Sunday, July 26, 2009

Sastra, Tragedi dan Kejutan Narasi

-- Munawir Aziz

TRAGEDI menjadi medan transformasi dalam ruang kontestasi sastra. Karya sastra yang penuh dengan luapan imajinasi dan sederet ide, dimulai dengan petualangan pencarian jati diri dan tragedi. Dunia sastra memungkinkan tragedi merasuk dan bersemayam dengan penuh intrik, menjadi ruang penting dengan subjek berjejal.

Sasatrawan menikmati petualangan kreativitasnya ketika bergelut dengan tragedi, kesedihan, dan pertikaian. Semakin menyedihkan peristiwa di sekitar sastrawan dan karyanya, semakin erotik publikasi, image serta makna lakon hidup yang disulap di ruang informasi.

Walaupun telah lazim diungkapkan bahwa karya sastra menjadi medan multitafsir dan penulis menemui kematian, atau terpenggal dari "anak rohaninya", ketika karyanya ditahbiskan dalam ruang selebrasi. Namun, tak dapat dielakkan, serpihan peristiwa di sekitar karya sastra akan mampu menghopnotis pembaca dan dunia.

Denyut tragedi akan mampu menghanyutkan perasaan haus akan cerita subtil dan heroik di sekujur peristiwa ketika karya sastra lahir. Novel-novel dengan bendera penghargaan internasional, dipanggungkan dengan deretan cerita tragis penulisnya.

Milan Kundera menjadi contoh betapa tragedi mampu menghias dan menampilkan wajah karya lebih bombastis. Milan Kundera, sastrawan ekspatriat yang lahir pada 1929 di Brno, Cekoslovakia, meluapkan kreativitasnya untuk memerdekakan diri, mengungkap kritik, dan mengukuhkan eksistensi berpikir.

Milan Kundera berteman dengan tragedi. Setelah pindah ke Prancis, Kundera meluncurkan La livre du rire et de l'oubli (The Book of Laughter and Forgetting) untuk mengkritik tanah kelahirannya, dengan menelanjangi kebusukan pemerintah komunis Cekoslovakia. Setelah naskah ini dipublikasikan secara luas, pemerintah Ceko berang, dan mencabut kewarganegaraan Kundera.

Di tengah kekangan dan teror Pemerintahan Ceko, Milan Kundera tak surut menghasilkan karya. Bahkan, di negeri asing, imajinasinya lancar menafsirkan berbagai peristiwa, tragedi dan kegelisahan hidup dalam karya-karya penting.

Perlawanan

Tragedi tak sekadar menguntit kedamaian hidup. Tragedi juga menjadi energi di tengah kontestasi. Dan itu, terbukti dalam deretan kisah hidup Edward Said. Pelopor kajian poskolonial ini sering dirajam dendam oleh lingkungan dan power budaya Barat. Edward Said dengan jenius, canggih, dan cemerlang menuliskan karya yang menggempar dunia. Kajian poskolonial yang digelutinya menjadi kajian penting untuk membaca dan menafsirkan kembali identitas, sejarah dan perkembangan wilayah dunia ketiga, daerah bekas jajahan imperialis.

Memoar hidupnya yang bejejak pada Out of Place (2000), menjadi penanda penting betapa tragedi sangat akrab dengan napas Edward Said. Berbagai penghinaan, penindasan dan kondisi mencekam akibat gemuruh perang, menjadi ingatan yang menembus perasaan terdalam. Said menggerakkan serpihan ingatan masa kecilnya untuk menuliskan karya ini.

Bahkan, setelah selesai menuliskan manuskrip karyanya, Said melakukan lawatan ke berbagai negara, di antaranya Israel, Al-Jazair, Mesir, dan beberapa negara konfik, dengan aroma tragedi menyengat. Perjalanan ini, dilakukan Said untuk merasakan dan menyegarkan kembali ingatan, sentuhan serta kenangan masa lalu, yang hendak dihadirkan Said dalam ruang imajinasi dan kata-rupa dalam memoarnya.

Dalam kesaksiannya, memoar ini menjadi pengakuan imajiner terhadap rentetan panjang kehidupan Edward Said. Intelektual dan penulis prolifik ini lahir di Yerussalem, dan menjalani hidup di tengah kegetiran situasi konflik.

