar-koar kepada seluruh warga Sunda agar menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian. Kita hanya melihat bahasa sebatas alat yang dengan itu berharap bisa mendeskripsikan dan merepresentasikan realitas. Padahal, sebagaimana Malinowsky, bahasa adalah pengalaman keseharian itu sendiri. Bahasa adalah inti dari aktivitas. Bahasa diproduksi oleh aktivitas dan penanda-penanda yang melingkunginya. Maka, bagaimana bisa bahasa Sunda mendeskripsikan dan merepresentasikan aktivitas orang lain, dalam penanda orang lain pula.

Demikian juga soal kurikulum pendidikan bahasa Sunda. Mubazir kiranya kurikulum bahasa Sunda diberlakukan jika kelas dipenuhi benda dan model atau metodologi pengajaran asing. Bisa saja seorang murid mencapai nilai bagus dalam pelajaran, tetapi ia segera akan melupakannya setelah pelajaran itu lewat. Hal ini dimungkinkan terjadi sebab sang murid belajar bahasa Sunda sebatas kewajiban, selebihnya mengejar kelulusan. Kurikulum bahasa Sunda, dengan begitu, paling banter hanya akan bisa memenuhi syarat formal, tidak substansial. Sekolah akhirnya hanya mengajarkan kepura-puraan.

Lantas, bagaimana cara mencegah atau paling tidak memperlambat usia bahasa Sunda jika dalam realitas keseharian kita justru berjauhan dengan benda-benda dan pandangan hidup kesundaan sedemikian? Tentu jawabannya tidak cukup berteriak-teriak bahwa bahasa Sunda akan mati, apalagi dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Jawabannya, hemat saya, adalah berkarya. Tingkatkan terus karya-karya yang berkaitan dengan kesundaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Contohlah strategi McDonald. Makanan ini eksis antara lain karena ia hadir nyaris di setiap sudut kota di seluruh dunia. Ingat juga bagaimana pada suatu masa yang telah lewat tari jaipongan menjadi demikian populer. Tarian ini eksis antara lain karena frekuensi kemunculannya yang luar biasa, baik dalam bentuk pentas maupun rekaman musiknya. Mari kita kepung orang Sunda dengan karya, bukan dengan umpatan. Para sarjana Sunda, Unpad, Unpas, dan pihak-pihak yang mendompleng pada kesundaan, berkaryalah! Meneliti, menulis, terbitkan minimal 1.000 buku, 1.000 jurnal, dan sekian ribu tulisan di media dalam setahun! Jangan beralasan hal ini tidak mungkin dilakukan. Kita hanya baru bisa hidup kalau mau bekerja keras, bukan? Jangan juga berkilah tidak ada dana! Unpad, misalnya, wow, kaya banget!

Kembali ke soal peribahasa di atas, orang Sunda terutama para sarjana sastra Sunda mestinya malu pada para karuhun. Mereka hidup dalam tradisi lisan yang kental. Mereka sering kita anggap sebagai terbelakang. Tapi, nyatanya mereka justru jauh lebih cerdas dari kita. Mereka mampu mengabstraksikan perilakunya dalam formulasi bahasa yang estetik dan bergizi. Lihatlah, sampai edisi terakhir Cupumanik yang saya baca hingga tulisan ini dibuat, tak ada satu pun peribahasa yang diciptakan oleh orang Sunda modern. Seluruhnya telah saya kenali sejak sebelum mengenal bangku sekolah dasar. Ah, saya jadi curiga pada model studi bahasa Sunda di perguruan tinggi. Jangan-jangan mereka telah menempatkan bahasa sebagai objek yang mati belaka. Jangan-jangan mereka hanya mengintip bahasa dalam jarak karena alasan objektivitas ilmiah. Jangan-jangan mereka pun mengilmiahkan bahasa Sunda dengan hukum-hukum yang diadopsi dari pola-pola bahasa asing sebagaimana dilakukan banyak pakar bahasa Indonesia terhadap bahasa nasional itu. Jika demikian halnya, pantaslah kalau kini bahasa Sunda melangkah kian cepat saja ke liang lahatnya!

* Acep Iwan Saidi, Dosen pada Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual FSRD ITB. Pernah kuliah Sastra dan Bahasa (S-1). Sedang menyusun buku Tata Bahasa Baku-Hantam Bahasa Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 17 Februari 2007

Longser Remaja dan Bahasa Ibu

BERTEMPAT di GK Sunan Ambu STSI Bandung, selama 3 hari (8-10 Februari 2007), berlangsung "Festival Longser Remaja” (Lawung Longser Nonoman). Festival ini diadakan oleh kelompok longser Toneel Bandung dan diikuti oleh 15 kelompok teater dari 15 SMA/SMK di Kota Bandung. Jika festival ini disebut menarik, itu bukanlah karena inilah untuk pertama kalinya longser sebagai sebuah bentuk teater tradisional difestivalkan. Atau juga bukan melulu karena festival ini seperti namanya, membatasi para pesertanya hanya untuk remaja, pelajar SMA/SMK. Segolongan anak muda yang oleh banyak pengamat dan pemerhati dinilai makin terasing dari identitas tradisinya, termasuk keseharian mereka yang tak lagi menggunakan bahasa Sunda.

Lebih dari sekadar itu, festival ini menarik karena suasana yang berlangsung selama tiga hari itu. Suasana yang bukan melulu memperlihatkan bagaimana para remaja itu berusaha sekuat tenaga menjadi yang terbaik dalam menampilkan sebuah genre seni pertunjukan tradisional melalui bahasa Sunda. Namun juga suasana yang mengapungkan sebuah antusiasme, yang sayup-sayup di baliknya memperlihatkan sejumlah jawaban atas apa yang selama ini dicemaskan, bahkan dituduhkan, pada mereka tentang keengganan mereka pada tradisi, budaya, dan bahasa Sunda.

Sejak hari pertama, festival ini sekonyong-konyong menyuguhkan sesuatu yang mengejutkan. Para remaja itu datang berbondong-bondong, membeli tiket, dan antre masuk ke gedung pertunjukan. Yang datang bukan hanya penampil (terdiri dari 50 pemain, dari mulai pemusik, penari, sampai para pemeran dalam lakon), tapi juga para pendukung. Para pendukung ini memberi semangat dengan ikut merespons pertunjukan, dari mulai tertawa, melontarkan berbagai celetukan, sampai melemparkan uang sawer. Uniknya, mereka tak hanya mendukung tim sekolahnya masing-masing, tapi juga peserta dari sekolah lain.

Oleh karena itulah, selama tiga hari GK Dewi Asri selalu ramai dengan para remaja dan ulah mereka dalam menghadapi sebuah pertunjukan, dari mulai tepuk tangan, lontaran celetukan, sampai riuh suara tawa. Tak ada kesan bahwa anak-anak remaja Kota Bandung yang berdandan gaul itu merasa "kampungan" karena yang mereka tonton hanyalah longser, sandiwara rakyat yang memakai bahasa Sunda. Mereka begitu menikmati pertunjukan dan menjadi bagian di dalamnya. Bagi para pemain sendiri, dari mulai nayaga, penari sampai para pemeran, kehadiran penonton tak sekadar penyemangat, tapi juga bersama penonton para pemain itu berinteraksi dan berimprovisasi.

