-- Aprillia Ramadhina
TAK ada untung dalam perang, tak ada kemenangan di pihak manapun yang bersekutu. Yang ada hanya korban bergelimpangan dan kerugian di sisi yang paling sentral yaitu kemanusiaan.
Ibu Brani layaknya dua sisi mata uang, seperti halnya yang dimiliki manusia lainnya. Ia ingin kedamaian datang, tapi juga berharap perang tak berhenti, karena ia juga mencari keuntungan. Sebuah hal yang sangat paradoks, tapi bisa jadi, itulah potret kebanyakan masyarakat kita sekarang. Mencari aman, berada di antara. Terkadang ibu Brani memasang bendera Matahari Hitam di keretanya, kadang ia ganti menjadi bendera Matahari Putih. Baginya hal itu tidak terlalu penting, ia benci perang, sekaligus menikmatinya.
Di tengah suasana perang, ada saja yang mencoba mengambil keuntungan. Itu yang dilakukan oleh Ibu Brani, ia menjual barang-barang bekas dari perang yang terjadi antara Resimen Matahari Hitam dan Resimen Matahari Putih. Tidak peduli kawan atau lawan, uang dari musuh pun yang penting bisa dipakai untuk makan. Dengan ketiga anaknya dan kereta kesayangannya, Ibu Brani berkeliling menjajakan barang dagangannya seperti bir dan baju. Tapi dua anak laki-lakinya yang menarik kereta, Fejos dan Elip kemudian direkrut menjadi tentara, tinggalah Ibu Brani dengan anak bungsunya yang bisu bernama Katrin
Tidak bisa dihakimi soal karakter mendasar dari sosok ibu di tokoh ini, Ibu Brani, apakah ia baik, atau buruk. Tampaknya dalam pementasan ini tidak bicara soal itu. Meski ada matahari “hitam” dan matahari “putih”. Tidak ada kebaikan atau keburukan yang diwakili dari dua elemen warna tersebut. Dalam perang, hanya ada pihak yang merasa pihak lain lebih buruk, hanya ada kata musuh di kubu yang berbeda, atau di kubu sendiri jika menjadi pengkhianat.
Dalam diri Ibu Brani, sekilas kita melihat perjuangan seorang ibu, kesedihan karena harus kehilangan ketiga anaknya. Tapi, itu takdir yang sudah ia ketahui sejak awal, melalui ramalannya sendiri. Karena itu, ketika Elip dan Fejos direkrut menjadi tentara, ia tak bisa banyak berkutik. Ketika ia terlalu lambat dalam tawar menawar sampai Fejos harus ditembak, ia pun terima. Pun ketika Katrin, si bungsu yang bisu harus ditembak juga saat ia tinggalkan ke kota untuk mencari barang yang bisa dijual.
Di satu sisi Anda akan disajikan kepedulian seorang ibu menjaga anak-anaknya. Ia tidak membolehkan Katrin terlihat cantik, dan memakai sepatu dan topi milik Ipit karena takut nantinya jadi pelacur tentara. Di sisi lain, Anda akan melihat Ibu Brani yang hanya ingin mengambil keuntungan dari perang yang ada, tanpa mau terlibat di dalamnya. Hingga disindir oleh seorang tentara resimen Matahari Hitam, “Tidak ikut menanam tapi ingin ikut panenan. Takut perang tapi berharap perang terus berlangsung.”
Tak ada yang bisa dipercaya dalam peperangan, kawan terkadang hanya menjadi musuh yang tertunda termasuk pendeta, dan juru masak. Keduanya pada akhirnya pergi begitu saja dari hidup Ibu. Di akhirnya Ibu pun tetap sendiri. Peperangan selalu menyisakan ketidakpastian, ketidakpastian kapan kedamaian datang.
Sari Madjid, memerankan ambiguitas sosok Ibu Brani itu dengan sangat maksimal. Ia memang bukan nama baru di Teater Koma, ia telah memerankan tokoh Engtay sebanyak 80 kali di lakon Sampek Engtay sejak 1998 sampai 2004.
Rangga Riantiarno yang berperan sebagai Elip, Muhammad Bagya (Fejos), dan Ina Kaka (Katrin) memiliki kualitas akting yang juga mengimbangi ibu mereka, Ibu Brani. Sosok pelacur Ipit Poter yang diperankan oleh Daisy Lantang juga sukses mencuri perhatian. Budi Ros pun apik berperan menjadi pendeta yang unik, pendeta yang doyan minum anggur. Selain didukung pemain-pemain yang mumpuni, setting dan properti juga sangat tepat dalam melengkapi pementasan. Terlebih kostum dari rancangan Samuel Wattimena yang menggunakan kain-kain tradisional.
“Kita tahu cerita ini dari negara asing, tapi saya kemudian diberikan ruang untuk berekspresi menggunakan kain tradisional, ini merupakan rekreasi yang menyenangkan. Secara konsep besar kita tidak lari dari tahun tersebut, tapi secara eksekusi dan penerapan, saya menggunakan ulos, lurik, batik, endek bali, rajut, tenunan gedogan, rangkuman tersebut membuktikan bahwa kain-kain tradisional Indonesia bisa dibawa ke ranah apa saja,” ujar Samuel Wattimena beberapa waktu lalu dalam jumpa pers lakon “Ibu”
“Kain tradisional, bukan kekayaan masa lalu saja, tapi bisa dibawa untuk cerita teater, mengenai masa lalu, tapi kekinian terasa. Kalau kita lihat lebih mendalam, merasakan lebih, kostum-kostum pementasan ini ada kedekatan dengan kita. Dan menurut saya kedekatan itu tercipta karena kita memang dari lahir terbiasa berada di lingkungan kain-kain tradisional tersebut,” lanjut Samuel.
Penata musik Fero A. Stefanus juga ciamik mengolah lagu-lagu menjadi iringan yang sangat sesuai dengan isi cerita dari pementasan berdurasi 3 jam 20 menit itu. Dan yang tak kalah menarik juga urusan senjata dan efek dari Ledy Yoga, Moelyono, dan Gagah Tridharma yang mencipta efek ledakan yang mampu membuat penonton kaget. Pementasan ini melibatkan 45 pemain, 11 pemain, dan 50 kru tim.
Potret Indonesia dalam Analogi “Perang”
Pementasan Teater Koma ke-131 ini menurut sang sutradara Nano Riantiarno, akan berhubungan dengan karya selanjutnya yang berjudul “Demonstran” yang rencananya akan tampil di bulan Maret 2014. Di waktu itu, tentu akan ada peristiwa “perang” cukup besar di Indonesia, yakni Pemilu. Itulah mengapa Nano mempertanyakan siapa sosok “Ibu” di negara Indonesia sekarang ini.
Menurut Ratna Riantiarno, teater selalu memiliki pesan melalui kesatuan unsur seni yang ditampilkannya, tari, musik, visual, nyanyian, dan tentu akting dari para pemainnya. Pesan ini senantiasa membuat bercermin, untuk melihat ke dalam diri dengan lebih jujur. Cerminan yang ingin disampaikan itu berasal dari pengamatan Nano akan kondisi Indonesia sekarang ini.
“Naskah ini sudah diterjemahkan sejak Mei 1987, setelah saya menggelar The Threepenny Opera tahun 1983, saya ingin mementaskan lakon “Ibu” ini, tapi ada banyak kendala. Dan tahun ini adalah tahun yang saya rasa tepat.” ujar Nano.
Naskah Mother Courage and her Children ini merupakan naskah ketiga dari Bertolt Brecht yang diadaptasi. Pementasan berlangsung dari tanggal 1-17 November 2013, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Sebelumnya Teater Koma telah lebih dulu mementaskan adaptasi dari dua karya Brecht yang berjudul The Threepenny Opera dan The Good Person of Shechzwan)
Meski perang di sini berlatar Jerman pada abad ke-17, nilai-nilai yang terkandung masih relevan untuk dikaji. Dan layaknya naskah adaptasi, ada yang juga dikondisikan agar penonton tidak terlalu berjarak dengan cerita dan bisa menjadi refleksi tersendiri dalam situasi yang tengah melanda negeri ini. Perang selalu identik dengan kekuasaan yang diperebutkan, demi hal tersebut, segala cara seolah boleh dilakukan bahkan termasuk menggadaikan sisi kemanusiaan. Terutama “perang” kepentingan yang senantiasa berlangsung di Indonesia, perang yang mengabaikan akal sehat dan nurani. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
TAK ada untung dalam perang, tak ada kemenangan di pihak manapun yang bersekutu. Yang ada hanya korban bergelimpangan dan kerugian di sisi yang paling sentral yaitu kemanusiaan.
Ibu Brani layaknya dua sisi mata uang, seperti halnya yang dimiliki manusia lainnya. Ia ingin kedamaian datang, tapi juga berharap perang tak berhenti, karena ia juga mencari keuntungan. Sebuah hal yang sangat paradoks, tapi bisa jadi, itulah potret kebanyakan masyarakat kita sekarang. Mencari aman, berada di antara. Terkadang ibu Brani memasang bendera Matahari Hitam di keretanya, kadang ia ganti menjadi bendera Matahari Putih. Baginya hal itu tidak terlalu penting, ia benci perang, sekaligus menikmatinya.
Di tengah suasana perang, ada saja yang mencoba mengambil keuntungan. Itu yang dilakukan oleh Ibu Brani, ia menjual barang-barang bekas dari perang yang terjadi antara Resimen Matahari Hitam dan Resimen Matahari Putih. Tidak peduli kawan atau lawan, uang dari musuh pun yang penting bisa dipakai untuk makan. Dengan ketiga anaknya dan kereta kesayangannya, Ibu Brani berkeliling menjajakan barang dagangannya seperti bir dan baju. Tapi dua anak laki-lakinya yang menarik kereta, Fejos dan Elip kemudian direkrut menjadi tentara, tinggalah Ibu Brani dengan anak bungsunya yang bisu bernama Katrin
Tidak bisa dihakimi soal karakter mendasar dari sosok ibu di tokoh ini, Ibu Brani, apakah ia baik, atau buruk. Tampaknya dalam pementasan ini tidak bicara soal itu. Meski ada matahari “hitam” dan matahari “putih”. Tidak ada kebaikan atau keburukan yang diwakili dari dua elemen warna tersebut. Dalam perang, hanya ada pihak yang merasa pihak lain lebih buruk, hanya ada kata musuh di kubu yang berbeda, atau di kubu sendiri jika menjadi pengkhianat.
Dalam diri Ibu Brani, sekilas kita melihat perjuangan seorang ibu, kesedihan karena harus kehilangan ketiga anaknya. Tapi, itu takdir yang sudah ia ketahui sejak awal, melalui ramalannya sendiri. Karena itu, ketika Elip dan Fejos direkrut menjadi tentara, ia tak bisa banyak berkutik. Ketika ia terlalu lambat dalam tawar menawar sampai Fejos harus ditembak, ia pun terima. Pun ketika Katrin, si bungsu yang bisu harus ditembak juga saat ia tinggalkan ke kota untuk mencari barang yang bisa dijual.
Di satu sisi Anda akan disajikan kepedulian seorang ibu menjaga anak-anaknya. Ia tidak membolehkan Katrin terlihat cantik, dan memakai sepatu dan topi milik Ipit karena takut nantinya jadi pelacur tentara. Di sisi lain, Anda akan melihat Ibu Brani yang hanya ingin mengambil keuntungan dari perang yang ada, tanpa mau terlibat di dalamnya. Hingga disindir oleh seorang tentara resimen Matahari Hitam, “Tidak ikut menanam tapi ingin ikut panenan. Takut perang tapi berharap perang terus berlangsung.”
Tak ada yang bisa dipercaya dalam peperangan, kawan terkadang hanya menjadi musuh yang tertunda termasuk pendeta, dan juru masak. Keduanya pada akhirnya pergi begitu saja dari hidup Ibu. Di akhirnya Ibu pun tetap sendiri. Peperangan selalu menyisakan ketidakpastian, ketidakpastian kapan kedamaian datang.
Sari Madjid, memerankan ambiguitas sosok Ibu Brani itu dengan sangat maksimal. Ia memang bukan nama baru di Teater Koma, ia telah memerankan tokoh Engtay sebanyak 80 kali di lakon Sampek Engtay sejak 1998 sampai 2004.
Rangga Riantiarno yang berperan sebagai Elip, Muhammad Bagya (Fejos), dan Ina Kaka (Katrin) memiliki kualitas akting yang juga mengimbangi ibu mereka, Ibu Brani. Sosok pelacur Ipit Poter yang diperankan oleh Daisy Lantang juga sukses mencuri perhatian. Budi Ros pun apik berperan menjadi pendeta yang unik, pendeta yang doyan minum anggur. Selain didukung pemain-pemain yang mumpuni, setting dan properti juga sangat tepat dalam melengkapi pementasan. Terlebih kostum dari rancangan Samuel Wattimena yang menggunakan kain-kain tradisional.
“Kita tahu cerita ini dari negara asing, tapi saya kemudian diberikan ruang untuk berekspresi menggunakan kain tradisional, ini merupakan rekreasi yang menyenangkan. Secara konsep besar kita tidak lari dari tahun tersebut, tapi secara eksekusi dan penerapan, saya menggunakan ulos, lurik, batik, endek bali, rajut, tenunan gedogan, rangkuman tersebut membuktikan bahwa kain-kain tradisional Indonesia bisa dibawa ke ranah apa saja,” ujar Samuel Wattimena beberapa waktu lalu dalam jumpa pers lakon “Ibu”
“Kain tradisional, bukan kekayaan masa lalu saja, tapi bisa dibawa untuk cerita teater, mengenai masa lalu, tapi kekinian terasa. Kalau kita lihat lebih mendalam, merasakan lebih, kostum-kostum pementasan ini ada kedekatan dengan kita. Dan menurut saya kedekatan itu tercipta karena kita memang dari lahir terbiasa berada di lingkungan kain-kain tradisional tersebut,” lanjut Samuel.
Penata musik Fero A. Stefanus juga ciamik mengolah lagu-lagu menjadi iringan yang sangat sesuai dengan isi cerita dari pementasan berdurasi 3 jam 20 menit itu. Dan yang tak kalah menarik juga urusan senjata dan efek dari Ledy Yoga, Moelyono, dan Gagah Tridharma yang mencipta efek ledakan yang mampu membuat penonton kaget. Pementasan ini melibatkan 45 pemain, 11 pemain, dan 50 kru tim.
Potret Indonesia dalam Analogi “Perang”
Pementasan Teater Koma ke-131 ini menurut sang sutradara Nano Riantiarno, akan berhubungan dengan karya selanjutnya yang berjudul “Demonstran” yang rencananya akan tampil di bulan Maret 2014. Di waktu itu, tentu akan ada peristiwa “perang” cukup besar di Indonesia, yakni Pemilu. Itulah mengapa Nano mempertanyakan siapa sosok “Ibu” di negara Indonesia sekarang ini.
Menurut Ratna Riantiarno, teater selalu memiliki pesan melalui kesatuan unsur seni yang ditampilkannya, tari, musik, visual, nyanyian, dan tentu akting dari para pemainnya. Pesan ini senantiasa membuat bercermin, untuk melihat ke dalam diri dengan lebih jujur. Cerminan yang ingin disampaikan itu berasal dari pengamatan Nano akan kondisi Indonesia sekarang ini.
“Naskah ini sudah diterjemahkan sejak Mei 1987, setelah saya menggelar The Threepenny Opera tahun 1983, saya ingin mementaskan lakon “Ibu” ini, tapi ada banyak kendala. Dan tahun ini adalah tahun yang saya rasa tepat.” ujar Nano.
Naskah Mother Courage and her Children ini merupakan naskah ketiga dari Bertolt Brecht yang diadaptasi. Pementasan berlangsung dari tanggal 1-17 November 2013, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Sebelumnya Teater Koma telah lebih dulu mementaskan adaptasi dari dua karya Brecht yang berjudul The Threepenny Opera dan The Good Person of Shechzwan)
Meski perang di sini berlatar Jerman pada abad ke-17, nilai-nilai yang terkandung masih relevan untuk dikaji. Dan layaknya naskah adaptasi, ada yang juga dikondisikan agar penonton tidak terlalu berjarak dengan cerita dan bisa menjadi refleksi tersendiri dalam situasi yang tengah melanda negeri ini. Perang selalu identik dengan kekuasaan yang diperebutkan, demi hal tersebut, segala cara seolah boleh dilakukan bahkan termasuk menggadaikan sisi kemanusiaan. Terutama “perang” kepentingan yang senantiasa berlangsung di Indonesia, perang yang mengabaikan akal sehat dan nurani. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment