Sunday, July 26, 2009

[Buku] Mencari Sistem dan Sosok Ideal

Judul : Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal
Penulis : Maswadi Rauf, dkk.
Penyunting: Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti
Penerbit : Pustaka Pelajar dan AIPI, Yogyakarta, Cet. I, 2009
Tebal : xiv, 342 Hlm + Indeks

SISTEM presidensial, dengan beberapa perkecualian, telah digunakan pada sebagian besar masa kemerdekaan Indonesia. Perkecualian tersebut adalah digunakannya sistem parlementer pada beberapa periode masa berlakunya UUD 1945 pada tahun-tahun 1945--1949; masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) (27 Desember 1949 da--17 Agustus 1950); dan masa UUD Sementara 1950 (1950--1959).

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945 yang memberikan kesempatan sekali lagi bagi penggunaan sistem presidensial. Setelah itu, sistem presidensial tetap digunakan seiring dengan penggunaan UUD 1945 sebagai hukum dasar di Indonesia. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali tahun 1999--2002 tidak mengubah sistem pemerintahan yang berlaku sehingga sistem presidensial tetap digunakan oleh UUD 1945 hasil amandemen tersebut.

Perdebatan tentang sistem presidensial dan sistem parlementer mendapat suasana baru dengan terbukanya kesempatan untuk membuat konstitusi baru yang akan digunakan oleh RIS (Republik Indonesia Serikat) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah RIS bubar. Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menganut sistem parlementer. RIS tidak berkesempatan mempraktekkan sistem parlementer secara leluasa karena dunia politik Indonesia pada waktu itu ditandai terutama oleh keinginan untuk membubarkan negara-negara bagian dan membentuk kembali negara kesatuan.

Sistem parlementer baru dapat digunakan sepenuhnya di bawah UUDS 1950. Ketidakstabilan politik dan konflik politik yang hebat selama pelaksanaan sistem parlementer berujung pada deadlock di konstituante yang memberikan peluang bagi Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian, UUD 1945 yang menganut sistem presidensial kembali diberlakukan di Indonesia yang digunakan tidak saja oleh Soekarno, tetapi juga oleh Soeharto selama masa Orde Baru.

Masa pasca-Orde Baru ditandai oleh reformasi dan demokratisasi. Salah satu yang mengalamai reformasi adalah UUD 1945. Selama Orde Baru, UUD 1945 dianggap sakral sehingga tidak boleh diubah dengan cara mempersulit proses perubahannya.

Pada masa pascareformasi, UUD 1945 dianggap memberi peluang bagi munculnya otoriterisme sehingga berkembang pemikiran bahwa salah satu cara mencegah munculnya otoriterianisme di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut berjalan lancar yang dilakukan oleh MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dalam empat tahap selama empat tahun (1999--2002).

Amandemen UUD 1945 tidak mengubah sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia. Artinya, sistem presidensial tetap dipertahankan, malah justru diperkuat, sehingga sistem presidensial yang digunakan di Indonesia semakin mendekati sistem presidensial murni. Banyak pihak yang beranggapan bahwa sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 sebelum amandemen adalah sistem presidensial campuran, karena presiden dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada MPR.

Hal ini mirip dengan perdana menteri dalam sistem parlementer yang ditentukan oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen. Di samping itu, presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen dapat diberhentikan setiap waktu oleh MPR atas usul DPR. Keadaan ini mirip dengan pemberhentian perdana menteri/kabinet oleh parlemen. Perdana menteri/kabinet dapat diberhentikan setiap waktu oleh parlemen, bila lebih dari setengah anggotanya setuju untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri/kabinet.

Kelihatannya bangsa Indonesia bersepakat untuk tetap menggunakan sistem presidensial dalam UUD 1945 hasil amandemen. Hal ini dibuktikan oleh tidak adanya kelompok masyarakat ataupun individu yang mengusulkan penggantian sistem presidensial dengan sistem lain, seperti sistem parlementer umpamanya. Konsensus tentang sistem presidensial merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji.

Dengan adanya keterbukaan dan kebebasan berbicara di dalam masyarakat pada masa pasca-Orde Baru sebenarnya setiap individu dan kelompok/organisasi masyarakat dapat mengusulkan apa saja yang dianggap baik untuk dimasukkan ke dalam UUD 1945.

Tidak adanya usulan untuk menggantikan sistem presidensial dengan sistem parlementer dapat ditafsirkan sebagai tidak adanya keinginan untuk kembali menggunakan sistem parlementer seperti di masa lalu. Bangsa Indonesia sudah berpengalaman dalam melaksanakan sistem parlementer, tapi rupanya sistem perlementer memang tidak disukai oleh bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, manakah yang lebih baik, sistem parlementer atau sistem presidensial? Sulit untuk memberikan jawaban yang pasti, karena kedua sistem tersebut telah dipraktekkan di berbagai negara dengan tingkat keberhasilan yang sama, meskipun sistem presidensial lebih banyak mengalami kegagalan.

Sistem parlementer yang digunakan oleh beberapa negara, seperti Inggris, menunjukkan keberhasilannya karena demokrasi berjalan dengan baik di negara tersebut dan pemerintahnya berhasil membawa rakyatnya ke arah kemakmuran. Demikian juga halnya dengan sistem presidensial, seperti Amerika Serikat sebagai bapak sistem presidensial telah menunjukkan keberhasilannya karena demokrasi juga berkembang baik di sana dan pemerintah telah berhasil mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya.

Buku ini merupakan analisis dari berbagai pakar ilmu politik. Buku ini menggambarkan sisi baik dan buruk sistem presidensial yang kita anut. Kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai, tampaknya justru mendorong sistem politik Indonesia ke arah yang relatif "kurang stabil". Apalagi, jika presiden terpilih berasal dari partai yang kecil.

Imron Nasri, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009

No comments: