-- Nofanolo Zagoto
Keresahan terhadap nasib bangunan bersejarah dituangkan dalam sebuah karya.
BANGUNAN berupa candi itu diletakkan di halaman Galeri Nasional. Bangunan itu sengaja dibuat Putu Sutawijaya. Candi berisikan patung tanpa kepala di bagian atas, juga relief-relief di setiap sisinya.
Namun, candi ini sengaja dibuatnya penuh coretan graffiti. Yang menarik, untuk mendramatisasinya ditampilkan rerumputan dan puluhan batu yang tergeletak di dekat candi, seakan dibiarkan begitu saja terlepas dari bangunan itu.
Karya Sutawijaya yang diberi judul “Hope” ini jadi salah satu karya yang ikut serta dalam pameran tiga tahunan yang baru kali pertama dihelat, SEA+ Triennale 2013, oleh Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
Ia bersama 72 seniman dari Indonesia, Myanmar, Pakistan, Australia, China, Filipina, Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memamerkan puluhan karya yang dapat dinikmati pengunjung sejak 13 November 2013 hingga 12 Desember 2013 nanti.
Harapannya, terkait judul yang dipakai si seniman, barangkali lebih condong pada kegelisahan Sutawijaya terhadap nasib bangunan bersejarah yang ada. Lihat saja bagaimana ia menambahi replika candi itu dengan puluhan graffiti.
Namun, bukan hanya Sutawijaya yang memamerkan karya dengan memanfaatkan ruang terbuka sekitar Galeri Nasional. Joko Dwiavianto juga meletakkan karya variable dimension miliknya yang berjudul “Borneo” persis di depan ruang utama. Bambu-bambu dibelitkannya untuk membentuk bangunan besar yang berupaya mendekati bentuk Pulau Kalimantan.
Ada juga mural yang dibuat Farhan Siki pada seng yang menutupi jalan menuju bagian belakang Kompleks Galeri Nasional. Mural yang dinamainya “Cratterd Norm” ini memperlihatkan tangan yang memegang piring, layaknya sedang dalam posisi menghidangkan. Piring itu berisikan tumpukan pelbagai logo dari merek makanan atau minuman ternama.
Fajar Abadi malah menampilkan instalasi yang dinamainya “Kueh Senyum” di atas kendaraan beroda tiga. Di sana ditaruhnya puluhan foto mereka yang tersenyum sembari memegang kue yang ditawarkannya dalam sebuah album. Di dalam kendaraan, si seniman juga meletakkan peralatan yang berhubungan dengan pembuatan kue.
Sementara itu, Eddie Prabandono memamerkan karyanya yang berjudul “After Party #3” berupa skuter. Yang unik, skuter berwarna biru muda itu dibuatnya dengan bodi yang sangat memanjang untuk memunculkan unsur estetisnya. Dengan ukuran yang panjang, bodi tersebut dibuatnya meliuk-liuk layaknya lintasan roller coaster.
Dalam pameran itu juga dimunculkan karya Mon Thet dari Myanmar yang berjudul “Native of Floral”. Pada bidang kanvas terdapat figur perempuan yang memakai pakaian tradisional. Ia dimunculkan Mon Thet di antara bunga-bunga yang berwarna merah.
Sementara Pham Huy Thong dari Vietnam mempertontonkan karyanya yang berjudul “Guardian Fight 03” yang menyuguhkan pertarungan para pasukan dengan seragam ala zaman kerajaan.
Amrianis memajang lukisan realisnya yang berjudul “Malam Bagurau”. Lukisan ini memotret suasana pertunjukan seni tradisi Minang yang mengabadikan seniman yang memainkan saluang dan rebab.
Tampak pula kedetailan dalam lukisan lain yang dinamai “Meringankan Tubuh” buatan Eddo Pillu. Begitu pula Mahendra Yasa dengan seri lukisannya yang berjudul “7 Magnificent Masterpiece”. Terlihat salah satu lukisannya yang digoreskan di atas kertas koran.
Kurator Rizki A Zaelani menyebutkan pameran yang bertemakan “Global Art: Way Around Asia” ini tidak hanya terpaku pada batang sejarah yang selalu mengacu pada perkembangan seni rupa barat, tetapi juga menyangkut fenomena yang terjadi sekarang ini. Ia mengatakan karya masa kini selalu terkait ruang, waktu, dan kemodernan.
“Seperti graffiti yang mencerminkan urbanisasi, pencampuran gaya seni itu juga terjadi, modifikasi seni, gejolak menyangkut media, dan kecemasan global. Tanda-tanda itulah yang muncul dalam karya-karya yang ikut serta,” tutur Rizki yang dipercaya menjadi kurator bersama Jim Supangkat, Suwarno Wisetrotomo, Asikin Hasan, A Rikrik Kusmara, dan Badrolhisham A Tahir. n
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 16 November 2013
Keresahan terhadap nasib bangunan bersejarah dituangkan dalam sebuah karya.
“After Party 3” karya Eddy Prabandono. (SH/Nofanolo Zagoto) |
Namun, candi ini sengaja dibuatnya penuh coretan graffiti. Yang menarik, untuk mendramatisasinya ditampilkan rerumputan dan puluhan batu yang tergeletak di dekat candi, seakan dibiarkan begitu saja terlepas dari bangunan itu.
Karya Sutawijaya yang diberi judul “Hope” ini jadi salah satu karya yang ikut serta dalam pameran tiga tahunan yang baru kali pertama dihelat, SEA+ Triennale 2013, oleh Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
Ia bersama 72 seniman dari Indonesia, Myanmar, Pakistan, Australia, China, Filipina, Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memamerkan puluhan karya yang dapat dinikmati pengunjung sejak 13 November 2013 hingga 12 Desember 2013 nanti.
Harapannya, terkait judul yang dipakai si seniman, barangkali lebih condong pada kegelisahan Sutawijaya terhadap nasib bangunan bersejarah yang ada. Lihat saja bagaimana ia menambahi replika candi itu dengan puluhan graffiti.
Namun, bukan hanya Sutawijaya yang memamerkan karya dengan memanfaatkan ruang terbuka sekitar Galeri Nasional. Joko Dwiavianto juga meletakkan karya variable dimension miliknya yang berjudul “Borneo” persis di depan ruang utama. Bambu-bambu dibelitkannya untuk membentuk bangunan besar yang berupaya mendekati bentuk Pulau Kalimantan.
Ada juga mural yang dibuat Farhan Siki pada seng yang menutupi jalan menuju bagian belakang Kompleks Galeri Nasional. Mural yang dinamainya “Cratterd Norm” ini memperlihatkan tangan yang memegang piring, layaknya sedang dalam posisi menghidangkan. Piring itu berisikan tumpukan pelbagai logo dari merek makanan atau minuman ternama.
Fajar Abadi malah menampilkan instalasi yang dinamainya “Kueh Senyum” di atas kendaraan beroda tiga. Di sana ditaruhnya puluhan foto mereka yang tersenyum sembari memegang kue yang ditawarkannya dalam sebuah album. Di dalam kendaraan, si seniman juga meletakkan peralatan yang berhubungan dengan pembuatan kue.
Sementara itu, Eddie Prabandono memamerkan karyanya yang berjudul “After Party #3” berupa skuter. Yang unik, skuter berwarna biru muda itu dibuatnya dengan bodi yang sangat memanjang untuk memunculkan unsur estetisnya. Dengan ukuran yang panjang, bodi tersebut dibuatnya meliuk-liuk layaknya lintasan roller coaster.
Dalam pameran itu juga dimunculkan karya Mon Thet dari Myanmar yang berjudul “Native of Floral”. Pada bidang kanvas terdapat figur perempuan yang memakai pakaian tradisional. Ia dimunculkan Mon Thet di antara bunga-bunga yang berwarna merah.
Sementara Pham Huy Thong dari Vietnam mempertontonkan karyanya yang berjudul “Guardian Fight 03” yang menyuguhkan pertarungan para pasukan dengan seragam ala zaman kerajaan.
Amrianis memajang lukisan realisnya yang berjudul “Malam Bagurau”. Lukisan ini memotret suasana pertunjukan seni tradisi Minang yang mengabadikan seniman yang memainkan saluang dan rebab.
Tampak pula kedetailan dalam lukisan lain yang dinamai “Meringankan Tubuh” buatan Eddo Pillu. Begitu pula Mahendra Yasa dengan seri lukisannya yang berjudul “7 Magnificent Masterpiece”. Terlihat salah satu lukisannya yang digoreskan di atas kertas koran.
Kurator Rizki A Zaelani menyebutkan pameran yang bertemakan “Global Art: Way Around Asia” ini tidak hanya terpaku pada batang sejarah yang selalu mengacu pada perkembangan seni rupa barat, tetapi juga menyangkut fenomena yang terjadi sekarang ini. Ia mengatakan karya masa kini selalu terkait ruang, waktu, dan kemodernan.
“Seperti graffiti yang mencerminkan urbanisasi, pencampuran gaya seni itu juga terjadi, modifikasi seni, gejolak menyangkut media, dan kecemasan global. Tanda-tanda itulah yang muncul dalam karya-karya yang ikut serta,” tutur Rizki yang dipercaya menjadi kurator bersama Jim Supangkat, Suwarno Wisetrotomo, Asikin Hasan, A Rikrik Kusmara, dan Badrolhisham A Tahir. n
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 16 November 2013
No comments:
Post a Comment