Friday, August 31, 2007

Sastra: Penyair Berpentas di Candi Borobudur

PULUHAN penyair dari dalam dan luar negeri membacakan karya sastra masing-masing di panggung terbuka "Aksobya", timur kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/8) malam.

Pergelaran berjudul "Utan Kayu International Literary Biennale 2007" itu dibuka dengan suguhan penampilan tembang Jawa kontemporer berjudul Nyanyian Jiwa oleh komunitas seniman petani lereng Gunung Merapi, dari Padepokan Tjipto Boedojo, Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Selanjutnya komunitas seniman petani lereng Gunung Merbabu, Desa Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, yang dipimpin Kepala Desa Riyadi, menggelar musik tradisional kontemporer "Truntung Gamelan" mengiringi penampilan puluhan penari tradisional "Soreng".

Para penabuh musik truntung mengenakan properti berupa pakaian dari rangkaian daun dan "janggel" jagung yang menutup tubuh dan bagian mukanya. Musik truntung adalah tabuhan alat musik, terbang, dengan sebilah bambu dipadu pukulan bende dan dram.

Gerimis sempat turun di Candi Borobudur sekitar pukul 21.35 hingga 21.50 WIB saat penyair Indonesia, Avi Basuki, membacakan cerpen Perempuan, dan penyair asal India, Mamang Day, membacakan cerpen Tempat yang Gelap, Kota-Kota Kecil dan Sungai, dan Musim Panas Ini.

Penyair asal Belanda, Chris Keulemans sebelum membacakan karya sastranya menyatakan kekagumannya atas kemegahan Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra itu.

Para penyair lain yang menggelar karya-karyanya di pelataran candi itu antara lain Hassan Daoud (Lebanon) dengan cerpen Lorca in Beirut: Who Brought Him Here?, Shin Joong Seun (Korea) membaca cerpen The Fable of Our Age, Hamsad Rangkuti (Indonesia) membaca karya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Selain itu, Kimberly M Blaeser (Amerika Serikat) membacakan puisi Fantasies of Women, Sean M. Whelan (Australia) membaca sejumlah puisinya antara lain Elvis Tears, Dear Elliot, dan Lemonade and Tequila.

Acep Zamzam Noor (Indonesia) membacakan cerpen Menjadi Penyair Lagi, dan Di Malioboro, Sharanya Manivannan (Srilangka) membaca cerpen berjudul Poem dan puisi berjudul The Mapmaker's Wife.

Saat Sharanya membacakan karya sastranya sekitar pukul 22.56 WIB, angin bertiup relatif kencang di sekitar candi itu dan mengakibatkan layar monitor relatif lebar di sisi kanan panggung roboh.

Pergelaran karya sastra oleh para penyair, Rabu (29/8) malam itu ditutup tengah malam dengan penampilan grup musik Akapela Mataraman Yogyakarta yang dipimpin Pardiman, yang menembangkan sejumlah karya sastra Romo Sindhunata, SY, secara jenaka sehingga para penonton tertawa.

Pada kesempatan itu Romo Sindhunata juga membawakan tembang Jawa, geguritan, yang bertutur tentang kemegahan dan spiritualitas Candi Borobudur dengan iringan musik akapela grup "Akapela Mataraman", secara khusuk.

Terlihat menyaksikan pergelaran karya sastra itu antara lain budayawan Gunawan Muhammad dan Romo Kirjito, Pr, pelukis Joko Pekik dan Soni Santoso, seniman lima gunung Magelang, Sutanto Mendut, dan Wakil Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno.

Menurut rencana para penyair lain akan membacakan karya-karyanya pada lanjutan 'event' budaya itu, Kamis (30/8) malam, di panggung "Aksobya" Candi Borobudur.

"Temu penyair ini bagi kalangan seniman Magelang tentu memberikan inspirasi bagi perkembangan dunia sastra di daerah ini," kata penyair Kota Magelang, Es Wibowo.

Sementara itu, acara temu penyair dari dalam dan luar negeri yang berlangsung pada Rabu (29/8) malam juga diramaikan dengan pameran seni instalasi berjudul Lelaku (perjalanan) di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

"Lelaku"

"Karya Lelaku ini simbol perjalanan spiritual manusia, sebagaimana Sidharta Gautama juga menjalani 'lelaku' untuk mencapai kebuddhaannya,' kata Ismanto, seniman Gunung Merapi, Magelang, yang membuat instalasi tersebut, di Magelang, Rabu (29/8) malam.

Lelaku berupa instalasi kurungan dari rangkaian bambu, berjumlah sekitar 20 unit berbagai ukuran itu menghiasi berbagai tempat di panggung terbuka "Aksobya", di timur kaki Candi Borobudur.

Ismanto yang juga pematung, pelukis, dan seniman teater itu mengatakan, setiap orang pasti melakukan perjalanan spiritual kemanusiaan. Para penyair, katanya, menghasilkan berbagai karya sastra setelah mereka melakukan suatu perjalanan spiritual.

"Mereka tidak sekadar menulis karya sastra, tetapi melalui suatu proses perjalanan spiritual dan mendapatkan inspirasi yang kemudian dituangkan dalam karya sastranya," katanya.

Ismanto menyebut kurungan dengan pelita sebagai simbolisasi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jiwa yang bersinar. Pada bagian panggung terbuka itu, karya Lelaku Ismanto juga juga dilengkapi dengan tatanan jerami di berbagai tempat sehingga terkesan eksotik.

Penutupan

Pementasan wayang kontemporer dengan lakon Sudamala akhirnya menutup temu penyair dari dalam dan luar negeri di panggung "Aksobya", kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Pementasan wayang oleh dalang asal Tegal, Jawa Tengah, Slamet Gundono, di Magelang, Kamis (30/8) menjelang tengah malam itu. Gundono saat memulai pementasannya mengatakan, lakon Sudamala diolah secara kontemporer tentang kesetiaan Dewi Uma, berasal dari kisah yang tersimpan di Candi Sukuh, Kabupaten Karanganyar, Jateng.

"Ini tentang liku-liku kehidupan pasangan suami istri, Dewi Uma selingkuh, namun ada kesadaran dan pertobatan," katanya.

Lakon Sudamala dimainkan dalam bentuk pewayangan kontemporer, memadukan antara lain seni musik, tari, performance art, teater, wayang kulit, dan wayang orang. Pementasan itu terkesan megah oleh latar belakang Candi Borobudur yang diterangi lampu ribuan watt dari berbagai sudutnya.

Penonton terlihat tertawa saat menyaksikan pementasan itu karena sang dalang, Slamet Gundono, membawakan lakon itu secara menarik dan kental dengan humornya.

Iringan musik dari tabuhan antara lain saron, demung, terbang, dan kecrek. Sementara Gundono selain mendalang juga memainkan alat musik "kencrung".

Dua tokoh wayang dari bahan plastik dan dua gunungan ditancapkan di panggung tersebut, dan sesekali dimainkan oleh sang dalang. Sementara dua penari putri terlihat tampil secara menarik sebagai tokoh Dewi Uma. Mereka menari mengikuti iringan musik dan tembang Jawa kontemporer yang dilantunkan Dalang Slamet Gundono.

Sebelum para penyair membawakan karya-karya mereka, sejumlah personel grup musik akapela, "Akapela Mataraman" asal Yogyakarta membawakan musik campur sari dengan vokalis Soimah Poncowati diiringi siter, saron, dan kibor.

Grup itu tampil membawakan sejumlah tembang macapat dan campur sari. Soimah secara terus-menerus bernyanyi sambil berdialog dengan penonton dan pemusik.

Ketua Panitia "Utan Kayu International Literary Biennale 2007", Sitok Srengenge, mengatakan, pergelaran yang meriah itu bukan sekadar pertemuan para penyair dan pementasan karya-karya mereka. Akan tetapi, bermanfaat membangun solidaritas antarpenyair dan memberikan inspirasi kepada mereka dan masyarakat luas tentang kehidupan.

"Kesempatan ini bukan hanya kesenangan karena bersama-sama berkumpul dengan menunjukkan karya masing-masing, tetapi menjadi suatu solidaritas kemanusiaan. Kebersamaan ini menguatkan kecintaan terhadap sastra," katanya. [Ant/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 31 Agustus 2007

Obituari: Pak Ong Telah "Pulang"

COBA tanya Arief Budiman soal Ong Hok Ham. Salah satu ceritanya kemungkinan berkaitan dengan ramalan Ong Hok Ham yang kerap dipanggil Pak Ong mengenai masa depan Indonesia.

Arief mengungkapkan, saat perjuangan mahasiswa melawan Bung Karno, Pak Ong berulangkali mengingatkan Arief dan kawan-kawannya soal kemungkinan bangkitnnya diktator militer di Indonesia. Saat itu Arif menjawab, yang penting jatuhkan dulu Bung Karno.

Bung Karno kehilangan kekuasaan. Lalu apa yang diramalkan Pak Ong terbukti. Soeharto dan kawan-kawannya berkuasa. Soal sepak terjang kekuasan Soeharto sudah diketahui masyarakat. Tidak salah jika dalam film dokumenter Kado Buat Rakyat Indonesia, Arief mengatakan, "Ong benar."

Peramal itu sekarang sudah tiada. "Pak Ong meninggal setengah jam lalu di rumahnya di Cipinang Muara. Seminggu lalu saat saya bertandang ke rumahnya dia masih mau bicara banyak tentang soal-soal kesejarahan. Tapi agak sulit memahami apa yang dikatakannya karena suaranya sudah tidak jelas," kata Direktur Ong Hok Ham Institiut, Andi Achdian Kamis (30/8) malam.

Pak Ong jelas bukan peramal biasa. Ia sejarawan. Tapi bukankah sejarawan adalah orang yang dengan tekun mengkaji peristiwa di masa lampau dan kemudian bisa menggunakan pisau analisisnya untuk mengkaji masa kini.

Lepas dari soal itu, nama Ong Hok Ham jelas sulit dipisahkan dari dunia sejarah di Indonesia. Namanya menggetarkan. Bukan saja karena kecerdasan dan ketekunannya. Bukan hanya karena disertasinya yang berjudul The Residency of Madiun ; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century di Universitas Yale, Amerika Serikat masih menjadi bahan kajian menarik para sejarawan.

Asvi Warman Adam, sejarawan yang sering menulis di media massa mengakui kepeloporan Pak Ong untuk menuliskan persoalan sejarah di media massa. Ong Hok Ham memang penulis yang produktif. Kumpulan tulisannya di Majalah Tempo (1976-2001) sudah diterbitkan dengan judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang salah satu bukti kecil konsistensi almarhum di dunia tulis menulis.

Kumpulan tulisannya kemudian menjadi buku berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa adalah contoh lain betapa dia adalah sejarawan yang mau membagi-bagikan ilmunya kepada masyarakat. Salah satunya dengan mengirimkan begitu banyak artikel ke media cetak.

Menurut Bambang Hartanto salah seorang keponakan almarhum, jenazah Ong Hok Ham akan dikremasi. Namun Bambang belum bisa memastikan tempat sang sejarawan yang ahli kuliner itu akan dikremasi.

"Masih sedang dirapatkan keluarga. Mungkin paling lambat Minggu (2/9) dilakukan kremasi," tutur Bambang.

Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia kelahiran 1 Mei 1933 sekarang sudah tiada. Tulisan-tulisannya pasti akan terus dibaca dan dikaji ulang. Indonesia perlu banyak sejarawan berani seperti Pak Ong. [M-15/A-14]

Sumber: Suara Pembaruan, 31 Agustus 2007

Obituari: Sejarawan Ong Hok Ham Telah Tiada

Jakarta, Kompas - Ong Hok Ham, salah satu tokoh sejarawan Indonesia, Kamis (30/8), meninggal dunia di kediamannya di Jalan Cakrawijaya IX Blok D No 11, Kompleks Diskum TNI Angkatan Darat, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Ong Hok Ham meninggal dalam usia 74 tahun.

"Saya ditelepon pada pukul 17.30 oleh salah satu pembantu Ong Hok Ham, dikabari bahwa Ong Hok Ham meninggal. Kebetulan saya tinggal tidak jauh dari rumah beliau, lalu saya datang dan segera membawa jenazah Ong Hok Ham ke Rumah Sakit (RS) Mitra Internasional, Jatinegara," kata Andi Achdian, Direktur Institut Ong Hok Ham, saat ditemui Kompas di persemayaman Rumah Duka RS Dharmais, Jakarta, tadi malam.

Dokter di RS Mitra Internasional menyatakan, Ong Hok Ham meninggal pukul 18.10. Menurut Andi, sekitar empat tahun lalu, Ong Hok Ham terserang stroke. Sejak saat itu pula ia menggunakan kursi roda. Ong Hok Ham, lanjut Andi, sempat memberi wasiat agar rumahnya dijadikan museum dengan koleksi sekitar 3.000 buku sejarah.

Hingga semalam belum ada keputusan dari pihak keluarga kapan jenazah Ong Hok Ham dikebumikan. "Keluarga masih menunggu kedatangan salah satu adik Ong Hok Ham dari Australia," kata Hardi Halim, kerabat dekat Ong Hok Ham. (NAW/MUK)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Agustus 2007

Thursday, August 30, 2007

Renungan Kehidupan: Ibu Imajinasi

-- Radhar Panca Dahana*

Kembali dari Parung Bingung, Bogor, dari sebuah rumah besar bergaya minimalis yang damai—ada sungai di tepinya—dan mengarungi ruang kerja serta galeri pelukis Hanafi, seperti kembali dari perasaan-perasaan purba.

Saya seperti kembali dari dunia lain, di mana kita mengenali kenyataan tidak hanya dari kepadatan lalu lintas, perdagangan sibuk pasar tradisional atau hypermarket. Juga dari ratusan bibir menggelinjang dalam diskusi, atau tukang becak yang coba mengelabui penumpangnya. Namun, dari sebuah dunia di "kejauhan", tempat segalanya bermakna ketika kita me-"rasa"-kannya.

Inilah sebuah dunia yang "berjarak" dari dunia nyata kita. Sebuah dunia kehalusan Srimpi, kidung-kidung atau kalangwan klasik, gamelan yang menggemang, patung Sudirman yang kecut, kurus dan kuyu, atau warna-warna kasumba, angka yang bergeletakan, cerita yang menusuk serta getaran giris lukisan-lukisan Hanafi; pelukis yang memegang kelengkapan modernitas dalam kebajikan alam yang tua.

Dunia yang menggerakkan kita tidak dari kekuatan dan kombinasi pikiran serta rasionalitas. Tidak dari materialitas yang tampak, terpegang dan terukur. Namun, dari sebuah gelombang yang mengalun dan menghunjam, lembut dan keras, ke dalam sanubari kita—dalam psikhe, batin, atau "Id" kita—memberi kita sebuah makna yang membuat kita menjadi lebih "paham": apa yang sesungguhnya telah terjadi di sekitar kita.

Ini mungkin sebuah pelajaran penting bagi manusia "urban" yang getas dan kering. Yang melihat dan mengapresiasi kenyataan melulu dari indikator fisik: bunga deposito, jumlah karyawan, besaran ekspor, nilai valas, kurs IHSG atau headline media massa. Sebuah ingatan akan adanya realitas yang mendekam, bergerak, bahkan berperan menentukan di kehidupan keseharian kita. Dunia "dalam", dunia "rasa", dunia gelombang: kodrat lain dari cahaya, selain sebagai foton (materi). Dan, sebenarnya, dunia makna sesungguhnya.

Ketika (kita) lupa

Bisa jadi, perikehidupan kota, dengan seluruh pranata hidup serta identifikasi-identifikasi penanda modernitasnya, tidak memberi kita passport atau sekadar tiket free untuk memasukinya. Jika tidak, kemudian kita teralpakan. Kita dibuatnya lupa, dipaksa menerima kenyataan inderawi atau empiris itu sebagai satu-satunya realitas kita, bahkan menekan kehendak itu untuk sekadar tahu: "tak adakah realitas lain selain ini"?

Lalu kita pun tenggelam dan hanyut bersamanya. Bersama artifisialisasi dari kemanusiaan dan kesemestaan kita. Dunia "batin" pun tersisih, pergi, atau meninggalkan kita selamanya.

Kita sudah akan merasa gembira dengan angka pertumbuhan ekonomi, atau jumlah dollar dalam cadangan devisa Bank Indonesia. "Fundamen ekonomi kita kokoh," kata mereka.

Namun, di seberang apartemen kita, sekian keluarga tidak tahu mereka akan makan apa hari ini. Ada yang bayinya mati di kali yang hitam, anaknya berkeliaran di perempatan bersama pelacur, bromocorah, dan virus AIDS atau flu burung mengintai.

Ah, betapa tidak bisa kita terima kenyataan jauh itu. Dunia di balik notebook Pentium Core 2 Duo, atau studio TV yang perkasa, huruf-huruf besar koran pagi, atau statistik rapat manajemen siang nanti adalah the real reality itu. Sebuah kenyataan—yang tanpa disadari—sebenarnya telah menuntun kita dalam tiga dimensi virtual. Dunia maya, yang elektronis yang sistemis dari sebuah Matrix.

Lebih tepatnya, dunia yang direkayasa oleh satu logika informatik dan mediatik tertentu. Tragik, sesungguhnya tragik, jika justru para pengambil kebijakan dan keputusan yang berenang di dalamnya.

Ketika realitas jamak

Karena dunia semacam itu adalah dunia kue lapis, betapa pun ia senikmat lapis legit Lampung yang diproses 24 jam. Dunia yang menawarkan realitas jamak, bergantung pada intensi, ideologi, latar sosial-kultural, termasuk bergantung pada peranti lunak dan keras yang digunakannya. Semua virtual.

Betapa pun, semua mengakui, realitas itu miliknya. Namun, siapa bisa mengatakan: kenyataanmu sama dengan milikku? Realitas, kini, adalah milik pribadi seseorang, sekelompok orang, separtai politik, atau segolongan agama. Kita merekayasa (dan direkayasa) kenyataan kita sendiri-sendiri.

Maka, cobalah tatap dan renungkan semua yang ada di hadapan kita. Sungguhkah semua sebagaimana tampaknya? Takkah itu hanya simulasi simbolik saja? Simulacra, antara lain, kata sebagian. Tidakkah itu hanya sebuah game of semiotics belaka? Tiadakah sesuatu yang tersembunyi di baliknya? Yang bergetar, beresonansi, dan bergelombang menembus permukaan kulit ari dan daging kita yang penuh luka, langsung masuk ke hati dan kesadaran dalam kita? Lalu menemukan sebuah kata lain, gerak lain, manusia lain, semesta lain, dunia lain; dunia yang mungkin tak terbayangkan. Namun, mungkin itu dunia yang sesungguhnya.

Anda mungkin tetap akan mengatakan "omong kosong!" untuk semua itu. Baiklah. Jangan paksa diri Anda. Untuk melakukan sesuatu yang Anda tak mau, atau merasa tak "mampu", atau bisa jadi Anda rasa "tak perlu". Anda hanya perlu yang pasti. Pasti Anda akan naik gaji, naik jadi direktur, atau mungkin jadi menteri. Pasti untung rugi, atau saldo pasar dalam relasi sosial dan politik Anda.

Ketika imajinasi mati

Tak ada lagi dunia kemungkinan lain. Dunia serba mungkin, di mana hidup memberi game atau puzzle yang harus kita jawab. Dunia dan hidup tanpa tapal batas, dunia imajinasi kita. Karena memang, dunia inilah yang telah mati. Tidak tumbuh lagi. Ruangnya sempit dan jarak pandangnya sangat dekat.

Itulah dunia kerja kita, tanpa imajinasi. Alhasil, kepercayaan kita padanya—sebagai dunia yang dapat mengembang dan menciutkan dunia wadak kita—hilang. Imaji kita jadi sangat filmis dan terkonstruksi.

Akhirnya kita tak sadar, ratusan dan ribuan tahun, hidup kita bertahan dan berkembang sesungguhnya dari dunia yang kita tolak dan menjadi pandak itu. Di negeri kepulauan inilah, imajinasi pernah dan bisa sampai pada induknya, pada ibunya, di dasar keberadaan dan tradisi kita. Dasar dan tradisi yang melahirkan kebesaran-kebesaran, yang kini tetap menjadi alasan kita bangga dan menjadi satu.

Akan tetapi, alam baru meminta kita menafikannya. Menafikannya!

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan, Tinggal di Tangerang

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Agustus 2007

Sejarah Nasional: Biografi Koesoemo Oetoyo Bisa Menjadi Inspirasi bagi Generasi Penerus

Biografi Raden Mas Adipati Ario Koesoemo Oetoyo (1871-1953) menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Koesoema Oetoyo adalah tokoh pergerakan politik pada masa-masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Kiprah Koesoemo di antaranya sebagai Ketua Organisasi Pergerakan Politik Boedi Oetomo selama 10 tahun (1926-1936) dan menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat yang pertama, yang didirikan Belanda tahun 1918.

Catatan sejarah ini kembali dimunculkan sehubungan peluncuran dan bedah buku biografi RMAA Koesoemo Oetoyo berjudul Perjalanan Panjang Anak Bumi, Senin (27/8) lalu di Auditorium Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. Rushdy Hoesein dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), dan Roger Tol selaku Direktur Lembaga Kajian Budaya untuk Wilayah Asia Tenggara dari Universitas Leiden, Belanda, tampil sebagai pembahas.

Terkait sosok Koesoema Oetoyo yang tak dikenal luas tersebut, Rusdhy mengungkapkan bahwa perjuangan kebangsaan untuk merintis kemerdekaan Indonesia tidak selalu secara radikal. Pada masa pergerakan menuntut kemerdekaan dari Hindia Belanda, misalnya, anggota-anggota Volksraad menjadi kelompok yang kooperatif.

"Akan tetapi, tujuan politik menuju kemerdekaan Indonesia cukup jelas," ujarnya.

Manifestasi yang paling menonjol dari peranan Volksraad ini, pada 15 Juli 1936 dibuatlah petisi yang menyatakan agar Pemerintah Belanda dan parlemennya menyelenggarakan konferensi di kerajaannya agar menetapkan, dalam jangka 10 tahun ke depan, Indonesia diakui sebagai wilayah mandiri. Petisi itu ditandatangani banyak orang, termasuk Oetoyo. Penanda tangan pertama petisi itu Soetardjo Kartohadikoesoemo sehingga petisi itu kemudian dikenal sebagai Petisi Soetardjo.

Roger Tol pada kesempatan itu menuturkan, biografi pelaku sejarah di Indonesia termasuk jarang dibuat. Buku biografi Koesoemo Oetoyo dinilai sangat penting dan bermanfaat bagi generasi penerusnya.

Dari buku biografi yang diterbitkan Yayasan Obor tersebut, salah satu cucu Oetoyo, Atashendartini Habsjah, mengungkapkan, dalam berbagai pidato Oetoyo di organisasi Boedi Oetomo maupun sidang Bupati Se-Jawa (Oetoyo selama 23 tahun, 1902-1925, menjabat sebagai bupati di beberapa daerah di Jawa), Oetoyo sering mengistilahkan Anak Bumi.

Istilah Anak Bumi itu dimaksudkan Oetoyo untuk mengembalikan kepercayaan diri kaum pribumi. Menurut Atashendartini, Oetoyo selalu menanamkan agar semua ilmu dari Barat harus dikuasai pula Anak Bumi. Identitas Oetoyo sehari-hari sebagai Anak Bumi juga diwujudkan secara konsisten. Oetoyo dalam kesehariannya antimemakai sepatu, selalu mengenakan kain batik pengganti pantolan, dan berbelangkon. (NAW)

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Agustus 2007

Monday, August 27, 2007

Budaya: Multikultural Dikenalkan sejak Dini

JAKARTA (Media): Pemahaman multikulturalisme dengan nilai kebangsaan sudah seharusnya dikembangkan dan diperkenalkan sejak dini dalam etika kemasyarakatan. Prinsip positif multikulturalisme bisa menjadi solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan kebangsaan saat ini.

Pemikiran tersebut mencuat dalam seminar bertajuk Menghadapi Globalisasi, Organisasi Tionghoa Indonesia Mau ke Mana?, di Megaglodok Kemayoran, Jakarta, akhir pekan lalu.

Sosiolog Mely G Tan sebagai pembicara pada acara tersebut mengatakan bahwa saat ini konsep multikulturalisme perlu dikembangkan, seperti memberikan pemahaman sejak dini kepada anak tentang tidak adanya perbedaan antara orang yang memiliki rambut keriting, kulit putih, dan mata sipit, agar mereka dapat menerima keberagaman suku bangsa sebagai satu kesatuan nilai-nilai nasional kebangsaan.

"Dari kecil, si anak kita berikan pengertian tentang tidak adanya perbedaan antara orang, yang menurut mereka itu merupakan hal aneh, agar mereka dapat mengerti serta tidak menimbulkan jurang pemisah akibat keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia," jelasnya.

Hal itu, lanjut Mely, mungkin dapat menjadikan solusi mengenai sulitnya kegiatan organisasi etnis Tionghoa yang belum masuk dalam arus utama (mainstream) kehidupan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, menurut Sekjen Perhimpunan Indonesia Tionghoa Budi S Tanuwibowo, sudah seharusnya organisasi Tionghoa bisa lebih dekat dengan masyarakat agar dapat diterima secara luas.

Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 400 organisasi dengan latar belakang etnis Tionghoa. Seiring dengan berjalannya proses demokratisasi, eksistensi organisasi ini semakin diakui di masyarakat bahkan dalam acara tertentu sudah banyak melibatkan warga pribumi.

Organisasi Tionghoa biasanya bergerak dalam bidang perdagangan, sosial politik, serta kebudayaan. (*/H-1).

Sumber: Media Indonesia, Senin, 27 Agustus 2007

Sunday, August 26, 2007

Wacana: Kemesraan dan Percekcokan Kesusastraan (Bagian pertama dari dua tulisan)

-- Binhad Nurrohmat*

SEKURANGNYA, pada masa Balai Pustaka (1920-an) sastra modern kita mulai menggeliat. Berdirinya Balai Pustaka merupakan pengaruh perubahan politik di negeri Belanda yang menghembuskan Politik Etis ke negeri jajahannya.

Melalui Balai Pustaka, sastra modern kita menguak gerbang sejarahnya dengan sejumlah karya dan pengarang yang kini dianggap klasik dalam sastra modern kita. Penerbit ini didirikan di Jakarta dan menerbitkan bacaan resmi karya pengarang pribumi berdasarkan ukuran kesusastraan yang berbau agenda pemerintah kolonial.

Pada masa itu, bacaan yang menyimpang dari ukuran Balai Pustaka dinista sebagai bacaan liar, misalnya bacaan berbahasa Melayu rendah serta bacaan yang bersifat anti-Belanda, berpandangan liberal, dan berideologi kiri. Pemerintah Belanda juga berupaya memonopoli pasar buku agar rakyat inlander terhindar dari pengaruh bacaan liar.

Pada 1933 di Jakarta terbit majalah kebudayaan dan kesusastraan Pujangga Baru yang mengembangkan sastra Indonesia modern bergaya Barat, romantik, dan berwatak nasionalisme kooperatif. Di majalah ini terjadi polemik kebudayaan tentang Timur dan Barat, menjadi media kaum intelektual nasionalis untuk menjelaskan Indonesia sebagai kesatuan budaya dan politik, dan melahirkan gaya ekspresi yang khas dalam puisi, roman, dan esai polemik.

Tapi, majalah ini tak diterima sepenuhnya oleh kaum pergerakan dan melalui Harian Bintang Timur, mereka mencibir westernisme Pujangga Baru serta hubungannya dengan Balai Pustaka dan perusahaan percetakaan Kolff. Majalah ini tak beredar lagi sejak kedatangan Jepang pada 1942.

Jepang mencoba menghapus warna Belanda dari kehidupan kebudayaan kita dan ini tanda berakhirnya generasi Pujangga Baru, tapi belum memupus pengaruhnya. Tanda ini mulai menguat sejak beredarnya puisi Chairil Anwar yang menyingkiri norma Pujangga Baru dan menjadi tonggak generasi Angkatan 45.

Watak revolusioner puisi Chairil Anwar melahirkan individualisme dan pengucapan yang khas yang bertumbuh bersamaan dengan deru revolusi nasional dan menjadi puisi garda depan yang berpengaruh mendalam bagi perpuisian Indonesia modern. Generasi ini menerbitkan majalah Gema Suasana dan melahirkan gagasan yang menampik ide Timur dan Barat menuju humanisme universal yang membuat generasi ini konon menjadi warga sastra dunia seperti yang dicetuskan generasi ini melalui Surat Kepercayaan Gelanggang (Jakarta, 18 Februari 1950).

Dalam perkembangannya, Angkatan 45 direaksi dan dituding oleh sejumlah kalangan seniman sebagai pemuja individualisme. Humanisme universal dinilai menjauhkan seniman dari masyarakatnya dan menempatkannya di menara gading. Mereka yang berbeda pandangan dengan humanisme universal itu membentuk organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950.

Bagi Lekra, peran seniman tak lepas dari masyarakatnya dan rakyatlah yang menciptakan kebudayaan. Pandangan-pandangan Lekra termaktub dalam Mukaddimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Solo, 22-28 Januari 1950). Di rubrik Lentera koran Bintang Timur, yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer tersiarlah tulisan fiksi dan non-fiksi yang cenderung beraliran Realisme Sosialis, misalnya tulisan yang menuduh cerpen B Sularto di majalah Sastra yang diasuh HB Jassin sebagai reaksioner, sebuah tuduhan berbahaya saat itu.

Serangan Lekra terhadap tulisan para sastrawan di Majalah Sastra berlangsung sangat keras dan Lekra gigih menggelorakan jargon "Politik sebagai Panglima" dalam seni dan budaya. Bagi Lekra, generasi Angkatan 45 adalah biang penyebar humanisme Barat (humanisme universal) dan berlawanan dengan humanis proletariat yang dianut Lekra, yaitu humanisme yang mengabdi kepada rakyat pekerja, buruh, dan tani.

Bagi seniman di sekitar majalah Sastra dan non-partisan, "Politik sebagai Panglima" itu mencemari kebebasan kreatif. Maka, untuk menyikapi itu, mereka merumuskan dan menandatangani pernyataan Manifes Kebudayaan (Jakarta, 17 Agustus 1963) yang diejek oleh Lekra dengan akronim "Manikebu". Lantaran kuatnya pengaruh Lekra dalam kekuasaan politik, pengikut Manikebu dijadikan bulan-bulanan dan Manikebu dilarang oleh Soekarno.

Inilah era terbingar kehidupan seni dan budaya kita dan menciptakan sejarah yang tragis lantaran pergolakan ideologis. Setelah Manikebu dilarang, para pengikutnya "tiarap", dicopot dari jabatannya, menulis memakai nama samaran agar tak ditolak media massa, dan dilarang mengikuti rapat-rapat.

Tapi, setelah Gestapu (Orde Baru menyebutnya G30S/PKI) terjadi pembatatan total terhadap PKI dan Lekra serta para pengikutnya, baik karya maupun pengarangnya (pemenjaraan dan pembuangan Pram di Pulau Buru, misalnya). Setelah masa ini kehidupan seni dan budaya menjadi a-politis. Kesenian menjadi "steril" dari upaya menyikapi kehidupan secara kritis dan terjadi birokratisasi seni dan budaya melalui Taman Ismail Marzuki dan sejumlah Gelanggang Remaja di Jakarta maupun dewan kesenian dan taman budaya di daerah-daerah.

Pada Juli 1966, para seniman Manifes Kebudayaan menerbitkan majalah sastra Horison. Majalah ini hadir seiring dengan merekahnya Orde Baru. Di masa ini trauma politik tahun-tahun sebelumnya masih membekas. Kecenderungan a-politis seni dan budaya di masa ini sejalan dengan depolitisasi Orde Baru demi kemapanan kekuasaannya.

Menurut Emha Ainun Najib, di masa tersebut muncul konvensi "bisu" dalam seni dan budaya yang merupakan perpanjangan tangan kaum mapan. Suara kritis dianggap subversif. Puisi dan drama Rendra dicekal dan menyebabkan Rendra dijebloskan ke penjara. Puisi Wiji Thukul yang menyuarakan ketertindasan kaum buruh dicekal dan penyairnya "raib".

Pada masa itu juga terjadi polemik, kasus, fenomena, maupun kecenderungan dalam sastra, antara lain Langit Makin Mendung, Puisi Mbeling, Pengadilan Puisi, Sastra Kontekstual, Warna Lokal, Mazhab Fakta-Fiksi, Revitalisasi Sastra Pedalaman, Komunitas Sastra, Puisi Gelap, Sastra Transendental, dan Sastra Koran.

Orde Baru runtuh pada 1998 dan masyarakat memasuki masa Reformasi. Pada masa ini, segala bau Orde Baru ingin dilenyapkan. Suasana kebebasan menyeruak dan angin perubahan bertiup kencang. Tabu Orde Baru sudah jadi masa lalu dan terjadilah perluasan serta pertumbuhan media dan kepengarangan. Masa transisi seolah membuat pemerintah kehilangan agenda terhadap seni dan budaya.

Pada masa itu ada fenomena dan polemik sastra, misalnya Sastra Saiber, Penerbit Rumahan, Sastra Islami, Fiksi Teenlit, Sastra Seks, maupun Gerakan Syahwat Merdeka. Di masa itu industri fiksi teenlit dan sastra Islami memarakkan fenomena pasar serta memunculkan sejumlah ikon pengarang, sejumlah penerbit buku sastra/fiksi mereguk laba besar, muncul hadiah-hadiah sastra untuk sastrawan, dan terselenggaranya jaringan dan mengucurnya donasi asing (internasional) untuk dunia seni dan budaya kita.

Kisah-kisah kesusastraan itu menciptakan hubungan yang mesra, misalnya "bacaan resmi" dengan Balai Pustaka dan hubungan yang penuh percekcokan, misalnya seniman Lekra dengan seniman Manifes Kebudayaan.

* Binhad Nurrohmat, penyair

Sumber: Republika, Minggu, 26 Agustus 2007

Sastra: Sekali lagi Soal Ide dan Bahasa tentang Tanggung Jawab Redaktur

-- Eko Endarmoko*

MENULIS mungkin sebuah laku absurd. Bayangkan, orang dituntut memberi wujud dalam bentuk tulisan pada sesuatu yang mujarad, yaitu ide yang bersemayam dalam pikiran. Karena itu, seorang penulis niscaya pernah mengalami kesulitan menuliskan ide atau perasaannya. Itu pertama-tama dipengaruhi kekayaan kosakata. Semakin miskin kosakata seseorang semakin sulit pula ia menyatakan pikiran atau perasaannya tadi. Tapi khazanah kata yang kaya tidak dengan sendirinya menjadi jaminan karena menulis tentu juga memerlukan keterampilan merangkai kata, menata kalimat, dan membangun wacana.

Celakalah orang yang terlalu yakin pada kata-kata di dalam tulisannya sendiri sebab sebuah kata sering berkhianat sehingga maksud penulis ditangkap secara berbeda atau malah tak dapat dimengerti pembaca. Maksud penulis bisa disalahtafsirkan, antara lain karena makna adalah sesuatu yang cair karena sebuah kata punya beragam arti dan watak. Jika membaca sebuah tulisan, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan latar sosial, taraf pengetahuan, dan pengalaman membacanya.

Sebuah tulisan kita katakan gelap, alias dapat tidak dipahami, sering bukan karena pembaca bodoh, melainkan karena cara merumuskannya di dalam kalimat yang berbelit. Maka, saya selalu percaya penerapan kaidah berbahasa yang baik dan betul banyak berperan membantu penciptaan kalimat yang maksudnya dapat dimengerti. Sebaliknya, kalimat yang ruwet dan kabur sering dapat dibuktikan terlahir dari tangan penulis yang abai pada kaidah berbahasa.

Seorang sastrawan pernah menanggapi kritik yang menilai tulisannya gagal. Ia berkelit yang penting pembaca mengerti dan tidak perlulah teori-teori yang menakutkan—satu pernyataan sikap yang cukup sering kita dengar. Juga mengutarakan dalih, yang ia kira ampuh, bahwa ia mengantongi licentia poetica, yaitu kuasa sastrawan menyalahi aturan bahasa demi mencapai apa yang ia maksud.

***

LUPAKANLAH penulis naif yang abai pada hukum dasar tata bahasa sambil bersembunyi di balik licentia poetica. Sebab, sungguh ganjil bila ia mengaku tengah bereksperimen menjempalitkan bahasa padahal tak ia pahami perbedaan cara menulis 'kelima' dan 'ke lima' atau 'keluar' dan 'ke luar' dalam kalimat. Lupakan ia yang dengan ringan hati menepikan teori, satu pokok penting yang justru menjadi landasannya berkarya. Bukankah teori paling sedikit menyediakan seperangkat tata istilah yang memberi pengertian tentang bagian-bagian sesuatu tulisan sampai yang sekecil-kecilnya?

Kadang saya bertanya-tanya, sudah sedemikian jelekkah bangun bahasa Indonesia sehingga tak mampu lagi menjadi wadah yang baik bagi ide-ide penulis? Jika tidak, itu berarti para penulislah yang enggan berkeringat di dalam menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia di dalam bahasa Indonesia. Tapi jika benar begitu, sekali lagi saya bertanya, apa gerangan yang dikerjakan para penyunting atau redaktur selama ini?

Jika menengok kembali bacaan yang terhampar di depan mata, terutama yang dimuat dalam koran, majalah, dan tabloid, kita memang patut curiga banyak yang menunjukkan tanda tidak disentuh redaktur dan tidak dibaca secara kritis sebelum naik cetak. Barangkali redaktur media cetak punya pandangan tersendiri bahwa tulisan berupa opini, apalagi karya sastra, tidak boleh diubah barang sedikit. Tapi apa sebetulnya maksud pernyataan media, yang mungkin sudah jadi konvensi tak tertulis, bahwa tulisan yang dimuat tidak berarti sejalan dengan opini redaksi?

Ada satu hal yang dapat atau malah perlu kita persoalkan di balik pengumuman itu, yakni satu perkara yang kiranya ikut menyebabkan iklim pemikiran terpantul pada tulisan-tulisan di sana terbaca semakin gersang. Memuat sebuah tulisan nyaris sebagaimana adanya—dengan segala kekeliruan bahasa, data, termasuk nalar yang meragukan—tampaknya lama-kelamaan kian menjadi kebiasaan.

Saya tidak menolak pendirian bahwa pada akhirnya bukan media, melainkan penulis yang memikul tanggung jawab atas tulisannya. Tapi sadarilah, pada saat sebuah media memutuskan menerima tulisan seseorang, dari kacamata etika, si media sudah mengambil sebagian dari tanggung jawab tersebut. Setidaknya, penilaian miring terhadap tulisan buruk seperti itu bakal mengarah bukan saja ke penulis, melainkan juga bisa menjadi bumerang bagi media yang memuatnya.

***

MEDIA cetak komersial seperti koran dan majalah tentu lebih memperhitungkan atau lebih tepat memanjakan kalangan pembaca. Entah disadari atau tidak, media itu terikat keperluan memelihara hubungan dengan khalayak pembacanya sedikit banyak dalam kerangka ekonomi. Mungkin itu sebagian dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung menyukai esai yang berisi ide-ide dan pemikiran yang menantang karena itu berpeluang mengundang polemik.

Tapi tampak oleh kita, ada perbedaan sangat besar antara polemik belakangan ini dan polemik kebudayaan sekitar tujuh puluh tahun silam antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan lain-lain. Lihatlah, Sutan Takdir dan kawan-kawan selalu mempertengkarkan ide, seperti apa kiranya bentuk ideal masyarakat dan kebudayaan Indonesia, dan tidak kita temukan cemooh atau lontaran kata-kata yang saling menghinakan di antara mereka.

Saya tidak tahu sejak kapan dan mengapa tulisan di sekitar kita semakin banyak bertaburkan kata umpatan yang ditujukan pada pribadi-pribadi, tapi bukan itu yang ingin saya perbincangkan sejak awal dalam tulisan ini. Sudah saya katakan, saya tidak menolak pendirian bahwa pada akhirnya penulislah yang bertanggung jawab atas tulisannya. Itu bukan berarti penyunting atau redaktur dapat lepas dan cuci tangan begitu saja. Apalagi, bagi saya, sedikit banyak ia ikut memberi pengaruh baik atau buruk pada iklim pemikiran dan penciptaan.

Kalau boleh meringkaskan kembali, penyunting atau redaktur tidak selalu berurusan dengan tubuh sebuah naskah. Ia juga mesti menghiraukan kandungan ide di dalamnya sepanjang tidak menyangkut pandangan penulis. Tidakkah bisa saja terjadi, misalnya, seorang penulis keliru memahami sebuah teori, katakanlah tentang strukturalisme atau dekonstruksi? Itu kasus yang patut dipersoalkan seorang penyunting atau redaktur, bukan pandangan penulis. Sebab jika hal terakhir yang terjadi, ia sudah melakukan sensor di sana.

***

MUDAH-MUDAHAN menjadi makin teranglah, seorang penyunting atau redaktur, selain kemampuan bahasa, perlu mengembangkan kemampuan berbahasa sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan, melainkan juga apakah tulisan itu dapat dimengerti dan yang tak kurang penting, valid. Di dalam bekerja, seorang penyunting selalu berada di tengah medan ide atau pengertian yang silang-sengkarut. Di tengah keriuhan itu, sang penyunting yang baik akan selalu mencadangkan kecurigaan sewaktu menatah kalimat, menyingkap selubung makna, dan mengawasi serta merawat bangun kalimat sampai pada tataran wacana.

Pengetahuan kebahasaan, dalam kenyataan, tak banyak menolong bilamana seorang penyunting berhadapan dengan isi, dengan ide, dan dengan persoalan-persoalan konseptual. Bukan teori linguistik yang ia perlukan, melainkan pengetahuan mengenai materi, pokok soal, yang diketengahkan penulis. Termasuk, tentu saja, kepekaan terhadap soal-soal yang bersinggungan dengan etika. Di situlah letak tanggung jawab moral seorang penyunting atau redaktur.

Bekasi, Agustus 2007

* Eko Endarmoko, penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia dan giat di Komunitas Utan Kayu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Agustus

Utan Kayu International Literary Bienalle 2007: Si Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut

SEBUAH ajang yang merambah jaringannya hingga ke tingkat internasional tentu akan menjadi penting bagi publik sebuah negeri. Sebagai pembelajaran, tukar-menukar pengalaman, perigi pendidikan, dan (atau) sekadar forum unjuk kebolehan, pada efek tertentu akan memberi motivasi kuat bagi publik negeri untuk memacu dirinya dalam persaingan di tingkat internasional. Begitu pun semestinya Utan Kayu Literary Bienale 2007 yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu (KUK), 23-30 Agustus ini di Jakarta dan Jawa Tengah. Ajang besar sastra ini mestinya menawarkan nuansa kesegaran bagi publik sastra juga masyarakat luas Indonesia.

Namun, apalah artinya jika ternyata acara ini tidak menghasilkan denyut apa-apa di kalangan sastrawan dan masyarakat negeri? Terang saja, baik KUK sebagai penyelenggara maupun publik sastranya harus sama-sama berintrospeksi kembali mengenai proses dan tujuan penyelenggaraan acara, atau mereposisi bagaimana caranya kaum sastrawan menyikapi kelompok lain dari kelompok mereka yang lebih punya uang dan jaringan untuk membuat acara yang tidak melibatkan mereka di dalamnya, bahkan membuat minder dengan elitisme yang terbangun pada acara itu.

Pada malam pembukaannya (23/8) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang terlihat kemewahan yang ditunjukkan pihak penyelenggara. Makanan berlimpah ruah dilengkapi dengan sejumlah meja bundar untuk makan para tamu (sesuatu yang jarang terjadi dalam setiap acara di Teater Kecil TIM) disuguhkan secara menarik. Ditambah ada pesta bir, dan para tamu bisa menenggak bergelas-gelas bir hingga mabuk. Meskipun tentu bukan tujuan acara ini membuat para tamunya mabuk, nyatanya terlihat banyak tamu yang mabuk selepas acara pembukaan itu. Peristiwa itu terang saja membuat risih para tamu lainnya yang menilai pesta bir itu sebagai bagian dari pekerjaan setan.

Dari samping gedung Teater Kecil, seorang penyair bernama Geger menangis. Ia mengaku baru saja dari dalam gedung. Selepas menulis nama dan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu, ia diusir satpam. Ketegangan sempat terjadi. Geger berkali-kali meyakinkan satpam bahwa dirinya ialah penyair dan orang yang aktif mengikuti kegiatan sastra. Tapi tetap saja ia diusir.

"Saya memang bersandal jepit dan berpakaian jelek seperti ini. Tapi apa karena penampilan seperti ini saya tidak boleh masuk?" keluh Geger berlinang air mata. Dan Geger pun beralih ke gedung Pusat Dokumentasi HB Jassin bersama dua rekannya asal Papua yang membawa secarik undangan.

"Percuma rasanya bawa undangan ini. Iya sih saya boleh masuk, tapi saya tidak boleh makan. Yang boleh makan ialah jenis undangannya lain," kata rekan Geger asal Papua itu sambil menunjukkan undangan yang kemudian dilicaknya sendiri.

Untuk menyukseskan ajang ini, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah menggelontorkan dana cukup besar. Menurut Ketua Komite Sastra DKJ, Zen Hae, dana yang digelontorkan berkisar Rp40 juta.

"Tidak benar acara ini dibiayai DKJ semua. Kami hanya menyumbang tiket, sewa tempat acara di Teater Kecil ini, dan penginapan pengisi acara. Ya, kurang lebih 40 juta rupiah," jelas Zen Hae. Tapi apa argumen DKJ menyumbang KUK, yang dianggap 'berlimpah ruah' uang, sedangkan di tepi lain, komunitas sastra juga butuh siraman DKJ. Sebuah deretan komunitas yang sepi dari lembaga donor.

Selain DKJ, memang masih ada sederet sponsor yang mendukung KUK, antara lain Australia Indonesia Institute, The Indonesian Institute, PT Djarum, dan National Arts Council Singapore.

Kurang membumi

Utan Kayu International Literary Biennale 2007 menghadirkan sekitar 19 sastrawan luar negeri dan sastrawan-sastrawan dalam negeri yang memiliki kedekatan khusus dengan KUK dan DKJ.

"Pesertanya datang dari 20 negara, termasuk Indonesia. Meliputi semua benua yang ada di dunia," ujar Direktur Utan Kayu International Biennale 2007 Sitok Srengenge.

Para penampil di malam pertama cukup gemilang, terutama penampilan Terence Ward, sastrawan kelahiran Boulder, Colorado. Naskah berjudul The City of Death yang dibacakannya memang sudah cukup kuat, ditambah dibacakannya secara cukup tenang dan penuh penghayatan. Sehingga, cerita berlatar Kota Kairo, Mesir, itu mampu menemukan daya tekannya pada penonton.

Begitu pun dengan penampilan Triyanto Triwikromo yang saat pembacaan didampingi rekannya bernama Beni. Sembari berlari kecil, keduanya masuki panggung seperti serigala lapar yang melolong kuat. Triyanto dan Beni yang memakai kedok sempat terkecoh yang mana Triyanto itu. Apalagi sebagian besar penonton memang tidak mengenal Triyanto. Naskah Sayap Kabut Sultan Ngamid dibacakannya selayaknya dialog dalam sandiwara radio. Permainan vokal terasa dominan karena banyak tokoh yang berperan dalam cerpen berlatar Jawa klasik itu. Suasana hidup dalam kesunyian yang mengalir.

Selain melakukan pembacaan karya sastra di TIM, event ini juga berlanjut di Teater Utan Kayu, Jakarta, selama dua hari (25-26/8). Disusul di Galeri Langgeng, Magelang, pada 28 Agustus, hingga berujung di Candi Borobudur, Magelang, pada 29-30 Agustus.

Penyair dan aktivis Fadjroel Rahman melihat event ini sangat penting terutama untuk memotivasi sastrawan-sastrawan dalam negeri untuk berkarya lebih maju lagi.

"Saya melihat penampilan dari Australia (Sam Wagan Watson) cukup bagus. Karyanya sangat unik bagi sastra kita. Karena itu, saya melihat forum ini sangat penting untuk kita semua. Namun sayangnya, event masih terasa eksklusif. Saya melihatnya begitu," kata Fadjroel.

Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri saat dimintai komentarnya hanya menjawab, "Aku tidak nonton, bahkan aku baru tahu ada acara itu ketika aku keluar dari masjid TIM menuju warung Alex," ujar Presiden Penyair itu. Sudah bukan rahasia lagi, KUK memang 'kurang suka' dengan Sutardji. Sosok penyair besar yang tidak mengembek dan tidak rindu tampil.

Sosialisasi acara yang kurang membumi juga sosialisasi yang sengaja tidak disebarkan bagi kelompok di luar jaringan KUK membuat event yang semestinya bisa diraih publik sebagai momentum perbandingan sastra dunia tidak cukup tercapai. Sutardji sebagai penyair kharismatik yang sudah dikenal masyarakat sastra internasional tidak diundang datang, padahal ia bisa menjadi jembatan komunikasi yang menjelaskan posisi sastrawan Indonesia saat ini.

Bila Geger sudah menangis akibat ulah pongah pihak keamanan gedung, dan terbangun rasa mindernya untuk mengikuti acara bernuansa elitis itu, akankah masyarakat sastra Indonesia dibuat menangis hanya karena event ini hanya meninggalkan foto-foto dokumentasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan ke pihak sponsor? Alias tidak berhasil melahirkan sugesti atau motivasi yang kuat mendobrak kesadaran sastrawan Indonesia untuk lebih maju berkarya! Jangan sampai pula yang terkenang dari acara ini yaitu ketika si Geger menangis, pesta bir terus berlanjut. Lalu, di manakah berkah acara ini? (Chavchay Syaifullah/M-3).

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Agustus 2007

Saturday, August 25, 2007

Sastra: 'Doctor Honoris Causa' untuk WS Rendra

YOGYAKARTA (Media): Budayawan Willybrordus Surendra Brata atau yang lebih dikenal dengan sebutan WS Rendra akan dianugerahi gelar doctor honoris causa (HC) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pemberian gelar tersebut sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi seniman yang berjuluk si Burung Merak ini.

Ketua Majelis Guru Besar Prof Boma Wikan Tyoso mengatakan, keputusan pemberian gelar Dr HC telah disetujui dalam rapat majelis guru besar dua bulan lalu. Untuk promotornya, Profesor Siti Camamah Soeratno, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, telah dipilih.

''Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Rektor UGM dan promotornya. Harapan kami segera dilaksanakan, karena prinsipnya sudah disetujui dalam rapat majelis guru besar,'' kata Boma, di Yogyakarta, kemarin.

Terpilihnya Rendra, menurut Boma, melalui seleksi dan pertimbangan yang cukup ketat. Salah satu dasar pertimbangannya adalah prestasi Rendra di bidang akademisi maupun seni.

''Meskipun dikenal sebagai penyair, prestasi akademik beliau sangat sesuai dengan perjuangan bangsa dalam hal pendidikan,'' jelasnya.

Selain itu, kemampuan seni Rendra bukan hanya dihargai di negeri sendiri, tetapi hingga mancanegara. Bahkan, negara-negara Barat memasukan Rendra ke tokoh seniman Indonesia modern yang unik. Ia mampu menulis puisi dan prosa serta membacakannya di atas panggung. Rendra juga dikenal sebagai penulis naskah drama, produser, dan pemain utama.

Pemimpin Bengkel Teater Rendra ini telah menulis sejumlah naskah drama yang sangat terkenal di masanya, antara lain Mastodon dan Burung Kondor, Sekda, dan Orang-Orang di Tikungan Jalan. Ia juga menulis naskah drama dari cerita terjemahan karya sastrawan William Shakespeare.

Selain pertimbangan akan kemampuannya dalam dunia sastra, Rendra ialah alumnus UGM. Ia pernah menempuh studi di Fakultas Sastra yang kini telah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya. (AZ/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 25 Agustus 2007

Peradaban Kita di Periode Stagnasi, Budaya Menerabas Jadi Salah Satu Penghambat

Jakarta, Kompas - Perjalanan peradaban modern Indonesia cenderung mengalami stagnasi. Salah satu faktor penghambat utama adalah karena budaya menerabas masih tumbuh subur, yang ujung-ujungnya menafikan kerja keras dan kreativitas.

"Padahal, sebuah bangsa yang tidak peduli terhadap kerja dan karya kreatif anak bangsanya sendiri, dalam perjalanan waktu, akan sulit diharapkan mampu melakukan terobosan untuk mempercepat kemajuan," kata cendekiawan Ahmad Syafii Ma’arif di Jakarta, Jumat (24/8).

Dalam seminar bertajuk "Mendorong Pembukaan Cakrawala Baru Bidang Penciptaan dan Pemikiran" yang diselenggarakan Akademi Jakarta, Syafii Ma’arif mengutip pandangan Bertrand Russel, filsuf Inggris, yang membedakan stagnasi dengan kemajuan. Periode stagnasi ialah periode orang merasa tidak berdaya. Sebaliknya, periode kemajuan ditandai suasana saat orang merasa prestasi-prestasi besar menjadi mungkin dan karena itu mereka ingin menjadi bagian di dalamnya.

Di tengah kecenderungan tumbuh suburnya budaya menerabas, yang sejak tahun 1970-an sudah dilontarkan oleh antropolog Koentjaraningrat, Syafii Ma’arif mengaku masih melihat ada titik terang. Sebab, meski sedikit, masih ada manusia kreatif di Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada negara walaupun kemudian mereka hidup serba kekurangan.

"Munculnya sejumlah kecil nama-nama baru di dunia seni (teater, sastra, tari, lukis), sejarah, ilmu dan teknologi, serta pemikiran kebudayaan setidaknya masih memberikan harapan bahwa bangsa ini belum kehilangan kehidupan," tutur Syafii Ma’arif.

Menurut dia, tugas ke depan adalah bagaimana agar geliat kreativitas di seluruh Nusantara dalam berbagai suku bangsa dijadikan sebagai sebuah gelombang besar yang dahsyat sehingga sebuah bangsa yang utuh, beradab dan kreatif, serta berdaulat menjadi kenyataan. "Bukan sekadar bayangan serta kebanggaan yang semu," ujarnya.

Sejarawan sekaligus aktivis Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid, menambahkan, sebetulnya banyak orang Indonesia yang menghasilkan produk kebudayaan, mulai dari penerbitan berbagai buku, karya film yang belakangan mulai bergeliat, sastra, serta produk pemikiran.

"Hanya saja, belum ada karya yang solid dianggap mewakili zaman ini," ujarnya. Bagi Hilmar, permasalahannya bukan pada kreativitas yang tidak ada, melainkan tidak adanya kritik yang baik serta teliti. (MZW/ine)

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Agustus 2007

Kebangsaan: Budaya Unggul

Jakarta, Kompas - Jika Indonesia ingin maju, budaya unggul harus dipacu. Untuk mencapai hal tersebut, pemimpin bangsa harus memiliki visi jauh ke depan dan memberikan fasilitas pendidikan untuk anak- anak bangsa.

"Kalau kita amati, bangsa yang maju adalah bangsa yang punya mimpi dan nyali besar," kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat pada dialog "Memacu Budaya Unggul dan Prestasi Bangsa" yang diselenggarakan oleh Pro XL dan Tempo di Jakarta, Kamis (23/8).

Menurut Komaruddin, bangsa- bangsa yang besar umumnya memiliki etos. Seperti Jepang, Jerman, dan China memiliki mimpi yang besar. Pandangan yang jauh ke depan membuat mereka berkembang melewati batas etnis dan negara.

"Secara mikro sesungguhnya potensi intelektualitas manusia itu sama. Potensi intelektualitas rata-rata hanya digunakan empat persen. Masalahnya adalah bagaimana kita mendongkrak dan mengoptimalkan potensi itu," kata Komaruddin.

Menurut Komaruddin, untuk mengoptimalkan potensi intelektualitas tersebut, pertama anak- anak harus diberi konsumsi gizi yang bagus sehingga jaringan sarafnya berkembang. Kedua, harus diberi stimulasi agar anak berpikir aktif dan kreatif.

"Saya kaget saat di India di setiap kotanya ada perpustakaan umum. Hasilnya sekarang India makin maju," kata Komaruddin. Tidak hanya itu, budaya kontemplatif pun tidak terbentuk.

Presiden Direktur Tempo Group Bambang Harymurti menyatakan, budaya unggul adalah budaya jaringan. "Salah satu sebab mengapa Indonesia berada di urutan nomor 108 (HDI) karena kita tidak menumbuhkan budaya jaringan," kata Bambang Harymurti. (lok)

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Agustus 2007

Friday, August 24, 2007

Bahasa Daerah: Dikjar Diminta Bentuk Tim Penyusun Kamus

PANGKALAN BUN (Borneonews): Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) diminta membentuk tim penyusun kamus bahasa daerah Kotawaringin.

Mantan Ketua DPRD Kobar periode 1999 sampai 2004 Tengku Ahmad Jaelani mengatakan tokoh yang dituakan di Kobar masih ada dan bisa digerakkan jika ada yang memberi dorongan untuk membentuk kamus.

Namun, sampai saat ini belum ada lembaga yang menggerakkan minat tokoh-tokoh tersebut untuk bertemu dalam satu komunitas pembentuk kamus bahasa daerah Kotawaringin.

"Dikjar harus mensponsorinya dengan mencari tokoh-tokohnya untuk membentuk tim yang menyusun kamus bahasa daerah Kotawaringin," kata Jaelani kemarin.

Sebab, kata dia, masalah penerapan bahasa daerah Kotawaringin dalam kurikulum pendidikan terhambat karena tidak ada kamus bahasa daerah yang mendukung proses belajar mengajar.

Ia menambahkan, memasukkan bahasa daerah Kotawaringin sangat penting karena bahasa daerah Kotawaringin merupakan khasanah budaya daerah Kobar.

Sebelumnya, dalam pemilihan putra putri pariwisata beberapa waktu lalu, banyak peserta yang berasal dari pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat tidak bisa menjawab pertanyaan seputar bahasa daerah Kotawaringin.

Sementara itu, Kepala Dinas Dikjar Ikhwanudin mengatakan sudah ada enam jam dalam seminggu yang harus digunakan untuk muatan lokal yakni bahasa Inggris, keterampilan dan pengembangan budaya daerah.

Ia mengaku sudah meminta pada tokoh-tokoh yang ahli bahasa daerah Kotawaringin untuk mengakomodasi pembentukan kamus bahasa tersebut.

Akan tetapi ahli bahasa daerah Kotawaringin sangat terbatas. Sedangkan untuk memasukkan bahasa daerah Kotawaringin perlu ada literatur yang digunakan sebagai pedoman pengajaranya.

Meski demikian, pihaknya mengakui pentingnya bahasa daerah Kotawaringin dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

"Tapi masalahnya, literatur bahasa daerah terbatas, begitu juga ahlinya," kata Ikhwanudin.

Seperti diberitakan sebelumnya, selain bahasa daerah Kotawaringin, bahasa daerah lainnya yang bisa dikembangkan adalah bahasa Mendawai.

Namun, bahasa daerah Kotawaringin merupakan bahasa daerah asli Kobar.

Selain itu, bahasa daerah Kotawaringin jauh lebih tua jika dibandingkan bahasa Mendawai.

Bahasa daerah Kotawaringin menggunakan ejaan huruf "O".

Bahasa daerah Kotawaringin juga tidak memiliki aksara daerah, sebab dalam perkembangannya bahasa daerah Kotawaringin menggunakan bahasa tutur. (ET)

Sumber: Borneonews, Jumat, 24 Agustus 2007

Thursday, August 23, 2007

Anak Muda Terus Kendalikan Peradaban, Budaya Urban Tidak Selalu Warisan

Jakarta, Kompas - Keterbukaan tidak perlu dihindari lagi dalam proses terbentuknya peradaban. Tembok yang memisahkan budaya luar dan tradisional harus segera dirobohkan dan masa depan peradaban terus dalam kendali anak muda.

Demikian rangkuman gagasan Jimi Multhazam "The Upstairs", budayawan dan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo, CEO Taman Impian Jaya Ancol Budi Karya Sumadi, Ketua Panitia UrbanFest 2007 Nugroho F Yudho, dan penyiar Radio Prambors Marwan, menyambut kegiatan Urbanfest 2007 di Pantai Karnaval Ancol, kepada pers di Jakarta, Rabu (22/8).

"Yang terjadi adalah persilangan budaya, dan ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Kita mengadaptasi budaya dari luar, tetapi banyak juga orang-orang di luar negeri dipengaruhi budaya dari sini," ujar Jimi.

Jauh sebelum Rolling Stones mengangkat tren rock’n roll mendunia sudah ada Tielman Brothers, band asal Indonesia yang bermusik di jalur ini lebih dulu di Belanda. "Tapi, mungkin karena orang Indonesia sepertinya tidak menimbulkan tren pada saat itu," tuturnya.

Menurut Jimi, kebanyakan anak muda merasa inferior dengan budaya asli mereka. Ketika datang dari desa ke kota, lalu berkenalan dengan budaya luar, banyak yang terperangah dan menilai budaya luar lebih baik atau lebih keren.

Akan tetapi, anak muda kini mulai berani menunjukkan dirinya berbeda. Kelahiran grup dan attitude indie band adalah buktinya. Dengan demikian, inilah saatnya bagi mereka memegang kendali peradaban baru.

Penyiar Radio Prambors, Marwan, mengemukakan, kebebasan tidak berarti membentuk tembok pemisah antara pengaruh luar dan apa yang sering disebut-sebut indie. "Saatnya untuk membongkar tembok pemisah antara indie dan pengaruh luar. Meski ini kemudian disebut hibrid, tetap akan membentuk Jakarta yang berkarakter," katanya.

Harus aktif

Sardono W Kusumo melihat tren yang berlangsung dalam masyarakat urban Jakarta tak selalu dibentuk warisan budaya di masa lalu. Budaya urban dibangun oleh adanya interaksi, penafsiran, atau reaksi kontemporer dari publik. "Ada yang datang dari Solo, ada yang dari Ambon, membawa budayanya sedikit-sedikit ke Jakarta. Di situ muncul pribadi-pribadi yang gelisah ingin mengekspresikan dirinya tidak dalam dominasi struktur," tuturnya.

Karena itu, setiap orang harus aktif, kreatif, dan berani berbeda dari lainnya. Namun, setiap pribadi menyumbangkan peradaban dan ia juga bertanggung jawab atas sumbangannya tadi.

Segala yang ia sumbang, pada saat ini, kata Sardono, bukan tidak mungkin menjadi tren di masa mendatang. Karena itulah, anak muda disebut sebagai penyumbang besar atas terbentuknya peradaban baru. Karena itu, Sardono amat girang dan optimis dengan reaksi dan kreativitas kaum muda. "Mereka ini bukan cuma unik, tetapi juga sangat cerdas," kata Sardono.

Perkembangan peradaban itu kemudaan butuh penyegaran. Karena itu, penyegaran yang tumbuh dari mana pun, yang disumbangkan individu-individu, bisa saja dipakai. "Mereka ini menyukai kebebasan karena tidak ingin didikte dengan apa yang ada. Ini sebenarnya bisa menjadi basis penciptaan yang berguna bagi peradaban masyarakat," kata Sardono.

Dalam budaya urban, ruang pribadi itu sangat dibutuhkan. Orang tidak malu atau takut lagi untuk punya minat, selera, atau cara hidup yang berbeda dengan orang-orang yang ada di komunitasnya. "Individu yang ada dalam masyarakat pada akhirnya menafsirkan budaya dalam lingkungan dan pengaruhnya untuk jadi miliknya sendiri," katanya.

Menurut Sardono dan Ketua Panitia Urbanfest 2007 Nugroho F Yudho, kaum muda harus diberi ruang besar untuk mengekspresikan dirinya. Dengan begitu, akan muncul banyak kreativitas yang ternyata baik dan bermanfaat bagi dinamika masyarakat.

Nugroho menambahkan, Urbanfest diharapkan menjadi saluran alternatif bagi ekspresi kebebasan kaum muda. (ITA/ELN)

Sumber: Kompas, Kamis, 23 Agustus 2007

Monday, August 20, 2007

Sastra: Kosasih Award bagi Komikus

Jakarta, Kompas - Penghargaan terhadap seni komik mulai dihidupkan. Dalam Pameran Komik Indonesia Satu Dekade (Konde) pada 9-18 Agustus di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (16/8), diserahkan Kosasih Award 2007.

Surjorimba Surito, Tim Kurator Pameran Konde, mengatakan, penamaan penghargaan dengan mengabadikan nama komikus RA Kosasih (88) merupakan salah satu bentuk ucapan cinta dan terima kasih insan pecinta komik Indonesia kepadanya. Walaupun belum ada pengakuan resmi dari pemerintah atau lembaga hukum manapun, komikus legendaris RA Kosasih dianggap sebagai Bapak Komik Indonesia. Kosasih dinilai paling berjasa kepada semua komikus dan pembaca komik tanah air melalui karya-karyanya.

Peraih Kosasih Award 2007 diberikan untuk pemenang di 10 kategori dari 30 nominasi komik terbaik. Seluruh nominator dipilih dari karya yang terbit 1997- 2007, baik terbit secara mainstream maupun independen. Penerima Kosasih Award 2007 untuk majalah komik terbaik adalah Sequen, kritik komik terbaik "Komik dan Kenyataan" oleh Hikmat Darmawan, komik indi terbaik Old Skull karya Atonk, komik terapi terbaik berjudul Keberanian, Harapan, dan Cita-cita, karya Mario Diaz, dan komik cyber terbaik Gibug dan Oncom karya Wisnoe Lee.

Kategori lainnya cerita komik terbaik Tidur Panjang karya Beng Rahardian, gambar komik terbaik diraih Mail dan Cahyo Baskoro berjudul Panggil Aku Wartini Saja, karakter komik terbaik berjudul Kapten Killat Khusus (Oyat, Iput, Ipot), sampul komik terbaik karya Gerdi WK Gina, serta komik terbaik karya M Arief dan Budiman berjudul Tekyan. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 20 Agustus 2007

Warisan Budaya Harus Dilindungi, Sistem HaKI tidak Efektif

JAKARTA (Media): Sudah saatnya warisan budaya nusantara dipandang sebagai individual property dan mendapatkan perlindungan hukum secara tepat. Perilaku masyarakat yang belum merasa memiliki berdampak pada rentannya pemanfaatan warisan budaya oleh orang yang tidak berhak dengan tujuan komersial.

Demikian dikemukakan Agus Sardjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) bidang kajian kekayaan intelektual dan hukum ekonomi, di Jakarta, kemarin. Perlunya perlindungan hukum itu disebabkan masyarakat Indonesia yang memiliki sikap sangat terbuka terhadap orang lain bisa menjadi sangat rentan terhadap eksistensi dan masa depan warisan budaya itu sendiri.

Masyarakat pada umumnya tidak keberatan jika ada orang luar yang ingin belajar pengetahuan tradisional atau seni, tanpa mengantisipasi dampak sampingannya. Akibatnya, tidak sedikit kreativitas yang sebenarnya bisa dijadikan sumber ekonomi baru itu dimanfaatkan orang lain yang mencari keuntungan.

Warisan budaya Indonesia sebagai kekayaan intelektual, menurut Agus, sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang sistem perlindungan hukumnya yang tepat. "Beberapa pihak mengusulkan penggunaan sistem hak kekayaan intelektual (HaKI), tapi beberapa pihak menganggap ini kurang tepat," imbuhnya.

Sistem HaKI sendiri merupakan pengakuan hukum yang memberi pemegang hak untuk mengatur penggunaan gagasan-gagasan dan ekspresi yang diciptakan untuk jangka waktu tertentu. Sistem itu dianggap kurang tepat karena selama ini para perajin dan pelaku seni di Indonesia kerap mengalami masalah dengan HaKI.

"Peristiwanya, seorang perajin ukir-ukiran kayu tradisional Bali tidak boleh mengekspor langsung ke Amerika. Karena desain ukiran itu sudah didaftarkan sebagai desain paten oleh orang Amerika. Jadi orang Amerika membeli ukiran di Bali kemudian dibawa pulang ke Amerika dan didaftarkan sebagai desain miliknya," papar Agus, memberikan contoh.

