Monday, July 27, 2009

Forum Mufakat Kebudayaan: Pisahkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

[JAKARTA] Sejumlah budayawan yang tergabung dalam forum Mufakat Kebudayaan, akan segera mengajukan petisi kepada Pemerintah terkait kekhawatiran mereka terhadap kondisi budaya tradisional dan kesenian Indone- sia yang ditandai dengan pendeklarasian Maklumat Juli 2009.

Sejumlah artis dan budayawan, antara lain Ray Sahetapy, Sudjiwo Tedjo, Sys Ns, Iwan Fals, Radhar Panca Dahana, dan Happy Salma mengangkat tangan mereka pada acara Mufakat Kebudayaan di Jakarta, Minggu (26/7). Para artis menyampaikan Maklumat Juli 2009 yang berisi tentang himbauan serta ajakan kepada pemerintah dan masyarakat untuk mendayagunakan khazanah tradisi serta kearifan lokal untuk menegakkan kekuatan-kultural budaya bangsa. (SP/Ignatius Liliek)

Dalam maklumat tersebut dinyatakan, dalam perkembangannya, politik dan pemerintah Indonesia atas produk dan kebijakannya, cenderung kurang memperhatikan dan malah semakin tidak menyentuh masalah budaya.

"Pada hasil kebijakan legislatif, mana pernah menghasilkan undang-undang budaya atau kesenian. Dana yang tercantum hanya Rp 500 miliar untuk kebudayaaan, termasuk arkeologi. Cuma 0,05 per mil. Karena itu, kami ingin kebudayaaan segera jadi landasan berpikir," papar pemrakarsa Maklumat Juli 2009, Radhar Panca Dahana di Jakarta, Minggu (26/7).

Maklumat tersebut awalnya merupakan hasil mufakat sembilan budayawan, yaitu Radhar Panca Dahana, Sys NS, Jockie Suryoprayogo, Eros Djarot, Ray Sahetapy, Embie C Noor, Alex Komang, Aspar Paturusi, dan Adi Kurdi. Langkah mereka tersebut kemudian turut didukung oleh sejumlah budayawan dan pelaku seni di Indonesia.

Bahkan, para budayawan dan pelaku seni yang turut hadir dalam pendeklarasian maklumat tersebut juga sependapat jika ada gagasan untuk memisahkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menjadi sektor yang berdiri sendiri.

"Kebudayaan itu kan cakupannya sangat luas sekali. Karena itu, ada baiknya memisahkan pariwisata dan kebudayaan dan menjadikan kedua sektor yang berdiri sendiri. Saat ini kebijakan dan landasan hukum menyangkut budaya masih sangat jauh dari yang kami harapkan," tegas Radhar.

Bahkan, menurut Radhar, pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, yakni pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dalam 15 program unggulan yang diusungnya tidak tercantum satu pun yang berhubungan dengan kebudayaan. Padahal menurutnya, kebijakan publik dalam seluruh penggunaan mekanismenya harus didasarkan pada dinamika kebudayaan.

Seniman Soedjiwo Tedjo yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan pendapat yang sama. Menurutnya, sejauh ini kebudayaan masih dianggap sebagai hiburan murahan, bahkan gangguan bagi urusan politik dan ekonomi.

Dalam banyak hal, kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan, diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri. Feodalisme dan mentalitas destruktif yang menciptakan kemalasan, peniruan, atau konflik pun patut segera men-jadi bahan yang harus segera ditindaklanjuti.

"Perlu mengeksplorasi dan mendayagunakan khazanah tradisi dan kearifan lokal yang sudah dikembangkan ribuan tahun demi menegakkan kekuatan kultural, bukan hanya untuk mempertegas eksistensi diri dan memperkuat kemampuan integrasi diri, tapi juga sebagai posisi tawar dalam pergaulan dunia," ujar Eros Djarot.

Karena itu, materialisme yang melahirkan liberalisme dan pada akhirnya menciptakan kapitalisme yang menjerat rakyat dalam krisis, hingga meruntuhkan sikap kebersamaan di hampir seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Percepatan perubahan yang terjadi melalui globalisasi dan teknologi tinggi dengan disiplin, kerja keras, ketekunan, ketangguhan kompetitif, dan kerelaan berkorban harus segera ditegakkan agar nantinya para penerus bangsa tidak merasa asing pada diri sendiri. [DDS/F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 27 Juli 2009

No comments: