-- David Krisna Alka
Kehidupan sosial politik Indonesia sekarang ini bisa dikatakan minim gagasan-gagasan bernas tentang bagaimana menata dan mengelola Indonesia secara lebih baik ke arah kemajuan.
Buku karya Willy Aditya berjudul Indonesia di Jalan Restorasi: Politik Gagasan Surya Paloh ini datang dengan kesadaran seperti itu. Kehidupan sosial politik Indonesia sekarang ini bisa dikatakan minim gagasan-gagasan bernas tentang bagaimana menata dan mengelola Indonesia secara lebih baik ke arah kemajuan. Sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang dalam pengantar buku ini, ada semacam 'kehampaan intelektualitas' dalam ranah sosial politik sehingga praktik politik nyaris tidak dilandasi ilmu pengetahuan, kebajikan, dan kebijaksanaan. Iklim persaingan politik di Indonesia akhir-akhir ini disesaki oleh aroma 'perebutan kekuasaan' tanpa malu yang menutupi ruang 'pertarungan ideologi'. Demi kekuasaan, cara apa pun digunakan--politik uang, sogok, suap, kolusi, serangan fajar, mafia, persekongkolan, dan premanisme. Pertarungan ide, gagasan, dan makna-makna politik terpinggirkan, dilindas oleh pertarungan kekayaan, uang, dan kekuatan fisik. Politik ideologi--politik untuk memperjuangkan ide, gagasan, keyakinan, dan makna politik--diambil alih oleh 'politik kekuasaan', politik yang tujuan tunggalnya ialah memperoleh kekuasaan. (hlm xi)
Padahal, jika kita menilik sejarah, para pendiri bangsa ini ialah orang-orang yang sangat menghargai gagasan. Indonesia di tahap-tahap pembentukannya dan pada masa awal berdirinya adalah Indonesia yang semarak dengan berbagai macam gagasan sosial politik (dari kiri ke kanan, dari 'merah' ke 'hijau', dst) tentang bagaimana menata masyarakat secara baik agar tercapai kemakmuran dan kemajuan di berbagai bidang. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, H Agus Salim, dll, pertama-tama merupakan pemikir sosial-politik sebelum mereka terjun ke dalam politik praktis dan menjadi 'politikus'. Untuk meraih kekuasaan, para pendiri bangsa itu tidak mengutamakan kepentingan politik uang (suap, sogok) kolusi, serangan fajar, mafia, persekongkolan, apalagi premanisme, tetapi berlomba-lomba menawarkan gagasan/ide yang lebih baik tentang bagaimana menata Indonesia secara sosial dan politik, dan kemudian membiarkan masyarakat menilai gagasan/ide mana yang lebih masuk akal dan lebih bernas untuk dijalankan demi mencapai Indonesia yang maju dan makmur. Pendeknya, Indonesia di tahap-tahap pembentukannya dan pada masa awal berdirinya adalah Indonesia yang sarat dengan 'pertarungan ide'. Politik yang berlaku dan dijalankan bukanlah politik uang, apalagi politik pencitraan, melainkan politik ideologi atau politik gagasan.
Kemunduran dan kehancuran
Kondisi seperti inilah yang sebenarnya dirindukan banyak orang yang telah muak dengan politik uang dan politik pencitraan yang sebenarnya hanya akan membawa Indonesia ke arah kemunduran dan kehancuran. Dengan kata lain, perlu ada upaya ekstra keras untuk membangkitkan kembali, memunculkan kembali, kondisi perpolitikan Indonesia di saat gagasan/ide yang cemerlang dan bernas kembali dihargai. Pendeknya, perlu ada restorasi.
Restorasi berasal dari kata (to) restore yang berarti mengembalikan. Dengan demikian, restorasi adalah sebuah upaya penuh kesadaran untuk mengembalikan kejayaan bangsa yang pernah ada, atau menghadirkan nilai-nilai penting yang luhur atau berharga untuk menandai identitas suatu bangsa (hlm 7).
Restorasi Indonesia berangkat dari kondisi bangsa yang mengalami krisis identitas, krisis kepercayaan, krisis ideologi, krisis semangat kebangsaan, krisis sistem politik, krisis manajemen negara, krisis kesejahteraan rakyat, krisis kedaulatan ekonomi, dan krisis lingkungan alam. Begitu kompleksnya krisis negara ini mensyaratkan pendekatan restorasi yang tidak memilah kelompok-kelompok kebangsaan ke dalam berbagai kubu. Restorasi bertolak dari asumsi bahwa sebagai sebuah bangsa, kita sebenarnya memiliki jati diri, kebanggaan, kepercayaan, dan martabat yang bisa membawa kita ke arah kemajuan dan kemakmuran. Semua itu kini terkikis oleh politik uang dan politik pencitraan, dan karena itu, perlu dibangkitkan kembali lewat upaya keras seluruh elemen bangsa.
Namun, organisasi dan gagasan terkadang selalu tidak berjalan beriring. Pada saat gagasan menguat, justru pada saat itu pula entitas organisasi lemah. Sebaliknya, ketika organisasi menjadi lebih kuat, gagasan justru meluntur dan bahkan nyaris punah tak tahu ke mana rimbanya.(M-2)
David Krisna Alka, pemerhati kajian politik kultural dan pendiri @CatatanPolitik Institute
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 11 November 2013
Kehidupan sosial politik Indonesia sekarang ini bisa dikatakan minim gagasan-gagasan bernas tentang bagaimana menata dan mengelola Indonesia secara lebih baik ke arah kemajuan.
Buku karya Willy Aditya berjudul Indonesia di Jalan Restorasi: Politik Gagasan Surya Paloh ini datang dengan kesadaran seperti itu. Kehidupan sosial politik Indonesia sekarang ini bisa dikatakan minim gagasan-gagasan bernas tentang bagaimana menata dan mengelola Indonesia secara lebih baik ke arah kemajuan. Sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang dalam pengantar buku ini, ada semacam 'kehampaan intelektualitas' dalam ranah sosial politik sehingga praktik politik nyaris tidak dilandasi ilmu pengetahuan, kebajikan, dan kebijaksanaan. Iklim persaingan politik di Indonesia akhir-akhir ini disesaki oleh aroma 'perebutan kekuasaan' tanpa malu yang menutupi ruang 'pertarungan ideologi'. Demi kekuasaan, cara apa pun digunakan--politik uang, sogok, suap, kolusi, serangan fajar, mafia, persekongkolan, dan premanisme. Pertarungan ide, gagasan, dan makna-makna politik terpinggirkan, dilindas oleh pertarungan kekayaan, uang, dan kekuatan fisik. Politik ideologi--politik untuk memperjuangkan ide, gagasan, keyakinan, dan makna politik--diambil alih oleh 'politik kekuasaan', politik yang tujuan tunggalnya ialah memperoleh kekuasaan. (hlm xi)
Padahal, jika kita menilik sejarah, para pendiri bangsa ini ialah orang-orang yang sangat menghargai gagasan. Indonesia di tahap-tahap pembentukannya dan pada masa awal berdirinya adalah Indonesia yang semarak dengan berbagai macam gagasan sosial politik (dari kiri ke kanan, dari 'merah' ke 'hijau', dst) tentang bagaimana menata masyarakat secara baik agar tercapai kemakmuran dan kemajuan di berbagai bidang. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, H Agus Salim, dll, pertama-tama merupakan pemikir sosial-politik sebelum mereka terjun ke dalam politik praktis dan menjadi 'politikus'. Untuk meraih kekuasaan, para pendiri bangsa itu tidak mengutamakan kepentingan politik uang (suap, sogok) kolusi, serangan fajar, mafia, persekongkolan, apalagi premanisme, tetapi berlomba-lomba menawarkan gagasan/ide yang lebih baik tentang bagaimana menata Indonesia secara sosial dan politik, dan kemudian membiarkan masyarakat menilai gagasan/ide mana yang lebih masuk akal dan lebih bernas untuk dijalankan demi mencapai Indonesia yang maju dan makmur. Pendeknya, Indonesia di tahap-tahap pembentukannya dan pada masa awal berdirinya adalah Indonesia yang sarat dengan 'pertarungan ide'. Politik yang berlaku dan dijalankan bukanlah politik uang, apalagi politik pencitraan, melainkan politik ideologi atau politik gagasan.
Kemunduran dan kehancuran
Kondisi seperti inilah yang sebenarnya dirindukan banyak orang yang telah muak dengan politik uang dan politik pencitraan yang sebenarnya hanya akan membawa Indonesia ke arah kemunduran dan kehancuran. Dengan kata lain, perlu ada upaya ekstra keras untuk membangkitkan kembali, memunculkan kembali, kondisi perpolitikan Indonesia di saat gagasan/ide yang cemerlang dan bernas kembali dihargai. Pendeknya, perlu ada restorasi.
Restorasi berasal dari kata (to) restore yang berarti mengembalikan. Dengan demikian, restorasi adalah sebuah upaya penuh kesadaran untuk mengembalikan kejayaan bangsa yang pernah ada, atau menghadirkan nilai-nilai penting yang luhur atau berharga untuk menandai identitas suatu bangsa (hlm 7).
Restorasi Indonesia berangkat dari kondisi bangsa yang mengalami krisis identitas, krisis kepercayaan, krisis ideologi, krisis semangat kebangsaan, krisis sistem politik, krisis manajemen negara, krisis kesejahteraan rakyat, krisis kedaulatan ekonomi, dan krisis lingkungan alam. Begitu kompleksnya krisis negara ini mensyaratkan pendekatan restorasi yang tidak memilah kelompok-kelompok kebangsaan ke dalam berbagai kubu. Restorasi bertolak dari asumsi bahwa sebagai sebuah bangsa, kita sebenarnya memiliki jati diri, kebanggaan, kepercayaan, dan martabat yang bisa membawa kita ke arah kemajuan dan kemakmuran. Semua itu kini terkikis oleh politik uang dan politik pencitraan, dan karena itu, perlu dibangkitkan kembali lewat upaya keras seluruh elemen bangsa.
Namun, organisasi dan gagasan terkadang selalu tidak berjalan beriring. Pada saat gagasan menguat, justru pada saat itu pula entitas organisasi lemah. Sebaliknya, ketika organisasi menjadi lebih kuat, gagasan justru meluntur dan bahkan nyaris punah tak tahu ke mana rimbanya.(M-2)
David Krisna Alka, pemerhati kajian politik kultural dan pendiri @CatatanPolitik Institute
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 11 November 2013
No comments:
Post a Comment