Sunday, August 19, 2007

Ide dan Bahasa: Tentang Tanggung Jawab Redaktur

-- Eko Endarmoko*

MENGINGKARI ramalan suram para ekonom pada masa resesi menjelang akhir 1990-an, kira-kira semenjak 2000-an, hasil penerbitan di Tanah Air-—entah berupa buku, jurnal, majalah, koran, maupun tabloid—-justru menunjukkan kecenderungan tumbuh subur. Bahan bacaan tersebut dihasilkan bukan hanya oleh penerbit yang mampu bertahan, melainkan juga oleh banyak penerbit baru yang bermunculan. Ikut meramaikan pasar dengan bacaan adalah sejumlah lembaga yang sebenarnya bukan berstatus sebagai penerbit, selain tidak sedikit pula orang yang mengupayakan penerbitan secara pribadi.

Sayangnya, harus ditambahkan, pertumbuhan dari segi jumlah itu belum juga diimbangi dengan peningkatan kualitas. Mudah melihat masih banyak soal mendasar yang belum ditangani dengan sepatutnya, mulai dari aspek-aspek yang bertalian dengan tata penyajian sampai bahasa. Juga bila kita baca terbitan yang menyertakan tulisan terjemahan, tidak sedikit di antaranya yang mengandung sekaligus dua kekeliruan: keliru dari segi penerjemahan, keliru pula dari segi ejaan dan tata bahasa Indonesia.

Tidak mudah menjawab pertanyaan mengapa mutu kebanyakan bahan bacaan kita mengecewakan, kalau tidak dapat dikatakan buruk. Salah satu penyebabnya barangkali karena masih banyak penerbit tidak memiliki tenaga penyunting yang baik, atau malah tenaga itu boleh dikatakan tidak ada, terutama pada instansi bukan penerbit yang memproduksi bahan bacaan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengudar soal-soal di seputar dunia penerbitan yang sangat kompleks, melainkan ingin sedikit membicarakan pemakaian bahasa tulis yang dihubungkan dengan peran penyunting. Pemikiran yang hendak saya kemukakan di sini adalah bahwa kerja menyunting menuntut bukan saja pengetahuan bahasa atau linguistik, melainkan juga pengetahuan berbahasa.

***

MENYUNTING atau mengedit jamaknya dihubungkan dengan kegiatan mempersiapkan sebuah naskah, entah berupa tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Tugas penyunting adalah mengelola bahasa sebuah naskah, melakukan perbaikan di mana perlu, dengan berpegang pada kaidah bahasa hingga sesampai di tangan pembaca, naskah itu menjadi lebih tertib secara tata bahasa. Dengan kata lain, kerja menyunting berurusan dengan bahasa, dan bahasa di sini diperlakukan sebagai sarana belaka bagi penulis guna menyampaikan ide atau perasaannya.

Itu saya kira rumusan yang terkesan terlampau menyederhanakan, sebab seorang penyunting sepatutnya menangani sekaligus bahasa dan gagasan, bentuk dan isi, sebuah naskah. Dalam hal demikian, redaktur kolom atau rubrik di koran dan majalah dapatlah kita setarakan dengan penyunting. Ia tidak hanya wajib memperbaiki ejaan yang keliru dan mengungkai kalimat yang ruwet, tapi juga meluruskan ide-ide yang bengkok—-hal terakhir ini belum banyak dipersoalkan, dan nanti akan kita bicarakan lebih jauh.

Sebenarnya, bukan aturan tata bahasa yang membimbing seorang penyunting, karena aturan itu tidak lebih dari perangkat kerja belaka, tetapi pengertian-pengertian. Pokok garapan penyunting adalah gagasan, bukan bahasa. Maka, masuklah ia dengan asyik ke tubuh naskah dari awal hingga tuntas menelusuri cerita atau penyajian pengertian demi pengertian. Sepanjang dan sampai selesai bekerja, perhatiannya lebih banyak tercurah ke isi daripada bentuk. Ia tergoda mengedepankan ide dalam wacana dan tidak terlampau memedulikan pemakaian bahasanya.

Pada titik itu, si penyunting telah terkecoh oleh pandangan dia yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Bacalah teks-teks, fiksi dan nonfiksi, dalam sejumlah koran dan majalah atau buku apa saja yang beredar sepanjang dua-tiga tahun terakhir. Tegas saya dapat mengatakan, sebagian besar daripadanya ditulis dengan bahasa yang buruk, kalau tidak dapat dikatakan tidak layak diterbitkan. Dengan mengabaikan kesalahan cetak yang bertebaran di sana-sini, kerap kita temukan kekeliruan yang sangat mendasar, misalnya dalam hal pemakaian tanda baca dan huruf besar, atau cara menuliskan kata dan istilah. Apalagi bila kita tengok pilihan kata yang serampangan serta tata kalimat dan cara penyajian yang ruwet.

***

MAKA saya jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang telah dikerjakan para penyunting selama ini? Saya kira banyak dari kita tahu belaka, penerapan kaidah bahasa yang berlaku berperan membantu penciptaan kalimat yang mudah dimengerti. Itu sebabnya, agar ide penulis sampai seutuhnya ke pembaca, seorang penyunting pertama-tama dituntut menguasai kaidah bahasa, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, bagaimana membangun kalimat yang efektif, mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, dan seperti apa rupa wacana yang baik.

Jangan-jangan memang tidak sedikit penyunting yang terkecoh, sebab terlalu dibayang-bayangi kehendak menemukan maksud tertentu teks. Bila suatu ketika sang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia akan terdorong merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah itu bersifat niscaya, bahwa penyunting harus mencoret demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja.

Boleh jadi tidak disadari benar olehnya, tatkala membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali, tentu dengan berpedoman kepada kaidah bahasa yang baku, sambil kemudian tanpa sadar memasukkan pengertiannya sendiri.

Demikianlah, jika ada yang mengatakan seorang penyunting harus teliti dan cukup memiliki pengetahuan bahasa, dua hal itu saja belumlah memadai. Keduanya bukan syarat, melainkan semacam sifat yang lekat pada diri penyunting, ada dan berfungsi dengan sendirinya. Jauh lebih bermanfaat adalah kecakapan berbahasa, yaitu bagaimana semua pengetahuannya tentang bahasa diwujudkan dalam praktik.

Fungsi seorang penyunting tidak berhenti pada perbaikan ejaan dan tata kalimat. Sebab, soal paling genting adalah apakah ide penulis sampai ke pembaca secara utuh, tidak kurang tidak lebih. Dan benar, dalam arti bersesuaian dengan fakta.

***

MUNGKIN berlebihan, tapi saya hendak mengatakan, seorang penyunting atau redaktur punya andil unik, sebuah peran yang ikut memberi pengaruh baik atau buruk pada iklim pemikiran dan penciptaan. Ia dapat 'melahirkan' seorang penulis yang piawai atau boncel, memicu sebuah polemik yang subur atau sungguh bebal, dapat pula ia mencerahkan atau menebar dengki.

Di dunia tempat sekian banyak ide berlintasan, apa kerja seorang penyunting sebenarnya? Tidak lain dari sebuah kerja meletihkan yang tidak banyak dimengerti orang-orang di luar sana. Saya membayangkan penyunting sudah bekerja sebelum sebuah naskah mulai ia coreti. Hal pertama yang ia kerjakan adalah membaca, dan kemudian menilai layak tidaknya naskah itu diterbitkan. Apa kriteria bagi sebuah naskah layak terbit? Tidak ada rumusan yang mudah, tapi umumnya karya sastra entah berupa novel, cerita pendek, atau puisi dinilai menurut ukuran-ukuran yang sebagian besar dipinjam dari ilmu sastra, sedangkan tulisan nonfiksi biasanya ditimbang dari sudut calon pembaca, apakah naskah itu menarik, baik topik maupun cara penyajiannya. Jika tidak layak, tinggal memberi tahu penulis sambil mengirim kembali naskahnya. Jika layak, barulah penyunting bekerja, bersentuhan langsung dengan naskah.

Ia mesti memperbaiki bahasanya, dari kekeliruan tanda baca, penulisan kata, susunan kalimat, sampai struktur wacana secara keseluruhan. Dan jangan lupa, tubuh sebuah wacana tidak lain dari kumpulan ide yang saling berjalinan. Sehingga, ia mesti terus-menerus awas terhadap setiap pernyataan atau pemakaian suatu istilah yang menurutnya rada ganjil, entah karena setahu dia tidak bersesuaian dengan fakta atau karena ia sendiri tidak terlalu yakin.

Tidak sulit menguji kebenaran tiap pernyataan yang menimbulkan keraguan, sebab kini sudah tersedia semakin banyak sumber rujukan, dari kamus, ensiklopedia, sampai situs-situs di internet. Penyunting atau redaktur, menurut saya, punya kewajiban moral yang melarangnya membiarkan keganjilan seperti itu pada naskah yang akan disiarkan. Paling sedikit, ia dapat mempersoalkan satu perkara pada penulis. Janganlah mentah-mentah kita telan pendapat Roland Barthes bahwa pengarang sudah mati.

* Eko Endarmoko, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, giat di Komunitas Utan Kayu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Agustus 2007

No comments: