-- Cornelius Helmy H.
”...Sungguh menjadi saat puitis dalam kehidupan saya....” Itulah petikan isi surat yang diterima Hendro Setyanto dari seorang kepala sekolah di Pondok Pesantren An-Nuqoyyah, Madura, Jawa Timur, tahun 2007. Penulis surat itu merasakan kebesaran Tuhan setelah melihat tayangan simulasi film luar angkasa. Kekagumannya bertambah saat berkesempatan melihat bagian alam semesta lewat teropong.
Hendro Setyanto (KOMPAS/CORNELIUS HELMY H)
Hal serupa juga terjadi saat Hendro membawa peralatan teropong bintang ke Sekolah Dasar Merdeka, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Tak hanya membawa teropong bintang, ia juga membawa panel surya, generator Van de Graf, hingga penakar nikotin. Hasilnya, para siswa SD yang mayoritas belum akrab dengan astronomi ini begitu antusias.
”Besarnya antusiasme masyarakat itu memberikan inspirasi dan semangat bagi saya untuk mengenalkan astronomi kepada semua orang” katanya.
Lulus dari Madrasah Aliyah Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Hendro tak bercita-cita menekuni dunia astronomi. Perkenalannya dengan astronomi tatkala membaca buku tentang berbagai jurusan di perguruan tinggi, salah satunya astronomi. Menurut dia, ilmu ini unik karena itulah kali pertama dia tahu. Bahkan ia tak tahu keberadaan Observatorium Bosscha.
”Saya tahu ilmu falak, dan saya tak tahu ilmu falak itu identik dengan astronomi. Saya makin tertantang karena ilmu ini unik,” katanya.
Ia memilih Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB). Semakin banyak belajar tentang alam semesta, selalu membawa Hendro kepada rahasia yang membuat dia makin penasaran.
Tak hanya tertantang untuk terus belajar, hatinya pun semakin gundah. Namun, kali ini hubungannya lebih dengan orang di sekitarnya. ”Apakah orang lain, khususnya generasi muda, juga mengetahui keindahan alam semesta seperti saya?”
Setahun setelah menyelesaikan jenjang strata satu, tahun 2001, dan berbekal pengalaman memandu masyarakat di Observatorium Bosscha sejak 1998, Hendro memulai mimpinya memperkenalkan alam semesta kepada banyak orang. Ia membawa teleskop ke berbagai tempat, seperti sekolah dan masjid.
Keterlibatan anak-anak
Kegiatan Hendro tersebut lambat laun tersebar dari mulut ke mulut. ”Pengalaman itu membuka jalan, saya jadi bisa beraktivitas dengan sekolah lain, seperti TK Al Azhar Jakarta, SD Sukasari Tangerang, SD Madania Bogor, SD Santa Angela, juga SMP Internasional Darul Hikam Bandung” ceritanya.
Di sisi lain, kehadirannya di beberapa sekolah itu membuat dia gundah. Dalam hati kecil, Hendro bertanya, apakah siswa di daerah terpencil juga pernah meneropong dan mengetahui alam semesta sama seperti siswa sekolah yang dia kunjungi?
Maka, konsep observatorium keliling pun muncul. Secara garis besar, konsep ini mengenalkan aktivitas peneropongan ke berbagai tempat.
Hendro memutar otak untuk mewujudkan keinginannya. Ia berpikir, hal yang paling dibutuhkan adalah alat transportasi dan pembawa teropong apabila ingin mencapai berbagai daerah.
”Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah mobil. Tapi, saya tak punya mobil yang bisa membawa semuanya,” kata Hendro.
Kendala selanjutnya, ia tak punya cukup dana untuk membeli mobil. Dia lalu membuat proposal untuk mencari dukungan guna mewujudkan observatorium keliling.
Pada tahun 2008 berbekal tabungannya, Hendro membongkar mobil Hi-jet (1986) yang dibeli setahun sebelumnya. Kondisi mesin dan badan mobil jauh dari sempurna. Namun, nasib baik berpihak kepadanya. Seorang direktur perusahaan makanan tertarik dengan gagasannya untuk membawa teleskop ke berbagai sekolah, tak lama setelah ia membongkar mobilnya. Dana segar pun mengalir.
