Jakarta, Kompas - Perjalanan peradaban modern Indonesia cenderung mengalami stagnasi. Salah satu faktor penghambat utama adalah karena budaya menerabas masih tumbuh subur, yang ujung-ujungnya menafikan kerja keras dan kreativitas.
"Padahal, sebuah bangsa yang tidak peduli terhadap kerja dan karya kreatif anak bangsanya sendiri, dalam perjalanan waktu, akan sulit diharapkan mampu melakukan terobosan untuk mempercepat kemajuan," kata cendekiawan Ahmad Syafii Ma’arif di Jakarta, Jumat (24/8).
Dalam seminar bertajuk "Mendorong Pembukaan Cakrawala Baru Bidang Penciptaan dan Pemikiran" yang diselenggarakan Akademi Jakarta, Syafii Ma’arif mengutip pandangan Bertrand Russel, filsuf Inggris, yang membedakan stagnasi dengan kemajuan. Periode stagnasi ialah periode orang merasa tidak berdaya. Sebaliknya, periode kemajuan ditandai suasana saat orang merasa prestasi-prestasi besar menjadi mungkin dan karena itu mereka ingin menjadi bagian di dalamnya.
Di tengah kecenderungan tumbuh suburnya budaya menerabas, yang sejak tahun 1970-an sudah dilontarkan oleh antropolog Koentjaraningrat, Syafii Ma’arif mengaku masih melihat ada titik terang. Sebab, meski sedikit, masih ada manusia kreatif di Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada negara walaupun kemudian mereka hidup serba kekurangan.
"Munculnya sejumlah kecil nama-nama baru di dunia seni (teater, sastra, tari, lukis), sejarah, ilmu dan teknologi, serta pemikiran kebudayaan setidaknya masih memberikan harapan bahwa bangsa ini belum kehilangan kehidupan," tutur Syafii Ma’arif.
Menurut dia, tugas ke depan adalah bagaimana agar geliat kreativitas di seluruh Nusantara dalam berbagai suku bangsa dijadikan sebagai sebuah gelombang besar yang dahsyat sehingga sebuah bangsa yang utuh, beradab dan kreatif, serta berdaulat menjadi kenyataan. "Bukan sekadar bayangan serta kebanggaan yang semu," ujarnya.
Sejarawan sekaligus aktivis Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid, menambahkan, sebetulnya banyak orang Indonesia yang menghasilkan produk kebudayaan, mulai dari penerbitan berbagai buku, karya film yang belakangan mulai bergeliat, sastra, serta produk pemikiran.
"Hanya saja, belum ada karya yang solid dianggap mewakili zaman ini," ujarnya. Bagi Hilmar, permasalahannya bukan pada kreativitas yang tidak ada, melainkan tidak adanya kritik yang baik serta teliti. (MZW/ine)
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment