Judul Buku : Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?
Penulis : Boediono
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : xvi + 149 halaman
DISERTASI Rizal Mallarangeng Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change di Ohio State University (OSU), Columbus, Amerika Serikat, mengonfirmasi sejumlah hal.
Pertama, aktor non-negara (komunitas epistemis liberal/KEL), yakni jaringan intelektual di luar pemerintahan, ternyata punya andil dalam mewacanakan serta mendesakkan gagasan atau paham liberal dalam mengemudikan ekonomi Indonesia (1986-1992). Kedua, pemihakan intelektual ternyata tak selamanya konstan.
Rizal menemukan pergeseran pemihakan dari tokoh semacam Sumitro Djojohadikusumo, Sjahrir atau Goenawan Mohamad. Ketiganya bergerak dari kiri ke kanan. Semula sangat memfavoritkan sentralisme dengan peran negara yang menonjol, akhirnya berubah menjadi pro-pasar, swasta, dan investasi asing.
Begitu halnya Boediono, kandidat serius wapres periode mendatang berdasarkan hasil quick count lembaga survei. Sebelum paham liberal memengaruhi kebijakan ekonomi Soeharto (1986-1992), peraih doktor ekonomi bisnis di Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat tahun 1979 ini sebetulnya telah menancapkan visi ekonomi yang lebih orisinil. Bersama (alm) Mubyarto, Boediono ikut menggagas ekonomi Pancasila.
Pemikirannya ini ia tulis dalam satu bab buku Mubyarto ''Ekonomi Pancasila'' yang diterbitkan BPFE UGM, 1981. Jadi, secara geneologis dan kronologis, pandangan ekonomi Boediono sebetulnya berbasis sosialisme atau kiri.
Peran Boediono memang sepi dari publikasi, setidaknya jika dibandingkan dengan sang mentor Mubyarto. Ia tergolong sosok yang mengambil ''jalan sunyi'', karena jarang atau tak pernah terlibat debat serius di ruang publik. Selepas studi doktoral ia konsentrasi mengajar di UGM, jauh dari hiruk- pikuk debat publik yang ''celakanya'' terkonsentrasi di Jakarta.
Dalam buku ini Boediono menggambarkan siapa dirinya, terutama apa soko guru pandangan ekonominya, bagaimana menerjemahkan itu semua dalam kebijakan dan selanjutnya aksi-aksi konkret. Tak lupa dikemukakan kelindan antara ekonomi dan demokrasi.
Ihwal ekonomi Pancasila atau kerakyatan, Boediono jelas mendukung penuh. Ia getol mengisi fondasi sistem ekonomi tersebut. Baginya paling tidak lima hal harus diusung. Pertama, adanya peran dominant koperasi dalam kehidupan ekonomi. Kedua, diterapkannya rangsangan-rangsangan yang bersifat ekonomi maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian. Ini sekaligus kritik terhadap paham neoklasik (dan lalu dilanjutkan neoliberalisme) yang menjatuhkan manusia sekadar ''economic man''. Ekonomi Pancasila bermaksud menyeimbangkan antara lower motief dan higher motief manusia.
Ketiga, adanya kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan sosial. Keempat, diberikannya prioritas utama pada terciptanya suatu perekonomian nasional yang tangguh. Dan kelima, sistem desentralisasi diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi. Namun, Boediono jauh lebih praktis dan konkret; karena ia menunjukkan bagaimana operasi sistem ekonomi ini ketika berhadapan dengan inflasi, pengangguran, dan ketimpangan neraca pembayaran (hal. 46-65).Meski begitu, Boediono tidak terkungkung pada mazhab ekonomi. Ia lentur, kalau tidak bisa dibilang pragmatis. Globalisasi yang kerap dimaknai sebagai jalan masuk perdagangan bebas, bagi Boediono, adalah suatu kenyataan sejarah yang akan terus bersama bangsa ini. Baginya menutup diri atau melawan arus globalisasi bukanlah pilihan realistis. Sikap yang terbaik bagi suatu negara adalah pragmatis (hal.36).
Sebaliknya, ia ingin bangsa ini mendalami dan menguasai seluk-beluk operasional globalisasi dan kemudian menata/merumuskan langkah-langkah konkret dan operasional agar menikmati buah dari globalisasi tersebut. Sembari ''welcome'' pada globalisasi, Boediono menekankan betul agar pemerintah dan pelaku ekonomi fasih menjalankan ekonomi pasar nasional (dipresentasikan saat Kongres ISEI 2006). Dengan demikian, Indonesia perlu membangun dan meningkatkan standar kinerja perangkat-perangkat sistem ekonomi pasar dalam negeri untuk bisa bertarung di arena internasional. Perangkat institusional itu meliputi demokrasi yang kompatibel dengan sistem ekonomi pasar modern; law and order; mata uang yang stabil, lembaga keuangan yang andal dan pasar yang kompetitif; serta sistem perlindungan sosial (pengurangan kemiskinan, jarring pengaman sosial hingga social security system). Dari sini, pembaca bisa tahu bahwa pasar mendapat tempat utama di mata ekonom yang terakhir menjabat gubernur Bank Indonesia ini.
Menurut Boediono, demokrasi memerlukan fondasi ekonomi. Mengutip studi empiris 1950-1990 yang dilakukan di banyak negara, rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dolar AS (dihitung berdasarkan purchasing power parity/PPP) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada penghasilan per kapita 1.500-3.000 dolar AS, daya hidup demokrasi menjadi 18 tahun. Dan negara dengan penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup demokrasinya jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500. Indonesia dengan penghasilan per kapita 4.000 dolar AS pada 2006, baru dua per tiga jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Inilah mengapa negara kita harus memprioritaskan pembangunan ekonomi untuk mengurangi risiko kegagalan demokrasi (hal. 6-7).
Sayangnya, buku ini hanya mengumpulkan esai-esai ekonomi Boediono hingga 2007. Pembaca tak bisa menemukan jawaban langsung dari kandidat wapres ini atas label neolib yang dilekatkan lawan politik, sebagian ekonom dan media massa pada dirinya. Bisa dimaklumi karena buku ini ''kejar tayang'' terkait dengan kampanye Pilpres 2009. Padahal Boediono sangat serius menimpali tudingan padanya saat deklarasi di Sabuga Bandung. Di atas podium, ia berujar, negara tak boleh tidur dan harus jadi piranti yang efektif untuk mengatur pasar dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Dengan cara itu, Boediono seolah ingin menampilkan diri sebagai Keynesian seperti jadi gejala umum di Amerika Serikat, negara pengampanye mazhab neoliberal. Apa pun manusia adalah makhluk dinamis. Dalam waktu ia bisa berubah, seperti lonceng ia dapat bergerak ke kiri dan kanan. Studi Rizal menyebut Kwik Kian Gie termasuk jaringan KEL antara 1986-1992, kini mantan orang dekat Megawati itu barangkali telah bergerak ke tengah atau kiri. Mungkin juga Boediono yang kerap dijuluki ''The man to get the job done'' ini. Yang pasti, jika benar SBY-Boediono memenangkan Pilpres 2009, maka ia adalah ekonom kedua yang terpilih sebagai RI 2. (*)
Moh Samsul Arifin, Anggota Klub Buku & Film SCTV
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 12 Juli 2009
No comments:
Post a Comment