Judul Buku : State of Fear
Penulis : Michael Chrichton
Penerjemah : Arif Subiyanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I Maret 2009
Tebal : 627 halaman
SELAIN ekologi hayati yang berupa hutan, gunung, dan lautan, ternyata ada juga ekologi lain, yaitu dunia ciptaan manusia yang berupa abstraksi mental, gagasan serta cara mengolah realita. Inilah ekologi pikiran. Dalam ekologi pikiran, berbagai hal seperti tren, bahasa, ideologi, gaya hidup, dan sejenisnya, muncul, menghilang ataupun bertahan. Ekologi pikiran menjadi penting karena manusia hanya mampu memahami realitas sejauh apa yang mampu dipikirkannya. Tapi, di luar apa yang mampu dipikirkannya selalu ada sesuatu yang lain.
State of Fear, novel fiksi-ilmiah karya Michael Chrichton, menyoroti ekologi pikiran untuk membahas isu pemanasan global. Layaknya Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya, Chrichton adalah penulis yang piawai mengombinasikan fakta dan fiksi sehingga keduanya menyatu dalam cerita. Dengan logika yang runut disertai puluhan catatan kaki yang merujuk berbagai data, jurnal, dan literatur, Chrichton mengajak pembaca untuk melihat secara lebih jernih isu pemanasan global.
Isu pemanasan global adalah bagian dari politik yang memanfaatkan ekologi pikiran. Dalam budaya modern, manusia bisa diatur hanya ketika ada suatu ancaman yang membuat mereka takut. Di era perang dingin, isu yang digunakan adalah ''komunisme'' yang dikonstruksi sedemikian rupa agar orang takut dan dengan demikian berjalan di ''rel'' tertentu.
Ketika perang dingin usai, dikhawatirkan manusia bebas dari rasa takut dan menjadi berani sehingga sulit dikuasai. Oleh karena itu, wacana baru perlu digulirkan. Dipilihlah isu pemanasan global. Masyarakat dikondisikan sedemikian rupa agar meyakini bahwa pemanasan global adalah ancaman terbesar bagi bumi kita saat ini. Dengan ketakutan yang ada, maka orang bisa diarahkan untuk berjalan di ''rel'' tertentu.
Isu pemanasan global terutama mengangkat pelelehan es di Antartika karena meningkatnya panas bumi. Emisi karbon dioksida yang berlebih menyebabkan lubang di ozon sehingga bumi bertambah panas. Guna menurunkan kadar karbon dioksida --yang juga menjadi sumber polusi-- maka negara-negara sepakat menandatangani Protokol Kyoto, kecuali Amerika.
Lewat tokoh-tokoh fiksi: Peter Evans (pengacara), George Morton (miliuner), Richard John Kenner, Sanjong Thapa dan lain-lain; Chrichton merangkai fiksi dengan data-data dari berbagai jurnal, literatur, dan situs yang juga bisa diakses pembaca lewat internet. Melalui data-data tersebut ditemukan bahwa pelelehan es di kutub bukan terjadi sejak era industri, melainkan sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Bahkan menariknya, volume es di kutub sebenarnya justru bertambah dalam beberapa tahun terakhir.
Sedangkan perihal suhu bumi yang meningkat, lewat sejumlah data ditunjukkan bahwa tidak ada peningkatan seperti digembar-gemborkan. Penelitian menunjukkan bahwa pada kota-kota kecil dengan penduduk sedikit dan relatif tidak ada penambahan penduduk, tidak ditemukan peningkatan suhu seperti halnya pada kota-kota besar dengan penduduk padat serta mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kesimpulannya, peningkatan suhu lebih disebabkan kepadatan penduduk dan bukan sebuah pemanasan yang terjadi secara global. Dengan demikian, ''kondisi ketakutan'' (state of fear) atas pemanasan global adalah ekologi pikiran yang diciptakan lewat politik, legal, dan media.
Ekologi pikiran sebenarnya sudah sering dibahas tapi selalu saja menarik. Michael Foucault pernah melakukan penelitian mengenai bagaimana diskursus membentuk cara berpikir masyarakat mengenai kebenaran. Jacques Lacan juga pernah mengidentifikasi bahwa masyarakat tertata adalah masyarakat yang bisa diatur karena ancaman kastrasi (baca: konsekuensi hukuman). Demikian pula Jean Baudrillard yang mengemukakan simulakra (simulasi tanpa rujukan realitas).
Sederet pemikir postruktralis mulai Nietzche sampai Zizek, membahas ekologi pikiran dengan sudut pandang dan istilahnya masing-masing. Mereka ibarat Morpheus yang menawarkan pil merah atau pil biru pada Neo di film Matrix. Kau telan pil biru, cerita berakhir dan kau bangun di ranjangmu serta percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan melihat sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, mereka hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu. (*)
Audifax, Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment