Sunday, November 17, 2013

[Alinea] “Membumikan” Sastra

-- Yulita Fitriana

SASTRA kerap dianggap berada di menara gading sehingga tidak semua orang mampu “memanjatnya”. Orang-orang sastra, terutama sastrawannya, sering dianggap sebagai sekumpulan orang yang sulit didekati dan dimengerti oleh sebagian besar orang (masyarakat). Munculnya pernyataan-pernyataan sinis, seperti “Dasar sastrawan!” dan “Namanya juga sastrawan!”, memperlihatkan adanya keberbedaan itu, di samping merupakan upaya pemakluman terhadap sastrawan jika berperilaku atau bertindak “aneh”.

Beberapa bulan yang lalu, Balai Bahasa Provinsi Riau kedatangan serombongan tamu yang tidak biasa. Disebut tidak biasa karena tamu ini bukanlah dari kalangan orang-orang yang kerap hadir dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau, seperti guru, siswa, atau mahasiswa. Lalu, siapakah orang-orang luar biasa ini?

Mereka ini menyebut diri sebagai grup Jathilan Sampah. Grup ini berdiri awal 2013 dengan Alwizar sebagai penggiatnya dan Suharyoto Sastro Suwignyo, biasa dipanggil Aryo, sebagai pembinanya. Sesuai dengan namanya, sebenarnya grup ini merupakan grup seni jathilan (kuda kepang) yang memanfaatkan barang-barang bekas, seperti bekas botol kemasan, bungkus kopi, kaleng cat, dan kertas karton sebagai bagian dari properti pertunjukan mereka. Biasanya, anggota grup ini mengadakan latihan pada Rabu dan Sabtu malam. Selain itu, mereka (yang ternyata tidak hanya berasal dari suku Jawa) juga bersastra, seperti menulis puisi.   

Apa yang menarik dari grup ini yang kemudian mempertunjukkan penampilannya ketika berada di Balai Bahasa Provinsi Riau? Yang menarik bukan pertunjukan jathilan dan kesadaran mereka terhadap lingkungan dengan pemanfaatan sampah sebagai benda seni. Bukan hal itu penyebabnya (mereka memang tidak mempertunjukkan seni tersebut saat berada di Balai Bahasa Provinsi Riau). Yang menarik juga bukan karena kehebatan mereka membaca sederet puisi. Malah, bisa dikatakan bahwa cara pembacaan puisi mereka tergolong biasa-biasa saja. Lagi pula, jika hanya sekadar membaca puisi, tentu saja bukan hal yang terlalu istimewa karena banyak dilakukan di berbagai tempat dan kesempatan. Lalu apa?

Anggota “Jathilan Sampah” tersebutlah yang istimewa. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Mengapa? Karena mereka berasal dari dunia yang dianggap “jauh” dari hiruk-pikuk sastra. Siapa mereka? Para pemuisi itu ada yang berprofesi sebagai kuli bangunan, penjual roti, dan profesi lainnya yang selama ini dianggap tidak dekat dengan komunitas sastra. Dalam pandangan umum, profesi-profesi tersebut berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan “kasar”, sedangkan bersastra dianggap sebaliknya.

“Penyusupan” peminat sastra yang berasal dari berbagai profesi itulah yang  mencengangkan. Bagaimana tidak, selama ini sastra dianggap hanya menyentuh kalangan tertentu. Karya sastra hanya digeluti dan juga dipahami kalangan elitis sehingga kemudian karya sastra itu teralienasi dari masyarakat. Sastra seolah berada di sebuah menara gading yang tidak tersentuh. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengerti dan memahami nilainya.

“Jathilan Sampah” mendobrak pandangan tersebut. Kelompok itu membuktikan bahwa kuli bangunan, penjual roti, dan ibu rumah tangga pun bisa bersastra. Di tengah kesibukan mengurus keluarga serta mencari uang demi hidup dan kehidupan, mereka masih sempat bersastra. Mereka masih sempat menciptakan puisi dan membacakannya. Tidak menjadi hal yang penting apakah puisi yang dihasilkan dianggap bermutu atau tidak. Tidak juga menjadi hal yang utama apakah karya-karya mereka dianggap layak untuk dicetak ke dalam sebuah buku atau dipublikasikan di media massa. Keberanian mereka untuk bersastra patut diacungi jempol. Padahal, karena belum terkenal, dapat diyakini bahwa kegiatan bersastra mereka belum dapat diandalkan untuk mendapatkan uang guna menopang perekonomian mereka. Bisa jadi, ketika  bersastra (baik mencipta maupun mementaskannya), mereka tidak mempunyai pemasukan karena meninggalkan pekerjaannya.

Begitu pun yang dilakukan Komunitas 383. Setiap Jumat malam, bertempat di kafe Tribun Pekanbaru, Jalan Harapan Raya, Komunitas 383 juga menggeliatkan sastra. Komunitas ini berupaya menjadikan sastra tidak eksklusif. Sastra bukan milik sebagian orang, melainkan milik semua orang, dengan tidak memandang latar belakangnya. Jadilah kemudian politisi, aktivis lingkungan, polisi, dan banyak lagi orang dari berbagai profesi lain bersastra. Mereka, di samping membaca puisi, juga ikut berdiskusi mengenai sastra bersama orang-orang yang memang sudah sejak lama bertungkus-lumus dengan sastra. 

Di dunia maya, sastra facebook pun merebak. Kehadiran sastra yang dipublikasikan melalui sebuah jejaring sosial ini seolah menghilangkan kesan keterasingan dan juga keekslusifan sastra. Melalui facebook, semua orang dapat dengan mudah menikmati sastra. Bahkan, untuk menjadi “penyair” atau “cerpenis” (dalam arti pencipta syair dan cerpen) pun tidak sulit. Melalui media ini pula, orang tidak perlu berlabel “sastrawan” untuk menyebarkan sebanyak mungkin karya yang dapat dinikmati orang lain.

 Senyatanyalah, Jathilan Sampah, Komunitas 383, sastra facebook, dan komunitas lain sejenis, sadar atau tidak, telah menurunkan sastra dari menara gadingnya dan “membumikan” sastra yang kerap dianggap berada di awang-awang. Mereka telah membantu membuat sastra lebih cair dan memasyarakat. Seyogianya sastra menjadi milik masyarakat, bukan milik segelintir orang yang mengalienasi diri dan mengeksklusifkan diri. Sastra, dengan demikian, akan semakin bermanfaat bagi kehiduapan. Bukankah, seharusnya demikian?

Yulita Fitriana, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 November 2013

 

No comments: