IMPIAN Jamal (37) untuk melihat—suatu saat kelak—anaknya menjadi pilot kini kian menipis. Begitu pun mimpi Ijah (48), yang berharap anak bungsunya bisa jadi wartawan, juga ikut pupus.
Impian itu berawal dari tayangan iklan pendidikan gratis di berbagai stasiun televisi. Menggunakan ikon artis cantik pemeran film Laskar Pelangi, iklan yang gencar ditayangkan menjelang pemilu lalu tersebut memang sedikit terkesan ”provokatif”.
Dalam iklan yang memanfaatkan bahasa Melayu ”kacukan” itu digambarkan adanya pesimisme pada sebagian masyarakat terkait masa depan anak-anak mereka. Pangkal soalnya: biaya sekolah mahal!
Duduk di samping sopir angkutan perkotaan (angkot) jenis mikrolet, sang artis kemudian membesarkan hati pak sopir. Katanya, kini masyarakat tak perlu lagi khawatir. Sebab, dengan adanya pendidikan gratis, anak sopir angkot kini bisa jadi pilot. Dan, ketika angkot itu nyaris menyerempet penjual koran, sang artis segera berucap, ”Anak pengantar koran pun bisa jadi wartawan.”
Semua tersenyum, seolah telah diyakinkan bahwa mulai tahun ajaran 2009/2010 tak perlu lagi waswas soal biaya sekolah anak-anak mereka. Gratis!
Impian dan harapan memang telah ditebar. Sebagian masyarakat—terutama dari kalangan bawah, taruhlah orang-orang seperti Jamal dan Ijah—bahkan sempat dilambungkan harapannya bersama mimpi-mimpi mereka.
”Tapi begitu hari pertama masuk sekolah, ternyata sudah diminta uang untuk buku pelajaran senilai Rp 195.000,” kata Jamal, warga Sukamulya, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Bekas sopir angkot rute Ciputat-Bukit Indah ini mengira, mulai tahun 2009 biaya pendidikan bagi anaknya—yang kini duduk di kelas V SD negeri tak jauh dari rumah mereka—benar-benar gratis. Artinya, tidak perlu lagi bayar apa pun, termasuk buku sekolah.
Kalaupun harus keluar biaya, pikir Jamal, hanya untuk buku dan alat-alat tulis serta seragam sekolah. Perkiraan Jamal ternyata keliru besar. ”Rupanya yang dikatakan sekolah gratis itu cuma tidak bayar SPP,” ujarnya.
Ketika menyaksikan tayangan iklan ”sekolah gratis” di televisi, ia mengaku memang sempat berharap anaknya juga bisa seperti bunyi iklan tersebut: menjadi pilot! ”Sekarang harapan itu barangkali hanya tinggal harapan. Kalau untuk tamat SD (negeri) saja sudah berat begini, bagaimana di SMP, lalu SMA, dan setelah itu kuliah?” ujarnya.
Ijah pun memiliki anggapan dan harapan serupa. Seperti halnya Jamal, juga masyarakat awam pada umumnya, warga Kampung Bulak, Serua—juga di Tangerang Selatan—ini mengira apa yang dikatakan sekolah gratis berarti tidak lagi perlu keluar biaya untuk belajar di sekolah.
Oleh karena itu, ketika anak bungsunya, Yasir, disodori daftar buku pelajaran yang harus dibeli di sekolahnya senilai Rp 175.000, Ijah kaget. ”Katanya sekolah gratis, tapi untuk anak kelas IV SD negeri saja masih harus bayar, ya,” kata Ijah, buruh cuci pakaian di rumah warga perumahan tak jauh dari tempat kontrakannya.
Bagi masyarakat menengah-atas, uang Rp 175.000 memang tidak seberapa. Tapi, bagi Ijah yang masih harus membiayai pendidikan dua anaknya yang lain—masing-masing kelas I dan III SMK di daerah Pamulang, Ciputat—tentu sangat berat. Apalagi penghasilan sang suami yang bekerja serabutan tak tentu jumlahnya.
”Bagaimana, ya. Tadinya saya kira benar-benar gratis sehingga muncul setitik harapan, kelak Yasir bisa jadi pilot atau wartawan, seperti kata iklan di televisi itu,” ujarnya.
Masih semu
Buku pelajaran alias buku sekolah memang salah satu komponen penunjang kegiatan belajar-mengajar yang banyak disorot setiap awal tahun ajaran. Kebijakan buku murah, apalagi gratis, tak kunjung terpenuhi.
Alhasil, setiap awal tahun ajaran para orangtua murid tetap dipungut uang buku. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp 175.000 hingga Rp 450.000 per paket, terdiri atas 10-14 mata pelajaran. Ini untuk tingkat SD, uang buku untuk sekolah lanjutan (SMP dan SMA sederajat) bahkan ada yang dipungut hingga Rp 900.000.
Sejauh ini baru siswa (negeri) di wilayah DKI Jakarta yang sudah dibebaskan dari beban biaya buku pelajaran. Itu pun karena ditunjang dana bantuan operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI senilai Rp 60.000 per siswa per bulan.
Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai kebijakan sudah digulirkan oleh pemerintah. Saking ”progresif”-nya, belum tuntas satu kebijakan diimplementasikan sudah muncul kebijakan lain. Kebijakan terbaru adalah yang kini dikenal sebagai BOS buku dan buku sekolah elektronik.
Pada era 1990-an memang muncul gagasan besar untuk mewujudkan kebijakan penyediaan satu buku untuk satu anak pada tiap mata pelajaran. Sayangnya, kebijakan bagus ini tidak jalan. Selain diretas kebijakan kepemimpinan di Depdiknas yang baru, program yang dibiayai Bank Dunia ini pun kabarnya dikorupsi.
Setelah itu muncul kebijakan masa pakai buku ”lima tahun”, tetapi ini pun tidak jalan. Hanya sampai pada tingkat wacana.
Deregulasi perbukuan melalui Peraturan Mendiknas, yang antara lain melarang penerbit dan sekolah ”menjual” buku langsung kepada peserta didik—dengan ide besar untuk menghidupkan toko buku—juga tak seperti yang diharapkan.
Transaksi buku di sekolah-sekolah tidak pernah hilang. Nasib toko buku juga tak membaik. Itu pun untuk tidak menyebutnya kian memburuk. Sebab, menurut catatan Gabungan Toko Buku Indonesia, dalam 15 tahun terakhir lebih dari separuh toko buku—khususnya di ibu kota kabupaten/kota—gulung tikar.
Bersamaan digulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS), dalam perkembangannya juga menyertakan pengalokasian dana BOS untuk buku alias BOS buku. Akan tetapi, program ini sangat sedikit membantu meringankan beban peserta didik.
Pada tahun pertama kebijakan ini digulirkan bahkan tidak bermakna lantaran dana BOS buku keluar setelah pelaksanaan tahun ajaran berlangsung. Apalagi nilainya sangat kecil, hanya cukup untuk membiayai pembelian satu buku pelajaran.
Sejak tahun lalu, pemerintah kembali menawarkan kebijakan baru dalam penyediaan buku sekolah: buku elektronik! Menghabiskan anggaran hingga ratusan miliar rupiah, bahan baku buku-buku pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya dari penulis ditaruh di jaringan internet. Belakangan juga tersedia dalam bentuk cakram digital.
Masyarakat, sekolah, juga penerbit, bisa mengunduh secara gratis, lalu mencetaknya sendiri. Buku sekolah elektronik versi cetak tidak boleh dijual di atas harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan.
Hasilnya? Tahun lalu, program yang menghabiskan dana sangat besar ini tidak jalan. Jangankan para orangtua murid, pihak sekolah di Ibu Kota sekalipun banyak yang tidak tahu ihwal keberadaan dan kebijakan buku elektronik.
Tahun ini? Sama saja! Sekolah masih memungut biaya buku dalam jumlah yang tidak sedikit dari peserta didik. Meski kalangan penerbit buku sekolah mengaku kelimpungan, dalam praktik di lapangan ternyata pasokan buku mereka masih terus mengalir ke sekolah.
Sengkarut persoalan di balik pengadaan buku sekolah tampaknya masih akan terus berlanjut. Tanpa ada kebijakan buku sekolah gratis, mimpi dan harapan orang-orang seperti Jamal dan Ijah bukan saja akan terus terkubur, untuk sekadar bermimpi pun mereka sudah tak lagi punya keberanian....
(INE/ELN/KEN)
Sumber: Kompas, Jumat, 24 Juli 2009
No comments:
Post a Comment