Sunday, November 03, 2013

[Kolom] Surga

-- Arie MP Tamba

Harry Mulisch
BEBERAPA hari lalu (30/10) tepat tiga tahun sudah Harry Mulisch meninggal dunia. Satu dari tiga pilar sastra modern Belanda ini (bersama Gerard Reve dan Willem Frederik Hermans) sukar dilupakan. Pencapaian artistik dan kekayaan imajinasi Mulisch sungguh luar biasa. Karya-karyanya tetap layak baca, dan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Seperti pengarang seangkatannya (Mulisch kelahiran Harlem, 1927), Mulisch banyak menjadikan Perang Dunia II sebagai latar cerita. Boleh jadi masa ‘darurat‘ yang juga melibatkan Belanda ke kancah masalah itu memang mencekam si pengarang. Beberapa tema yang bermunculan di berbagai karyanya antara lain: hubungan Tuhan-manusia, masa remaja di medan perang, revolusi mahasiswa 1960-an, mitologi Yunani, filsafat Jahudi, dan mistisisme klasik Jahudi.

Salah satu novel terbaiknya, The Discovery of Heaven ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris, pada 1996, mendapatkan sambutan positif. JM Coetzee asal Afrika Selatan, yang meraih Nobel Sastra pada 2003, mengatakan, “Harry Mulisch adalah novelis terkemuka Belanda."

The Discovery of Heaven berkisah tentang Malaikat yang diminta Atasannya mengembalikan dua batu loh berisi 10 Firman Tuhan yang pernah diberikan kepada Musa. Kedua batu itu disimbolkan sebagai jembatan antara surga dan bumi. Malaikat ‘memasuki‘ tiga kehidupan manusia (dua pria dan satu wanita) yang kemudian melahirkan seorang anak. Anak itu nantinya yang membawa pulang dua batu loh ke surga.

Mulisch membagi novelnya empat bagian: Awal dari Permulaan, Akhir dari Permulaan, Permulaan dari Akhir, dan Akhir dari Akhir. Di antara keempat bagian, terdapat bab Rencana berupa diskusi antara Malaikat dengan Atasannya.

Awal dari Permulaan

Novel dimulai ketika Malaikat melaporkan kepada Atasannya, bahwa setelah tujuh puluh tahun akhirnya mereka mendapatkan ‘utusan‘ membawa pulang batu loh. Pertama-tama, Malaikat memasuki kehidupan ayah si utusan. PD I dan II jadi arena. Ayah si utusan, Max Delius, lahir pada 1933. Ibu si utusan, Ada Brons, lahir pada 1946. Dan lelaki ketiga, Onno Quist, lahir dari sebuah keluarga konservatif Belanda, juga pada 1933
.
Onno bertemu Max, pada 1967. Keduanya saling melengkapi. Onno introvert, arogan, dan cerdas dalam linguistik. Onno mencoba ‘menemukan‘ Tuhan dengan meneliti firman yang diyakininya. Sementara, Max ingin menemukan surga dan Tuhan melalui astronomi. Max ekstrovert dan dihantui sejarah kelam keluarganya. Diperkirakan, ibu Max terbunuh di Auschwitz, karena pengkhianatan suaminya. Setelah perang, sang ayah dipenjara dan dieksekusi regu tembak. Max dibesarkan orangtua angkat.

Onno dan Max hidup di Leiden dan Amsterdam. Keduanya aktif dalam revolusi mahasiswa 1960-an. Diskusi mereka meliputi sains, sejarah, politik, filsafat, agama. Keakraban keduanya membuat hubungan Onno dan pacarnya, Helga, putus.

Lalu Max bertemu Ada, seorang pemain celo. Mereka kini bertiga. Max dan Ada saling jatuh cinta. Max penggemar seks dan tak setia kepada Ada. Hubungan mereka putus. Max kemudian ke Auschwitz, Polandia, menelusuri sejarah keluarganya. Sepeninggal Max, Ada dan Onno saling jatuh cinta. Onno jadi pengurus Partai Buruh di Amsterdam.

Ketiganya sempat berkunjung ke Kuba mengikuti undangan untuk Ada bermain celo. Kuba dikuasai Castro. Max dan Onno dikira delegasi Belanda untuk konferensi kelompok revolusioner. Bagi keduanya, hal itu adalah komedi yang tak ada bandingannya. Di sebuah pulau, Onno digoda seorang wanita Kuba. Sementara Max tak dapat menahan hasratnya kepada Ada.

Akhir dari Awal

Ada hamil. Onno mengawininya karena mengira ‘anak‘ itu keturunannya. Sementara, Max yakin bahwa yang dikandung Ada keturunannya. Dalam sebuah perjalanan ke Leiden, di tengah badai, mobil mereka tabrakan. Max dan Onno selamat. Ada luka berat dan koma. Tapi sang bayi selamat.

Awal dari Akhir

Anak itu lahir melalui operasi. Sepasang matanya biru bercahaya. Onno menamainya Quinten. Ia tumbuh introvert, tapi cerdas. Terobsesi pada arsitektur kuno. Tumbuh bersama bayang-bayang mimpi akan dunia lain yang rongganya dipenuhi jembatan baja dan bangunan tinggi. Karena tertarik, berkali-kali ia menggambarnya. Bagi teman-temannya, Quinten jadi anak aneh. Sementara karier politik Onno hancur dan ia menghilang.

Akhir dari Akhir

Quinten, 16 tahun, mencari ayahnya. Ia ke Roma. Di Pantheon, ia tertarik pada seorang aneh berjenggot panjang dengan burung gagak di pundaknya. Ia mengenali orang itu ayahnya. Keduanya bertemu. Onno membawa Quinten menjelajahi Roma. Onno seperti menemukan sahabat lamanya, Max, pada Quinten.

Saat mengunjungi Lateran (salah satu kota suci di Roma), Quinten mengenali tempat itu sebagai lokasi penyimpanan dua batu loh. Quinten memasuki negeri halusinasi. Dunia impian yang gambarannya ia dapatkan dari kisah mistisisme Jahudi. Ia naik ke surga dengan dua batu loh berisi 10 Firman Tuhan.

Di surga, Malaikat dipuji Malaikat Tertinggi. Namun Malaikat agak menyesalkan hilangnya jembatan antara surga dan bumi. Tapi situasi tak lagi dalam kontrolnya.

Novel Mulisch ini biografis. Seorang tokohnya, Onno Quist, mengacu pada Hein Donner, pecatur terkenal Belanda, sahabat Mulisch, yang meninggal dunia beberapa tahun sebelum novel selesai. Novel menggambarkan persahabatan Mulisch dan temannya. Max Delius adalah Mulisch.

Hal seperti ini menimbulkan kritik, karena Mulisch dianggap menjadikan novel sebagai kendaraan ego dan luapan pengetahuannya. Novel juga memuat banyak kutipan yang dibiarkan tanpa terjemahan. Membuat pembacaan tidak mudah. Bab Rencana disebutkan, "Italienische Reise". Istilah yang diambil dari Goethe, sastrawan Jerman yang dipuja dan ingin dilampaui Mulisch.  n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 November 2013

No comments: