BISAKAH seks, pesantren, dan Islam bersekutu? Bila pertanyaan ini diajukan pada kaum santri dan kyai, jawabannya pastilah mustahil. Bagi kaum “sarung-kopiah”, antara seks dengan pesantren dan Islam bagai dua sisi nilai yang bertolak belakang. Berat untuk ditaut-sambungkan. Persinggungan ketiganya—seks, pesantren, dan Islam—selalu menyulut permasalahan pelik. Ihwal seks adalah kebutuhan biologis setiap manusia, sementara pesantren dan Islam adalah sistem nilai. Menyoal seks berarti menempuh kembara yang dituntun oleh hajat-duniawi, sedangkan pesantren dan Islam adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, seks dan Islam bukan saja tak seiring sejalan, tapi juga sulit untuk ditemu-padukan. Islam bahkan memaklumatkan, seksualitas adalah jalan yang harus ditempuh secara hati-hati. Jika tidak, seks bisa menjerumuskan manusia pada lubang kesesatan.
Inilah muasal sehingga Michel Foucault (1926-1984) menempatkan perkara seks dalam wilayah sejarah kepurbaan manusia. “Seks,” kata Foucault, “sama berharganya dengan ajal”. Oleh karena itu pula, manusia selalu menempatkan perkara seks dan ajal sebagai sesuatu “barang mewah”, sesuatu yang hanya bisa disentuh dan dibicarakan oleh para tetua-agama, orang dewasa, atau kaum yang sudah beranak-pinak. Seks, seperti juga ajal, menjadi ritus mistis yang terkesan sakral, peristiwa yang dibiarkan tetap sebagai misteri dan hak prerogatif Tuhan. Sedang manusia, dilarang keras mengutak-atik, apalagi merambah, misteri itu. Seks menjadi topik menarik yang hanya bisa ditutur-sapakan secara sembunyi-sembunyi di sekat ruang sempit, seperti di kamar tidur, sembari bisik-bisik. Tidak untuk menjadi bahan obrol apalagi guyonan di kedai kopi atau tempat kerja.
Demikianlah, seks diperlakukan secara berlebihan dan tidak wajar. Seks diberi tindak protektif secara tidak proporsional. Anehnya, proses deprofanisasi ini tidak hanya terjadi di jaman primitif, tetapi juga di abad modern. Jika ajal masih diberi ruang bagi para pemuka agama untuk menanganinya, tidak bagi seks. Seks dibiarkan tetap menjadi lelaku tabu-menabu, mistis, dan misterius. Inilah pemicu Syekh Imam Abu Muhammad mensyarah Qurratul ‘Uyun, kitab yang ditulisnya sebagai bahan kaji-uji bagi kalangan Muslim sekaligus jawaban atas segala kegelisahan terhadap seks dan pernak-perniknya.
Tak ragu Abu Muhammad mengungkapkan faedah pernikahan sebagai perisai dari rupa-rupa godaan setan. Tidak berhenti di ranah itu saja, Abu Muhammad juga merambah wilayah yang selama ini dianggap tabu, semisal mengungkap adab bersetubuh, cara dan posisi bersetubuh yang paling nikmat, termasuk segala ihwal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan selama berlangsungnya ritus hajat-badani itu. Penulis mengajak kita mengusung topik seks ke ruang terbuka, bahkan ke wilayah pesantren, membuka lapang penutupnya, dan tidak semata dikaitkan sebagai urusan reproduksi, upacara penyelamatan trah keturunan. Ia bahkan menantang kita untuk mengungkap kegairahan seks sebagai “benda ajaib” yang menyenangkan dan menggairahkan. Setiap syahwat, menurut Abul Abbas Al-Wansyarini dalam Mukhtashar Nawazil Al-Barzali, akan membuat hati menjadi keras. “Kecuali syahwat berahi untuk bersanggama,” imbuh Abul Abbas, “karena syahwat yang dilakukan secara halal justru dapat membersihkan jiwa”.
Lantas, bilakah waktu terbaik untuk bersetubuh? Abu Muhammad menganggit ihwal waktu sanggama itu, sebaiknya, dilakukan pada malam hari (h. 55). Selain itu, melakukan hubungan badan di awal bulan lebih utama dibandingkan di akhir bulan (h. 62). Karena dengan melakukannya di awal bulan, diharapkan akan lahir anak yang cerdas disebabkan karena pertumbuhannya yang seiring bertambahnya bulan. Dikabarkan pula, upacara purba antara suami-istri juga dianjurkan pada hari Ahad. Konon, hari Ahad adalah waktu penciptaan alam semesta (h. 63). Meskipun, banyak pula ulama yang berpendapat bahwa hari penciptaan alam semesta adalah hari Sabtu. Selain hari Ahad, pasutri juga dianggap baik melakukan ritus reproduksi pada malam Jumat. Jika ada waktu dianjurkan, tentu ada pula waktu yang dipantangkan. Yakni pada setiap hari Rabu yang jatuh pada minggu terakhir, hari ketiga dalam setiap bulan, hari kelima dalam setiap bulan, dan beberapa waktu lainnya (h. 56). Berkenaan dengan buruknya hari Rabu, Rasulullah pernah ditanya tentang hari itu, dan beliau menjawab bahwa hari Rabu adalah hari sial, karena pada hari itu Fira’aun dan pengikutnya ditenggelamkan, serta hari dihancurkannya kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Nabi Shalih (h. 59).
Adapun cara bersetubuh yang nikmat, digambarkan oleh penulis, hindarilah bersetubuh sambil mengenakan pakaian, itu adalah kebodohan yang tak diragukan. Malah dianjurkan untuk melepaskan semua pakaian, lalu masuk ke dalam satu selimut (h. 89). Adab lain yang harus diperhatikan adalah memeluk, meraba, dan mengecup pada bagian selain mata. Hal ini dimaksudkan agar istri pun mengalami kepuasan seksual sama seperti yang dialami sang suami. Sedangkan posisi sanggama yang paling nikmat adalah suami naik ke atas istrinya dengan lembut (h. 112). Dan, tentu saja, tidak lalai berdoa agar selama berhubungan badan tidak terganggu oleh kejahilan setan (h. 113).
Persoalannya sekarang, apakah buku —terlaris dan paling terkenal di dunia pesantren— yang menjadi rujukan umat Islam saat menjalani pernikahan ini dapat dituding melanggar UU Anti Pornografi dan Pornoaksi? Tentu saja, tidak. Buku ini semata panduan yang berhulu pada khazanah kitab kuning termasyhur di pesantren tradisional untuk menakhodai bahtera rumah tangga, menelusuri kelok-lekuk seksual, adab bercinta, posisi sanggama, dan bagaimana semestinya “upacara purba” itu dilakukan secara Islami. Hal ini merupakan wujud dari hasrat untuk meletakkan tubuh dan seks, yang nisbi dan terbatas, tidak dipandang secara artifisial semata. Tidak pula menjadi sesuatu yang tabu hingga banyak suami-istri yang memilih tontonan vulgar sebagai bahan-ajar.
Selain itu, kitab ini disebut-sebut sebagai karya paling masyhur —yang kerap disebut karya fenomenal khas Timur, seperti Kamasutra atau Serat Centhini. Abu Muhammad telah meniupkan ruh kebebasan membincangkan seks, memperlihatkan upaya pencerahan “yang baharu” tentang seks, dengan mengacu pada sumber hadits yang kuat. Sampai di sini, Qurratul ‘Uyun bukan lagi hadiah tabu di lingkungan pesantren. Di tangan Abu Muhammad, ia menjadi gairah ritmis yang tiada bersudah dalam meraih “kenyamanan persekutuan” antara suami dan istri. Maka tidak berlebihan jika buku ini dianjurkan untuk menjadi rujukan bagi setiap pasutri.
Khrisna Pabichara, Motivator, Penulis, bergiat di Komunitas Sastra Jakarta dan Komunitas Planet Senen, Jakarta
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment