PERKEMBANGAN komik lokal sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bermunculnya komikus baru lewat berbagai lomba hingga kompetisi menjadi babak baru dalam perjalanan komik di Indonesia.
Namun, kondisi itu belum sejalan dengan infrastruktur yang ada. Terutama terbatasnya penerbit dan distribusi yang menjalankan bisnis komik. “Bila ada, ya hanya penerbit yang besar saja. Bila dilihat komik asing lebih banyak dipajang di rak toko ketimbang komik lokal,†ujar pemerhati komik daring Thomdean di Jakarta, kemarin.
Pria yang berprofesi sebagai kartunis itu pun melihat ada beberapa faktor utama yang dihadapi dunia komik Indonesia. Kompetisi yang minim dan membanjirnya komik asing. Persaingan antara komik lokal dan komik impor asal Jepang dan negara-negara di Eropa pun menjadi faktor utama bisnis komik Indonesia seakan pincang sebelah.
"Penerbit besar lebih sering membeli right (hak cipta) komik asing karena lebih murah ketimbang lokal," paparnya.
Di samping itu, banyak komikus yang tidak konsisten berkarya sehingga komik masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan atau hobi semata. "Kebanyakan masih gerilya. Kompetisi pun hanya terbatas. Saya melihat Kompetisi Komik Indonesia yang digelar sekarang ini hanya sebagai proyek kementrian tertentu semata," jelas Thomdean.
Daring
Tak mengherankan akibat infrastruktur yang minim, komikus pun berbondong-bondong menerbitkan buku sendiri secara indie dan didistribusikan melalui jaringan dunia maya (online).
Lewat dunia maya itulah ada keunggulan. Komik bisa dipasarkan tanpa batas dan diterbitkan kembali lewat e-book. "Komik lokal bukan lagi bersaing dengan komik lokal. Saingannya adalah komik asing yang semakin membanjiri di toko-toko buku," tandasnya.
Untuk itulah, Thomdean memberikan solusi agar pendistribusian komik dapat dilakukan lewat loper koran dan toko-toko waralaba (convention store) yang sudah menjamur hingga ke pelosok kabupaten/kecamatan agar lebih dikenal masyarakat. "Buku komik lokal akan semakin mendapatkan tantangan di Indonesia Book Fair 2014 mendatang," gumamnya.
Sementara itu, pendiri Akademi Samali Beng Rahadian pun mengaku tantangan ke depannya adalah keberadaan industri. Padahal potensi-potensi komikus lokal sudah mampu bersaing di kancah internasional. "Kami melakukan pencarian lewat kompetisi. Ini cukup baik karena bisa menjaring komikus di daerah. Tentu saja, unsur "wow" dalam komik, baik karikatur maupun isi harus menjadi patokan sehingga komik bisa berbicara lebih banyak di industri," papar Juri Kompetisi Komik Indonesia 2013 itu. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
Namun, kondisi itu belum sejalan dengan infrastruktur yang ada. Terutama terbatasnya penerbit dan distribusi yang menjalankan bisnis komik. “Bila ada, ya hanya penerbit yang besar saja. Bila dilihat komik asing lebih banyak dipajang di rak toko ketimbang komik lokal,†ujar pemerhati komik daring Thomdean di Jakarta, kemarin.
Pria yang berprofesi sebagai kartunis itu pun melihat ada beberapa faktor utama yang dihadapi dunia komik Indonesia. Kompetisi yang minim dan membanjirnya komik asing. Persaingan antara komik lokal dan komik impor asal Jepang dan negara-negara di Eropa pun menjadi faktor utama bisnis komik Indonesia seakan pincang sebelah.
"Penerbit besar lebih sering membeli right (hak cipta) komik asing karena lebih murah ketimbang lokal," paparnya.
Di samping itu, banyak komikus yang tidak konsisten berkarya sehingga komik masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan atau hobi semata. "Kebanyakan masih gerilya. Kompetisi pun hanya terbatas. Saya melihat Kompetisi Komik Indonesia yang digelar sekarang ini hanya sebagai proyek kementrian tertentu semata," jelas Thomdean.
Daring
Tak mengherankan akibat infrastruktur yang minim, komikus pun berbondong-bondong menerbitkan buku sendiri secara indie dan didistribusikan melalui jaringan dunia maya (online).
Lewat dunia maya itulah ada keunggulan. Komik bisa dipasarkan tanpa batas dan diterbitkan kembali lewat e-book. "Komik lokal bukan lagi bersaing dengan komik lokal. Saingannya adalah komik asing yang semakin membanjiri di toko-toko buku," tandasnya.
Untuk itulah, Thomdean memberikan solusi agar pendistribusian komik dapat dilakukan lewat loper koran dan toko-toko waralaba (convention store) yang sudah menjamur hingga ke pelosok kabupaten/kecamatan agar lebih dikenal masyarakat. "Buku komik lokal akan semakin mendapatkan tantangan di Indonesia Book Fair 2014 mendatang," gumamnya.
Sementara itu, pendiri Akademi Samali Beng Rahadian pun mengaku tantangan ke depannya adalah keberadaan industri. Padahal potensi-potensi komikus lokal sudah mampu bersaing di kancah internasional. "Kami melakukan pencarian lewat kompetisi. Ini cukup baik karena bisa menjaring komikus di daerah. Tentu saja, unsur "wow" dalam komik, baik karikatur maupun isi harus menjadi patokan sehingga komik bisa berbicara lebih banyak di industri," papar Juri Kompetisi Komik Indonesia 2013 itu. (Iwa/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 3 November 2013
No comments:
Post a Comment