Tapi memang, sejak hari pertama, penampilan para peserta dalam festival ini menghendaki semacam permakluman. Tak hanya permakluman dalam konteks disiplin seni pertunjukan. Dari mulai tempo, musik, tarian, pemeranan, atau bobot cerita, hingga bagaimana mereka mengolah materi bobodoran yang umumnya masih terkesan sebagai reproduksi dari humor-humor yang slapstik. Tapi, permakluman yang paling besar adalah ketika mengamati kepatuhan mereka pada pendefinisian longser sebagai sebuah genre teater tradisional dengan segenap kriterianya yang oleh sebagian orang dipercaya sebagai pakem. Memang, sebagian besar peserta memasukkan sejumlah unsur seperti bubuka (rajah), musik, tarian, dan bobodoran. Namun tak sedikit, bahkan umumnya, yang kemudian tampil layaknya sebuah pertunjukan teater modern, meski memang tetap menggunakan bahasa Sunda, memakai musik dan tarian. Oleh karena itulah, misalnya, banyak yang lebih suka menyebut penampilan para peserta dalam festival ini sebagai teater rakyat saja ketimbang dikategorikan atau didefinisikan sebagai longser yang memang sudah terhukum oleh aturan-aturannya yang baku. Artinya, menyimpang dari aturan itu pertunjukan tersebut tidak bisa lagi disebut sebagai longser.

Tentu saja benar adanya, ketika sesuatu hal didefinisikan dengan sebuah penamaan maka risiko logisnya adalah ia akan menemukan sejumlah batasan pengertian, seperti halnya longser. Namun, sampai sejauh manakah batasan pengertian itu bertoleransi pada perubahan waktu dan ruang? Di hadapan pertanyaan semacam ini kita lagi-lagi akan berdebat panjang tentang pemaknaan tradisi di hadapan sejumlah pengategorian, pakem, perubahan, dan seterusnya.

***

SEPERTI disebut sejumlah kalangan, mungkin saja benar bahwa penampilan umumnya Festival Longser Remaja itu bukan atau belum sepenuhnya disebut longser dan lebih cocok diberi label teater rakyat saja. Begitu juga pandangan sebaliknya, mungkin tak kalah benarnya anggapan bahwa longser tidaklah harus melulu seperti dulu tanpa memberi tempat pada perubahan seperti yang disuguhkan oleh para remaja dalam festival tersebut. Apa pun argumentasi keduanya, yang tetap lebih pokok adalah menatap antusiasme para remaja mengikuti festival tersebut. Sebagai peserta dan penonton, kehadiran serta antusiasme mereka atas nama seni tradisi yang memakai bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya, tak hanya menarik, tapi juga mengharukan.

Kenyataan ini membawa ingatan pada bagaimana antusiame yang sama ditunjukkan oleh rombongan anak muda yang setiap dua tahun sekali datang berbondong dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat, dengan menyewa angkot, bus, sampai truk, untuk mengikuti Festival Drama Basa Sunda di GK Rumentang Siang Bandung. Selama festival yang diadakan oleh Teater Sunda Kiwari itu, ratusan anak muda itu sampai menginap di GK Rumentang Siang.

Seperti juga Festival Drama Basa Sunda, mungkin saja benar bahwa antusiasme para remaja dalam Festival Longser Remaja di GK. Dewi Asri STSI itu demi menyandang sesuatu yang bernama juara, yang akan mengharumkan nama sekolah mereka. Tapi juga akan terlalu na?f jika hanya sesederhana itu kita melihatnya. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kompetisi dalam festival tersebut. Dan itu tak hanya kemeriahan dan kebersamaan dalam menampilkan eksplorasi kreatif, namun juga memaktubkan semacam rongga optimisme di tengah pesimisme besar yang menghinggapi para orang tua yang menyebut para remaja itu telah makin melupakan budaya dan bahasa ibunya.

Menatap antusiasme para remaja itu, juga kehebohan mereka bergurau di luar pertunjukan dengan bahasa Sunda, sekonyong-konyong muncul pertanyaan, apakah anggapan yang selama ini menyebut bahwa mereka sudah enggan menggunakan bahasa Sunda itu tidak berlebihan? Berdasarkan apa sesungguhnya anggapan itu muncul? Atau jangan-jangan anggapan yang sudah menjadi klaim itu sesungguhnya terlalu menggeneralisasi untuk lantas di-blow up menjadi sejenis kecemasan yang diungkapkan dalam berbagai pernyataan dan pidato para inohong, pengamat, dan pemerhati agar terkesan ia menaruh perhatian pada budaya dan bahasa Sunda, dan hanya mendasar pada amatan permukaan atau hanya meniru dan ikutan-ikutan mengeluarkan pernyataan tersebut?

Tentu saja terlalu cepat menjadikan Festival Longser Remaja itu sebagai jawaban bahwa kecemasan itu nyatanya tak terbukti dan tak beralasan. Namun paling tidak, seperti juga Festival Drama Basa Sunda, Festival Longser Remaja tersebut menjanjikan banyak hal untuk menjadi semacam rongga ikhtiar sehingga kecemasan pada kian tersingkirnya bahasa Sunda sebagai bahasa ibu tidak melulu menjadi komoditas pidato dan peringatan-peringatan seremonial. Antusiasme anak muda dan para remaja terhadap seni pertunjukan tradisi, seperti teater yang menggunakan bahasa Sunda dan longser, merupakan potensi yang menunggu untuk digairahkan lebih jauh lagi.

Dominasi budaya tontonan agaknya menjanjikan peluang yang leluasa untuk lebih mengenalkan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada segolongan anak-anak muda itu. Dalam hal inilah seni pertunjukan tradisi, seperti longser ataupun teater modern yang menggunakan bahasa Sunda, bisa menjadi medium yang tepat. Soalnya kini bagaimana membangun segenap kelengkapan untuk itu, termasuk dalam hal ini adalah pengadaan naskah lakon seperti yang banyak dikeluhkan oleh sejumlah praktisi.

Pemikiran tentang sayembara naskah drama bahasa Sunda atau longser merupakan pemikiran yang agaknya bisa segera dipertimbangkan, di mana kemudian naskah-naskah yang dianggap terbaik bisa dimainkan sejumlah kelompok teater atau longser. Seluruh pemikiran, semangat, dan ikhtiar itu tentu saja bukan lantas melulu atas nama sayembara dan keinginan menjadi juara. Tapi sepenuhnya atas nama keinginan memiliki semacam optimisme sehingga tak ada lagi anggapan pesimistis yang hanya dijadikan komoditas pidato untuk berkesan ia menaruh perhatian pada bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Tapi siapa yang mau memulai? (Ahda Imran)

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 17 Februari 2007

A.S. Dharta (1923-2007): Akhir Hidup Pengarang Lekra

-- Ajip Rosidi*


PADA dasarnya A. S. Dharta itu seorang romantis. Hal itu tampak di antaranya dari nama-nama pena yang digunakannya. Pada masa revolusi, ketika dia mulai menulis sajak dalam majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja dengan Tatang Sastrawiria, dia menggunakan nama Kelana Asmara. Kita tahulah kira-kira orangnya bagaimana kalau mempergunakan nama seperti itu. Entah Kelana yang mencari Asmara, entah Asmara yang berkelana. Kemudian dia gunakan juga nama samaran Yogaswara. Seperti diketahui Yogaswara adalah tokoh utama dalam roman R. Memed Satrahadiprawira yang berjudul Mantri Jero. Agaknya dia kagum sekali kepada tokoh satria muda yang jujur berpegang kepada kebenaran sehingga berani menyelam di Leuwi Panereban untuk membuktikan bahwa dirinya bersih, tidak seperti yang difitnahkan orang kepadanya.

Saya kira dia menggunakan nama samaran A.S. Dharta menjelang akhir tahun 1940-an, ketika dia banyak menulis dalam majalah Spektra yang terbit di Jakarta dan juga dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja. Pada waktu itu dia di antaranya menyerang para pengarang ‘45 dengan mengatakan bahwa Angkatan ‘45 sudah mampus, sehingga timbul polemik yang ramai. Selanjutnya nama A.S. Dharta itulah yang dia gunakan sebagai nama sehari-hari, walaupun dia juga kalau menulis mempergunakan nama samaran baru antaranya Klara Akustia. Asrul Sani pernah mengatakan bahwa nama Klara Akustia itu diambil Dharta dari nama Hongaria. Keterangan Asrul itu keliru. Nama Klara Akustia digunakan setelah Dharta ditinggalkan lari oleh istrinya yang sehari-hari dia sebut “Klara”, walaupun namanya sebenarnya bukan demikian. Istrinya itu melarikan diri dengan seorang serdadu KNIL kabur ke negerinya.

Untuk membuktikan bahwa walaupun ditinggalkan lari dan dikhianati oleh istrinya, dia tetap setia, maka digunakannya nama Klara Akus(e)tia.

Menurut Ramadhan K.H. yang pernah bersama-sama dengan dia di HIS Cianjur, nama panggilannya sehari-hari adalah Rodji. Mungkin lengkapnya Fachrurodji. Kalau benar, artinya dia berasal dari lingkungan keluarga Islam yang cukup kental karena nama itu jelas nama Islam. Tetapi ketika Boejoeng Saleh menulis “Perkembangan Kesusasteraan Indonesia” yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 bahwa namanya yang sebenarnya adalah Rodji, Dharta naik pitam dan mengancam akan menyeret Boejoeng ke pengadilan. Sayang, Boejoeng tidak sampai benar-benar diseret ke pengadilan sehingga sampai sekarang kita belum tahu siapa nama A.S. Dharta sebenarnya. Mungkin harus ditanyakan kepada keluarga atau sahabatnya sebaya di Cibeber yang kemungkinan besar sudah punah semua, karena ketika meninggal tanggal 7 Februari 2007, usia Dharta hampir 84 tahun, karena dia lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Tampaknya akan sulit mencari kerabat atau sahabatnya yang usianya lebih tua daripadanya atau sebaya dengan dia, yang masih hidup dan ingat akan namanya yang sebenarnya.

Tapi what’s in a name, kata Shakespeare. Dia sendiri lebih dikenal sebagai A.S. Dharta. Nama-nama yang lain hanya dia gunakan sebagai nama pena belaka. Yang dia gunakan sebagai nama pengarang bukunya yang hanya satu yaitu kumpulan sajak Rangsang Detik adalah Klara Akustia. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Lekra tahun 1957.

***

Pada tahun 1949 atau 1950, Dharta bersama dengan beberapa seniman dan pengarang lain (di antaranya Achdiat K. Mihardja dan H. B. Jassin) di rumah sahabatnya, M.S. Azhar di Jalan Siliwangi simpangan kecil dari Jalan Dr. Wahidin Jakarta, mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan singkatannya, Lekra. Salah seorang yang hadir pada waktu pembentukan organisasi tersebut adalah Njoto, tokoh yang bersama Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah pemberontakan Madiun. Tetapi pada waktu itu tampaknya Njoto belum banyak dikenal, sehingga orang-orang seperti Achdiat dan Jassin tidak memerhatikannya. Dan mereka berdua tidak turut menyusun Mukadimah Lekra yang disahkan pada bulan Agustus 1950.

Dharta dalam organisasi tersebut diangkat menjadi sekjennya. Seperti diketahui, kedudukan sekjen dalam organisasi kiri dianggap sebagai yang terpenting. Kedudukan itu dipegangnya terus sampai tahun 1959. Pada pemilu yang pertama diadakan di Indonesia (1955), Dharta dicalonkan sebagai anggota konstituante oleh PKI dan terpilih. Maka dia duduk sebagai anggota lembaga yang bertugas menyusun UUD baru itu. Tapi setahun sebelum lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang didukung oleh Mayjen A.H. Nasution (Angkatan Darat), Dharta dipecat oleh partainya karena ketahuan bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang bersuami. Pada waktu itu ada dua seniman anggota perwakilan PKI yang dipecat oleh partai karena tuduhan yang sama: berselingkuh. Selain Dharta yang dipecat dari keanggotaannya di konstituante, pelukis S. Sudjojono juga dipecat dari keanggotaannya di DPR. Sudjojono juga dituduh berselingkuh dengan wanita yang masih menjadi istri orang. Tapi berlainan dengan Sudjojono yang menerima pemecatan itu dan kemudian menikah dengan wanita itu setelah bercerai dari suaminya, Dharta menyatakan menyesal atas perbuatannya dan dia meminta ampun kepada partai, di antaranya dia menerima menjadi kader kembali. Niscaya kedudukan kader itu lebih rendah dari calon anggota. Sebagai tanda bahwa dia benar-benar menyesal, dia harus mengirimkan surat pernyataan menyesalnya entah kepada berapa puluh orang. Saya pernah ikut membaca surat penyesalannya itu yang dikirimkan kepada Achdiat K. Mihardja. Waktu kami membicarakan surat itu setelah membacanya, saya menyatakan kepada Achdiat bahwa saya tidak mengerti bagaimana orang seperti Dharta sampai mau menulis surat yang menghinakan dirinya seperti itu hanya karena mau diterima kembali di lingkungan PKI. Menurut Achdiat, buat orang komunis, diangkat menjadi anggota itu merupakan kehormatan. Oleh karena itu, ada seniman yang kami kenal juga (dia sebut namanya), ketika dinyatakan bahwa dia diterima (atau diangkat) sebagai anggota PKI setelah menjadi calon anggota beberapa lama, dia menangis karena hatinya gembira.

Saya sendiri sejak itu tidak bisa menaruh respek kepada Dharta. Saya bertemu dengan dia terakhir kira-kira bulan November 1965 setelah Gestapu. Ketika itu orang PKI dan Lekra belum ditangkapi, tetapi harus melapor di kantor polisi setiap minggu. Dharta baru selesai melapor di kantor polisi yang ketika itu bertempat di ujung utara Jalan Braga bertentangan dengan Gedung BI. Dia mau pulang ke arah Jalan Banceuy, sementara saya bersama dengan dua orang redaktur Madjalah Sunda yang lain baru pulang dari percetakan Ganaco di Jalan Gereja setelah melewati viaduck mau naik ke arah Jalan Braga. Ketika itu Madjalah Sunda yang saya pimpin dicetak di percetakan Ganaco. Isi Madjalah Sunda banyak mengkritik kaum komunis dan setelah terjadi Gestapu terang-terangan mendukung suara yang mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan PKI.

Begitu melihat saya, Dharta berhenti dan mengajak berbicara.

“Sekarang Bung yang menang,” katanya. Dia selalu berbicara bahasa Indonesia walaupun dia juga menulis karya sastra dalam bahasa Sunda. Dia selalu memanggil Bung kepada saya. “Karena itu Bung harus menolong saya.”

“Menolong apa?” saya bertanya.

“Saya perlu uang. Bung kasihlah saya uang.” Dharta memang cenderung suka meminta uang kalau bertemu walaupun sebenarnya kami tidak begitu akrab.

“Kalau Saudara kalah bukan berarti saya yang menang,” jawab saya. “Dan kalaupun saya yang menang, belum berarti saya punya uang. Dan kalaupun saya punya uang, pasti saya tidak akan memberikannya kepada Saudara, apalagi di tengah jalan begini. Kalau ada yang menyaksikan saya memberikan uang kepada Saudara, saya akan dilaporkan bahwa saya membantu kaum pemberontak.”

Seingat saya, Dharta tidak memberi jawaban dan saya segera berjalan menjauhinya. Setelah berada dalam penjara Kebonwaru dia juga saya dengar pernah mengirim surat kepada Kang Atje Bastaman meminta uang sehingga Kang Atje ketakutan dan meminta nasihat kepada Kang Koerdie. Baik Kang Atj? maupun Kang Koerdie adalah kenalannya yang cukup akrab.

Pada tahun 1976, dia dibebaskan dari tahanan dan tinggal di kampung kelahirannya di Cibeber, Cianjur. Ketika menyusun Ensiklopedi Sunda saya pernah meneleponnya meminta keterangan tentang Barmara untuk kepentingan penyusunan ensiklopedia, tapi dia menolak memberi keterangan karena dia ingin mendapat honorarium dari sajak-sajaknya yang dimuat dalam Kanjutkundang, padahal begitu Kanjutkundang terbit (1963) saya langsung mengirimkan honorarium kepada semua pengarang yang karangannya dimuat di dalamnya, termasuk kepada Dharta.

Kira-kira sebulan yang lalu saya ditelepon oleh anaknya yang perempuan yang memberitahukan bahwa ayahnya ingin saya jenguk di Cibeber, tapi dia sendiri sudah mulai pikun. Cibeber letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat memenuhinya. Saya tidak berani berjanji.

Tapi ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tidak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?

* Ajib Rosidi, Budayawan

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 17 Februari 2007

Lampion Sastra yang Membawa Kita Berkelana Bersama Chin Yung

Putu Wijaya saat membacakan cerita "Peristiwa Bulu Merak" karya Khu Lung di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (16/2). Acara bertajuk para pendekar Tjersil tersebut, dilaksanakan oleh Dewan Kesenia Jakarta. [Pembaruan/Ignatius Liliek]


BOHONG besar. Itu komentar yang harus diberikan kepada orang yang mengaku penggemar cerita silat Cina tapi tidak tahu Siatiaw Enghiong. Kisah Pemanah Burung Rajawali, demikian arti Siatiaw Enghiong, bisa jadi merupakan kisah terpopuler bagi penggemar cerita silat Cina.

Ya, bisa jadi karena setiap cerita silat mempunyai kekuatan kisahnya masing-masing. Dari mulai alur cerita yang bercabang-cabang dengan daya pikat yang akan semakin menguat setiap jari tangan membuka halaman baru cerita itu. Dari mulai jurus tendangan, pukulan, tangkisan hingga ilmu meringankan tubuh.

Jangan lupakan pula kemampuan para penulis cerita silat Cina, untuk menggambarkan jalinan kisah asmara antara sepasang pendekar. Hidup. Para penggemar cerita silat Cina sejati tidak mungkin melupakan Sintiaw Hiaplu (Sang Rajawali dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thian To Liong Kie/To Ling To (Kisah Membunuh Naga).

Tapi nama penulis kisah menawan itu memang kalah populer dengan karyanya. Semua judul cerita silat itu adalah karya Ching Yung. Pria bernama asli Zha Liangyong kelahiran Haining itu bisa jadi juga kalah populer oleh nama Kho Ping Hoo. Tapi lepas dari soal siapa lebih populer dari siapa seperti layaknya adu kesaktian para pendekar silat Cina di masa lalu, cerita silat Cina memang tidak ada matinya. Mereka punya pembaca setia yang sekarang malah telah banyak membentuk komunitas khusus.

Sebagian di antara mereka itulah yang Jumat (16/2) datang sejam sebelum acara Lampion Sastra I bertema Para Pendekar Tjersil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Sanggar Baru TIM yang terletak di belakang Studio 21 sejak siang memang telah ditata dengan khusus. Lampion berwarna merah. Tempat berdoa lengkap dengan hio dan lilin merahnya. Pilihan kata Tjersil, tjerita (cerita) silat, tampaknya sengaja dipilih untuk melemparkan pembaca ke rimba persilatan yang penuh adu kesaktian lengkap dengan pernak-perniknya.

Begitulah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Zen Hae dan kawan-kawannya sengaja menghadirkan Putu Wijaya, Madin Tyasawan, Aseng Tralala, dan Eliza, untuk membawakan penggalan kisah-kisah menawan tersebut. Dan penonton pun terpaku saat kisah-kisah yang sebagian besar mereka ketahui itu dibawakan dengan menarik oleh Putu Wijaya dan kawan-kawannya.

Putu mendapat giliran membacakan petikan karya Khu Lung berjudul Peristiwa Bulu Merak. Pendekar teater Indonesia sebelumnya menjelaskan, karya Khu Lung mempunyai daya pikat tersendiri. Kisah yang dibacakan Putu Wijaya memang nyaris tanpa adu kemampuan bersilat. Tapi kekuatannya ada pada penggambaran banyak situasi yang demikian cermat.

Menelusuri halaman-halaman demi halaman kisah Peristiwa Bulu Merak, pembacanya akan bisa membayangkan banyak hal. Dari mulai adegan mengiris dan memotong daging hingga memasak. "Kata-kata yang digunakan Khu Lung bagai pisau tajam," ucap Putu.

Langkah yang dilakukan DKJ untuk mengadakan acara pembacaan cerita silat itu jelas harus mendapat apresiasi tinggi. Meskipun penggemar cerita silat Cina keberadaannya tersebar di semua lapisan masyarakat, masih banyak pengamat sastra yang kurang memperhatikan kekuatan cerita tersebut.

Padahal sastrawan Ajip Rosidi lewat tulisannya yang dimuat majalah Star Weekly edisi 8 Februari 1958 sudah menyindir mereka yang merasa dirinya ahli sastra untuk lebih memperhatikan cerita silat tersebut. Dalam artikelnya yang berjudul Cersil yang Tegang, Platis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia. Ajip memang sejak lama sudah menunjukkan kegemaran dan bahkan pembelaannya yang telanjang pada cerita silat tersebut. Sekarang DKJ sudah memulai langkah positif dengan acara Lampion Sastranya. Siapa menyusul? [A-14]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 17 Februari 2007

Pustaka: Membumikan Kajian Budaya

Judul Buku: Kata dan Luka Kebudayaan, Isu-Isu Gerakan Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer
Editor: Teuku Kemal Fasya, Abdullah Akhyar Nasution dan Ibrahim Chalid
Pengantar: Teuku Kemal Fasya
Penerbit: USU Pres
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Desember 2006
Harga : Rp30.000

KESENJANGAN antara teori dan pengalaman membuka kesempatan untuk menyistemasikan kebutuhan-kebutuhan artikulatif dan reflektif dari permasalahan kemanusiaan. Titik sentrumnya menyinggung eksistensi kajian poskolonial terutama kaitan debat klasik universalitas dan lokalitas.

Ketergantungan tak mampu berswadaya tentu saja menimbulkan keragu-raguan rasional bahwa NGO sendiri sesungguhnya tidak berdaulat (otonom) untuk menentukan apa yang meski dilakukan. Muncul pertanyaan kritis, bagaimana mungkin NGO bisa mewujudkan kedaulatan rakyat dengan nilai-nilai kemandirian dan keswadayaan bagi masyarakat, sementara dirinya sendiri memiliki ketergantungan yang cukup besar?

Inilah inti dari peperangan di wilayah narasi bahwa diperlukan usaha ekstra membangun fiksi, bukan sekadar fakta. Fakta terlalu sederhana untuk harus dihadirkan kembali. Perlombaan menuju colosseum fiksi adalah sebuah sikap kritis terbaik dan sebuah keilmiahan yang cukup penting bagi masa depan tulisan humaniora.

Buku Kata dan Luka Kebudayaan, Isu-Isu Gerakan Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer ini berusaha menyingkap persoalan tersebut. (*)

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 17 Februari 2007

Friday, February 16, 2007

Rehabilitasi Benda Cagar Budaya Butuh Rp 600 Miliar

UNTUK merenovasi 317 benda cagar budaya (BCB) yang rusak akibat gempa tektonik 27 Mei 2006, dibutuhkan anggaran sebesar Rp 600 miliar. Akan tetapi, sampai saat ini dana untuk renovasi itu baru dibahas dalam rapat APBD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan jumlahnya hanya Rp 6 miliar atau satu persen dari kebutuhan.

Hal itu dikemukakan Kabid Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan DIY, Suyoto, dalam pertemuan Forum Yogya Bangkit (FYB), di Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (13/2).

Pertemuan FYB yang dipimpin Wakil Ketua FYB, Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri SH itu, khusus membahas tentang rehabilitasi dan rekonstruksi cagar budaya pascagempa bumi di DIY.

Pertemuan juga dihadiri Dirjen Sejarah dan Purbakala Dr Hari Untoro Drajat, serta berbagai pihak yang terkait aktivitas pelestarian BCB di DIY baik pemerintah, swasta, maupun LSM.

Candi Prambanan [Pembaruan/Sumedi TP]

Dikatakan, kerusakan tersebut cukup beragam, mulai dari rusak berat, sedang, sampai rusak ringan. Demikian pula kategorinya, ada yang termasuk BCB kelas dunia seperti Candi Prambanan, kelas nasional, maupun yang sifatnya masih milik masyarakat umum seperti bangunan rumah penduduk.

"Untuk merenovasi BCB yang rusak tersebut, Dinas Kebudayaan DIY membutuhkan anggaran sekitar Rp 600 miliar," ujarnya.

Di seluruh DIY terdapat 1.132 bangunan cagar budaya dengan berbagai kategori. Sebelum gempa, bangunan yang memang sudah mengalami rusak parah sekitar 8,2 persen. "Umumnya karena memang belum tertangani dengan baik. Namun, setelah gempa, yang rusak mencapai 317 atau naik menjadi 25,70 persen," katanya.

Pemprov DIY dengan berbagai pihak terkait, baik Keraton Yogyakarta, Jogja Heritage Society, Dewan Kebudayaan DIY, UGM, LSM, maupun lembaga-lembaga asing seperti dari Belanda, Jerman, dan negara lain telah berupaya melakukan serangkaian kegiatan meski sifatnya darurat.

"Penanganannya memang tidak mudah, membutuhkan kecermatan, kehati-hatian, dan tentunya dana yang tidak sedikit. Karena itu, yang bisa dilakukan baru berupa pendokumentasian," ucapnya. [152]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 16 Februari 2006

Wednesday, February 14, 2007

Remaja 14 Tahun Berimajinasi Hasilkan Novel 660 Halaman

KANCAH sastra Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar dikuasai kaum dewasa. Anak-anak dan remaja pun sudah memasukinya. Bukan hanya sebagai penikmat sastra, namun juga penulis-penulis berbakat. Salah satunya adalah Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, murid kelas III SMP yang bermukim di Yogyakarta.

Sebagai wujud apresiasi dan untuk mendorong kreativitas para penulis muda, Bataviase Nouvelles Cafe-Gallery bekerja sama dengan penerbit Copernican, Jagad Media, dan Bulanglinggi, akan mengadakan acara khusus untuk mendengar kreativitas Ataka dalam mengurai imaji kanak-kanaknya menjadi sebuah karya besar yang mengisi awal 2007. Acara itu akan diadakan di Bataviase Nouvelles Cafe-Gallery yang terletak di kawasan Jalan Veteran I, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2) siang.

Dalam acara tersebut, menurut rencana akan hadir pula Arswendo Atmowiloto, sastrawan yang telah banyak melahirkan karya-karya fenomenal, seperti Senopati Pamungkas dan Keluarga Cemara. Arswendo akan hadir untuk mengupas karya terbaru Ataka. Di luar itu, akan digelar pula pemutaran film animasi karya sutradara Sigit Aryansah, dan pameran ilustrasi karya Catur Ary.

Ataka yang dibesarkan di Banyuwangi, Jawa Timur, kini tinggal bersama orangtuanya di Yogyakarta. Ia belum pernah mengunjungi Eropa, benua yang menjadi inspirasi khayalnya dalam menciptakan karya fiksi. Ataka menciptakan sebuah negeri dongeng lengkap dengan makhluk-makhluk khayal dan cerita fantastis dalam serial bukunya Misteri Pedang Skinheald.

Ketekunannya dalam menulis terbukti dengan kemampuannya mencipta lima novel hanya dalam rentang waktu yang singkat. Tiga karya di antaranya sudah diterbitkan dan dua sedang dalam persiapan naik cetak.

Menyelamatkan Dunia

Buku terbarunya Misteri Pedang Skinheald II - Awal Petualangan Besar berkisah tentang petualangan besar dua manusia, satu penyihir, satu elf (peri/jin), dan satu dwarf (manusia katai) yang bersatu padu membentuk barisan Lima Sekawan. Tiga ras makhluk berbeda tersebut membelah benua Ethav Andurin untuk menyelamatkan dunia dari hitamnya kejahatan Baron, Topeng Kematian, Sepuluh Setan, dan Gilford, sang Jendral Kegelapan.

Novel Misteri Pedang Skinheald II - Awal Petualangan Besar ini, akan membawa pembaca pada pilihan-pilihan keputusan Lima Sekawan dalam menghadapi peliknya kehidupan dunia antah-berantah. Sebuah dunia yang berisi berbagai macam ras dan makhluk dengan karakter yang berbeda-beda.

Ada manusia-manusia penggosip yang hidup di kota Hurton dengan wali kotanya yang bodoh; penduduk Mariatta yang beradab, santun, ramah, dan sangat mencintai tradisi masa lampau; penduduk Desa Tron yang suka mencatat sejarah desa, kaum dwarf yang mencintai kesenian dan seni bangunan tata kota, golongan elf yang terkenal dengan seni pembuatan pedang, dan banyak lagi.

Termasuk tokoh-tokoh "dunia hitam" seperti drak elf, makhluk kutukan yang dipimpin King dan bisa bicara dengan burung karena mempunyai sihir tingkat tinggi, makhluk-makhluk buas di padang rumput dekat Pegunungan Mentari, serta beragam makhluk aneh lainnya.

Dalam novel itu dikisahkan seorang yang bernama Robin. Dia adalah seorang guru muda di sekolah biologi Ayo Bertanam Singkong. Namun karena angka kelahirannya membuat dirinya terseret ke dalam peperangan besar membasmi kejahatan karena dialah satu-satunya manusia yang ditakdirkan sebagai pembuka segel Pedang Skinheald.

Lalu bisakah Eric, sang kesatria Selatan dan Hayflay, penyihir Putih Kelabu, juga Alva (elf), serta Oni (dwarf), mengawal Robin sampai ke Pulau Fa untuk membuka segel Pedang Skinheadl di atas Bukit Launcher?

Simak saja kisahnya dalam novel setebal 660 halaman hasil karya Ataka, penulis remaja berumur 14 tahun yang masih duduk di kelas IX, SMP 5 Yogyakarta. [PR/B-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 14 Februari 2006

Monday, February 12, 2007

Kebangsaan: Pemikiran STA Masih Relevan bagi Bangsa Indonesia

Jakarta, Kompas - Selain memberi peluang bagi terciptanya kesejahteraan umat manusia, derasnya arus globalisasi juga bisa menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan pada kelompok penduduk dunia. Bangsa Indonesia yang tengah terpuruk dalam banyak hal saat ini tetap harus punya kemauan dan bekerja keras untuk bangkit menyejajarkan diri dengan bangsa- bangsa lain di dunia.

Dalam kaitan itu, keterbukaan terhadap perbedaan dan keragaman serta kemampuan untuk menyerap hal-hal baik dari bangsa lain justru bisa memperkaya kehidupan budaya dan masyarakat demi kemajuan bangsa ini. Sebenarnya, pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan besar yang masih relevan dengan kehidupan saat ini—dan mendorong bangsa ini sejajar dalam segala aspek kehidupan dengan bangsa lain—sudah diberikan banyak tokoh atau pejuang, termasuk oleh budayawan Sutan Takdir Alisjahbana alias STA. Hanya saja, mutiara berharga itu diabaikan begitu saja.

Dalam diskusi panel "Revitalisasi Pemikiran STA" yang digelar Universitas Nasional (Unas) Jakarta untuk memperingati ulang tahun ke-99 STA, Sabtu (10/2), persoalan ini kembali mengemuka. Diskusi panel menghadirkan sastrawan Sapardi Djoko Damono, tokoh pers Bambang Harymurti, dosen filsafat Unas Suparman Abdullah, serta sejumlah kalangan muda. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Satrio Soemantri Bodjonegoro tampil sebagai pembicara kunci.

Pada pertengahan abad ke-20, STA telah berbicara tentang globalisasi, yang ia istilahkan satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan atau Bumantara. STA yang wafat pada 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun itu menggaungkan modernisasi yang berkiblat pada Barat, namun menuai kontroversi. Padahal, yang STA inginkan adalah bangsa ini mencuri otak Barat dalam arti mengambil sisi positif yang mendorong kemajuan. Bukan menelan semua produk Barat seperti yang terjadi dalam era konsumerisme ini.

Untuk membuat bangsa ini menjadi pintar dan tidak kalah dari bangsa lain, STA juga menawarkan penerjemahan karya- karya asing bermutu ke dalam bahasa Indonesia. Pemerintah juga perlu memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti bahasa global.

Dalam pidato pembukaan diskusi, Rektor Unas Umar Basalim mengatakan, mengenang pemikiran dan gagasan STA yang dituangkan dalam banyak media —seperti karya-karya sastranya, ruang kuliah, dan seminar—akan mencerahkan bangsa yang tengah keterpurukan ini untuk bangkit.

"Pemikiran STA masih layak untuk dikenang dan disegarkan kembali. Beliau tidak hanya tokoh Pujangga Baru, tetapi juga sebagai pejuang nasional dan pelopor modernitas. Setelah acara ini, kami akan berkirim surat ke presiden supaya STA diangkat sebagai pahlawan nasional. Kami harap dalam peringatan ulang tahun ke-100 STA nanti gelar itu bisa didapat," kata Umar.

Satrio mengatakan, bangsa Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dari globalisasi supaya tidak menjadi korban ketidakadilan atau kesenjangan. Modernisasi seperti yang digagas STA, tentu tetap pula memperhatikan akar budaya bangsa.

Membicarakan STA, kata Satrio, akan banyak berbicara pada aspek kesusastraan dan kebahasaan. Sastra tetap harus dipertahankan dalam kehidupan manusia supaya hidup tidak menjadi datar. Adapun bahasa suatu bangsa harus dikembangkan dan dipertahankan.(ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 12 Februari 2007

Sobron "Sisa Fosil" Meninggal Dunia

Sobron Aidit [Foto: Radio Netherland]


Sobron Aidit adalah penyair produktif. Pria kelahiran Tanjung Pandan, Belitung itu, meninggal sebagai warga negara Prancis di Paris, Sabtu (10/2) lalu, pada usia 73 tahun. Pada usia senjanya, ia tetap aktif mengikuti perkembangan dunia sastra di Indonesia.

Ia terus berkarya. Beberapa waktu yang lalu, ia menerbitkan Surat kepada Tuhan: Memoar. Sebelumnya ia menerbitkan, Gajah di Pelupuk Mata: Memoar Sobron Aidit, Kisah Intel dan Sebuah Warung, Cerita dari Tanah Pengasingan, dan Razia Agustus: Kumpulan Cerpen.

Sabtu malam lalu, beredar pesan pendek yang mewartakan kematiannya. Beberapa milis buku, sastra, dan media juga mengabarkan kematiannya. Ia diwartakan meninggal dunia di Paris akibat gangguan jantung, Sabtu itu.

Kepastian mengenai kematiannya disampaikan Murad Aidit, kakaknya yang berdomisili di Depok, Minggu (11/2). " Saya sudah mendapat kepastian kematiannya semalam dari beberapa kerabat dan sahabat. Kemungkinan besar ia dimakamkan di Paris. Ia memang lama tinggal di Paris sejak pindah dari Republik Rakyat China setelah Revolusi Kebudayaan melanda China," kata Murad, yang mengaku bertemu saudara lain ibu itu Januari lalu di Jakarta dan Depok.

Beberapa forum sastra dan media di internet menunjukkan, kurang dari dua minggu sebelum meninggal, Sobron masih mengirimkan puisinya yang berjudul "Aku". Judul puisinya jelas sama dengan karya Chairil Anwar. Penggalan puisinya, Aku adalah sisa fosil dari generasi yang hilang/Tapi nafsu hidupku sulit layu - terus berkembang/ Tak mau hidup seratus tahun lagi/ Terla- lu banyak menyusahkan orang/Kuburan kami ada di mana-mana/Ada di pelosok dan pojok-pojok dunia/Kami dulu adalah anak-anak Nusantara/ Tapi terusir- terpinggir-tak bertanah-air/ Rasa rindu-kangen-sudah tak tajam lagi/ Tanah-air kami adalah kebebasan itu sendiri...

Terancam

Sobron yang tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia setelah peristiwa G 30 September 1965. Sejak peristiwa politik yang mengantarkan Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia hingga kejatuhannya pada 1998 Sobron merasa keselamatannya terancam jika datang ke Indonesia.

Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari statusnya sebagai adik DN Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menurut Orde Baru merupakan pelaku G 30 September. "Kematian Aidit hingga kini masih menjadi misteri. Saya sendiri pernah menjalani penyekapan dan penahanan tanpa pengadilan selama pemerintahan Orde Baru. Jadi kekhawatiran Sobron itu sangat berasalan," Murad menambahkan.

Saat peristiwa G 30 S, Sobron tengah memenuhi undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing. Saat peristiwa Revolusi Kebudayaan melanda China, ia mengungsi ke Prancis dan kemudian menjadi warga negara Prancis. Di Paris ia membuka restoran Indonesia bersama para sahabatnya. Belakangan ia sering datang ke Indonesia untuk berbagai keperluan keluarga dan buku-bukunya.

Sobron lahir pada 2 Juni 1934. Sejak remaja ia sudah rajin mengarang. Karya pertamanya dibuat saat ia berusia 13 tahun berupa cerita pendek berjudul Kedaung yang diterbitkan Majalah Waktu di Medan.

Setelah tinggal di Jakarta ia banyak mendapat bimbingan dari penyair ternama, Chairil Anwar. Puisi dan cerita pendeknya kemudian banyak dimuat di majalah Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra yang semuanya diasuh HB Jassin.

Selain menjadi penyair dan penulis cerita, Sobron juga pernah menjadi wartawan Harian Rakjat dan Bintang Timur. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof Dr Prijono, dan kemudian bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958). [A-14]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 12 Februari 2007

Sunday, February 11, 2007

Sobron Aidit Meninggal

Sobron Aidit

Jakarta, Kompas - Penulis dan penyair yang bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris, Perancis, Sobron Aidit, meninggal dunia dalam usia 73 tahun di Paris, Sabtu (10/2) pukul 09.23 waktu setempat atau pukul 16.23 WIB.

Sobron yang lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 2 Juni 1934, adalah adik pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Saat peristiwa G30S meletus, Sobron tengah berada di Beijing sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia.

Menurut penuturan keponakannya, Ilham Aidit—putra keempat DN Aidit yang saat ini bekerja di Nanggroe Aceh Darussalam—pamannya dilarikan ke rumah sakit di Paris pada Jumat malam karena penyumbatan pembuluh darah ke otak.

Sampai sore kemarin, dia belum tahu apakah pamannya itu akan dimakamkan di Perancis atau Belanda. Selama lima tahun terakhir, menurut Ilham, Sobron lebih banyak ulang alik Perancis-Belanda. "Temannya kebanyakan di Perancis, tapi kedua anaknya di Belanda," kata Ilham.

Sobron memiliki dua anak, yakni Wita dan Nita. Keduanya tinggal di Belanda dan memberinya lima cucu. Istri Sobron telah meninggal semasa mereka hidup di pengasingan di Beijing.

Sobron pindah ke Paris tahun 1981. Bersama sejumlah teman, dia kemudian mendirikan restoran "Indonesia" di Rue de Vaugirard, Paris. Sebagai penulis, Sobron menulis cerita-cerita pendek, yang beberapa di antaranya berlatar belakang restorannya itu. Tahun 2000, buku kumpulan cerpennya berjudul Kisah Intel dan Sebuah Warung (Garba Budaya) diluncurkan. Terakhir, terbit bukunya berjudul Razia Agustus (Gramedia Pustaka Utama). Buku itu diluncurkan dalam sebuah acara diskusi buku di Bentara Budaya Jakarta, November 2006. (BRE)

Sumber: Kompas, Minggu, 11 Februari 2007

Esai: Tuti, Dharta, dan Hari Esok

-- Eka Budianta*


INDONESIA dikaruniai jiwa-jiwa yang teguh dan pikiran brilian. Itulah kekayaan termahal bangsa ini yang tidak boleh dilupakan. Kepergian dua penyair "paruh waktu", Tuti Gintini (45) dan AS Dharta (83), pada awal Februari 2007 dengan jelas mencatatkan hal ini. Mengapa terpaksa disebut "penyair paruh waktu"? Karena kepenyairan mereka menumpang pada predikat lain yang lebih mapan.

Tuti Gintini lebih dikenal sebagai wartawati dan produser MetroTV. Ia pernah meraih Hadiah Adinegoro, lambang supremasi wartawan di negeri ini. Tuti adalah seorang penulis pariwisata terbaik untuk Indonesia. Wartawan senior Rosihan Anwar memujinya karena, untuk menuliskan keindahan Tanah Airnya, Tuti menyelam ke dasar lautan. Padahal, penyair yang berjiwa halus ini bukan penyelam. Naik motor dan menyetir mobil pun tidak berani.

Tokoh satu lagi, AS Dharta, adalah pendiri dan sekretaris pertama Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). "Ia lebih banyak berperan sebagai orang partai ketimbang sebagai sastrawan," kata penyair senior, Taufiq Ismail. Padahal, Dharta—yang akrab dengan Rendra dan dianggap guru oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer—sepanjang 1950-an banyak memproduksi esei dan puisi dengan berbagai nama samaran: antara lain Klara Akustia, Kelana Asmara, Yogiswara, dan Rodji.

AS Dharta sendiri semacam singkatan yang menyamar. Aslinya adalah Adi Sidharta, lahir di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 27 Maret 1924. Adapun Tuti Gintini lahir dengan nama Tan Siau Gin, 26 Januari 1962 di Kemantran, Tegal, Jawa Tengah. Ada banyak alasan mengapa keduanya perlu dikenang dalam sebuah refleksi. Pertama, karena mereka wafat pada hari yang berurutan. Mula-mula Dharta pada hari Rabu, 7 Februari; kemudian Tuti pada Kamis tanggal 8.

Dharta meninggal karena usia lanjut, setelah dirawat di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, sedangkan Tuti wafat di klinik Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menjelang berangkat berobat ke Singapura. Tuti menderita kanker antara jantung dan paru-paru. Mestinya ia berangkat 2 Februari, tetapi batal karena banjir nyaris merendam seluruh Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan rumahnya di Bekasi.

Kegetiran dan penderitaan

Alasan kedua, baik Tuti maupun Dharta mempunyai kepedulian yang mendalam terhadap urusan sosial. "Saya tidak menyangka Tuti telah menjadi penulis dan wartawan yang menyuarakan kepentingan rakyat kecil," kata Ibundanya, Tjioe Wie Kiauw, yang populer dengan panggilan Ibu Yuliani. Dalam usia 77 tahun, perempuan yang melahirkan Tuti itu terdengar tulus bicaranya dan jernih pikirannya.

"Tuti itu anak mama. Sama sekali tidak mengenal kasih sayang ayah. Ia yatim sejak kecil. Suami saya, Tan Ek Tjioe, tidak mewariskan apa-apa selain lima orang anak yang masih kecil-kecil," kata Ibu Yuliani. Nadanya getir, sedih, tetapi dibuat humor. Ayahanda Tuti seorang aktivis, tidak pernah pulang sesudah peristiwa 1965. Saudara-saudaranya cuma berani menyebut kata "tersangkut". Selebihnya hanya penderitaan dalam diam.

Dengan susah payah, berdagang kelontong, Yuliani membesarkan lima anaknya. Tuti yang bungsu. "Kami ini orang susah, tetapi anak-anak saya malah memilih jadi seniman. Bagaimana? Apakah mau jadi lebih melarat lagi?" ia bertanya kepada Dadang Christanto, kakak Tuti.

"Biarin, Ma!" kata Yuliani menirukan anaknya. "Eh, sekarang Dadang jadi pelukis dan pematung terkenal, tinggal di Brisbane, Australia. Kok bisa ya?" Dia juga ingat, Tuti berangkat kuliah ke Jakarta berbekal setumpuk daster untuk dijual. Hingga mendekati ajalnya pun, Tuti gemar berjualan aksesori perempuan, termasuk kalung mote. Kesulitan hidup telah membuatnya ulet dan terus berjuang.

"Musim hujan tidak juga menolongku dari kabut-kabut yang membujukku bersatu dengan luka-luka". Begitu bunyi satu sajak Tuti Gintini yang paling terkenal. Disiarkan dalam harian Sinar Harapan, 23 Januari 1982, genap seperempat abad sebelum meninggal. Ibu Yuliani heran. "Saya tidak pernah bercerita apa-apa tentang ayah mereka. Tetapi, dalam karya-karya Dadang dan Tuti terasa sakit hati yang tidak berkesudahan," katanya.

Kegetiran serupa juga dirasakan oleh keluarga AS Dharta. "Sepanjang hidupnya, kepada siapa pun, bapak selalu mendendangkan agar Pasal 33 UUD 45 segera dilaksanakan dengan benar," kata Ira Dharta, putri semata wayang. Ira ikut merasakan keprihatinan ayahnya atas tidak terjaminnya kesejahteraan rakyat. "Kita harus mengutamakan perlakuan yang manusiawi." tambah putri penulis buku puisi berjudul Rangsang Detik ini. Dharta pernah menjadi guru bahasa Inggris untuk guru taman kanak-kanak di Cianjur.

Sepanjang hayatnya, Dharta yang dimakamkan tidak jauh dari rumahnya adalah warga Cianjur, persisnya di Cibeber. Setengah abad silam ketika berjaya sebagai Sekretaris Pertama Lekra, Dharta memang banyak bepergian. Sebuah kartu pos bertanggal 20 Februari 1953 dikirimnya dari Wina, Austria, untuk musuh besar dan sahabatnya, HB Jassin. "Ini gambar tempat istirahat buruh di Rumania. Memang bukan suatu surga," tulisnya bercanda.

Ditambahkan lagi, "Demam musim winter bikin saya rindu hawa panas dan kawan-kawan di Tanah Air." Perdebatan sastra Indonesia saat itu diramaikan oleh penolakan Dharta terhadap Angkatan ’45 (terutama Chairil Anwar) dengan norma hidupnya. Dalam serangannya: Kepada Seniman "Universiil", Dharta menulis: "Mengapa HB Jassin tidak mengupas djiwa korrup mereka. Sampai akhir hayatnya, Dharta terkenal suka bicara berapi-api. Prosais Martin Aleida membesuknya di RS UKI seminggu sebelum meninggal. "Cukup lihat dia dari jauh saja. Kalau mendekat, dia pasti bicara penuh semangat sampai dadanya tersengal-sengal," kenang Martin.

Meski langit kelam

Dengan menggunakan nama Klara Akustia, Dharta menulis sajak-sajak yang heroik, patriotis, penuh semangat. "Tetapi, pada masa Orde Baru, karena takut, banyak kritikus sastra Indonesia sengaja menggelapkan sejarahnya sendiri," tulis Korrie Layun Rampan, dengan SMS dari Kutai, Kalimantan Timur. Korrie menyatakan tetap kagum pada karya-karya Dharta. "Pengarang Lekra adalah sastrawan Indonesia," tegasnya.

Ungkapan duka atas wafatnya Tuti dan Dharta bertaburan dari sejumlah seniman di berbagai penjuru. Pelukis Hardi di Jakarta mengenang Tuti sebagai penulis yang melayani dan membesarkan banyak seniman tanpa pamrih. Hal serupa dinyatakan deklamator terkenal, Jose Rizal, yang sedang berada di Tanjung Pinang. "Tuti bersikap familiar dan tidak pernah mengeluh," katanya.

Dr Henri Supriyanto, pakar ludruk Jawa Timur, mengenang saat-saat menjelang koran tempat mereka bekerja, Sinar Harapan, dibreidel pada Agustus 1985. "Dalam pertemuan dalang di Nganjuk, Tuti bersikap sangat bersaudara, terbuka, dan membagi-bagikan uang saku tanpa arogan," tulisnya. Tuti dikenang teman-temannya di Lampung, Cirebon, termasuk oleh bintang sinetron Jajang C Noer yang bilang: "Dengan segala kesederhanaan ia perempuan yang mandiri, bertanggung jawab atas keberadaan keluarganya."

Pernyataan Jajang bahwa Tuti juga seorang ibu yang penuh kasih, dan istri yang penuh pengertian, sama sekali tidak berlebihan. Dalam upacara pelepasan jenazah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jatibening, Bekasi, hal itu terbukti. Lala, remaja putri 16 tahun, dengan teguh bernyanyi solo di depan jenazah ibunya. Sidang perkabungan terharu mendengarnya.

Putri bungsu dari dua anak Tuti dengan Joseph Ginting itu menyelesaikan lagu dengan merdu dan khidmat: "Aku tahu ada hari esok/Meski langit kan kelam".

Lala bernyanyi tentang keteguhan hati yang tak terlupakan. Hal serupa dilakukan oleh "anak angkat" Dharta, yaitu Budi Setiyono. Penulis lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, itu sedang mengumpulkan esai, puisi, dan berbagai tulisan Dharta. Perlu diingat pikiran-pikiran cemerlang Dharta telah melahirkan cendekiawan baru dari dalam maupun luar negeri.

Itulah potensi pengarang di hari esok. Mereka adalah harta karun setiap bangsa. Karya-karya Tuti Gintini juga sedang dihimpun menjadi biografi dan kesaksian. Sobat kentalnya, Martha Sinaga, menyiapkan biografi Tuti sebagai manusia yang merdeka. Penyair, citra diri sang Maha Pencipta.

* Eka Budianta
, Pekerja Budaya

Sumber: Kompas, Minggu, 11 Februari 2007