-- Husin
Sandiwara, Drama, dan Teater
KATA teater barangkali sudah tidak menjadi asing lagi di telinga masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan oleh hadirnya akademisi, pelaku, serta komunitas teater itu sendiri. Teater terus diperkenalkan melalui pementasan-pementasan yang mengisi gedung-gedung pertunjukan, serta ruang public (pasar, pelataran, galeri, taman, mall, jalan raya, pinggiran sungai, dan lain sebagainya) juga digunakan untuk pementasan. Kehadiran teater juga diperkuat dengan diberlakukannya ekstra kurikuler dalam kurikulum pelajaran siswa di sekolah-sekolah, teater dikhususkan untuk pengembangan diri anak (siswa).
Sebelum kata teater, masyarakat kita lebih mengenal istilah drama atau sandiwara. Pengguanan kata ini terus bergeser sampai teater sudah diperuntukkan untuk pementasan drama atau sandiwara. Teater berasal dari kata teatron (Bahasa Yunani) artinya tempat melihat (Romawi, auditorium; tempat mendengar). Atau, area yang tinggi tempat meletakkan sesajian untuk para dewa. Amphiteater di Yunani adalah sebuah tempat pertyunjukan. Bisa memuat sekitar 100.000 penonton. Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan (seni pertunjukan tradisional-rakyat-kontemporer), baik dipanggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup ‘’Tiga Kekuatan’’ (pekerja-tempat-penikmat), atau ada ‘’Tiga Unsur’’ (bersama-saat-tempat) maka peristiwa itu adalah teater (Nano, 2011).
Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama (Yudiaryani, 2004). Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008). Sandiwara, asli Indonesia, berasal dari kata sandi dan wara. Sandi adalah rahasia atau misteri, dan wara, artinya berita. Sandiwara berarti rahasia atau misteri yang dibertakan kepada penonton. Kata sandiwara dicetuskan oleh Sri Mangkunegara VII untuk menggantikan istilah dalam Bahasa Belanda, toneelstuk (Nano, 2011).
Tradisi, Modern, dan Kontemporer
Teater di Indonesia, dapat juga dilihat dari jenis teater menurut perkembangannya. yaitu teater tradisi, teater modern, dan teater kontemporer. Kasim Achmad dalam bukunya, Mengenal Teater Tradisional Indonesia (2006:4-5) mengatakan bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang lahir tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik yang merupakan hasil kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati masyarakat lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada masyarakat di Indonesia.
Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Riau. Teater demikian berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.
Bentuk-bentuk pertunjukan tradisional ini dipertegas oleh Jakob Soemardjo dalam buku Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997:18-19) bahwa unsur-unsur teater rakyat yang pokok adalah cerita, pelaku dan penonton. Unsur cerita dapat diperpanjang atau diperpendek menurut respon dan suasana penontonnya. Cerita dibawakan dengan akting (pemeranan) atau dengan menari dan menyanyi. Para pelaku berkostum sesuai dengan referensi budaya masyarakatnya, meskipun ada acuan terhadap tradisi lama.
Ciri-ciri umum teater rakyat ini adalah : (1) Cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan sehari-hari; (2) Penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian; (3) Unsur lawakan selalu muncul; (4) Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan serta dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis; (5) Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau musik tradisional; (6) Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab dan bahkan tak terelakkan adanya dialog langsung antara pelaku dan publiknya; (7) Mempergunakan bahasa daerah; dan (8) Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton). Ciri-ciri teater tradisional seperti yang telah dijelaskan, dapat kita lihat di wilayah Riau yang juga memiliki teater tradisional, seperti; Bangsawan, Makyong, Dulmuluk, Mamanda, Mendu, dan Randai. Dari teater tradisional yang telah hadir di tengah masyarakat, mengalami perubahan, pergeseran nilai dan budaya, hal ini tentunya telah dipengaruhi oleh banyak faktor.
Perubahan itu menyentuh berbagai macam bidang, baik itu dari sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Perubahan itu membawa kita untuk mencoba membaginya, ada masyarakat tradisional (pedesaan) dan ada masyrakat modern (perkotaan). Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat juga mempengaruhi perubahan kesenian di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya teater.
Teater modern adalah produk budaya kota. Munculnya masyarakat kota yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, mengakibatkan munculnya permintaan bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya. Dengan percepatan budaya luar atau barat yang begitu cepat, barangkali kecepatannya melebihi speedy yang sangat mendesak. Percepatan inilah yang kemudian memaksa kita untuk dapat mengimbangi dan menetralisir lewat seni dan budaya. Teaterpun ikut bergerak lewat perubahan yang dialaminya. Teater modern lebih menekankan referensinya pada teater Barat.
Teater tradisi memang berbeda dengan teater modern dalam beberapa hal. Dramaturginya pun lain. Teater tradisi lebih merupakan upacara atau peristiwa bersama ketimbang pertunjukan. Tidak ada pemisahan antara penonton dengan pertunjukan. Sedangkan teater modern, walaupun awalnya adalah sebuah upacara, telah menjadi murni seni pertunjukan, penonton dan tontonon dibuat terpisah.
Teater modern suatu disiplin ilmu yang baku, memiliki hukum-hukum panggung yang tidak boleh dilanggar. Memerlukan teks naskah yang tertulis, sedangkan teater tradisional bisa saja secara spontanitas dan tidak perlu ditulis. Setelah itu teater modern akan menjalani proses latihan yang amat panjang, sedangkan teater tradisional bisa saja satu jam sebelum pertunjukan. Segi artistik harus dipikirkan dan dipertimbangkan sejauh mungkin, seperti penataan pentas (setting), pencahayaan (lighting), rias dan busana. Sedangkan teater tradisional bisa pada saat itu saja. Kemudian tema teater modern lebih pada fenomena atau isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Butuh waktu yang sangat panjang untuk memproduksi suatu pementasan. Proses yang biasa dilakukan oleh kelompok teater modern dimulai dari pemilihan naskah, menganalisis teks naskah, olah vokal, olah tubuh, reading, lepas naskah, blocking, penggunaan property, penghalusan, pemantapan, glady resik, dan puncaknya sampai ke pertunjukan. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah pertunjukan usai perlu adanya diskusi atau kritikan dari penonton untuk perbaikan pada pertunjukan berikutnya.
Dalam teater modern sangat dibutuhkan suatu kelompok yang militan dan konsisten untuk tetap bertahan. Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Rengat, Dumai, Kampar, Pelalawan, dan kota lainnya juga sudah melahirkan banyak kelompok teater yang turut memberikan apresiasi dan kontribusi terhadap masyarakat seni pertunjukan. Idrus Tintin salah satu tokoh teater Riau, lahir dan dibesarkan di Rengat pada 10 November 1932 dan di daerah inilah Idrus Tintin mengawali kreatifitas kesenimanannya lewat teater. Kemudian Idrus Tintin dikenal sebagai tokoh teater modern Riau yang diperingati pada 10 November.
Selain Idrus Tintin, Taufik Effendi Aria juga mengisi dan mengawali teater modern di Riau. Taufik dengan kelompok teaternya di Rengat telah mengisi panggung teater di wilayah Indonesia. Pada tahun 1967, M Simanjuntak telah dinobat sebagai aktor terbaik Provinsi Riau. Kegairahan teater semakin dipermantap dengan kehadiran Salimi Yusuf dan Mailiswin merupakan tokoh teater di Riau.
Setelah kita mengenali teater modern, maka sampailah kita pada jenis teater kontemporer. Teater kontemporer adalah teater yang banyak mengadakan eksperimen. Banyaknya perbandingan, pengalaman dan pengetahuan dalam menggauli teater, baik teater tradisi, teater modern (barat), dan juga teater Asia. Untuk menggauli teater kontemporer ini, dibutuhkan kreatifitas dan terus menggauli esensi dari teater itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Sahrul N pada Pekan Apresiasi Teater III se-Sumatera di Padangpanjang, tentang croos culture. Terjadi suatu percampuran konsep antara teater rakyat tradisional dengan teater modern yang datang dari Barat atau pengaruh teater yang lainnya. Teater yang seperti ini sering mengungkapkan konsep-konsep baru, seperti yang pernah dilakukan oleh Putu Wijaya dengan konsep teater teror-nya.
Teater kontemporer adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.
Teater kontemporer adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.
Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius. Teater kontemporer adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati ‘’Misteri’’ yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.
Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa. Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan.
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan modern.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis yaitu menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan. Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan untuk memanfaatkannya.
Teater kontemporer yang saat ini selalu dipentaskan, digaungkan, dan dinikmati. Pada dasarnya juga berangkat dari tradisi dan modern itu sendiri. Segalanya juga disebabkan oleh perubahan sosial masyarakat yang selalu dinamis. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Teaterpun bertanggung jawab untuk mempersoalkannya kembali ke atas panggung pertunjukan, agar perubahan sosial bisa dikoreksi, dikritisi, dicermati, dan dikelola kembali.
Teater sebagai Kendaraan
Apapun jenis teater yang digeluti, baik itu teater tradisi, teater modern, atau teater kontemporer. Perlu dipertanyakan keseriusan masyarakat pendukungnya, untuk terus mencari dan mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan teater. Mulailah membuka catatan-catatan yang sudah lama tersimpan, kumpulkanlah orang-orang yang ingin mengaplikasikan dirinya lewat teater, dan bentuk komunitas-komunitas teater disetiap tempat. Karena, dengan banyaknya komunitas akan terjadi proses dealektika antar komunitas. Bagi pelaku teater yang telah memiliki komunitas, mulailah untuk merapikannya kembali.
Niatkanlah orientasi berteater untuk meyakini bahwa apa yang telah kita lakukan itu, kita persembahkan untuk kebajikan hidup bersama dengan turut menyelenggarakan pencerdasan masyarakat melalui teater, pencerahan, refleksi, sosial-politik, dan merawat kehidupan spritual dimana kita berada. Karena apa yang telah kita kerjakan dan cita-citakan bukanlah untuk pribadi kita sendiri, melainkan untuk lingkungan dan masyarakat luas. Tinggal lagi yang kita butuhkan support dari setiap lapisan masyarakat, lembaga kesenian, lembaga pendidikan, dan pemerintah, agar dapat mengorganisir untuk mengakomodir seluruh kreatifitas yang ada. n
Husin, Ketua Prodi Teater dan Film Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 November 2013
Sandiwara, Drama, dan Teater
KATA teater barangkali sudah tidak menjadi asing lagi di telinga masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan oleh hadirnya akademisi, pelaku, serta komunitas teater itu sendiri. Teater terus diperkenalkan melalui pementasan-pementasan yang mengisi gedung-gedung pertunjukan, serta ruang public (pasar, pelataran, galeri, taman, mall, jalan raya, pinggiran sungai, dan lain sebagainya) juga digunakan untuk pementasan. Kehadiran teater juga diperkuat dengan diberlakukannya ekstra kurikuler dalam kurikulum pelajaran siswa di sekolah-sekolah, teater dikhususkan untuk pengembangan diri anak (siswa).
Sebelum kata teater, masyarakat kita lebih mengenal istilah drama atau sandiwara. Pengguanan kata ini terus bergeser sampai teater sudah diperuntukkan untuk pementasan drama atau sandiwara. Teater berasal dari kata teatron (Bahasa Yunani) artinya tempat melihat (Romawi, auditorium; tempat mendengar). Atau, area yang tinggi tempat meletakkan sesajian untuk para dewa. Amphiteater di Yunani adalah sebuah tempat pertyunjukan. Bisa memuat sekitar 100.000 penonton. Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan (seni pertunjukan tradisional-rakyat-kontemporer), baik dipanggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup ‘’Tiga Kekuatan’’ (pekerja-tempat-penikmat), atau ada ‘’Tiga Unsur’’ (bersama-saat-tempat) maka peristiwa itu adalah teater (Nano, 2011).
Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama (Yudiaryani, 2004). Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008). Sandiwara, asli Indonesia, berasal dari kata sandi dan wara. Sandi adalah rahasia atau misteri, dan wara, artinya berita. Sandiwara berarti rahasia atau misteri yang dibertakan kepada penonton. Kata sandiwara dicetuskan oleh Sri Mangkunegara VII untuk menggantikan istilah dalam Bahasa Belanda, toneelstuk (Nano, 2011).
Tradisi, Modern, dan Kontemporer
Teater di Indonesia, dapat juga dilihat dari jenis teater menurut perkembangannya. yaitu teater tradisi, teater modern, dan teater kontemporer. Kasim Achmad dalam bukunya, Mengenal Teater Tradisional Indonesia (2006:4-5) mengatakan bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang lahir tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik yang merupakan hasil kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati masyarakat lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada masyarakat di Indonesia.
Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Riau. Teater demikian berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.
Bentuk-bentuk pertunjukan tradisional ini dipertegas oleh Jakob Soemardjo dalam buku Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997:18-19) bahwa unsur-unsur teater rakyat yang pokok adalah cerita, pelaku dan penonton. Unsur cerita dapat diperpanjang atau diperpendek menurut respon dan suasana penontonnya. Cerita dibawakan dengan akting (pemeranan) atau dengan menari dan menyanyi. Para pelaku berkostum sesuai dengan referensi budaya masyarakatnya, meskipun ada acuan terhadap tradisi lama.
Ciri-ciri umum teater rakyat ini adalah : (1) Cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan sehari-hari; (2) Penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian; (3) Unsur lawakan selalu muncul; (4) Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan serta dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis; (5) Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau musik tradisional; (6) Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab dan bahkan tak terelakkan adanya dialog langsung antara pelaku dan publiknya; (7) Mempergunakan bahasa daerah; dan (8) Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton). Ciri-ciri teater tradisional seperti yang telah dijelaskan, dapat kita lihat di wilayah Riau yang juga memiliki teater tradisional, seperti; Bangsawan, Makyong, Dulmuluk, Mamanda, Mendu, dan Randai. Dari teater tradisional yang telah hadir di tengah masyarakat, mengalami perubahan, pergeseran nilai dan budaya, hal ini tentunya telah dipengaruhi oleh banyak faktor.
Perubahan itu menyentuh berbagai macam bidang, baik itu dari sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Perubahan itu membawa kita untuk mencoba membaginya, ada masyarakat tradisional (pedesaan) dan ada masyrakat modern (perkotaan). Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat juga mempengaruhi perubahan kesenian di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya teater.
Teater modern adalah produk budaya kota. Munculnya masyarakat kota yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, mengakibatkan munculnya permintaan bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya. Dengan percepatan budaya luar atau barat yang begitu cepat, barangkali kecepatannya melebihi speedy yang sangat mendesak. Percepatan inilah yang kemudian memaksa kita untuk dapat mengimbangi dan menetralisir lewat seni dan budaya. Teaterpun ikut bergerak lewat perubahan yang dialaminya. Teater modern lebih menekankan referensinya pada teater Barat.
Teater tradisi memang berbeda dengan teater modern dalam beberapa hal. Dramaturginya pun lain. Teater tradisi lebih merupakan upacara atau peristiwa bersama ketimbang pertunjukan. Tidak ada pemisahan antara penonton dengan pertunjukan. Sedangkan teater modern, walaupun awalnya adalah sebuah upacara, telah menjadi murni seni pertunjukan, penonton dan tontonon dibuat terpisah.
Teater modern suatu disiplin ilmu yang baku, memiliki hukum-hukum panggung yang tidak boleh dilanggar. Memerlukan teks naskah yang tertulis, sedangkan teater tradisional bisa saja secara spontanitas dan tidak perlu ditulis. Setelah itu teater modern akan menjalani proses latihan yang amat panjang, sedangkan teater tradisional bisa saja satu jam sebelum pertunjukan. Segi artistik harus dipikirkan dan dipertimbangkan sejauh mungkin, seperti penataan pentas (setting), pencahayaan (lighting), rias dan busana. Sedangkan teater tradisional bisa pada saat itu saja. Kemudian tema teater modern lebih pada fenomena atau isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Butuh waktu yang sangat panjang untuk memproduksi suatu pementasan. Proses yang biasa dilakukan oleh kelompok teater modern dimulai dari pemilihan naskah, menganalisis teks naskah, olah vokal, olah tubuh, reading, lepas naskah, blocking, penggunaan property, penghalusan, pemantapan, glady resik, dan puncaknya sampai ke pertunjukan. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah pertunjukan usai perlu adanya diskusi atau kritikan dari penonton untuk perbaikan pada pertunjukan berikutnya.
Dalam teater modern sangat dibutuhkan suatu kelompok yang militan dan konsisten untuk tetap bertahan. Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Rengat, Dumai, Kampar, Pelalawan, dan kota lainnya juga sudah melahirkan banyak kelompok teater yang turut memberikan apresiasi dan kontribusi terhadap masyarakat seni pertunjukan. Idrus Tintin salah satu tokoh teater Riau, lahir dan dibesarkan di Rengat pada 10 November 1932 dan di daerah inilah Idrus Tintin mengawali kreatifitas kesenimanannya lewat teater. Kemudian Idrus Tintin dikenal sebagai tokoh teater modern Riau yang diperingati pada 10 November.
Selain Idrus Tintin, Taufik Effendi Aria juga mengisi dan mengawali teater modern di Riau. Taufik dengan kelompok teaternya di Rengat telah mengisi panggung teater di wilayah Indonesia. Pada tahun 1967, M Simanjuntak telah dinobat sebagai aktor terbaik Provinsi Riau. Kegairahan teater semakin dipermantap dengan kehadiran Salimi Yusuf dan Mailiswin merupakan tokoh teater di Riau.
Setelah kita mengenali teater modern, maka sampailah kita pada jenis teater kontemporer. Teater kontemporer adalah teater yang banyak mengadakan eksperimen. Banyaknya perbandingan, pengalaman dan pengetahuan dalam menggauli teater, baik teater tradisi, teater modern (barat), dan juga teater Asia. Untuk menggauli teater kontemporer ini, dibutuhkan kreatifitas dan terus menggauli esensi dari teater itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Sahrul N pada Pekan Apresiasi Teater III se-Sumatera di Padangpanjang, tentang croos culture. Terjadi suatu percampuran konsep antara teater rakyat tradisional dengan teater modern yang datang dari Barat atau pengaruh teater yang lainnya. Teater yang seperti ini sering mengungkapkan konsep-konsep baru, seperti yang pernah dilakukan oleh Putu Wijaya dengan konsep teater teror-nya.
Teater kontemporer adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.
Teater kontemporer adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.
Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius. Teater kontemporer adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati ‘’Misteri’’ yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.
Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa. Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan.
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan modern.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis yaitu menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan. Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan untuk memanfaatkannya.
Teater kontemporer yang saat ini selalu dipentaskan, digaungkan, dan dinikmati. Pada dasarnya juga berangkat dari tradisi dan modern itu sendiri. Segalanya juga disebabkan oleh perubahan sosial masyarakat yang selalu dinamis. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Teaterpun bertanggung jawab untuk mempersoalkannya kembali ke atas panggung pertunjukan, agar perubahan sosial bisa dikoreksi, dikritisi, dicermati, dan dikelola kembali.
Teater sebagai Kendaraan
Apapun jenis teater yang digeluti, baik itu teater tradisi, teater modern, atau teater kontemporer. Perlu dipertanyakan keseriusan masyarakat pendukungnya, untuk terus mencari dan mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan teater. Mulailah membuka catatan-catatan yang sudah lama tersimpan, kumpulkanlah orang-orang yang ingin mengaplikasikan dirinya lewat teater, dan bentuk komunitas-komunitas teater disetiap tempat. Karena, dengan banyaknya komunitas akan terjadi proses dealektika antar komunitas. Bagi pelaku teater yang telah memiliki komunitas, mulailah untuk merapikannya kembali.
Niatkanlah orientasi berteater untuk meyakini bahwa apa yang telah kita lakukan itu, kita persembahkan untuk kebajikan hidup bersama dengan turut menyelenggarakan pencerdasan masyarakat melalui teater, pencerahan, refleksi, sosial-politik, dan merawat kehidupan spritual dimana kita berada. Karena apa yang telah kita kerjakan dan cita-citakan bukanlah untuk pribadi kita sendiri, melainkan untuk lingkungan dan masyarakat luas. Tinggal lagi yang kita butuhkan support dari setiap lapisan masyarakat, lembaga kesenian, lembaga pendidikan, dan pemerintah, agar dapat mengorganisir untuk mengakomodir seluruh kreatifitas yang ada. n
Husin, Ketua Prodi Teater dan Film Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 November 2013
No comments:
Post a Comment