Sunday, November 03, 2013

[Tifa] Membuka Jalan Flamenco

-- Iwan Kurniawan

Koreografer Ursula Lopez menghadirkan enam piece yang berakar dari tarian tradisi Spanyol. Lekat dengan keseksian, ketangkasan, dan kelenturan tubuh.

SOROTAN cahaya lampu berkeluk yang jatuh tepat di atas panggung mulai sedikit meredup. Ursula Lopez melangkah perlahan dengan hentakan sepatu. Bunyinya jelas terdengar serupa derap kuda.

Lekukan pinggul yang lentur, tatapan mata binal, dan sedikit senyum simpul menambah aksi saat ia berlenggok menghadirkan karya berjudul Abriendo Caminos (Membuka Jalan) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta Pusat, awal pekan ini.

Hampir semua gerakan ia kreasikan berdasarkan tarian dan musik rakyat yang berkembang di Andalusia, Spanyol, seperti Maleguena, Solea, dan Alegrias. Semua berpadu lewat payung tarian yang tersohor, Tari Flamenco.

Instrumen dan irama yang dimainkan secara live oleh Vicente Gelo (vokalis), Tino Van der Sman (gitaris), dan Raul Dominguez (pemain perkusi) semakin membuat pentas tari itu mendapatkan sambutan meriah 200-an penonton di gedung tersebut.

Perempuan yang hadir sebagai penari sekaligus koreografer itu menyuguhkan enam piece (bagian). Bagian pertama berjudul Negro Alcaidesa. Ada tautan antara irama dan ketukan sepatu sebagai ciri khas tarian itu. Unsur musik yang didominasi gitar menjadi paduan yang membuat tarian itu terasa begitu rancak.

Malam itu, Lopez tak sendiri menari. Ia ditemani penari laki-laki Christian Lozano yang sedikit kemayu, tapi menghadirkan gerakan-gerakan yang cekatan. Penuh dengan gairah untuk menghipnosis penonton.

Setelah membawakan bagian Negro Alcaidesa, mereka langsung menyajikan secara berturut-turut lima bagian lainnya, yaitu Seguirilla, Ferruca Del Terrible, Fadangos ‘Pa’ El Cesto, Silencio, dan La Capitana.

Jika diperhatikan secara jeli, hampir semua gerakan berdasarkan pada pola dan gaya Tari Flamenco yang polos. Namun, Lopez dan Lozano memberikan sentuhan berbeda sehingga menunjukkan ada versi terbaru yang dikreasikan sehingga menjadi karya kontemporer.

Memang, hal itu tidaklah mudah. Lopez membuat karya Abriendo Caminos itu setelah ia memutuskan untuk berkarier secara profesional lewat Ursula Lopez Dance Company. Dia sendiri yang merintis kelompok tersebut setelah sukses tampil di Ballet Nacional de Espana (Balet Nasional Spanyol) pada 2007 silam.

Pada bagian Silencio, misalnya, Lozano masuk dari sisi kiri panggung. Lelaki itu berdiri sejenak sambil menarik napas. Lalu, ia mulai menghentak dan membunyikan sepatunya secara repetitif.

Ia pun mulai memadukan beberapa pola. Menggerakkan tangan sambil memukul dada dan pinggul seraya mengangkat kedua tangan ke atas. Tak lama, ia pun menggerakkan kaki secara perlahan hingga yang paling cepat. Saat atraksi spektakuler itu, penonton yang mayoritas ekspatriat langsung memberikan tepuk tangan.

Seksi

Bagian La Capitana menjadi bagian terakhir pertunjukan malam itu. Lopez dengan baju bergaun merah menyala menghadirkan pola yang menghentak bagai seorang matador.

Ia beraksi secara gesit, tapi seksi. Terkadang menendang, menyengir, memainkan jemari secara gemulai, hingga mengangkat rok sambil melompat. Lagi-lagi, teknik ketukan kaki menjadi ciri khas sehingga membuatnya semakin mendapatkan simpati.

Setelah bagian terakhir tari kontemporer itu, Lopez pun mengajak para musikus (pengiring) untuk menghadirkan tarian penutup yang ia sebut Finde Fiesta. Bagian yang sengaja dihadirkan secara spontan itu untuk memberikan pertunjukan ekstra kepada penonton.

Dominggues terlihat langsung menarikan sepenggal Tari Flamenco sambil berteriak layaknya seekor banteng yang sedang mengamuk di arena atraksi. “Woleo, woleo, woleo...!”

“Tarian ini sebagai langkah awal ‘membuka jalan’ baru. Saya menggabungkan tarian dan musik agar serasi menjadi karya kontemporer. Ada pengaruh Hindu (India) dan Arab dalam musik di Spanyol,” ujar Lopez seusai penampilan selama 90 menit itu.

Perempuan yang sudah menari sejak usia 8 tahun itu pun mengaku ingin membawa budaya Andalusia sehingga bisa dikenal secara lebih luas lagi. “Tidak ada kisah atau cerita dalam tarian ini. Semuanya hanya penggabungan Maleguena, Solea, dan Alegrias yang berkembang di Andalusia. Sisanya saya tambahkan pengalaman hidup lewat gerakan,” jelasnya.

Lopez baru pertama kali tampil di Jakarta. Ia mengaku ada hubungan dan elemen yang sama yang terdapat dalam kebudayaan dunia. Itu yang membuat setiap tarian harus dikreasikan dan dikembangkan sesuai dengan zamannya.

“Hentakan kaki dan bunyi-bunyian yang ritmis menjadi ciri khas. Ursula menggabungkan tarian-tarian yang berkembang di Andalusia dengan pengalaman baletnya,” nilai Isna, 31, salah satu penonton yang hadir bersama dua rekannya.

Kehadiran Lopez dan kelompoknya semakin memperpanjang daftar koreografer Spanyol yang tampil di GKJ. Pada 1988, misalnya, kelompok Cumbres Flamencas lebih dahulu sukses memukau penonton lewat suguhan Tari Flamenco. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013

No comments: