Sunday, July 19, 2009

[Fokus] Stop RSBI!

PROGRAM rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) menjadi sebuah kelatahan baru bagi kepala sekolah di Lampung. Mereka berlomba-lomba mengajukan proposal RSBI ke Departemen Pendidikan Nasional.

Sebut saja Cerdas (15). Alumnus SMP negeri di bilangan Langkapura itu sempat girang bukan main saat namanya ikut tercetak sebagai peserta ujian masuk sekolah berstandar internasional di Bandar Lampung, Mei 2009 lalu. Khayalannya, rintisan masa depan cerah dapat ia mulai dari sini. Sebab, dari ribuan yang mendaftar, hanya kurang dari 10 persen yang diterima.

Mendapati kabar anaknya lulus tes SMA RSBI, orang tuanya ikut gembira dan mengucapkan selamat. Pegawai negeri biasa di Universitas Lampung itu segera mempersiapkan diri untuk daftar ulang. Termasuk mencari utangan untuk jaga-jaga jika harus menggunakan uang cukup besar.

Namun, ketika hadir dan mencari informasi daftar ulang ke SMA favorit Bandar Lampung itu, anak dan bapak ini terkejut dan lesu. Bayangan masa depan itu samar ketika mereka mendapati sejumlah angka daftar ulang dan dana lainnya yang lebih dari Rp5 juta.

Mereka semakin ragu ketika uang bulanan yang harus mereka bayar sekitar Rp600 ribu per bulan. Belum lagi harus membeli laptop pribadi dan biaya lainnya.

Dan, dua orang ini perlahan keluar dari palagan yang sudah sempat mereka menangkan. Kini, Cerdas beralih bidikan dan sekolah di SMAN 10 Bandar Lampung.

Citra RSBI

Pencitraan RSBI sebagai sekolah untuk orang-orang unggul ternyata bukan seperti yang dibayangkan. Sebagai sekolah negeri yang diselenggarakan negara, citra RSBI selama ini diasumsikan sebagai sekolah yang dapat dimasuki oleh semua orang, termasuk kaum duafa. Syaratnya, punya kecerdasan yang unggul.

Ilustrasi yang diracik dari fakta d iatas langsung mematahkan asumsi itu. Ternyata, RSBI tersedia hanya untuk orang-orang yang unggul dalam bidang ekonomi. Maka, ini menjadi ironi ketika pemerintah sama sekali tidak memberi peluang kepada siswa-siswa berprestasi. Maka, tak heran jika RSBI tak ubahnya dengan sekolah swasta elite yang menawarkan pendidikan baik dan memang mahal karena ada unsur bisnis.

Mendapati fakta di lapangan yang demikian runyam, Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung Gino Vannolie menyatakan sebaiknya pemerintah menghentikan RSBI. "Kalau kejadiannya seperti itu, sebaiknya hentikan RSBI. Ini tidak fair karena pemerintah tidak punya komitmen yang serius untuk membiayai," kata dia.

Menurut Gino, jika akan diteruskan, pemerintah daerah harus tegas dan komitmen dalam membangun sekolah unggulan daerahnya. Jangan hanya mengikuti skenario pemerintah pusat yang meloloskan begitu saja sekolah-sekolah SSN menjadi RSBI. Karena, setiap daerah hanya diwajibkan menyelenggarakan minimal satu SBI untuk setiap jenjang pendidikan.

"Ngapain banyak-banyak RSBI tetapi tidak ada yang benar-benar berkualitas. Sudahlah, pemerintah stop saja penambahan RSBI dulu. Pemda bisa memilih satu sekolah unggulan dan kembangkan sekolah itu menjadi SBI. Pemda harus punya komitmen penuh untuk menyekolahkan guru-gurunya agar S-2, melengkapi sarana dan prasarananya," ujar Gino.

Dengan begitu, masyarakat tidak dibebani biaya pendidikan yang tinggi lagi, dan SBI benar-benar menjadi sekolah unggulan yang bisa diakses oleh siapa-pun, termasuk siswa dari keluarga miskin.

Menurut dia, tujuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyelenggarakan minimal satu SBI (untuk setiap jenjang pendidikan) di setiap daerah adalah sebagai bentuk pemerataan pelayanan pendidikan. Dengan begitu, diharapkan siswa yang berpotensi dan unggul tidak harus sekolah keluar negeri atau menumpuk di Pulau Jawa.

Seyogianya, pengembangan SBI diiringi dengan komitmen yang tinggi dari pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan sekolah model di setiap daerah. Namun, sayang, delapan standar pendidikan yang dibebankan kepada sekolah tidak diikuti dengan dukungan dana yang mencukupi dari pemerintah. SBI seolah hanya menjadi simbol dan legitimiasi keberhasilan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Kepala SMPN 1 Bandar Lampung Haryanto mengatakan kendala terberat yang dihadapi sekolahnya setelah memasuki tahun kedua RSBI adalah kualifikasi dan kompetensi tenaga guru RSBI.

Ternyata, setelah Lampung Post menelusuri lebih dalam, untuk satu sekolah RSBI tingkat SMP dibutuhkan dana sekitar Rp1,7 miliar/tahun. Dengan perincian, biaya operasional siswa mencapai Rp6,3 juta/tahun dan biaya nonoperasional (untuk pengembangan delapan standar nasional pendidikan) Rp800 juta/tahun.

Di SMPN 1, misalnya, saat ini terdapat lima kelas RSBI dengan jumlah siswa sebanyak 144 orang. Dengan asumsi setiap siswa dibebankan biaya operasional Rp6,3 juta, dana operasional siswa selama satu tahun mencapai Rp907,2 juta.

Sementara untuk pengembangan delapan standar nasional pendidikan membutuhkan biaya Rp800 juta/tahun. Delapan standar itu meliputi; kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian.

Biaya itu pun tidak mencakup biaya pendidikan bagi guru untuk melanjutkan pendidikan ke S-2 yang linear dengan S-1-nya. Padahal, salah satu syarat SBI adalah memiliki minimal 20% guru berpredikat S-2 dengan kemampuan bahasa Inggris (TOEFL minimal 500) dan mampu menggunakan teknologi informasi.

Untuk meloloskan satu sekolah menjadi RSBI harus ada MoU di atas kertas tentang pembiayaan yang ditanggung bersama oleh APBN (50%), APBD provinsi (30%), dan APBD kabupaten/kota (20%).

Lima RSBI tingkat SMA yang ada di Lampung, delapan RSBI tingkat SMP, dan dua RSBI tingkat SD sudah mengantongi kertas MoU yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional bersama Gubernur dan wali kota/bupati itu. Mereka berharap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah komitmen dengan pengembangan sekolah-sekolah unggulan di daerah ini.

Ironisnya, saat ini komitmen itu masih di atas kertas. Bantuan dana nonoperasional sebesar Rp800 juta/tahun pun berkurang menjadi Rp600 juta/tahun. Pemerintah pusat hanya mencairkan dana Rp300 juta untuk setiap RSBI (seharusnya Rp400 juta), APBD provinsi hanya Rp150 juta (seharusnya Rp240 juta), dan lebih parahnya tahun ini Panitia Anggaran Kota Bandar Lampung mencoret dana untuk RSBI (tahun lalu Rp100 juta--seharusnya Rp160 juta).

Jika dihitung, total bantuan dari pemerintah hanya Rp540 juta/siswa/tahun. Dengan perincian, APBN Rp300 juta, APBD provinsi Rp150 juta, APBD kota (nol), dana BOS Rp82,8 juta (Rp575 ribu/siswa SMP/tahun), dan bantuan operasional APBD Kota Rp7,2 juta (Rp50 ribu/siswa/tahun).

Sementara kebutuhan RSBI mencapai Rp1,7 miliar/tahun, berarti sekitar 70% biaya RSBI dibebankan kepada orang tua siswa. Pungutan siswa RSBI mencapai Rp3 juta--Rp15 juta/siswa. Pungutan itu beragam dan tergantung dari kebutuhan sekolah.

Semakin tinggi tingkat sekolah, tentunya semakin tinggi biaya yang dibutuhkan. RSBI tingat SMA membutuhkan biaya sekitar Rp2,6 miliar/tahun. Sedangkan RSBI tingkat SD sekitar Rp900 juta/tahun.

Di tengah tuntutan yang tinggi dan minimnya dana pemerintah, komite sekolah dan dewan pendidikan tidak berperan secara optimal. Penggalian dana dari pihak ketiga dan pengusaha swasta di Lampung belum berjalan.

Komite sekolah seperti berburu di kebun binatang, ketika pihak sekolah mengeluhkan kekurangan dana, komite sekolah memberikan solusi berupa pungutan ke orang tua siswa. n RIN/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juli 2009

No comments: