Saturday, November 23, 2013

Shobir Poer, Penyair Religi

-- Humam S Chudori

LAGI, sebuah buku kumpulan puisi ditulis oleh H. Shobir Poer setelah beberapa buku kumpulan puisinya diterbitkan. Buku yang diberi judul "Memuja-Mu di Tahta Langit". Berisi 67 buah puisi. Semuanya bernuansa keagamaan. Memuja-Mu di Tahta langit merupakan salah satu judul puisi yang terdapat dalam buku yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Tangerang Selatan itu

    Melalui kumpulan puisi ini, H. Shobir Poer mengajak pembaca merenungi kehidupan. Bahwa hidup bukan hanya sekedar makan, minum, bekerja, tidur, lalu menikah, punya anak. Menumpuk harta yang tak akan dibawa mati. Tidak. Hidup tidak sekedar menjalani aktivitas rutin yang tanpa makna. Manusia bukan sekedar hidup layaknya makhluk lainnya. Manusia berbeda dengan hewan. Karena manusia diberi akal, dilengkapi hati nurani, dianugerahi kecerdasan dan dibekali dengan pemahaman tentang baik dan buruk. Faalhamahaa fujuuroha wa taqwahaa maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaan.

    Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Namun, makhluk yang paling sempurna ini dapat menjadi yang sebaliknya. Menjadi makhluk yang serendah-rendahnya. Salah satu faktor yang dapat membuat manusia menjadi manusia yang dikembalikan-Nya ke tempat yang serendah-rendahnya (asfala safilin) jika yang bersangkutan melakukan perbuatan syirik. Masalah syirik ini digambarkan oleh H. Shobir Poer dalam puisinya sebagai berikut.

    Saat kau ingin hajatkan/ tapi tuhan disembunyikan/ di balik tulisan, cincin, batu, pusaka yang adiguna/kau minta segala hajat, dengan membunuh hatimu/ lalu mengubur hati ke lembah nista/ bernyani, mendoa suarasuara hitam/ bersama bayang yang datang dari neraka/ berkereta kencana ke ujung bumi/ menumpahkan harta, tahta/ di kursikursi penghormatan/ tak sungkan, berlari dendam/ di dalam gulita/ di seutas tali yang rapuh/ kematianmu menunggu (halaman 39)

    Di kalangan kaum sufi ada keyakinan, man arofa nafsahu faqod arobahu barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya. Kalimat ini pun dicoba dikemas oleh H. Shobir Poer dalam sebuah puisi yang sangat elok dalam puisi HAFALKAN ALIF LAM LAM HA.

    Anakku sayang/ sebelum kau pandai menari dan bernyanyi/ untuk negeri ini/ hafalkan dulu lisanmu/ atas nama Allah/ anakku sayang /sebelum kau jadi orang besar / hafalkan dulu hatimu/ atas fakir miskin di sekelilingmu/ hafalkan dulu langkahmu/ atas kealfaan waktu yang mendera/ di bumimu melangkah/ anakku sayang /sebelum kau berlari meninggalkan hidup/ hafalkan dulu, dari waktu yang terlewat/ atas cinta Allah, pada seribu bulan / di ujung syurgawi keabadian/ kau, harus jadi pemantik alif lam lam ha (halaman 13) Benar.

    Jika setiap orangtua berhasil menanamkan akidah yang kuat. Keyakinan yang benar tentang Tuhan. Niscaya anak tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan tercela (apalagi sampai merugikan banyak orang) seperti tindakan korupsi yang saat ini telah mewabah, misalnya. Sayang, orangtua lebih takut anaknya tak mengenyam pendidikan tinggi daripada tidak mengenal Allah. Kita lebih cemas jika anak tidak punya keahlian untuk bersaing mendapatkan pekerjaan daripada tak punya akidah yang kokoh. Tak heran apabila anak-anak pelajar maupun mahasiswa cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Tidak terkecuali masyarakat umum. Dengan tawuran, misalnya.

    Kenapa demikian? Karena tak ada lagi rasa cinta dalam hati nurani mereka. Padahal jika cinta sudah menhujam dalam kalbu, orang tak akan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kotor, kasar, merugikan orang lain, bahkan mencederai diri sendiri. Karena ujung cinta adalah Tuhan, demikian yang digambarkan dalam puisi "Di ujung cinta kudapatkan Tuhanku"

    Berlari ke ujung dahan/ Kudapatkan jatuh/ Berlari ke ujung jalan/ Kudapatkan buntu/ Berlari ke ujung kamar/ Kudapatkan bau/ Berlari ke ujung lapar/ Kudapatkan sekarat/Berlari ke ujung senapan/ Kudapatkan eksekusi/ Berlari ke ujung singgasana/ Kudapatkan perang/ Berlari ke ujung negeri/ Kudapatkan belenggu/Berlari ke ujung bulan/ Kudapatkan gelap/ Berlari ke ujung istriku/ Kudapatlkan anakku/ Berlari ke ujung anakku/ Kudapatkan cinta/ Namun, berlari ke ujung cinta/ Kudapatkan Tuhanku, Allah (halaman 11).

    Barangkali H. Shobir Poer meyakini sejatinya penyair bisa menolong orang lain untuk berkata-kata dengan indah. Sebab banyak orang yang punya maksud namun tak mampu mengekspresikannya. Tak bisa mengutarakannya. Ketika orang sedang jatuh cinta, misalnya, seringkali terjadi kebekuan komunikasi di antara dua insan tersebut. Lantaran takut kata-kata yang diucapkan tidak tepat hingga justru menimbulkan miss communication. Seorang penyair dalam hal ini harus dapat menolong kebekuan komunikasi tersebut dengan kalimat yang dapat menguraikan keindahan cinta. Puisinya bisa menjadi penyambung lidah bagi mereka. Ini jika yang terjadi masalah cinta.

    Demikian pula, ketika seseorang dilanda kegalauan. Resah. Gelisah. Mengalami perasaan tertekan. Bingung. Sedih. Dan perasaan lain yang membuat seseorang stress. Sejatinya setelah membaca puisi hatinya akan terhibur, merasa nyaman, teduh, sejuk, tentram, tidak lagi gundah gulana, tidak merasa sendiri mengalami hal-hal yang tak mengenakkan.

    Jika puisi yang terdapat di buku ini tidak sekedar dibaca. Melainkan direnungkan makna dan isi pesan yang terkandung di dalamnya, maka ia akan menjadi penyejuk hati pembaca. Pencerah batin penikmatnya.

    Seperti halnya penyair Mohammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Jalaludin Rumi, atau Salman Al Farisi. Karya-karya H. Shobir Poer dalam buku ini berusaha membangkitkan harapan, mengokohkan akidah, dan memberi rangsangan spiritual kepada pembacanya. Meski, sepintas lalu, karya H. Shobir Poer terkesan cair, renyah, dan mudah dicerna. Namun, justru inilah letak kekuatan puisi-puisinya.

    Yang jadi masalah sekarang, apakah buku semacam ini akan diapresiasi masyarakat kita yang kini sudah dijangkiti hedonisme, materialistik, dan wabah konsumerisme. Masyarakat yang sudah memuja jibti dan toghut. Padahal tak ada yang pantas dipuja-puji kecuali Allah. Dan ini tercermin dalam puisinya yang dijadikan judul buku tersebut. Itu saja!
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Nopember 2013

No comments: