-- Franki Raden
JUDUL di atas adalah terjemahan langsung dari istilah ”cultural turn”, sebuah isu akademik yang sekitar 20 tahunan lalu muncul sebagai tesis ilmiah baru. Akar dari kemunculan isu ini adalah lahirnya teori-teori pascastruktural Perancis serta sebuah disiplin ilmiah baru bernama ”Cultural Studies” yang dicetuskan beberapa tokoh pemikiran Marxisme Baru di Inggris pada awal tahun ’70-an. Dewasa ini, isu ”cultural turn” tampaknya sudah bukan lagi menjadi milik kaum akademis. Selama saya menetap di AS, Kanada, dan Singapura beberapa tahun belakangan, isu tersebut rupanya juga menjadi motor dari perkembangan kota di negara tadi.
Lima tahun yang lalu, seorang wartawan New York Times mengunjungi kota kecil di AS yang bernama Madison di Negara Bagian Wisconsin. Wartawan ini ingin tahu mengapa kota kecil yang berpenduduk sekitar 300.000 orang ini dapat tumbuh luar biasa dan mampu menyedot kaum profesional dan penanam modal dari segala benua untuk tinggal di sana. Kesimpulan wartawan tersebut adalah karena kota ini tampaknya menjalani strategi yang dibahas oleh Richard Florida dalam bukunya The Rise of the Creative Class (2002) yang sangat terkenal itu.
Menurut beliau, untuk bisa tumbuh dan berkembang di era globalisasi, sebuah kota harus mampu memikat sebuah kelas masyarakat baru, yaitu ”kelas masyarakat kreatif”. Yang ia golongkan dalam kelas ini antara lain para profesional di dalam bidang keilmuan, bisnis, jasa, dan budaya. Menurut dia, kelas masyarakat kreatif ini akan tertarik untuk menetap di sebuah kota jika kota tersebut dilengkapi oleh segala fasilitas dan kegiatan budaya. Kegiatan budaya bagi mereka bukan hanya berfungsi sebagai hiburan selepas kerja, tetapi juga berfungsi sebagai sumber ilham yang sangat vital bagi produktivitas kaum profesional di bidang masing-masing.
Kota Madison, menurut wartawan New York Times tadi, berhasil menjadi contoh kota unggul yang membuktikan kebenaran teori Richard Florida. Secara kebetulan Madison adalah kota di mana saya menempuh sekolah selama 14 tahun sehingga perkembangan Madison dari sebuah kota pertanian menjadi sebuah kota budaya dapat saya ikuti dengan terperinci. Yang menjadi titik perubahan besar dari kota ini adalah dua hal, yaitu datangnya mahasiswa dari segala penjuru dunia untuk kuliah di Universitas Wisconsin sejak tahun 1970-an dan usaha seorang wali kota perempuan di awal tahun 2000-an untuk mengubah secara total pusat kotanya (downtown) dari wilayah pertokoan menjadi wilayah kebudayaan. Dengan biaya 100 jutaan dollar, wali kota ini mengembangkan fasilitas budaya di sekeliling Capitol Square (wilayah pemerintahan).
Yang diberikan tanggung jawab untuk menyulap wilayah ini adalah arsitek kelas dunia bernama Cecarpelli. Akhirnya, dari sebuah kota pertanian yang sunyi, Madison menjadi contoh keberhasilan kota budaya yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan sangat pesat. Kota ini kemudian menjadi pilihan bagi Robert Redford untuk mendirikan bioskop Sundance yang pertama di seluruh Amerika. Bioskop ini khusus hanya memutar film-film yang mengikuti Sundance Film Festival.
Jazz
Dalam skala lebih besar, kota Toronto (3 jutaan penduduk) juga melakukan kebijaksanaan yang sama. Wali kota mereka yang sekarang memang memiliki semangat dan visi budaya yang kuat. Selama empat tahun terakhir, saya menyaksikan Toronto tumbuh menjadi kota budaya yang luar biasa. Salah satu motivasinya tentu saja adalah untuk mendatangkan wisatawan dari segala penjuru dunia. Penghasilan mereka per tahun dalam sektor pariwisata memang dapat mencapai sekitar 14 miliar dollar. Pertumbuhan Toronto ini agaknya juga merangsang pertumbuhan kota-kota kecil di sekitarnya sehingga secara keseluruhan wilayah besar Toronto menjadi ajang kegiatan budaya yang sangat dinamik.
Di kota ini, usaha yang patut dipuji bukan hanya datang dari kebijaksanaan pemda, tetapi juga pihak swasta dan masyarakat. Salah satu usaha gemilang yang sempat saya ikuti dari dekat adalah bagaimana sebuah radio yang bernama Jazz FM mampu membangkitkan minat seluruh masyarakat kota atas musik jazz. Jazz FM adalah radio komunitas yang mendapatkan dana melulu dari hasil sumbangan para pendengar. Dengan adanya fasilitas online, Jazz FM juga mendapat sumbangan dana dari para pendengar di luar Kanada. Pada akhirnya penduduk Toronto dengan bangga menyebut kotanya sebagai ”kota Jazz dunia”.
Di pihak lain, sumbangan masyarakat diaspora Toronto juga sangat besar. Seperti yang terjadi di Madison, dengan banyaknya pendatang dari Asia, Afrika, Kepulauan Karibia, dan Eropa (Barat dan Timur), ditambah lagi oleh kegiatan masyarakat aslinya (First Nations dan lain-lain), maka Toronto berubah menjadi sebuah kota budaya dunia. Kolase kehidupan budaya yang tampak di kota ini kaya sekali. Masyarakat diaspora di Toronto dan Madison ini sangat aktif menyelenggarakan festival budaya yang berhubungan dengan negeri asal mereka. Dengan modal itu, Toronto berambisi untuk menyaingi New York.
Alat propaganda
Untuk keperluan membangun kota-kota budaya di Indonesia, contoh yang saya ajukan di atas mungkin tidak terlalu dapat dijadikan rujukan. Hanya orang yang punya kemampuan visi dan semangat baja seperti Ali Sadikin saja agaknya yang mampu menyulap kota besar seperti Jakarta, misalnya, untuk menjadi pusat kebudayaan dunia seperti di Amerika Utara. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin Indonesia dapat dibandingkan dengan Amerika dan Kanada? Konstelasi dan watak budaya kita di Indonesia sangat berbeda dengan kedua negara tadi. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan Singapura? Selama setahun terakhir menetap di negeri ini, saya melihat bahwa Singapura ternyata juga mempraktikkan penuh teori Richard Florida. Manifestasinya tampak semakin jelas dewasa ini.
Selama beberapa bulan terakhir ini Singapura semakin gencar mengguyur kotanya dengan segala kegiatan budaya yang didatangkan dari seluruh penjuru dunia. Beberapa tahun belakangan ini Singapura juga membangun fasilitas budaya yang sangat berkelas. Kegiatan seni budaya di kota ini tidak hanya tampak di Esplanade, pusat kesenian Singapura. Setiap kampus universitas di sana juga memiliki fasilitas budaya yang sangat memadai dan digunakan untuk kegiatan kesenian yang profesional. Setelah mengunjungi kegiatan-kegiatan budaya ini, saya dapat melihat bahwa Singapura saat ini memang sudah menjadi kota global yang sangat potensial di masa depan.
Sebagian seniman di Singapura sendiri bersikap kritis terhadap strategi pemerintahnya dalam bidang kebudayaan karena mereka mencium kuatnya motivasi ekonomis di balik semua itu. Saya sendiri melihat justru di sini kejelian rezim Goh Chok Tong yang merancang strategi tersebut. Dengan wilayah yang sangat kecil dan tidak adanya sumber daya alam, sumber perekonomian masyarakat dan pemerintahan memang harus datang dari segala sisi, tidak terkecuali seni budaya. Dibandingkan dengan Indonesia, selama ini negara kita hanya menunjukkan sikap bangga memiliki kekayaan budaya yang luar biasa atau sikap agresif jika merasa kebudayaan tersebut ”dicuri” negara lain.
Dari kacamata pihak luar (terutama kacamata para sarjana kesenian di Barat), Pemerintah Indonesia selama ini dianggap hanya memperlakukan kebudayaan sebagai alat propaganda, baik politik maupun pariwisata, dan mengekangnya bila dianggap mengancam kelanggengan sebuah rezim. Kenyataan lainnya yang lebih menyedihkan adalah kehidupan kesenian di daerah-daerah mengalami erosi yang serius. Saya membayangkan dalam waktu beberapa tahun ke depan ketika negara-negara di Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, berkembang menjadi pasar baru kebudayaan dunia yang menguntungkan seluruh lapisan masyarakatnya, Indonesia akan menjadi negeri yang sangat tandus dalam bidang kebudayaan.
Dari pengalaman mengamati perkembangan kehidupan budaya di negara-negara seperti Amerika, Kanada, dan beberapa negara Asia selama ini, yang menjadi salah satu kata kunci di sini adalah adanya sebuah strategi kebudayaan nasional yang mampu memosisikan produksi budaya Indonesia dalam konteks dinamika pasar kebudayaan di tingkat global. Di dalam strategi ini harus ada unsur pemberdayaan terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses produksi budaya ini. Dan yang lebih penting lagi adalah adanya sebuah sistem dan kemampuan manajerial untuk menjalankan strategi tersebut secara mantap dan kompak di tingkat nasional.
* Franki Raden, Etnomusikolog
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment