RATIH tengah memperhatikan buku pelajaran di salah satu toko buku terkemuka di kawasan Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Sabtu (11/7). "Saya ingin membeli buku-buku pelajaran sebagai perbandingan buku sekolah. Ini untuk anak saya," kata Ratih.
Putri tunggalnya, Dewi, sekolah di salah satu sekolah swasta bertaraf internasional di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Dia mengaku, harus bersaing untuk mendapatkan bangku dengan orangtua murid lainnya. "Anak saya ingin bersekolah di SMU Lazuardi GIS (Global Islamic School) di Sawangan. Tapi, kalau berbicara uang masuk rasanya tidak enak. Yang jelas, belasan juta. Tapi, itu setara dengan fasilitas dan kualitasnya," katanya.
SMU Lazuardi GIS menyandang slogan, sekolah nasional berwawasan internasional. Selain punya fasilitas lengkap laboratorium (bahasa, komputer, MIPA), kelas ber-AC, perpustakaan, lapangan sepakbola dan basket, serta aula, sekolah ini juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas.
Mengapa bisa begitu mahal? Salah satu pengajar di sekolah itu yang minta namanya tidak ditulis mengatakan, selain fasilitas fisik yang memang lengkap dan mentereng, juga ada pengajar asing. Fenomena menjamurnya rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) mencerminkan sebuah pembedaan dengan sekolah-sekolah yang lain. Sebagaimana istilahnya, sekolah internasional berarti sekolah yang memiliki standar internasional.
Sebuah sekolah yang memiliki fasilitas unggul, para pengajar yang lebih profesional, di samping biaya masuk yang tinggi. Ini tentu saja menyiratkan sebuah kelebihan dari sekolah internasional sekaligus ajang superioritas dan eksklusivisme. "Pemerintah secara langsung sudah menciptakan kastanisasi sekolah," kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.
Kelebihan sekolah ini, dapat dilihat dari bagaimana menciptakan kualitas pendidikan yang baik dan melahirkan anak didik yang unggul. Dikatakan, siswa di RSBI atau SBI menjadi rentan dengan kesombongan intelektual yang ditanamkan di lingkungan sekolah, dan menganggap sekolah lain yang di bawah standar atau katakanlah kurang bermutu, bertaraf nasional, apalagi yang berstandar di bawahnya.
Pinggirkan Kaum Miskin
Sebagai sebuah sekolah yang bertaraf internasional, tentu saja menuntut biaya lebih dari para penuntut ilmu atau siswa. Karena itu, RSBI boleh menarik sumbangan dari siswa dengan adanya alasan tersebut. Bahkan, pihak sekolah sendiri pun, tak jarang menjadikan pertimbangan kemampuan ekonomi dalam rekrutmen siswa.
Dengan adanya RSBI, kata Ade, juga akan mematikan sekolah-sekolah standar di bawahnya. Karena, secara logis, masyarakat yang berkelas ekonomi atas akan lebih memilih sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya, meski dengan biaya tinggi, daripada harus menyekolahkan anak mereka di sekolah yang standarnya di bawah sekolah internasional. Sehingga, secara tidak langsung, sekolah internasional telah merebut pasar sekolah-sekolah yang ada.
"Jika ditelisik lebih dalam, ide pendirian RSBI tentu saja sangat tidak sesuai dengan nilai dasar dari pendidikan kita. Karena, hak setiap masyarakat dari berbagai kalangan untuk mendapatkan pendidikan yang sama menjadi tidak terpenuhi. Kenapa mesti ada pembedaan sekolah? Ini menjadi pertanyaan besar," katanya.
Ade melanjutkan, sekolah internasional memiliki prioritas untuk golongan kaya (the have), dan meminggirkan golongan miskin (the have not). Untuk bisa masuk dalam RSBI atau SBI, selain kemampuan akademis yang bagus, namun juga perlu membayar dengan biaya lebih. Tentu saja ini tidak dapat ditembus oleh masyarakat secara umum.
Jika sudah demikian, maka RSBI bertentangan dengan prinsip equity, yakni terbukanya akses dan kesempatan bagi siswa dari golongan manapun, untuk memperoleh pendidikan di semua jenjang, jenis, dan tingkatan. [SP/Willy Masaharu]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 14 Juli 2009
No comments:
Post a Comment