Daftar belanja lantas disusun. Badan mobil dirombak total untuk memberikan ruang lebih besar guna menyimpan teropong dan alat lain, seperti televisi 32 inci lengkap dengan perangkat suara. Mobil juga dilengkapi komputer yang tersambung jaringan GPRS/3G.
Teropong dia ganti dengan yang lebih canggih. Semula ia hanya memiliki Reflector 70 milimeter, 80 mm, dan Dobsonian 105 mm. Total harga untuk ketiga teropong itu Rp 5 juta. Sebagai gantinya, ia membeli antara lain Refractor 102 XLT tracking, Reflector 80 mm, dan APO 70 mm lengkap dengan aksesorinya seharga lebih dari Rp 30 juta.
”Sebagai pengantar bagi peneropong pemula, saya menggunakan simulasi pergerakan dan perjalanan luar angkasa melalui berbagai program astronomi” ungkapnya.
Dengan semua perlengkapan itu, ia yakin mimpinya akan terwujud. Dalam rangka Tahun Astronomi 2009, yang memperingati 400 tahun Teleskop Galileo, ia menargetkan mengunjungi 400 sekolah dengan bendera Indonesia Mobile Observatory.
”Jika tak ada halangan, perjalanan pertama diawali 17 Agustus 2009. Saya ingin memberikan kesempatan ini, gratis. Semua sekolah, khususnya yang minim fasilitas, bisa meminta tanpa harus mengeluarkan biaya,” kata Hendro, yang mendapat penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia, pada 7 Mei 2007 sebagai Pengelola Observatorium Keliling Pertama di Indonesia.
Bagi masyarakat
Di tengah kesibukan mempersiapkan perjalanan, ia menekuni usaha jual-beli teropong sejak tahun 2007. Ia ingin membantu para pemula untuk mengenal astronomi. Ini dia buktikan dengan selalu ”rewel” kepada calon pembeli.
”Saya selalu menanyakan kebutuhannya. Jangan sampai pembeli pemula asal membeli, tetapi tak bisa menggunakannya. Ini salah satu hal yang kerap muncul saat pembeli hanya asal pilih,” katanya.
Hendro juga aktif sebagai anggota Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama dan menjadi bagian dari Tim Sistem Hisab Rukyat (SiHiru), yang merupakan kerja sama Departemen Komunikasi dan Informatika dengan Observatorium Bosscha-ITB.
Keikutsertaan itu didorong keinginan memberikan rekomendasi pelaksanaan rukyat terhadap data terbaru. Harapannya, hasil pelaksanaan rukyat dapat diterima, bukan semata secara syariah, melainkan juga ilmiah.
Ke depan, ia berharap masyarakat bisa menerapkan astronomi dalam berbagai segi kehidupan. Contohnya, astronomi yang akur dengan ilmu arsitektur. Ini sudah dia lakukan tatkala bersama timnya mengikuti lomba internasional bertema ”Perancangan Lanskap” di Nusa Dua, Bali. Area itu dirancang berdasarkan perhitungan gerak matahari. Pada tanggal tertentu, dalam rancangannya, akan diadakan kegiatan kesenian sesuai posisi dan fenomena matahari.
Bersama rekannya, Hendro juga membuat rancangan wisata khatulistiwa di Kota Pontianak (Kalimantan Barat) dan Mandah (Riau). Astronomi juga bisa menjadi ajang hiburan massal. Bersama kawan-kawan, ia menggagas kegiatan bertajuk Festival Gerhana di area Candi Prambanan, Jawa Tengah.
”Tujuan semua itu tak sekadar bersenang-senang. Astronomi bisa memberikan pengetahuan dan pendidikan baru yang berguna bagi kesejahteraan dan martabat bangsa” ujar Hendro.
Biodata
• Nama: Hendro Setyanto • Lahir: Semarang, 1 Oktober 1973 • Pekerjaan: Koordinator Kunjungan Publik Observatorium Bosscha-ITB • Pendidikan: - Sarjana Astronomi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, 1993-2000 - Magister Astronomi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam ITB, 2003-2006 • Istri: Sri Wakhidah Rahayuningsih (33) • Anak: - Miwzala Aulia Wulandari (9) - Muhammad Fikry Zidandaru (5) - Latifa Aulia Putri (4)
Sumber: Kompas, Selasa, 28 Juli 2009
No comments:
Post a Comment