Judul buku : Budak Pulau Surga
Penulis : Soegianto Sastrodiwiryo
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 486 hlm
SETELAH tahun 1650 di Pulau Dewata sering terjadi peperangan antarraja. Dalam peperangan ini yang kalah diperlakukan sebagai komoditi. Laku dijual, dan di jadikan budak. Sebagai tanda terima kasih dan pembayaran utang. Dalam banyak kasus peperangan di Bali, tujuan peperangan lebih untuk memperebutkan penduduk. Tidak ada manfaatnya mengusai wilayah yang luas jika tidak ada manusiaanya. Perdagangan itu merekrut struktural yang mapan. Pemasok pedagang perantara pembeli yang melibatkan, mandor, baron, bengsawan, pangeran, dan raja.
Budak-budak ini diperdagangkan ke seluruh penjuru Nusantara. Terbanyak ke Batavia dan Maluku. Di batavia sendiri, budak laki-laki berbadan kuat dipekerjakan sebagai tenaga untuk membangun benteng, perluasan kota, jembatan, gudang-gudang, dan perkebunan. Lain halnya budak laki-laki yang berbadan lemah dan budak perempuan, dijual dalam suatu lelang di tengah kota untuk dilepas kepada penawar terbaik.
Mereka ini kebanyakan dari kaum sudra yang menerima status mereka sebagai sebuah nasib, akan tetapi dari mereka ini dikisahkan menolak nasib pasif (pasrah) terhadap perbudakan yang mereka alami. Yang terjadi pada diri manusia sekarang bukan sebuah nasib, akan tetapi baru sebatas sebab. Meski budak, mereka harus cepat berbuat.
Lalu menunggu saat-saat yang tepat. Karmapala (hukuman) buka hasil perbuatan, melainkan perbuatan itu sendiri. Hanya berbuat, dan hanya itu. Selebihnya bukan menjadi urusan manusia. Budak cuma panggilan raga, penampakan diri belaka. Jiwa dan sikap tetap ksatria.
Secara harfiah budak berarti orang yang terampas kemerdekaannya. Adapun kemerdekaan itu sendiri terbagi menjadi dua: kemerdekaan raga dan kemerdekaan jiwa. Kombinasi dua kategori ini menghasilkan empat kuadaran manusia: orang yang tidak merdeka, orang yang ragannya merdeka tapi jiwannya tidak, terakhir orang yang merdeka raga dan jiwa.
Pada mulannya para budak ini dijual di kalangan kolonial-kolonial Belanda. Namun, ada juga yang diperdagangkan di luar Nusantara. Setibanya di sana, tidak sedikit dari para budak ini yang bernasib sial, mengalami kekerasan, dan penyiksaan. Hidup tak hidup, bagai bangkai yang hidup tapi menunggu kematian.
Cerita Budak Pulau Surga ini adalah kumpulan novel fiksi yang keempat kali ditulis oleh Soegianto Sastro Diwiryo. Sebelumnya dia juga pernah menulis tentang Bali.
Di sini Soegianto Sastro Diwiryo ingin mengajak kepada para pembaca agar tidak menjadi budak terhadap dirinya sendiri. Sering kita tak sadar selalu diperbudak oleh hawa nafsu yang berkecamuk dalam diri kita. Di mana harta dan kekuasaan selalu didewa-dewakan, menyilaukan mata hati kita. Sampai-sampai hati menjadi buta, akan melakukan hal-hal yang diinginkan demi kepuasaan batin.
Di saat itulah kita menjadi budak, budak dalam raga diri sendiri. Terlebih, sering kita melihat dan mendengar banyak terjadi aksi kekerasan, kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan kriminal. Mereka itulah orang yang diperbudak hawa nafsu.
Kita manusia pada dasarnya hanyalah seonggok daging yang berjalan di atas duri-duri kehidupan. Mereka tidak akan luput dari yang namanya perbuatan baik dan buruk. Namun ada satu cara di mana manusia bisa mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu bagaikan bumerang yang akan berbalik menyerang kita. Sebagai langkah membendungnya adalah menjauhi segala yang bisa mendatangkan hal-hal tersebut.
Upaya yang kita lakukan itu ada tiga. Pertama, selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, berpegang teguh pada ajaran Alquran dan Alhadist. Menjauhi minum-minuman keras, berjudi, dan main perempuan. Ini akan membantu meredam hasrat untuk melakukan perbudakan dalam diri.
Kedua, selalu ingat bahwa semua makhluk hidup yang ada di dunia ini akan mati. Dengan adanya realitas ini, akan ada kesadaran untuk tidak berbuat maksiat di muka bumi ini. Hawa nafsu adalah kendaraan iblis yang akan menjerumuskan manusia, jadi berhati-hatilah bila menjalankan hawa nafsu.
Perbudakan terlahir kerena keangkuhan, kerakusan, dan ketamakan. Di mana mereka yang lemah akan diperbudak yang kuat. Itulah sebabnya tidak sedikit mereka yang menindas kaum kecil. Memang pada dasarnya kita diberi hawa-nafsu yang terlahir berdasakan akal dan pikiran. Kasus-kasus seperti di atas, sebagai ikhwal bukti kebesaran Tuhan. Sebagai penyeimbangan alam, Tuhan menciptakan dua sifat yang berlawanan ini. Sifat baik, sifat buruk, kematian, kehidupan. Dan ada kedua unsur itu pastinya didasari dari akal dan fikiran.
Lantas, kapan manusia menjadi merdeka dari segala perbudakan dari dalam dirinya? Manakala seseorang berhasil menaklukan dua musuh utama ini: rajas dan tamas. Nafsu dan keinginan tanpa usaha, terbelenggu kebodohan, ketidakpedulian untuk berbuat demi kepentingan bersama, saat itulah manusia numadi lahir kembali. Untuk kemudian memilih kemuliaan sebagai penjelmaan dengan mempertahankan harga diri. Pada saat itulah manusia menemukan sejatinnya kebaikan dalam dirinnya.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, di mana mengulas tentang sejarah manusia dijadikan budak dari para sejenisnya. Mereka yang terkuat menjadi lebih kuat. Justru sebaliknya, yang lemah tertindas selamanya.
Aris Abdul Hadi, staf peneliti Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juli 2009
No comments:
Post a Comment