'Negative protection'

Berdasarkan kondisi yang tidak menguntungkan para pelaku seni Indonesia tersebut, Agus berpendapat Indonesia perlu mengadopsi sistem negative protection. Berbeda dengan sistem HaKI yang seseorang baru bisa menikmati perlindungan hukum melalui pendaftaran, pada negative protection hak itu bisa didapat tanpa diminta dan secara otomatis lahir setelah karya intelektual telah diselesaikan.

Agus mengandaikan, seorang pelaku seni pertunjukan ketika pementasannya selesai direkam ia bisa menuntut siapa pun yang menggunakan rekaman suara atau gambar pertunjukannya tanpa seizinnya. "Dengan sistem ini juga, pemerintah dapat mengajukan klaim kepada siapa pun yang melanggar hak-hak warisan budaya masyarakatnya."

Klaim ini tidak harus bersifat larangan untuk menggunakan, namun lebih kepada tuntutan adanya bagi keuntungan jika ada pihak lain yang memanfaatkan warisan budaya untuk tujuan ekonomi.

"Sejauh ini negative protection adalah sebuah win win solution. Namun harus dilengkapi dengan database dokumentasi yang lengkap sehingga bisa membuktikan bahwa warisan budaya tertentu memang berasal dari Indonesia," jelasnya lagi. (DI/H-1).

Sumber: Media Indonesia, Senin, 20 Agustus 2007

Sunday, August 19, 2007

Wacana: Simpang Jalan Sastrawan Indonesia (Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan)

-- Sunaryono Basuki Ks*

Pernah ada ulasan buku berjudul Kala Perempuan Bicara Seks di sebuah koran besar di Jakarta. Yang diperbincangkan adalah sebuah buku (novel) baru berjudul 69 Berlubang Liang karangan Henny Purnama Sari, yang namanya mungkin baru sekali ini Anda dengar. Judulnya menarik, 69 bukan menandai tahun bersejarah, sebagaimana 45, 65, atau 98, namun justru posisi hubungan seksual yang abnormal, dan negara tetangga kita justru melarang oral seks.

Menurut pembahas buku itu, "tubuh perempuan selalu menarik untuk dibicarakan, pada segala ruang dan waktu. Maka tubuh perempuan akhirnya menjadi simbol dari berbagai dimensi, mulai dari pemberontakan sosial, kebijakan politik, ukuran moralitas hingga asketisme, dan tentu saja perdebatan ideologi." Memang benar demikian adanya, dan yang sekarang kita lakukan adalah perdebatan tentang ideologi tersebut.

Apakah buku itu memang layak dibaca dan perlu? Ulasan yang dimuat juga melaporkan mengenai perbedaan dua pemikiran tentang novel yang judulnya saja mengagetkan itu. Dua orang pembicara dikutip, Mariana Aminudin yang feminis dan Hudan Hidayat yang sastrawan.

Mariana menganggap, "penulis novel itu sudah membuat langkah baru karena telah membongkar tabu seksualitas perempuan. Penulisnya telah mengangkat serta menceritakan dengan lugas dan terbuka persoalan seksualitas perempuan. Tubuh adalah tubuh sosial, tidak hanya tubuh material. Karenanya ketika bicara soal tubuh artinya perempuan juga bicara tentang persoalan sosial."

Itulah logika seorang feminis yang mengesahkan permbiraan mengenai tubuh perempuan yang tubuh sosial secara terbuka, bak menelanjangi seorang perempuan yang merupakan makhluk sosial dan punya persoalan-persoalan sosial masa kini. Jadi, pembicaraan mengenai tubuh perempuan secara terbuka tak tabu lagi, bak pemaparan mata kuliah anatomi manusia di fakultas kedokteran yang juga tak tabu.

Alasan seperti itu sudah sering muncul saat para penulis dan pembuat film bersikeras untuk mempertahankan pelukisan yang terus terang tentang seksualitas perempuan dalam buku maupun film yang dibikin: tuntutan cerita!

Yang mengejutkan justru pendapat Hudan Hidayat, yang kalau dikutip secara benar: "pengarang ini memuji gaya bercerita Henny. Baginya Henny memiliki teknik bercerita yang sangat orisinal, tidak meniru gaya penceritaan novel seperti umumnya yang biasanya diukur dari standar sastra di luar negeri. Katanya, Henny mampu keluar dari pakem umum.

Perlu dipertanyaan pernyataan tersebut yang tentu memerlukan kejelasan dengan contoh-contoh nyata dari karya sastra luar negeri atau dalam negeri. Juga "pakem umum" yang bagaimana?

Yang membuat kita lega, adalah pendapat Hudan yang melihat bahwa "apa yang diangkat Henny hanya mengerucut pada tubuh itu sendiri. Bagi Hudan, penceritaan yang hanya berpusat pada tubuh akan meringkus novel ini pada kekeringan makna."

Jadi, makna penting, menurut Hudan, sebagaimana pendapat Richard Hoggart saat mengantar novel DH Lawrence, Lady Chatterley's Lover. Persoalan-persoalan ide, makna hidup yang termuat dalam tubuh perempuan jauh lebih penting dari gambaran lukisan tubuh perempuan itu sendiri bagaimanapun indahnya, karena pelukisan semata dapat menjerumuskan kisah pada kisah porno.

Kalau diperpanjang lagi, bisa saja kita akan berdebat tentang apa yang porno dan yang tak porno. Ukiran di candi atau di dinding pura yang menggambarkan kelamin lelaki dikerubuti oleh sejumlah perempuna atau adegan sanggama, porno atau tidak? Apakah lokasi gambar yang membuatnya tak porno, atau konteks pemaknaannya?

Kebanyakan kita kini sedang kebingungan ke mana arah yang kita tempuh. Kalau kita bersikeras untuk meniti jalur sastra yang "serius" (serius itu apa, terbuka juga untuk polemik panjang), maka kehidupan ekonomi pribadi kita akan merana, sebab buku sastra sedang tak laku.

Atau kita mau meniru gaya bebas para pengarang muda yang justru tak pernah terdengar sebelumnya berkiprah di dunia sastra atau fiksi pada umumnya dengan keberaniannya melukiskan wilayah sekitar selangkangan dengan berbagai hiruk pikuknya, dibungkus dengan berbagai macam alasan untuk mensahkannya sebagai karya yang bagus dan layak pula untuk mendapat royalti puluhan juta.

Mungkin saja ada skenario besar dari pemilik pasar besar untuk menarik para sastrawan terkemuka untuk mengomentari buku-buku karya pengarang-pengarang yang mengedepankan seksualitas itu. Kemudian komentarnya dikutip secara tak lengkap dan diterbitkan bersama bukunya untuk memacu penjualannya. Bisa saja saya dituduh mengira sembarangan, namun perlu juga direnungkan, bahwa keadaan itu tak mustahil. Sang sastrawan terkemuka dengan tak sadar diperalat oleh pasar besar untuk mengomentari karya yang akan dijual.

Soal skenario pasar sudah jelas dapat ditelusuri melalui penerjemahan buku bahkan komik-komik luar negeri, yang menurut sinyalemen Taufiq Ismail isinya bisa menceritakan tentang perselingkuhan guru perempuan dengan murid lelaki. Ini bisa menjadi "pelajaran " murah bagi murid-murid SMU untuk berbuat yang sama, dengan menyamakan guru mereka yang muda dengan tokoh dalam komik itu.

Novel-novel terjemahan dari luar negeri apa memang kita perlukan? Kenapa justru novel-novel pemenang Novel Sastra jarang muncul terjemahananya, namun novel-novel yang dalam pemasarannya memang laku keras diterjemahkan?

Seratus Tahun Kesunyian yang diterjemahkan oleh Max Arifin dicetak ulang dan baru saja diluncurkan. Dapat dipastikan tirasnya jauh di bawah novel pop terjemahan. Apakah generasi kita memang memerlukan terjemahan serial Harry Potter, agar tak ketinggalan zaman? Padahal di negerinya sendiri karya itu kontroversial.

Perlu dipikirkan lebih masak, tetapi siapa yang mau? Penerbit karya terjemahan mau untung sebesar-besarnya, dan mencari untung adalah hak setiap insan. Pelarangan pasti dituduh sebagai pelanggaran HAM. Kalau kita hanya mengedepankan HAM, kenapa kita tak pernah memikirkan mengenai KAM, yakni Kewajiban Azasi Manusia.

Kita punya kewajiban untuk bukan saja mensejahterakan bangsa secara ekonomi, tetapi juga secara moral. Kapan kita mulai? Bukan dengan pengrusakan tentunya, tetapi dengan persuasi. Belum cukupkah kita menumpuk harta?

* Sunaryono Basuki Ks, Sastrawan dan dosen Undiksha

Sumber: Republika, Minggu, 19 Agustus 2007

Horison: Seni Urban Dan Bahaya Sastra Seksual

TINGGALl di kota besar, apalagi di ibukota, waktu seperti berjalan lebih cepat dari yang sebenarnya. Dihadapkan pada aktivitas rutin yang menyita waktu, warga kota pun hanya punya sedikit kesempatan untuk dirinya sendiri. Sempatkah mereka berkesenian, atau membaca karya sastra?

Kesenian boleh jadi menduduki nomor urut kesekian pada agenda harian masyarakat kota. Meski begitu, bukan berarti mereka tak dapat mengapresiasi seni dan sastra. Dengan 'rayuan' yang pas, warga kota rela menyediakan waktunya untuk mengapresiasi seni dan sastra.

Sedikit banyak, fenomena itulah yang terjadi di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Alia Swastika memotret gambarannya di Yogya. Dia adalah pemerhati studi kultural sekaligus penggerak Rumah Seni Cemeti.

Alia melihat ide kesenian yang coba ditampilkan seniman tak berhasil dibaca jelas oleh masyarakat. Cap elitis menempel erat pada profesi seniman. Kondisi itu diperparah oleh ketidakbiasaan masyarakat melihat seni selain lukis dan patung.

''Sementara, yang Rumah Seni Cemeti tampilkan adalah seni rupa kontemporer berupa grafis, drawing di atas kertas, serta seni instalasi,'' kata Alia.

Rumah Seni Cemeti tak membiarkan kondisi itu berkepanjangan. Kampanye yang menyentuh langsung masyarakat lantas digelar silih berganti. ''Dari kampanye ini, pasar seni rupa kontemporer akhirnya terbentuk,'' kata Alia, pemakalah pada Konferensi Internasional HISKI dengan tema Sastra dalam Konteks Perkotaan: Industrialisasi dan Urbanisme, yang digelar di FIB UI, Depok, 8-10 Agustus 2007.

Pelibatan warga suburban Bantul, Yogyakarta, dalam proses produksi karya seni rupa merupakan bagian dari kampanye Rumah Seni Cemeti. Dari situ, masyarakat kemudian mendapat pencerahan tentang seni rupa kontemporer. ''Diajak terlibat dalam penciptaan seni instalasi dari bambu, warga Bantul mendapatkan pemaknaan baru dan teknik baru dalam mengolah bambu,'' kata Alia.

Seniman Rumah Seni Cemeti juga berhasil menggandeng masyarakat untuk mendesain sebuah area taman main anak di Bantul. Program ini berjalan bukan tanpa kendala. Persoalan persepsi taman main mencuat. Orang-orang tua menginginkan anaknya bisa bermain di taman seperti dirinya dulu.

Namun, dalam pengamatan para seniman, fasilitas taman main seperti itu tidak mendorong anak untuk banyak bergerak dan mengasah kreativitasnya. ''Dengan kekuatan argumentasinya, seniman mampu menyamakan ide dengan warga Bantul untuk menciptakan taman main yang lebih dari sekadar lahan berisikan patung-patung binatang yang bisa ditunggangi,'' kata Alia.

Sastra juga merupakan bagian ranah seni yang cukup berhasil menjaring minat warga kota. Fenomena itu tidak terjadi begitu saja. Dorongan yang kuat dari para sastrawan telah membuat mata masyarakat terbuka dan akhirnya mencintai aktivitas baca dan tulis.

Kesadaran itulah yang menggugah penulis sastra Islami, Helvy Tiana Rosa, beserta relawan Forum Lingkar Pena (FLP), untuk bergerak. Mereka kemudian menularkan kemampuannya menulis kepada masyarakat luas. ''Di tahun 2003 saja anggota kami sudah mencapai 5000 orang. Tujuh ratus di antaranya tercatat sebagai penulis produktif,'' kata Helvy, pada forum yang sama.

Selain berhasil menjaring peminat baca dan tulis di kota-kota besar, FLP juga menyapa warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Buruh migran yang rata-rata berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong dan Arab Saudi cukup banyak yang menemukan keasyikan menulis. Mereka lantas menerbitkan antologi cerpen bersama.

FLP termasuk gerakan fenomenal komunitas sastra. Mereka membuat lingkaran jejaring calon pengarang, penerbit, dan pembaca. ''Karya sastranya ditulis oleh kalangan sendiri, diterbitkan sendiri, dan diserap oleh pasar anggota FLP,'' tutur Helvy, mantan pemimpin redaksi majalah Anida.

Selama 10 tahun kehidupan FLP, sudah 600 buku dihasilkan awaknya. Yang belum laik terbit juga banyak. Genrenya tak melulu Islami seperti yang digulirkan Helvy, Asma Nadia, dan Mutmainah -- tiga penggagas FLP. ''Ada yang menggarap tema Islam, sekuler, seks yang dituturkan secara metafora, sampai fiksi ilmiah,'' Helvy membeberkan.

Kendati beda-beda genre, para awak FLP terekatkan oleh satu kesamaan. Mereka merupakan orang-orang yang menulis untuk pencerahan diri dan masyarakat. ''Seburuk apa pun tulisan mereka, tak ada satu pun yang memberikan kontribusi pada perusakan moral anak bangsa,'' tegas Helvy yang kini menjadi anggota Majelis Sastra Asia Tenggara.

Kalangan pekerja pabrik juga bisa tampil sebagai penyair atau sastrawan yang patut diperhitungkan. Mereka banyak menerbitkan buku dan kini ikut melahirkan Jurnal Sastra Boemipoetra yang menemani Jurnal Kalam dan Majalah Sastra Horison, dan mencoba membangun tradisi sastra yang lebih sopan dengan ikut menggulirkan gerakan anti sastra seksual, yang kini ramai dipolemikkan.

Sejak tahun 1995, komunitas sastra buruh tersebar di pinggir-pinggir kota. Mereka berkibar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Solo, Kudus, dan kota-kota sentra industri lainnya. ''Kantong-kantong kesenian macam inilah yang justru dapat berperan besar dalam meningkatkan apresiasi sastra di masyarakat,'' kata Wowok Hesti Prabowo, penyair buruh.

Di mata Wowok, saat ini Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) cenderung bergerak mendominasi standar estetik dan ideologi komunitas sastra di Tanah Air. Polah tersebut dianggapnya justru memberangus keberagaman. ''Keberagaman harus dihargai,'' katanya.

Bagi buruh, lanjut Wowok, sastra adalah perjuangan, meski tak seefektif pemogokan. Itu pula yang membuat mereka geram melihat munculnya sastra erotis yang cenderung mengeksploitasi seks bebas dan tubuh perempuan. ''Ketika itu ditulis, disebarkan, dan dipuji sebagai yang bagus dan moderen, berati sudah menjadi ideologi. Itu berbahaya,'' tegas Wowok. (reiny dwinanda)

Sumber: Republika, Minggu, 19 Agustus 2007

Buku: Souvenir Fiksi Islami

-- Ahmadun Yosi Herfanda

Suatu hari, pada tahun 2003, saya menerima buku kumpulan cerpen 20 Tahun Cinta. Saat itu, saya merasa gembira sekaligus terkesima. Buku kumpulan cerpen terbitan Senayan Abadi Publishing itu tidak hanya dikemas secara elegan dengan desain grafis yang cantik, tapi juga memuat cerpen-cerpen karya para cerpenis ternama yang beberapa di antaranya dikenal sebagai penulis buku-buku bestseller.

Spontan saya memprediksi, buku tersebut akan laris. Dan, kabarnya, cetakan pertama buku tersebut habis tidak sampai sebulan. Saya melihat, buku kumpulan cerpen seperti 20 Tahun Cinta tidak hanya pantas untuk dimiliki oleh pecinta fiksi Indonesia, tetapi juga cukup bernilai -- dan PD -- untuk menjadi souvenir, hadiah ulang tahun, dan bahkan kado pernikahan. Tentu, begitu juga buku-buku serupa yang terbit berikutnya. Misalnya, Mengetuk Cintamu, Wajah di Balik Jendela, Sembilan Kuntum Adelweis dan Pipit tak Selamanya Luka. Desain cover-nya yang indah, dengan huruf dan ilustrasi timbul, membuat buku-buku tersebut juga elok untuk dipajang di ruang tamu. Tentu juga novel Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman el-Shirazy, yang menjadi mega bestseller, dan karya-karya Gola Gong, yang rata-rata juga laris manis.

Selain mereka, cerpenis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja juga dikenal sebagai penulis buku fiksi bestseller. Buku Asma, Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, dalam tiga pekan sudah mengalami cetak ulang dua kali. Sedangkan Gola Gong sudah dikenal lama sebagai penulis bestseller dengan serial novel trilogi PadaMu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan Tempatku di SisiMu (DAR Mizan), serta serial Kupu-Kupu Pelangi. Sedangkan Pipiet Senja memiliki novel bestseller bertajuk Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim).

Masih banyak cerpenis lain yang sempat ikut mengisi khasanah fiksi Islami, dan ikut menghadirkan souvenir-souvenir sastra yang bermakna, seperti Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Kurnia Effendi, Teguh Winarsho AS, Isbedy Stiawan ZS, Fahrunnas MA Jabbar, Khairul Jasmi, Novia Syahidah, Fahri Aziza, Yus R Ismail, Nurul F Huda, Irwan Kelana, Arlen Ara Guci, dan M Arman AZ.

Di antara jenis-jenis karya sastra modern yang dikenal masyarakat, fiksi -- baik cerpen maupun novel -- memang merupakan jenis karya sastra yang paling diminati masyarakat. Indikasinya, sangat banyak buku kumpulan cerpen maupun novel yang menjadi bestseller. Di luar fiksi Islami, novel Saman karya Ayu Utami, dan Super Nova karya Dewi 'Dee' Lestari, juga bestseller.

Rubrik-rubrik cerpen maupun novel (dalam bentuk cerita bersambung) di surat kabar juga sangat diminati dan memiliki rating pembaca cukup tinggi. Majalah khusus cerpen, Annida, juga mampu mencapai oplah di atas 70 ribu eksemplar, jauh di atas oplah Majalah Horison dan majalah berita yang ada di Indonesia.

Di tingkat global, kita mengenal buku-buku novel maupun kisah serial yang bestseller di hampir seluruh pelosok dunia dan dicetak sampai puluhan juta eksemplar. Serial Harry Potter misalnya, selalu ditunggu seri terbarunya oleh puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia. Novel-novel detektif karya John Grisham juga selalu bestseller. Begitu juga novel-novel Dean Koontz, novelis AS paling ternama AS saat ini, seperti The Husband.

Realitas di atas menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya menyimpan potensi bisnis yang tinggi, tapi juga potensi pencerahan rokhani yang besar. Daya sugesti fiksi yang kuat, dengan peredarannya yang luas, sangat potensial mempengaruhi sifat dan karakter pembacanya. Dengan kata lain, fiksi dapat ikut mempengaruhi proses perubahan sosial.

Dan, di sinilah diperlukannya fiksi-fiksi Islami untuk dapat ikut mendorong proses perubahan masyarakat ke arah yang tercerahkan. Larisnya buku-buku fiksi Islami -- bahkan sempat booming sepanjang tahun 1999-2006 -- membuktikan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memang membutuhkan fiksi-fiksi Islami sebagai bacaan yang tidak hanya menghibur, tapi juga aman dan mencerahkan.

Fiksi Islami, secara sederhana dimaksudkan sebagai fiksi yang secara tematik (isinya) bersemangat Islami, dan secara estetik (disajikan) secara Islami pula. Namun, tidak berarti harus dipenuhi simbol-simbol Islam formal, seperti masjid, kalimat syahadat, takbir, dan istighfar.

Untuk dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, guna memberikan pencerahan secara lebih luas, yang ideal adalah novel Islami secara substansial. Tapi, jika memang diperlukan sebagai latar (setting), tentu tidak perlu ragu-ragu untuk menampilkan realitas dunia Islam dalam fiksi-fiksi kita. Fiksi-fiksi yang menuntun perjalanan rokhani menjadi hamba yang bertauhid dan cinta Allah SWT tetap penting juga.

Karena Islam bersifat universal, maka fiksi-fiksi Islami dapat mengeksplorasi tema-tema yang beragam, sejak kisah cinta, keluarga, politik, perang dan tragedi kemanusiaan, sampai ketakwaan pada Tuhan. Yang penting, bagaimana menghidupkan nilai-nilai Islami dalam fiksi, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan pembacanya. Sebab, fungsi terpenting kebudayaan, termasuk sastra, adalah meningkatkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Bukan sebaliknya.

Karena itu, marilah kita jadikan buku fiksi Islami sebagai souvenir yang benar-benar indah dan bermakna.

Sumber: Republika: Minggu, 19 Agustus 2007

Sastra: Surat Terbuka untuk M Fadjroel Rachman Dkk

-- Kuswaidi Syafi'ie*

DI dalam tulisanmu yang berjudul 'Membela Manusia, Merayakan Kebebasan' (Media Indonesia, 29 Juli 2007), Anda mengandaikan tidak ada tujuan dan ukuran apa pun di luar kehidupan manusia dan kemanusiaan. Saya pun jauh-jauh hari sudah memahami ungkapan demikian, tepatnya 20 tahun yang silam ketika saya mempelajari kitab Manthiq di sebuah pesantren. Adagium Al-insanu miqyasu kulli syayin dikumandangkan dengan lantang oleh filsafat subjektivisme.

Akan tetapi, adagium tersebut bukanlah tanpa masalah. Terutama ketika coba diejawantahkan di tengah gelanggang hidup yang gaduh dan majemuk. Karena, setiap varian humanitas terdiri dari sekian asas yang tidak sama, terdiri dari sekian ideologi yang tidak bisa ditekuk menjadi tunggal, dan terdiri dari sekian iman yang jelas tidak seragam. Semua itu menuntut implementasinya masing-masing untuk senantiasa menjadi (becoming) dan menjadi ada (to being) secara ontologis di atas gerbong hidup yang terus berlari.

Jika demikian adanya, lantas ukuran kemanusiaan universal macam apa yang akan diterapkan dalam kehidupan sastra dan kebudayaan Anda? Bahkan, judul tulisanmu yang seolah dengan tandas mengisyaratkan pembelaan terhadap manusia itu pun menjadi masygul dan rancu.

Mungkin Anda akan mengajukan seutas jawaban sebagaimana kalimat klise yang tertera dalam Memo Indonesia dengan Anda yang terlibat sebagai penggagasnya. 'Hukum dan demokrasi adalah tempat kami mengembalikan segala keberbedaan'. Akan tetapi, bukankah sedari awal sudah dimaklumi, bahkan oleh orang yang paling jahil sekalipun, apa

yang disebut sebagai hukum itu pada akhirnya merupakan pagar bahkan sering kali berwajah seram terhadap kebebasan yang Anda (dan kawan-kawan Anda yang lain) kibarkan dalam Memo Indonesia? Konkretnya, kebebasan yang Anda maksud bukanlah betul-betul kebebasan, melainkan semu belaka.

Maka itu jelas pada dataran filsafat logika, kalimat-kalimat yang terpacak dengan kaku dalam Memo Indonesia itu sesungguhnya mengalami kekacauan pada kawasan logic of meaning.

Lantas perkara idiom demokrasi yang juga Anda sebut dalam Memo Indonesia itu. Tidakkah Anda sadar demokrasi itu sebenarnya senantiasa menagih dan menelan jenis korbannya sendiri? Di tengah pusaran dan beliung demokrasi, segala ihwal yang minoritas dan ganjil mesti bersedia (baik dengan sukarela maupun terpaksa) untuk menyingkir dan tersisih dari gemuruh sosial yang menempuh jalur 'konsensusnya' sendiri itu.

Karena dengan berpegang kepada demokrasi, tentu semestinya Anda dan kawan-kawan Anda yang terlibat dalam pembuatan Memo Indonesia itu bersedia untuk tidak gusar ketika menerima getahnya.

Konsensus Moral

Akan tetapi, Anda dan kawan-kawan Anda ternyata tidak sanggup me-legowo-kan diri untuk menerima gelombang demokrasi yang melanda pikiran dan jiwa Anda, lain di 'mulut', lain pula di tindakan. Hipokrisi Anda dan kawan-kawan Anda itu betul-betul menjadi kentara ketika atas nama masyarakat luas yang masih teguh berpegang pada keagungan dan kemuliaan moral di tengah kehidupan sosial, Taufiq Ismail merisaukan adanya 'gelombang syahwat merdeka' yang menerpa sebagian generasi kita hari ini.

Termasuk menyeruduk sebagian kecil sastrawan di negeri ini yang menulis puisi, cerpen, dan novel, yang menurut istilah Taufiq Ismail dalam orasi kebudayaannya (gerakan syahwat merdeka), yang disampaikan di depan para mahasiswa Akademi Jakarta 2006 silam. Ia mengatakan, "Sudah mendekati VCD/DVD porno tertulis." Suara Taufiq Ismail dalam orasinya itu adalah suara setiap orang tua yang tidak mau menyaksikan anak dan cucunya tergilas oleh deru seks bebas, terjerat oleh situs porno, kecanduan film-film biru, dan seabrek lagi tindakan yang sungguh memalukan. Suara Taufiq Ismail dalam orasinya itu tidak lain adalah suara setiap nurani yang bersih, suara setiap pikiran yang sehat, suara setiap jiwa yang terjaga, dan suara setiap sukma yang menyala.

Mungkin itulah sebabnya, di mailist, kita setiap saat bisa menyaksikan barisan orang-orang yang rela berbondong-bondong meletakkan diri di 'belakang Taufiq Ismail.' Walaupun tentu saja jumlah yang menumpuk tidak mesti identik dengan kebenaran. Orang-orang itulah yang, meskipun di antara mereka ada yang merasa dirinya bobrok, masih sanggup untuk memilah barang-barang berharga di antara serakan sampah.

Pembelokan substansi

Sungguh saya mengakui terus terang Anda dan kawan-kawan Anda (Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Rocky Gerung) betul-betul 'cerdik' dalam memanfaatkan kebesaran Taufiq Ismail dan peluang media massa, terutama koran.

Secara tidak persis sama, jurus yang Anda gunakan adalah jurus layang-layang. Anda dengan sengaja dan sekuat tenaga menantang angin supaya Anda sendiri 'mengangkasa'. Akan tetapi, setiap orang yang pernah mempelajari urut-urutan dan hierarki logika pasti betul-betul paham apa yang Anda (dan kawan-kawan) terapkan itu sungguh merupakan pembelokan substansi secara terang-terangan dari orasi kebudayaan Taufiq Ismail itu.

Taufiq Ismail menumpahkan kerisauannya terhadap moralitas yang ambrol dan dekil, akan tetapi Anda malah melenguh dengan geram bahwa apa yang disampaikannya itu adalah penghujatan terhadap kebebasan sekelompok sastrawan. Taufiq Ismail mengekspresikan tanggung jawabnya yang getir demi tegaknya kemaslahatan sosial, akan tetapi Anda malah berteriak dengan lantang bahwa hal itu adalah pembelengguan dan pemasungan kreativitas.

Taufiq Ismail ingin menandaskan dengan konkret, sebagaimana dulu Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan, "Langit sedemikian tak terperi di atasku dan hukum moral melengking dalam jiwaku." Namun, Anda malah menuding hal itu tak lebih dari ekspresi paham keagamaan yang konservatif.

Adanya upaya pembelokan substansial seperti itu mengandaikan Anda dan kawan-kawan Anda itu sesungguhnya tidaklah (belum?) sanggup membuktikan diri sebagai sastrawan-sastrawan terhormat yang ditopang karya-karya besar sebagai puncak-puncak prestasi dalam kancah kesusastraan. Anda tidak sanggup menginvestigasi dengan tekun dan mendalam untuk melahirkan karya-karya sastra yang sanggup menyodorkan inspirasi bagi lahirnya perubahan paradigmatik dan kesadaran baru yang lebih mulia di kalangan para pembaca. Karena itu, untuk 'meninggi'z Anda memerlukan teknik dan jurus lain di luar gorong-gorong karya sastra melalui sejumlah intrik dan friksi yang nista.

Melampaui tubuh


Kalau Anda mencermati dengan seksama, apa yang diteriaki Taufiq Ismail dalam orasi kebudayaannya itu sesungguhnya bukanlah perkara kelamin dan selangkangan secara an sich. Karena, toh keduanya merupakan 'benda-benda' alami yang mewakili impuls-impuls yang dimiliki setiap manusia. Keduanya bisa bergerak dan berubah pada kebaikan atau keburukan.

Yang menjadi masalah krusial bagi Taufiq Ismail adalah kenapa dua 'benda' yang sensitif itu tidak diolah secara matang dan mendalam di dalam beberapa karya sastra yang dilahirkan sebagian penulis negeri ini.

Karena itu, penyajian kedua 'benda' tersebut tidak sanggup memancing munculnya impresi apa pun selain gambar yang jorok dan menjijikkan.

Di dalam wacana dan khazanah kesusastraan kaum sufi, anggota-anggota tubuh manusia yang dianggap tabu oleh publik untuk dicelotehkan itu ternyata dieksplorasi sedemikian rupa demi melahirkan telaga makna yang jauh melampaui ketubuhan itu sendiri. Dalam bahasa Coleman Barks, momen-momen memalukan terkait dengan seks, ereksi, dan keloyoan tiba-tiba sehabis sanggama, dorongan kelentit yang tidak kenal batas, bisikan bejat untuk menyetubuhi pasangan orang lain, semua itu, tak lain dijadikan lensa untuk meneropong pertumbuhan rohani di kalangan kaum salik. Karena itu, yang terkesan bukan joroknya, tapi iktibar spiritual yang sublim dan menggetarkan.

Karena itu, bukanlah merupakan sesuatu yang mengherankan kalau seorang pelukis Belanda Hieronymus Bosch (1450-1516) sampai betul-betul 'keranjingan' pada puisi Jalaluddin Rumi yang porno sekaligus sufistik, Pentingnya Keterampilan Labu.

Puisi yang termaktub dalam Al-Matsnawi jilid V itu (saya membaca versi Arabnya), menggambarkan perihal seorang babu yang mempunyai seekor keledai yang terampil memberikan servis layaknya laki-laki perkasa. Dari sebuah labu, si babu meraut pengapit yang pas untuk zakar si keledai agar penis keledai itu tak masuk terlalu dalam padanya. Hal itu dirancang untuk menuntaskan berahinya.

Ketika si babu bersetubuh dengan keledai itu, sang nyonya rumah mengintipnya lewat celah pintu. Ia melihat zakar mengagumkan dan kenikmatan si babu yang menelentang di bawah keledainya. Sontak, nyonya rumah mengetuk pintu dan memanggil si babu keluar untuk suatu urusan yang lama dan ruwet.

Si babu membatin, "Oh nyonyaku, mestinya kau tak menyuruh pergi ahlinya. Saat kau awali perbuatan tanpa ilmu yang utuh, kau gadaikan hidupmu. Kau malu bertanya perihal labu itu, padahal kiat itu tak kau kuasai." Hingga akhirnya si nyonya mati diseruduk penis keledai.

Rumi kemudian menukasi puisinya dengan menulis, 'Pembaca, jangan korbankan dirimu/ untuk kebinatanganmu!/ Jika kau mati demi kenikmatan tubuh/ Kau hanya seperti perempuan di lantai itu/ Ia gambaran dari perangai yang berlebih-lebihan'.

Fadjroel, nuansa porno yang sedemikian kuat mendorong transendensi itu ternyata tak kutemukan di dalam karya-karya sastra yang ditulis kawan-kawanmu. Tidak di Kuda Ranjang, tidak pula di Tuan dan Nyonya Kosong.

* Kuswaidi Syafi'ie, dosen tasawuf di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Agustus 2007

Ide dan Bahasa: Tentang Tanggung Jawab Redaktur

-- Eko Endarmoko*

MENGINGKARI ramalan suram para ekonom pada masa resesi menjelang akhir 1990-an, kira-kira semenjak 2000-an, hasil penerbitan di Tanah Air-—entah berupa buku, jurnal, majalah, koran, maupun tabloid—-justru menunjukkan kecenderungan tumbuh subur. Bahan bacaan tersebut dihasilkan bukan hanya oleh penerbit yang mampu bertahan, melainkan juga oleh banyak penerbit baru yang bermunculan. Ikut meramaikan pasar dengan bacaan adalah sejumlah lembaga yang sebenarnya bukan berstatus sebagai penerbit, selain tidak sedikit pula orang yang mengupayakan penerbitan secara pribadi.

Sayangnya, harus ditambahkan, pertumbuhan dari segi jumlah itu belum juga diimbangi dengan peningkatan kualitas. Mudah melihat masih banyak soal mendasar yang belum ditangani dengan sepatutnya, mulai dari aspek-aspek yang bertalian dengan tata penyajian sampai bahasa. Juga bila kita baca terbitan yang menyertakan tulisan terjemahan, tidak sedikit di antaranya yang mengandung sekaligus dua kekeliruan: keliru dari segi penerjemahan, keliru pula dari segi ejaan dan tata bahasa Indonesia.

Tidak mudah menjawab pertanyaan mengapa mutu kebanyakan bahan bacaan kita mengecewakan, kalau tidak dapat dikatakan buruk. Salah satu penyebabnya barangkali karena masih banyak penerbit tidak memiliki tenaga penyunting yang baik, atau malah tenaga itu boleh dikatakan tidak ada, terutama pada instansi bukan penerbit yang memproduksi bahan bacaan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengudar soal-soal di seputar dunia penerbitan yang sangat kompleks, melainkan ingin sedikit membicarakan pemakaian bahasa tulis yang dihubungkan dengan peran penyunting. Pemikiran yang hendak saya kemukakan di sini adalah bahwa kerja menyunting menuntut bukan saja pengetahuan bahasa atau linguistik, melainkan juga pengetahuan berbahasa.

***

MENYUNTING atau mengedit jamaknya dihubungkan dengan kegiatan mempersiapkan sebuah naskah, entah berupa tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Tugas penyunting adalah mengelola bahasa sebuah naskah, melakukan perbaikan di mana perlu, dengan berpegang pada kaidah bahasa hingga sesampai di tangan pembaca, naskah itu menjadi lebih tertib secara tata bahasa. Dengan kata lain, kerja menyunting berurusan dengan bahasa, dan bahasa di sini diperlakukan sebagai sarana belaka bagi penulis guna menyampaikan ide atau perasaannya.

Itu saya kira rumusan yang terkesan terlampau menyederhanakan, sebab seorang penyunting sepatutnya menangani sekaligus bahasa dan gagasan, bentuk dan isi, sebuah naskah. Dalam hal demikian, redaktur kolom atau rubrik di koran dan majalah dapatlah kita setarakan dengan penyunting. Ia tidak hanya wajib memperbaiki ejaan yang keliru dan mengungkai kalimat yang ruwet, tapi juga meluruskan ide-ide yang bengkok—-hal terakhir ini belum banyak dipersoalkan, dan nanti akan kita bicarakan lebih jauh.

Sebenarnya, bukan aturan tata bahasa yang membimbing seorang penyunting, karena aturan itu tidak lebih dari perangkat kerja belaka, tetapi pengertian-pengertian. Pokok garapan penyunting adalah gagasan, bukan bahasa. Maka, masuklah ia dengan asyik ke tubuh naskah dari awal hingga tuntas menelusuri cerita atau penyajian pengertian demi pengertian. Sepanjang dan sampai selesai bekerja, perhatiannya lebih banyak tercurah ke isi daripada bentuk. Ia tergoda mengedepankan ide dalam wacana dan tidak terlampau memedulikan pemakaian bahasanya.

Pada titik itu, si penyunting telah terkecoh oleh pandangan dia yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Bacalah teks-teks, fiksi dan nonfiksi, dalam sejumlah koran dan majalah atau buku apa saja yang beredar sepanjang dua-tiga tahun terakhir. Tegas saya dapat mengatakan, sebagian besar daripadanya ditulis dengan bahasa yang buruk, kalau tidak dapat dikatakan tidak layak diterbitkan. Dengan mengabaikan kesalahan cetak yang bertebaran di sana-sini, kerap kita temukan kekeliruan yang sangat mendasar, misalnya dalam hal pemakaian tanda baca dan huruf besar, atau cara menuliskan kata dan istilah. Apalagi bila kita tengok pilihan kata yang serampangan serta tata kalimat dan cara penyajian yang ruwet.

***

MAKA saya jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang telah dikerjakan para penyunting selama ini? Saya kira banyak dari kita tahu belaka, penerapan kaidah bahasa yang berlaku berperan membantu penciptaan kalimat yang mudah dimengerti. Itu sebabnya, agar ide penulis sampai seutuhnya ke pembaca, seorang penyunting pertama-tama dituntut menguasai kaidah bahasa, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, bagaimana membangun kalimat yang efektif, mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, dan seperti apa rupa wacana yang baik.

Jangan-jangan memang tidak sedikit penyunting yang terkecoh, sebab terlalu dibayang-bayangi kehendak menemukan maksud tertentu teks. Bila suatu ketika sang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia akan terdorong merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah itu bersifat niscaya, bahwa penyunting harus mencoret demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja.

Boleh jadi tidak disadari benar olehnya, tatkala membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali, tentu dengan berpedoman kepada kaidah bahasa yang baku, sambil kemudian tanpa sadar memasukkan pengertiannya sendiri.

Demikianlah, jika ada yang mengatakan seorang penyunting harus teliti dan cukup memiliki pengetahuan bahasa, dua hal itu saja belumlah memadai. Keduanya bukan syarat, melainkan semacam sifat yang lekat pada diri penyunting, ada dan berfungsi dengan sendirinya. Jauh lebih bermanfaat adalah kecakapan berbahasa, yaitu bagaimana semua pengetahuannya tentang bahasa diwujudkan dalam praktik.

Fungsi seorang penyunting tidak berhenti pada perbaikan ejaan dan tata kalimat. Sebab, soal paling genting adalah apakah ide penulis sampai ke pembaca secara utuh, tidak kurang tidak lebih. Dan benar, dalam arti bersesuaian dengan fakta.

***

MUNGKIN berlebihan, tapi saya hendak mengatakan, seorang penyunting atau redaktur punya andil unik, sebuah peran yang ikut memberi pengaruh baik atau buruk pada iklim pemikiran dan penciptaan. Ia dapat 'melahirkan' seorang penulis yang piawai atau boncel, memicu sebuah polemik yang subur atau sungguh bebal, dapat pula ia mencerahkan atau menebar dengki.

Di dunia tempat sekian banyak ide berlintasan, apa kerja seorang penyunting sebenarnya? Tidak lain dari sebuah kerja meletihkan yang tidak banyak dimengerti orang-orang di luar sana. Saya membayangkan penyunting sudah bekerja sebelum sebuah naskah mulai ia coreti. Hal pertama yang ia kerjakan adalah membaca, dan kemudian menilai layak tidaknya naskah itu diterbitkan. Apa kriteria bagi sebuah naskah layak terbit? Tidak ada rumusan yang mudah, tapi umumnya karya sastra entah berupa novel, cerita pendek, atau puisi dinilai menurut ukuran-ukuran yang sebagian besar dipinjam dari ilmu sastra, sedangkan tulisan nonfiksi biasanya ditimbang dari sudut calon pembaca, apakah naskah itu menarik, baik topik maupun cara penyajiannya. Jika tidak layak, tinggal memberi tahu penulis sambil mengirim kembali naskahnya. Jika layak, barulah penyunting bekerja, bersentuhan langsung dengan naskah.

Ia mesti memperbaiki bahasanya, dari kekeliruan tanda baca, penulisan kata, susunan kalimat, sampai struktur wacana secara keseluruhan. Dan jangan lupa, tubuh sebuah wacana tidak lain dari kumpulan ide yang saling berjalinan. Sehingga, ia mesti terus-menerus awas terhadap setiap pernyataan atau pemakaian suatu istilah yang menurutnya rada ganjil, entah karena setahu dia tidak bersesuaian dengan fakta atau karena ia sendiri tidak terlalu yakin.

Tidak sulit menguji kebenaran tiap pernyataan yang menimbulkan keraguan, sebab kini sudah tersedia semakin banyak sumber rujukan, dari kamus, ensiklopedia, sampai situs-situs di internet. Penyunting atau redaktur, menurut saya, punya kewajiban moral yang melarangnya membiarkan keganjilan seperti itu pada naskah yang akan disiarkan. Paling sedikit, ia dapat mempersoalkan satu perkara pada penulis. Janganlah mentah-mentah kita telan pendapat Roland Barthes bahwa pengarang sudah mati.

* Eko Endarmoko, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, giat di Komunitas Utan Kayu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Agustus 2007