Studi poskolonialisme yang digagas Said, lahir dari latar kebencian akan konflik dan penindasan imperialis. Ketidakadilan tak hanya melintas dalam bidang ekonomi-politik, tapi menukik di ruang budaya dan pengetahuan. Said sadar, bahwa ada ketimpangan ketika negara penjajah menulis tentang daerah jajahannya. Negeri tertindas akan mengalami ketidakadilan dan kekacauan sejarah. Dari mutiara keringat dan refleksi kritis, studi poskolonialime mengguncang dunia. Tentu, dengan sederet tragedi yang membentang di jejak hidup Said.

Milan Kundera, Edward W. Said dan beberapa sastrawan-intelektual penting lain, membuktikan bahwa tragedi menjadi cerita mengejutkan di sekitar karya. Tragedi dan penindasan diri, akan menghiasi proses menjadi sastrawan dan intelektual kelas atas, dengan segenap penafsiran dan bias pemberitaan. Kehidupan tragis sastrawan, akan meningkatkan bargaining position dan nilai jual karya di tengah persaingan menemukan olahan kreatif sastra cemerlang.

Milan Kundera bernafas dengan tragedi, berkarib dengan rasa humor. Ungkapan frasa "Manusia berfikir, Tuhan pun tertawa", membuktikan seni intelektual Milan Kundera. Di tengah penderitaan, Kundera menemukan perisai humor untuk melempar nada putus asa ke jurang paling dalam, palung paling kelam.

Kegetiran dan tragedi juga termaktub dalam karya Gabriel Garcia Marquez. Di tengah kata yang berjejak lewat karya Selamat Jalan Tuan Presiden (Bon Voyage Mr President and Other Stories, 1995), Marquez sepertinya ingin menyindir kegelisahan seorang presiden ketika tak lagi memegang kuasa. Bahkan, sang presiden harus menjalani kehidupan sunyi dan sekaligus penuh romansa kesepian di sebuah negeri asing.

Sang presiden dibuang dari negaranya karena peristiwa politik, dan kematian hampir menjemputnya. Bagi seorang presiden, diusir dari tanah asal adalah peristiwa menyakitkan, momentum sepenuhnya tragedi berjejak dan berkibar.

Penyakit kronis yang diderita memaksa Tuan Presiden untuk menjalani perawatan di Jenewa. Bahkan, Tuan Presiden juga membeli apartemen di Martinique, dengan peralatan dan bahan mahal dari Fourt The Frank. Di tengah kesunyian menjalani terapi kesehatan, Tuan Presiden kemudian berteman dengan pasangan Homero Rey dan Lazara Daviz, sambil menjalami terapi penyembuhan penyakit kronis yang diderita.

Marquez sepertinya ingin mengisahkan tragedi pemerintahan, di mana perebutan kekuasaan akan menghasilkan penderita dan orang-orang kalah. Di setiap medan konflik, pemenang akan menyingkirkan musuh politiknya. Inilah yang menjadikan keadilan terasa asing di tanah konflik. Hukum dan nilai humanis, kehilangan sayap untuk terbang melintas dan menebar kedamaian di tanah konflik. Penggalan cerita Marquez meneguhkan tragedi di tengah keabadian, konflik dalam catatan sejarah.

Dalam kisah Marquez, Tuan Presiden merasa menjadi subjek kalah dan dirajam penyakit. Akibatnya, stereotip muncul ketika tragedi mengubur kepercayaan diri. "Kemenangan besar dalam hidupku adalah bila semua orang melupakanku," ungkap Tuan Presiden sebagaimana ditulis Marquez.

Di negeri ini, Pramoedya Ananta Toer merupakan cermin tragedi yang abadi. Pram diringkus dengan penjara, di Pulau Buru. Namun, karya sastra penting lahir dari kondisi tragis. Tetralogi Bumi Manusia adalah refleksi dari tragedi, hingga melahirkan espektasi.

Perselingkungan sastra dan tragedi sejatinya bukan mematikan sastrawan. Justru, kemapananlah menjadi ancaman serius. Kemapanan mampu menikam daya kreatif tanpa ampun. Keringnya karya sastra dahsyat negeri ini, juga diawali dengan iklim instan penciptaan sastra. Pada titik inilah, tragedi dibutuhkan untuk meringkus kemapanan, bukan mengekang diri. Keinsyafan atas tragedi akan mengentaskan sastrawan dari silent minority, menjadi spoken minority dalam ruang aspirasi. Penjara, bencana dan cinta adalah tragedi dengan warna-warni. Dan sastrawan, bertugas melakukan refleksi untuk menerjemahkan tragedi dalam ruang pemakaan baru dengan kejutan-kejutan imajinatif bagi dunia.

* Munawir Aziz, peneliti sastra, bergiat di Cepdes, Jakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009

No comments: