Monday, November 25, 2013

Saatnya Budaya Jadi Panglima

-- Yuyuk Sugarman

Anak muda merasa lebih bangga jadi manusia Korea daripada menjadi manusia Indonesia.

Musikus serta dalang, Sujiwo Tejo (kiri), budayawan yang juga monolog
Butet Kartaredjasa (kedua kanan), dan Trio GAM (Gareng, Joned, Wisben)
mementaskan wayang musikal Maha Cinta Rahwana di JX International,
Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/11). (dok/antara)
KONFLIK Ambon yang meletup tahun 1999 selesai bukan oleh senjata, juga bukan oleh tawar-menawar politik, melainkan oleh tradisi yang diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad, bahkan sebelum agama Abrahamik masuk ke kawasan ini. Sebuah tradisi yang oleh masyarakat lokal disebut Pela Gandong.

Pela Gandong merupakan salah satu dari tiga pela (perjanjian) yang dikenal masyarakat Maluku. Pela merupakan suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (kampung) dengan kampung lainnya yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku.

Sistem perjanjian ini diperkirakan telah dikenal sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Maluku, dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap bangsa Eropa pada waktu itu.

Pela Gandong atau Bongso yang digunakan untuk mendamaikan para pihak yang berkonflik pada 1999 didasarkan perjanjian ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga.

Sementara itu, dua pela lainnya adalah Pela Karas dan Pela Tampa Siri. Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua kampung atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan.

Sementara itu, Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu kampung telah berjasa terhadap kampung lain.

Khusus untuk Pela Karas dan Pela Gandong ditetapkan sumpah yang mengikat dan biasanya disertai kutukan bagi yang melanggar perjanjian ini. Sumpah dilakukan dengan mencampur tuak dengan darah yang diambil dari tubuh pemimpin kedua pihak kemudian diminum kedua pihak tersebut setelah senjata-sejata dan alat-alat perang lain dicelupkan kedalamnya.

Kita tahu kemudian bahwa tradisi masyarakat lokal itulah yang akhirnya berhasil meredam konflik, bukan pendekatan keamanan.

Budayawan Butet Kartaredjasa, Sabtu (23/11), dalam acara dialog kebangsaan antara Ketua MPR Sidarto Danusubroto dengan pelaku seni tradisional di Padepokan Bagong Kussudiardja, Bantul, menyebut-nyebut pendekatan Pela Gandong ini saat mengkritik ketiadaan visi dan strategi kebudayaan dari pemerintah.

Pemerintah dinilai terlalu sibuk menggunakan pendekatan keamanan dan politik saat menyelesaikan konflik di masyarakat dan menyingkirkan pendekatan kebudayaan. Padahal pengalaman menunjukkan pendekatan kebudayaanlah yang terbukti efektif menuntaskan perdamaian dari dua pihak yang bertikai.

“Bangsa ini harus dibuatkan strategi kebudayaan. Ke depan kebudayaan dijadikan panglima," ujar Butet.

Oleh karena itu, Butet menegaskan sudah semestinya pemerintah lebih mengedepankan lewat pendekatan budaya dibandingkan politik maupun ekonomi dalam mengelola bangsa ini.

Butet juga mengharapkan ketua MPR untuk mengingatkan dan mengajak para koleganya di pemerintahan untuk memperhatikan dan mengedepankan kebudayaan. "Di masa depan pemimpin harus bervisi kebudayaan," tutur Butet.

Merawat Keberagaman

Sidarto mengemukakan, keberagaman budaya lokal harus dirawat dan dipertahankan. Ia kagum dengan Jepang dan Korea yang tetap mempertahankan kebudayaannya. Di era globalisasi, negara itu masih memiliki karakter bangsa. Tidak terhanyut dalam kebudayaan Amerika.

"Oleh karena itu, bangsa ini berkepentingan mengawal keberagaman yang ada, seperti budaya dan etnis," Sidarto menegaskan.

Sekarang ini, Sidarto melanjutkan, sering terjadi konflik yang disebabkan karena perbedaan etnis, budaya, ideologi, nilai-nilai, persepsi, dan agama. "Apabila eker-ekeran terus karena beda, kapan (Indonesia-red) akan maju?" ujarnya.

Oleh karena itu, kata Sidarto, bangsa ini berkepentingan mengawal keberagaman yang ada, seperti budaya dan etnis. Ia lantas mengingatkan apa yang telah disampaikan Presiden RI pertama, Soekarno, yang menekankan perlunya pembangunan karakter bangsa. "Karakter inilah yang (bisa) Indonesia dengan Amerika atau Eropa," tuturnya.

Panggung Kebangsaan

Guna menjaga spirit kebangsaan ini, MPR dan Padepokan Bagong Kussudiardja akan menggelar pertunjukan “Gema Nusantara, Perjalanan Menjadi Indonesia” di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada 28-29 November.

"Pertunjukan ini memperlihatkan spirit kebangsaan dalam berkesenian," tutur Djaduk Ferianto, selaku penata musik dalam pagelaran itu.

Menurut Butet, visi kebangsaan dalam kesenian Indonesia telah menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat, meskipun tahun 1950-an, semangat keindonesiaan itu banyak mewarnai ekspresi kesenian kita.

Ia lantas merujuk film dokumenter Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mantja Negara 1952-1965 yang disutradarai Jennifer Lindsay, seorang peneliti Australia. Dalam film ini tergambarkan bagaimana Presiden Soekarno dengan cerdik menggunakan kekuatan kesenian untuk menyokong diplomasi politik.

“Sekarang, visi kebangsaan itu kayaknya jadi barang langka. Makin tak jelas. Anak-anak muda merasa lebih bangga jadi manusia Korea daripada menjadi manusia Indonesia. Kayaknya kita perlu menyegarkan lagi ingatan dan mimpi besar para pendiri bangsa,” kata aktor monolog itu. N

Sumber: Sinar Harapan, Senin, 25 November 2013

  

No comments: