-- Radhar Panca Dahana
Bagaimana sebenarnya cara kita mengapitalisasi 235 juta warga Indonesia, mengapitalisasi diri sendiri? Dalam pengertian paling umum, jumlah itu adalah sebuah potensi kerja yang luar biasa. Yang diukur dengan kemampuan produktifnya dan sumbangannya pada ”pendapatan nasional”.
Maka angka hebat itu sekadar bermakna ranking terbesar keempat di dunia, bermakna Rp 5.000 triliun dalam PDB, 2.000 dollar AS per kapita, Rp 200 triliun untuk pendidikan, 52 persen persen konstituen untuk satu putaran pilpres, Rp 70 triliun subsidi energi, 10 persen penganggur, Rp 100 triliun kontribusi industri kreatif, atau 100.000 megawatt tambahan listrik, dan seterusnya.
Dengan itu, kita sadar, betapa nilai satu manusia di negeri ini, jiwa, raga, dan seluruh potensi mentalnya, dihitung dalam materialisasi angka-angka yang pada akhirnya melenyapkan kenyataan dan keberadaan manusianya sendiri. Simplifikasi yang penuh reduksi ini membuat negeri kita bukan hanya tampak miskin dan sengsara, tetapi juga rapuh tak berdaya.
Betapa semua angka itu hanya menjadi artifisialisasi dari realitas majemuk dan padat dimensi dari kemanusiaan kita sendiri. Satu bentuk komprehensi yang juga menunjukkan kemiskinan visi, wawasan, dan bacaan para penyelenggara negeri atas negeri yang dipimpin. Dan kemiskinan ini begitu rentan dalam pertarungan global, bahkan di tingkat virtual.
Hanya dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam, angka-angka itu bisa berubah radikal, anjlok ke jurang terdalam, oleh ulah pialang-petualang. Katakanlah semacam George Soros, yang bukan hanya pernah menghantam Thailand, Korea, Indonesia, dan banyak negara Asia, tetapi juga negeri dengan kekuatan moneter dahsyat seperti Inggris. Maka, bila tidak rentan dan rapuh, angka-angka yang memaknai dan mengapitalisasi 235 juta manusia itu sebenarnya adalah palsu.
Unikum kebudayaan
Kepalsuan itu terlihat bukan hanya karena sebuah argumentasi teoretis atau filosofis saja, tetapi juga berdasar fakta dan realita, bahwa sejarah para penghuni negeri kepulauan itu, lebih dari dua milenia membangun dirinya, sama sekali tidak dengan angka, tidak dengan statistik ekonomi, data kependudukan, atau jumlah produksi celana yang dipakainya.
Negeri yang dipahami dengan baik oleh Soekarno dengan Pancasila-nya ini dibangun melalui kekuatan-kekuatan kebudayaan (sebagaimana Soekarno memaksudkan semua sila yang ia kristalkan itu sebagai hasil dan bermakna kebudayaan). Kekuatan yang membuat negeri-negeri dan bangsa-bangsa di dalamnya bertahan, berkembang, bahkan memiliki posisi atau peran yang tidak remeh dalam percaturan mancanegara.
Karena, bagaimana kita dapat mengapitalisasi, mematerialisasi, karya dan produk kultural, seperti Borobudur, wayang, batik, kitab-kitab ajaran kuno, keterbukaan dan kosmopolitanisme yang membentuk identitas suku-suku, bahasa yang menyatukan, pergaulan yang intens dan progresif di antara mereka, kemampuan mengakulturasi semua adab/budaya asing yang datang dan seterusnya.
Kealpaan pada hal-hal itu bukan hanya menafikan keunggulan dan kekayaan kita, tetapi juga seperti mempabrikasi bom waktu kehancuran sendiri. Karena justru dengan itulah, dengan—katakanlah—nilai-nilai ideal Pancasila-Soekarno, sebenarnya kita bisa bertahan sebagai sebuah negeri, sebuah bangsa, dari kemungkinan segregasi yang diramal, dicemaskan dan ditiupkan segolongan pihak.
Itulah fakta. Sebenarnya 235 juta manusia adalah jumlah dari para produsen kebudayaan, dari unikum-unikum kebudayaan. Mereka, pada setiap entitasnya, memiliki daya, kekuatan produktif, bertahan dan berkembang tersendiri. Yang secara akumulatif terbukti membangun negeri ini, dengan atau tanpa modal kapital yang serakah, dengan atau tanpa—setidaknya keterlibatan minimal—negara.
Seorang wartawan National Geographic melukiskan dengan haru saat ia berkunjung ke negara yang merupakan ”Naga Kecil” di tahun 1950-an. Satu konjen AS di Surabaya saat itu membuat pengumuman yang membuka lowongan kerja bagi juru ketik dengan gaji cukup. Negeri miskin ini dipercaya akan membanjiri lowongan itu. Berminggu-minggu ditunggu, pelamar yang datang hanya sehitungan jari.
Namun, saat pengumuman itu diganti lowongan juru gambar, maka hanya dalam hitungan hari, puluhan pelamar datang. Kejadian mengejutkan ini tak bisa lain hanya menciptakan impresi sederhana dari sang wartawan yang lalu menuliskan, ”di negeri ini semua orang seniman”.
Pragmatisme idealis
Sebagai sebuah impresi, komentar hiperbolik itu sah. Namun, setidaknya ia telah menunjukkan, kekuatan terbaik dan terbesar bangsa ini ada pada kebudayaan yang inheren bahkan transenden dalam hidup sehari-hari masyarakatnya. Sebuah kekuatan pimpinan yang penuh visilah yang akan mampu menangkap, mengolah, dan mengoptimalisasi kekuatan itu menjadi kesejahteraan, sebuah kejayaan.
Di sini, kesejahteraan tidak lain adalah terjadinya integrasi sinergis antara daya-daya praktis-pragmatis dari standar hidup sehari-hari dan daya-daya idealis dari kekuatan kultural-spiritual masyarakat. Ini juga sebuah realita—yang kian rusak karena pemahaman dan penataan yang keliru—di mana hidup pragmatis manusia Indonesia tidak dapat dipisahkan dari ritus-ritus artistik dan religiusnya. Ini pula yang mungkin membuat Soekarno menempatkan sila ”Ketuhanan Yang Mahaesa” dari tempat kelima, 1945, menjadi sila pertama di saat berikutnya.
Maka, misalnya, bila daya ekonomi kita, terutama di pedesaan atau grass root, didesak untuk meningkatkan produktivitasnya, sementara kultur atau ritus religiusnya dirusak budaya kota/asing melalui berbagai media, jangan harap hasil memuaskan akan didapat. Karena tiap butir gabah yang dihasilkan petani bukan hanya wujud kebutuhan pragmatis, tetapi juga sebagai rasa syukur, sebagai ibadah, sebagai kewajiban kultural.
Seberapa jauh presiden terpilih menyadari hal ini, bisa dibaca dari dialog atau debat. Keringnya wacana, sempitnya apresiasi pada realitas itu, juga cara mereka mengukur diri dan bangsa melalui angka, menunjukkan visi—dengan ruang dan waktu lebih lapang dan dalam—yang kita harapkan masih jauh dari jangkauan.
Untuk itu, tidak ada alasan lain, keberanian dan kehendak politik harus kuat untuk bekerja sama dengan elemen-elemen lain, khususnya kebudayaan. Karena dari sana bisa diharapkan, keluasan dan kedalaman visi dapat ditingkatkan. Mereka, kekuasaan dan kebudayaan, yang selama ini arogan dengan mengatakan ”aku bisa hidup tanpa kau”, sudah saatnya datang ke ruang yang sama. Bukan untuk sekadar salaman dan minum bersama, tetapi beradu hati, kepala, dan mimpi: menemukan diri kita yang sebenarnya, saat ini dan nanti. Pada kala itu, harapan tidak lagi tinggal dalam kotak kenangan.
* Radhar Panca Dahana, Sastrawan
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009
No comments:
Post a Comment