-- Damhuri Muhammad
KHAZANAH Betawi yang terhidang dalam prosa tidak lepas dari peran kepengarangan SM Ardan (1932- 2006) sebagaimana terlihat dalam bukunya Terang Bulan Terang di Kali (1955, cetak ulang oleh Masup Jakarta, 2007). HB Jassin mencatat, karya-karya Ardan sangat membantu ahli ilmu bahasa, ilmu bangsa-bangsa dan kemasyarakatan dalam penelitian tentang Jakarta.
Dialek lahir, tumbuh, dan mati. Adat dan kebiasaan muncul, berubah, dan hilang. Begitu pula permainan anak-anak Betawi yang lahir, tumbuh, sirna. Amat besar jasa Ardan dalam mendokumentasikannya.
Menurut Ajip Rosidi (2007), istilah ”cerita” pada antologi cerita pendek SM Ardan itu kurang tepat karena (kecuali satu-dua cerpen) tidak ada ceritanya sama sekali. Periksalah ”Pulang Pesta”, ”Pulang Siang”, atau ”Bang Senan Mau ke Mekah”, tak menjalin cerita sehingga yang terasa hanya ”suasana”.
Kalaupun ada cerpennya yang mengandung ”cerita”, bagi Ajip, cerita itu tidak seru, menyehari, gampang dijumpai dalam keseharian orang-orang kecil Jakarta masa itu. Tapi, justru di sinilah keistimewaan Ardan. Boejoeng Saleh (1955), dikutip JJ Rizal (2007), mencatat, ibarat seorang kameramen, Ardan punya lensa tajam. Ia tak hanya memotret realitas eksotik-romantik, tapi juga realistik; kenyataan yang sepahit-pahitnya.
Betawi masa kini
Apabila pengalaman baca terhadap karya-karya Aman Dt Majoindo (1896-1969), M Balfas (1921-1975), Firman Muntaco, hingga SM Ardan menimbulkan kesan: ”Ternyata orang Betawi seperti itu ya”, prosa-prosa berlatar Betawi garapan para pengarang masa kini mendedahkan sebentuk keheranan: ”Ternyata orang Betawi udah nggak kayak gitu ya...”.
Tengoklah Rumah Kawin (2004) dalam antologi cerpen Zen Hae, Sebelas Colen di Malam Lebaran (2008) karya C.G Ramadhan, Rosid dan Delia (2008) novel karya Ben Sohib, dan yang paling mutakhir, Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala. Resistensi masyarakat Betawi terhadap modernisasi Jakarta yang semakin mengaburkan identitas dan kejatidirian mereka ditampakkan karya-karya pengarang muda itu.
Zen Hae dalam ”Kelewang Batu”, misalnya, melakukan demitologisasi kisah usang tentang para pemburu mestika api milik naga raksasa. Maka, pertarungan hebat tak terhindarkan, hingga naga itu tumbang. Selepas pertarungan itu, danau kering, tanah tempat matinya naga itu menjadi sebuah kampung yang kelak disebut Kampung Naga.
Bekas-bekas jejak naga menjelma sungai yang kelak dikenal ”Kali Bangkai”. Penduduk setempat menyebutnya Kali Bangke, dan keturunan berikutnya melafalkannya Kali Angke. Begitu salah satu versi riwayat Kali Angke yang kini telah dilupakan.
Para pendatang hanya tahu ”Menteng” sebagai kawasan gedongan, hunian orang-orang tajir dan berada , padahal ”menteng” sejatinya adalah nama buah. Begitu pula ”bintaro” yang sesungguhnya adalah nama pohon. Seiring dengan semakin menterengnya wajah Jakarta, tak hanya khazanah tanaman itu yang terlupakan, tetapi sejarah, kearifan, dan memori kolektif tentang Jakarta juga tenggelam dalam ingar-bingar panggung kosmopolitanisme.
Suasana nostalgik—sekaligus ironik—semacam ini tergambar dalam novel Kronik Betawi (2009), karya Ratih Kumala, yang memperlihatkan wajah Jakarta sebagai ironi.
Kronik Betawi mengisahkan sebuah keluarga Betawi, pewaris usaha peternakan sapi perah. Setelah berkali-kali mengelak dari bujuk goda dan iming-iming untuk jangan melepas tanahnya di daerah Kuningan, Jaelani—kepala keluaga itu—akhirnya takluk juga, menyusul sejawat dan kerabat yang telah lebih dahulu angkat kaki.
Keluarga Jaelani pindah ke Ciganjur, sementara sapi-sapi perah itu diboyongnya ke Pondok Rangon. Meski telah tersingkir, Jaelani tidak tertarik membangun rumah-rumah kontrakan seperti sejawat-sejawatnya yang ujuk-ujuk telah menjadi juragan. Tapi, bertahan dengan etos kemandirian orang Betawi ternyata tidak gampang. Japri dan Juned, dua anak laki-lakinya, lebih tergiur menjadi tukang ojek ketimbang mengurus sapi sehingga usahanya itu nyaris bangkrut.
Optimisme Betawi
Setiap tokoh dalam Kronik Betawi memikul beban persoalan orang Betawi masa kini. Jika Jaelani harus menerima kenyataan tentang anak-anak yang tidak punya etos mandiri, Jarkasi (adik Jaelani) berhadapan dengan betapa sulitnya mempertahankan kesenian tradisional Betawi pada kurun R & B dan Jazz ini. Ia mendedikasikan hidupnya demi kelestarian gambang keromong, semacam orkes, perpaduan antara gamelan, musik Barat, dan corak kesenian China.
Jarkasi jatuh bangun sebagai seniman Betawi. Baginya, tanah kelahiran bolehlah lenyap ditelan gemuruh perubahan Jakarta, tetapi Betawi masih punya lenong dan gambang keromong, yang sedapat-dapat harus tetap hidup. Seni satu-satunya milik mereka yang belum terbeli.
Optimisme dalam menyongsong masa depan Betawi yang gemilang tampak kentara pada kerja keras Salomah guna melanjutkan pendidikan anaknya (Fauzan) hingga jenjang universitas, bahkan mendapat beasiswa ke Amerika Serikat.
Bagian ujung Kronik Betawi menampilkan Salomah-Jaelani sebagai manusia Betawi yang terobsesi hendak mencetak kaum intelek agar orang Betawi tidak sekadar menjadi juragan kontrakan, calo tanah, atau tukang ojek. Sebagaimana dibuktikan oleh sejarah terkini, Jaelani ingin kaumnya menjadi orang-orang yang diperhitungkan, disegani, dan bukan kuli di kampung sendiri.
* Damhuri Muhammad, Cerpenis, editor, buku terbarunya Juru Masak (2009)
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009
No comments:
Post a Comment