Sunday, July 26, 2009

Dari Sastra ke Rupa ke Sastra

-- Sjifa Amori

SENI rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.

Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

–Thermopylae?-

- jagal tidak dikenal ? -

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

(Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957)

Perupa Putu Sutawijaya mereinterpretasi puisi ini sebagai bentuk sisi peperangan Chairil melawan sisi gelap ke-preman-annya. Putu menganggap bahwa peperangan selalu terjadi pada diri setiap orang. Energi peperangan pribadi inilah yang diangkatnya dengan menggunakan idiom Chairil Anwar walaupun dengan lukisan potret yang tidak mirip.

“Saya menggeser peperangan dalam jiwa Chairil ke dalam karakter orang lain. Malam yang identik dengan segala sesuatu yang negatif, saya jadikan pondasi untuk eksplorasi membangun karakter preman ini. Makanya gaya merokoknya pun berbeda, lebih menunjukkan mata yang penuh perlawanan yang saya tambahkan coretan beberapa bait puisi Malam,” kata Putu dalam pembukaan pameran di Salihara, Kamis (16/7).

Pameran yang dibuka oleh calon wakil presiden Boediono ini memang dimaksudkan untuk mengungkap perang sebagai hal yang lebih luas dari sekadar pertikaian fisik, kecamuk senjata, dan kekacauan suasana, tapi juga beragam pernyataan dan ekspresi estetik dalam memperjuangkan kebebasan.

“Seni rupa tidak bisa mencegah perang, tetapi mungkin bisa mengubah pandangan kita tentang itu. Pameran di Galeri Salihara kali ini memilih tema perang bukan untuk merekam sebuah peperangan yang terjadi. Tema ini dipilih untuk melihat respons seni rupa terhadap sebuah keadaan dahsyat, namun sampai ke dalam hidup kita dengan perantara kata dan rupa,” kata penyair Sitok Srengenge yang karyanya juga ditafsirkan dalam pameran ini.

Pameran seni rupa Perang, Kata, dan Rupa menampilkan lukisan dan instalasi karya perupa Aminudin T H Siregar, Chandra Johan, Jopram, Jumaadi, Mujahidin Nurrahman, Putu Sutawijaya, R E Hartanto, Jompet Kuswidananto, Teguh Ostenrik, Ugo Untoro, Wayan Suja, Wilman Hermana, dan Yustoni Volunteero. Ketigabelas perupa ini akan menafsirkan puisi karya Acep Zamzam Noor, Agam Wispi, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Iswandi, Nirwan Dewanto, Rivai Apin, Sitok Srengenge, Subagyo Sastrowardoyo, Toto Sudarto Bachtiar, dan Triyanto Triwikromo.

Menyertakan sastra dalam memaknai perang adalah kekayaan dari pameran ini. Putu melihat pertautan antara bahasa seni dan rupa bukannya tanpa “pertikaian”. Malah perlu ada proses bergumul dalam batin agar kemudian muncul dalam bentuk karya lukisnya tersebut. “Perlu waktu untuk memvisualkannya karena tidak mudah membaca isi sebuah puisi,” kata Putu.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Sitok yang ia lontarkan dalam pengantar pameran ini, “Memang kata, rupa, bahkan seluruh bentuk ekspresi karya, ternyata tak pernah cukup untuk mengusung secara utuh -seluruh kehendak dan pemahaman kita tentang yang nyata dan yang maya. Sebab itu dalam komunikasi selalu ada beda dan selisih faham, dalam interaksi bisa terjadi perang. Dengan itu kita dapat menemukan keasyikan sebuah karya seni.”

Pameran ini melingkupi aspek yang luas terkait tema perang. Perang dalam arti yang sebenarnya tentu juga dipertontonkan dalam lukisan dan instalasi yang kuat dengan unsur estetika visual. Sebut saja instalasi topi, genderang, dan boots perang prajurit yang tergantung seolah dipakai oleh tubuh yang tak kelihatan. Instalasi ini dilengkapi audio yang berbunyi secara otomatis memperdengarkan suara tabuhan siap perang dan derap langkah yang mengingatkan akan suasana perang yang “horor”. Suara-suara teror yang otomatis “menghidupkan” tulisan Acep Zamzam Noor pada dinding galeri:

Buat Padwa Tuqan

Semuanya belum juga menepi, tongkang-tongkang sepanjang kanal

Kapal-kapal sepanjang lautan, panser-panser sepanjang jalan

Sepanjang medan pertikaian. Dan abad-abad yang bergulir

Tahun-tahun yang mengalir, musim-musim yang anyir

Entah kapan berakhir. “Dilarang kencing di sini!” seekor anjing

Menyalak pada dunia. Langit nampak masih membara

Hujan bom di mana-mana. Terdengar tangis bayi

Jerit para pengungsi. Tak henti-henti-

Bukankah seratus hadiah Nobel telah diobral

Dan seribu perundingan digelar? Tapi di manakah

Perdamaian? Masih adakah perdamaian itu? Semuanya

Belum mau menepi, belum mau melabuhkan diri


Sebagaimana puisi Acep Zamzam Noor juga mengangkat realitas situasi perang, beberapa karya lukis juga berusaha mengungkapnya dalam pilihan artistik beragam. Misalnya karya perupa Mujahidin yang menggambarkan pesawat pengebom Hiroshima dan Nagasaki dalam visual yang ia katakan merupakan stimulasi bentuk dengan menghindari ilustrasi. Mujahidin membuat karyanya dengan terlebih dulu membuat sketsa.

“Saya tidak mereinterpretasi puisi, tapi seperti diingatkan oleh puisi Acep bahwa banyak orang berkoar menolak perang, tapi tetap dilakukan,” kata perupa asal ITB yang sudah sejak lama mengekplorasi tema militer dalam pencarian bentuk visual yang terus dikembangkannya. Untuk pameran itu, Mujahidin memamerkan karya yang salah satunya dijuduli Enola Gay.

Yustoni Volunteero juga banyak mengangkat soal perang sebagai pertempuran, hanya saja ia melibatkan sudut pandang yang lebih meluas. “Saya mengangkat masalah pertempuran dan reformasi bangsa ini. Dalam berkarya, saya sudah berperang dalam setiap sapuan kuasnya yang meluapkan semua perasaan saya mengenai apa yang saya maknai dari karya sastranya. Saya lalu membuat puisi kembali dari lukisan saya,” kata Yustoni yang menghabiskan satu bulan dalam membuat lukisannya untuk pameran ini.

Bisa jadi pameran yang akan berlangsung hingga 15 Agustus ini akan mengantarkan siapa pun yang datang untuk mendekati berbagai dimensi perang melalui media kata dan rupa. Termasuk untuk merenungi kembali peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott & The Ritz Carlton yang terjadi keesokan hari setelah pembukaan pameran ini. Seperti kata Acep, Nobel perdamaian sudah diumbar, sebagaimana perjanjian damai diselenggarakan, tapi mengapa perdamaian tak kunjung tiba.

Syifa Amori

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Juli 2009

No comments: